Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Juni 2014

Kumpulan Lawak dan Satir Pilpres 2014


 Salam pilpres! Berikut ini saya berikan kompilasi status facebook saya selama periode pilpres 2014 yang isinya barang-barang abstrak nggak jelas. Akan terus diupdate sampai tanggal 9 Juli 2014 jika ada yang baru. Silakan meringis dan meratapi pilihan anda jika kebetulan berbeda dengan saya! Salam satu batang, salam dua biji! #eh


ANJING MENGGONGGONG KAFILAH NGIBRIT

Alkisah suatu hari, di ujung sebuah gang buntu mepet jurang pinggir kali.

Panjul: "Dasar penyakitan! Pake baju lengan panjang terus, pasti pundak sampeyan kudisan! Selangkangan sampeyan juga pasti kudisan!"


Jambrong: "Ayo kalau berani kita medical check up lah. Lagian ngaca dong, situ malahan jidatnya yang panuan, kukunya cantengan, mukanya bopengan, matanya picek..."


Panjul: "Eh, udah dong, kenapa malah jadi bawa-bawa fisik! Dasar preman nggak beradab, bisanya maenan fisik doang!"

#kehedsiah #ngunyahsendok #gigirontok



APALAH ARTI IDEOLOGI

Acara nonton bareng final Liga Antah Berantah antara Jamban FC dan Pispot FC.

Jambanholic: "Pokoknya saya nggak mikir menang kalah, yang penting itu tim saya itu selalu main cantik, sepakbola indah! Nggak kayak tim kamu, yang bisanya selalu cuma 'park the bus' doang!"


Pispotmania: "Alah, palingan juga nggak pede sama kemampuan tim sendiri, belum mulai tanding aja udah nyari alasan kalau kalah! Tim saya itu bukannya nggak bisa nyerang, tapi 'bertahan indah', bukan main serang nggak pake otak!"

Pertandingan berakhir mengejutkan: skor 3-1 bagi Jamban FC dengan ball possession hanya 22% dan shot on goal hanya 2 (satu gol lagi adalah gol bunuh diri dari pemain Pispot FC).

Pispotmania: "Kemenangan bukan segalanya. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu niat bermain sepakbola. Terlihat jelas mana tim yang niat menang dan yang cuma 'park the bus'."
 

Jambanholic: "YEEEEY GUA MENANG! GUA MENANG! POKOKNYA GUA MENANG! PERSETAN SEPAKBOLA INDAH!"

#FansLogic
#FakLojik



NETRALITAS SEMU

Tahun 2013. Si Japra lagi ngegeje di kantor sambil browsing-browsing situs geje macam Soccer Memes dan Goal Dot Com.

"Ronaldo belagu, Ronaldo sok ganteng, Ronaldo tukang diving kayak banci, Ronaldo selamanya cuma bisa jilat sepatu Messi, Ronaldo tampang maho, di saat Ronaldo sibuk ngiklan sampo, Messi sibuk menang 4 Ballon d'Or, dasar Gaynaldo, dasar Penaldo..." Japra terus membaca berbagai jenis komen sampah yang ada di suatu artikel.


"Kenapa ya gara-gara pemain bola doang, orang mulutnya bisa jadi kotor begitu, asal njeplak, ga pake logika, kayak orang nggak berpendidikan aja... Belom tentu juga semua yang ditulis itu bener, kok ini fans satu tim bola udah kayak ngerasa pemilik dunia aja." keluh Japra dalam hati, sambil bertekad menuangkan suara dalam hatinya itu ke dalam sebuah wadah implementasi berupa status facebook.

Saat kemudian Japra membuka facebooknya, tiba-tiba muncul satu notif. Ternyata Jimbrong, teman sekantornya, ngeshare satu link berita (mungkin ini kantor lagi geje banget kali ya, pada facebookan semua karyawanya). Judulnya "Messi called to court over allegations of tax evasion". Tambahan komen dari Jimbrong: "Lagaknya sok suci, eh gak taunya nilep pajak juga. Mendingan Ronaldo, Ballon d'Or cuma 1, tapi ga perlu sampe ngambil duit pajak buat nambah beli 3 biji lagi, he he he".

"Bener juga ya, setuju sekali, Messi tidak sesempurna yang para fansnya pikirkan, gak taunya cacatnya gede juga." gumam Japra dalam hati setelah membaca share dari Jimbrong tersebut. Tentunya, suara dalam hatinya kali ini tidak akan ia jadikan status facebook.

#Repleksi
#FakLojik
#FansLogic
#SilentFans

Disclaimer: tidak ada Barcelonista dan Madridista yang disakiti (dan saya harap tidak ada yang merasa disakiti) dalam pembuatan satir ini. 



DI MANA JELATA DIINJAK, DI SANA PRABU DIJUNJUNG

Di suatu SMA pinggiran ibukota. Puluhan siswa berkerumun menonton adu mulut dua orang siswa yang akhirnya berujung pada perkelahian. Atau lebih tepatnya, menonton Paijo memukuli Juki sampai babak belur.

Eko bergumam "Anjir, lemah banget si Juki. Digebukin abis-abisan sampai gak bisa ngelawan gitu. Cowok bukan sih? Berantem aja kagak bisa, ckckck".

Gondo yang ada di sampingnya diam saja, tak berkomentar.

Seminggu kemudian...

Kembali terjadi adu mulut yang berujung perkelahian. Kali ini Juki, yang ternyata selama seminggu itu belajar pencak silat di padepokan silat Bang Ali, menjadikan Paijo bulan-bulanan.

Gondo melirik Eko, seakan ingin menanyakan sesuatu.

Eko balas menatap Gondo dengan muka serius, kemudian berkata dengan suara dalam "Lihat, itu si Paijo benar-benar gentleman sejati. Dia bisa saja memberi pukulan telak kalau dia mau, tapi dia memilih mengalah. Luar biasa."

Gondo hanya bisa melongo, dan beberapa saat kemudian menyilangkan satu jarinya di jidat.

#MataLuPicek #SalamJariTengah




.

Sabtu, 24 Maret 2012

Demo

Ketika sedang istirahat, Paiman mendengar ada keributan di luar. Segera ia keluar dari rumahnya yang sederhana, dan melihat ratusan orang berbaris membawa poster, pengeras suara, obor, batu, dan golok.

"Apa-apaan ini?" teriak Paiman.

"Kami sedang demo, Pak!" jawab seorang dari kerumunan tersebut. "Ayo ikut kami!"

"Memangnya apa yang kalian demo?" tanya Paiman.

"Demo kepada pemerintah agar memberi rumah, Pak!" jawabnya. "Ini semua perkumpulan orang-orang yang tidak punya rumah. Ayo Pak, bergabung bersama kami! Tunjukkan kepedulian Bapak!"

"Lho, mengapa saya harus ikut?" tanya Paiman. "Wong saya sudah punya rumah kok!"

Orang yang memegang obor itu melemparkan obornya ke rumah kecil Paiman. Dalam sekejap api berkobar membakar rumah itu dan seluruh isinya.

"Sekarang jadi tidak." katanya. "Ayo Pak, mari ikut kami!"

-------------------








"Siapapun jangan kau pernah sakiti
dalam pencarian jati dirimu
dan semua yang kau impikan"
- GIGI -


Bogor, 24 Maret 2012
ditulis dengan iringan doa
semoga mereka yang berjuang untuk haknya
tidak melaksanakan perjuangannya itu
dengan diiringi perampasan hak orang lain





.

Jumat, 10 Februari 2012

Mobil Tanpa Bahan Bakar

Seperti cerita humor fiksi ngawur atau satir pada umumnya, cerita ini tidak dimaksudkan untuk masuk akal, cuma buat sekadar ngelawak, ngegaring, atau nyepet. Kemiripan nama dan peristiwa dengan hal-hal lain yang benar-benar ada, silakan Anda asumsikan hanyalah kebetulan.

===========================================

Suatu hari, si Jero anak ITB membaca di sebuah web (ya di web lah, anak jaman sekarang yang baca koran siapa sih, kuno) bahwa ada sekumpulan pemuda Karang Taruna di pinggiran Jakarta yang menemukan mobil tanpa bahan bakar. Pertama membacanya, pikiran Jero beradu antara bangga, malu, dan tidak percaya. Karena penasaran, Jero kemudian memutuskan untuk melihat sendiri seperti apa wujud mobilnya.


Si Jero

Ternyata tempat penyimpanan mobil tersebut sudah ramai sekali oleh orang yang menonton. Jero duduk sebentar di pinggir jalan, di luar kerumunan orang-orang, dan di situ dia berkenalan dengan seorang bapak-bapak yang ternyata adalah carik (sekretaris) kelurahan sebelah. Setelah basa-basi sebentar dan Jero memperkenalkan diri seperlunya sebagai mahasiswa ITB, mulailah mereka mengobrol seru, tentang mobil yang jadi bahan perhatian itu. Pak Carik sibuk dengan serunya memuji-muji mobil karya anak Karang Taruna tersebut, terkadang dengan antusiasme sangat tinggi. Hingga tibalah mereka ke suatu kalimat yang menyentil keras saraf Jero.

"... ini luar biasa ya Dik. Adik yakin kampus ITB belum pernah kepikiran bikin yang beginian?"

Jero hanya bisa terdiam dan menjawab sekadarnya. "Mungkin sudah Pak, kita bergerak sedikit ke arah riset kendaraan alternatif dan bahan bakar alternatif, cuma baru kali ini saya dengar ada mobil tanpa bahan bakar."

"Wah, kalau begitu hebat ya anak-anak ini!" sahut Pak Carik antusias. "ITB aja kalah, nggak kepikiran sampe sini."

Jero merasa diserang dan sebagaimana anak ITB yang se-pasaran-nya, ia dengan refleks menjawab secara halus "Saya penasaran ya, soalnya sepengalaman saya sebagai mahasiswa sih, nggak bisa tuh Pak kalo mesin mobil nyala nggak pake bahan bakar. Soalnya kan energi yang diperlukan itu harus datang dari pembakaran..."

"Teorinya mungkin begitu Dik." sahut Pak Carik dengan cepat. "Cuma bangsa Indonesia ini udah nggak terlalu butuh teori Dik. Kita butuh bukti bukan janji, kita udah capek makan janji politikus! Hebatnya anak-anak ini buktinya nggak banyak ngomong kayak pejabat, kerja kerja kerja, langsung jadi!"

'Cuma bisa berteori' adalah salah satu hinaan potensial yang sensitif bagi anak ITB se-pasaran Jero. Dia langsung menyahut "Begini Pak, bukannya saya skeptis, tapi emang sudah umum diketahui di dunia engineering bahwa kendaraan itu butuh sumber energi, dan sumber energi itu datang dari bahan bakar yang..."

"Saya sih nggak terlalu ngerti yang begituan Dik. Saya tahunya ini bikinan lokal, bisa jalan, bagus! Kemarin saya baca, ini mobil canggih! Dibuat dari bahan-bahan yang tidak mahal, kecepatan sampai bisa 800 km/jam..."

Jero langsung memotong "Secara teknik itu nggak mungkin Pak! Nggak ada di dunia ini mobil yang kecepatannya lebih dari 600 km/jam! Tanpa pengamanan yang cukup, ini penumpang bisa..."

"Lah malah justru hebat toh, kita bisa membuat yang lain belum bisa buat? Adik ini seharusnya bangga atas penemuan mereka, bukannya malah sakit hati gara-gara ITB justru keduluan mbikinnya daripada mereka, dan menyalah-nyalahkan hal-hal sampingan seperti itu. Mereka anak Karang Taruna loh Dik, nggak sekolah tinggi, penemuan macam inipun sudah hebat toh!"

"@*#^&;$^%!?"

"Pokoknya ini penemuan hebat, jadi bukti kalau bangsa Indonesia nggak kalah sama asing. Saya bangga jadi orang Indonesia!"

Jero mengangguk, setengah terpaksa karena malas berdebat lebih jauh, dan setengah segan menanggapi Pak Carik yang begitu bersemangat.

Kerumunan penonton perlahan-lahan mulai berkurang, sehingga Jero dan Pak Carik mendapat kesempatan untuk melihat mobil yang dibicarakan itu dari dekat. Ketika melihatnya, Jero melotot. Dia melihat wajah Pak Carik... masih bersemangat, dan kemudian Jero dengan hati-hati bertanya.

"Pak, barang seperti ini mana boleh turun ke jalan raya?"

"Ah, Adik ini asal main klaim saja. Nggak baik itu, memandang rendah sama penemuan karya anak bangsa sendiri!"

"Bukan begitu maksudnya Pak..." ucap Jero dengan agak sabar. "Maksud saya, coba lihat ini-ini... Mobil biasanya roda empat Pak. Lah ini, rodanya...?"

"Ah, Adik ini terlalu banyak memikirkan hal yang begitu-begitu. Jadi tukang insinyur harus kreatif Dik. Siapa bilang mobil rodanya harus selalu empat? Yang penting ini penemuan baru Dik, penemuan baru! Karya anak bangsa!"

"Tapi ini bukan barang baru, Pak! Sudah banyak yang memakai!"

"Tapi kan tidak ada yang mempublikasikan sampai seperti ini? Paling tidak nyali mereka perlu kita acungi jempol, mental perintis!"

"...???? Tapi lihat Pak, ini bahkan tidak mempunyai kaca spion. Setirnya juga nggak ada. Kursi penumpangnya juga mana? ..."

"Nah, sekarang ini Adik mulai mencari-cari kesalahan di hal-hal yang kurang penting. Kalau harus nunggu ada semua itu, rumit Dik! Penelitian seperti ini sayang jika harus digagalkan oleh prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit!"

"PAAAK, ini bahkan BUKAN MOBIL PAK! Ini GEROBAK RODA DUA lho, Pak! Yang biasa dipake ngangkut sampah, ban bekas, barang loakan! Jelas murah Pak, bahannya dari kayu dan triplek bekas! Nggak ada mesin, apalagi spion, setir, dan jok! Jalan aja nggak bakal Pak kalo nggak ada yang narik, apalagi di jalan raya, boro-boro 800 km/jam! Kalo 800 m/jam sih masih mungkin Pak, asal yang narik kuat aja!"

"Ah, Adik ini hanya iri! Ini karya anak bangsa, hargailah! Lebih baik daripada tidak ada sama sekali!"

Jero, antara geli, bingung, dan kesal, tidak tahu harus menanggapi seperti apa lagi, dia hanya menambahkan "Saya mau menghargai karya orang lain, tapi tidak dengan misinformasi yang dilebih-lebihkan!" dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Di perjalanan pulang, Jero melihat seorang anak kecil, sekitar umur 5-6 tahun lah, sedang duduk di dekat tumpukan sampah (yang nggak jelas apakah itu tong sampah, bak sampah, atau memang sudut jalan yang sudah diketahui bersama sebagai tempat sampah), sedang mengunyah sesuatu yang sepintas terlihat seperti pizza, tapi yang jelas sepertinya baru diambil dari tumpukan sampah di sebelahnya. Dia berteriak "Bapak! Bapak! Rotinya enak banget Pak!"

Seorang pemulung mendekati anak tersebut dan berkata "Udin, sudah Bapak bilang, jangan sering-sering mungutin makanan dari tempat sampah! Nanti kapan-kapan Bapak belikan makanan enak."

"Ah, Bapak bohong!" ucap si Udin ringan. "Bapak mah nggak pernah beliin Udin makanan enak. Mending nyari di sampahan Pak, ini enak lho!"

Bapaknya hanya tersenyum hambar. Tidak berkata apa-apa lagi. Tidak mengambil roti bekas itu dari tangan anaknya. Hanya melanjutkan kerjanya memulung sampah.

Jero tersentak.

Enam tahun sudah dia di kampus. Belum lulus-lulus. Udah ngapain aja dia?

Jadi "aktivis", ikut kepanitiaan jadi kroco-kroco, sekali dua kali jadi ketua, buat nambah panjang CV?

Ngorok di kelas, belajar H-1 sebelum ujian, dan dapet nilai bagus karena emang dasar otaknya jenius, tapi setelah ujian lupa semuanya?

Nunda lulus, mejeng terus di kampus, ngincer mahasiswi-mahasiswi baru buat digebet?

Ngerjain TA, yang sebenernya proyek dosennya yang bakal dipake buat bantu sebuah perusahaan asing?

Dia, kawan-kawannya, dan dosen-dosennya... yang harusnya ambil bagian memasok teknologi-teknologi canggih yang rakyat idam-idamkan untuk dipunyai sendiri oleh Indonesia, yang mereka impikan sampai mabuk dan berbusa. Ngapain aja mereka?

Rakyat Indonesia pantas mendapatkan yang lebih dari ini, keluh Jero sambil menatap kolong jembatan di pinggir kali yang kotor, di mana di jalan layang di atasnya melintas mobil-mobil berharga miliaran, dikendarai dan ditumpangi oleh om-tante dan pemuda-pemudi keren berpakaian mahal, berpendidikan tinggi, dan ber-gadget canggih... yang semuanya buatan luar negeri.



Sudirman, Jakarta
10 Februari 2012
diketik pada waktu istirahat siang dan seterusnya
dilatarbelakangi menara-menara etalase ibukota
dan lagu-lagu Iwan Fals




.

Jumat, 25 September 2009

Humor ITB - Sedia Payung Sebelum Hujan

Pada suatu ketika diadakan lomba mengarang antar universitas se-Indonesia, dengan tema situasi sosial politik bangsa Indonesia. Dua orang panitia sibuk membaca beribu-ribu karangan yang masuk. Berjam-jam membaca membuat mereka jenuh dan akhirnya salah seorang dari mereka, Tono, memperlihatkan sebuah karangan kepada temannya, Parjo, dan berkata:

"Ini pasti karangan anak UI, Jo."

"Tahu dari mana?" tanya Parjo.

"Lihat, di sini disebut-sebut tentang 'Jaket kuning yang tiap hari kukenakan...'"

"Hahahaha. Tebakan yang cukup masuk akal." gumam Parjo.

"Kalau yang ini pasti karangan anak IPB." lanjut Tono.

"Betul Ton, aku tahu, soalnya ada kata-kata '...kampusku di Dramaga'."

Keduanya kemudian tertawa-tawa, lalu melanjutkan membaca. Tak berapa lama, giliran Parjo yang angkat bicara duluan.

"Kalau yang ini Ton, ini pasti karangan anak ITB!"

Tono melihat karangan yang ditunjukkan Parjo, namun tidak ada satu kata pun dalam karangan itu yang menandakan ITB atau bahwa pengarangnya adalah anak ITB. Tono dengan heran bertanya kepada Parjo:

"Tahu dari mana?"

Parjo menunjuk bagian atas kertas dan menjawab dengan enteng:

"Karangannya dibuka dengan kalimat 'Sebelumnya mohon maaf jika ada bagian tulisan saya yang tiada berkenan di hati, karena saya sadari saya belumlah sempurna sebagai penulis...'"


.

Selasa, 22 September 2009

Jadilah Juara

Kembali dengan cerita fiksi-lagu kedua dari saya, yang saya jadikan korban kali ini adalah lagu Jadilah Juara, OST King, oleh Ipang BIP dan Ridho Slank. Selamat menikmati.

DISCLAIMER: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesalahan yang tidak mengenakkan dalam penuturan peristiwa, nama, tempat, maupun fakta-fakta lainnya, penulis mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.

=========================

Alfonso turun dari angkot Panghegar - Dipati Ukur, memberikan uang seribu kepada sang supir, dan cepat-cepat lari sebelum sang supir sempat meminta tambahan ongkos. Setelah terdengar suara deru angkot menjauh, ia baru menghentikan larinya dan memandang ke depan, mencari-cari dengan matanya. Rupanya dia belum datang. Memang salahku datang sepuluh menit lebih awal untuk bertemu orang yang biasanya telat sepuluh menit kalau janjian, pikirnya.

Maka ia memutuskan untuk menghampiri landmark kampusnya, papan nama Institut Teknologi Bandung pada sebuah batu bercat hijau muda, dan duduk bersandar di sana sambil menikmati pemandangan sekitar Gerbang Ganesha. Jalanan putih bagaikan tertutup salju yang hanya ada di negeri empat musim. Ada tukang gorengan, mahasiswa-mahasiswa berjaket himpunan masing-masing yang berwarna-warni, mobil-mobil mewah keluar masuk gerbang. Sesekali terdengar suara burung di atas kepala yang mirip sirine pertanda serangan udara Jepang waktu Perang Dunia Kedua: jika suaranya berkumandang, itu pertanda bom-bom akan segera berjatuhan. Alangkah permainya kampusku, pikir Alfonso sambil tersenyum.

Dan tiba-tiba dari arah dalam kampus terlihat segerombolan mahasiswa berjas almamater. Sebagian besar dari mereka bertampang lesu. Yang pria sibuk mengelap keringat, yang wanita merapikan rambutnya yang acak-acakan. Alfonso kembali tersenyum. Ini anak-anak angkatan 2011 yang baru selesai menjalani rangkaian acara penerimaan hari ini, pikirnya.

Dan seketika dirinya sudah merasa sok tua, mengenang saat ia pertama kalinya melangkahkan kaki melalui Gerbang Ganesha. Apakah spanduk yang begitu menggetarkan hatinya dulu itu masih selalu terpampang setiap awal tahun ajaran? Ia menoleh ke suatu arah dan melihat bahwa ya, masih ada, namun agak sedikit berbeda.

SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA.

Mungkin kata 'TERBAIK' dianggap terlalu arogan, keluh Alfonso sedih. Mungkin kata itu dihapuskan karena orang melihat arogansi mahasiswa ITB yang begitu tinggi dan kerjanya hanya menyombongkan diri seperti saya, pikir Alfonso. Atau mungkin juga karena mahasiswa-mahasiswa ITB dianggap tidak lagi memenuhi syarat, tidak lagi diharapkan untuk menyandang beban begitu berat sebagai putra-putri terbaik bangsa.

Padahal ia begitu merindukan melihat kata itu. Kata yang menurutnya memang pantas disematkan kepada Ganesha-Ganesha muda yang akan mengawali langkahnya membangun negara. Kata yang menunjukkan tingginya ekspektasi negara ini pada Institut Teknologi Bandung. Pada manusia-manusia yang adalah calon-calon patriot bangsa yang sebenarnya. Ya, Alfonso percaya bahwa pejuang kemerdekaan di masa ini bukan lagi tentara ataupun politisi, tapi orang-orang ilmu pengetahuan alam.

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini


Dari dulu Alfonso selalu meyakini bahwa bidang ilmu pengetahuan alam-lah yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan. Bukan ilmu sosial. Yang menentukan nasib bangsa Indonesia seharusnya adalah para teknokrat, para insinyur, para dokter, para ilmuwan. Bukan politikus, pengacara, ekonom, atau artis. Ilmu sosial memperbincangkan hal-hal maya, ilmu alam membuat hal-hal nyata.

Ketika kenaikan harga BBM menjadi perdebatan para analis ekonomi, bukankah insinyur perminyakan-lah yang kerja keras memompa minyak yang jadi perdebatan itu keluar dari perut bumi? Ketika di bursa saham orang kelabakan karena fluktuasi harga saham perusahaan otomotif, perumahan, petrokimia; bukankan yang mereka kerjakan hanya memperbincangkan hasil kerja para insinyur mesin, sipil, dan kimia? Ketika wabah flu burung dan SARS menyebar dan pemerintah memerintahkan keadaan tanggap darurat, bukankah itu semua tidak ada artinya jika para dokter tidak mampu menolong orang-orang sakit dan para ilmuwan tidak menemukan vaksin? Para jenderal TNI jika negara kita diserang musuh sibuk mengatur koordinat pertahanan, membaca peta, mengatur letak artileri, pasukan infantri, angkatan laut, dan angkatan udara. Apa kerja mereka jika tidak ada para insinyur yang membuat benteng, peta, artileri, senapan, kapal perang, dan pesawat tempur? Bahkan ketika orang-orang sibuk mencari uang, sebenarnya siapa sih yang membuat uang? Mesin cetak, perkebunan abakus, dan tinta. Siapa yang membuat itu semua? Insinyur-insinyur.

Jadi jelaslah menurut Alfonso bahwa insinyur-lah yang bisa mengubah nasib bangsa ini secara nyata. Membasmi krisis energi dan pangan dan pada akhirnya memandirikan bangsa secara ekonomi. Memperbaiki sistem transportasi dan tata kota sehingga permasalahan sosial urban dapat diminimalisasi. Membuat alutsista canggih sendiri sehingga kedaulatan bangsa terjunjung tinggi. Mendirikan industri berbasis sumber daya lokal sehingga profit yang didapat besar dan digunakan untuk biaya pendidikan rakyat sehingga makin banyak rakyat yang terdidik untuk pembangunan nyata.

Dan tempat mana lagi paling cocok untuk mencetak insinyur-insinyur yang bisa melakukan hal-hal itu, selain di kampus berjudul institut teknologi ini? Yang dari semua segi memang terbaik pada bidangnya di negeri ini? Jadi kenapa harus malu mengakui bahwa di sinilah tempatnya putra-putri terbaik bangsa menuntut ilmu?

Kecuali jika hal itu tidaklah lagi benar. Jika yang menuntut ilmu di sini bukanlah lagi putra-putri terbaik bangsa. Benarkah?

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya


Patriot-patriot negara memberikan tubuh dan darah mereka sebagai batu bata penyusun istana kemerdekaan. Tank-tank dan senapan mesin Belanda, bayonet dan samurai Jepang, tidak menggentarkan mereka. Bagaimana dengan pejuang-pejuang kemerdekaan versi Alfonso zaman ini, yaitu para mahasiswa teknik, termasuk dirinya sendiri? Alfonso pun mulai menghitung daftar hal-hal yang ditakutinya.

Angin dingin pagi hari kota Bandung. Ketakutan ini membuatnya seringkali meringkuk tenang di dalam selimutnya sementara wekernya sudah berbunyi tujuh kali untuk memanggilnya agar segera bangun dan berangkat kuliah. Akibatnya sudah tak terhitung berapa puluh kelas pagi yang ia lewatkan.

Gengsi dan ketakutan untuk mendapat nilai nol sendirian sementara teman-temannya mendapat nilai bagus. Ketakutan ini membuatnya sering memodifikasi tugas dan laporan karena semua orang kebanyakan melakukannya. Daripada tidak mengumpulkan? Yah, sebenarnya Alfonso tahu kalau hal ini bisa diatasi jika ia mengerti betul materi tugas dan laporan dengan belajar sungguh-sungguh, tapi apa mau dikata bahwa salah satu ketakutan lain Alfonso adalah takut...

Mengorbankan waktu(istirahat dan main)nya untuk memahami materi-materi kuliah. Sebenarnya sebuah perbuatan yang sangat tidak mahasiswa sekali.

Dengan melihat diri sendiri saja dan segala ketakutannya, Alfonso dapat menyimpulkan bahwa memang tidak semua yang kuliah di Institut Teknologi Bandung ini merupakan putra-putri terbaik bangsa.

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah


Alfonso teringat cerita yang pernah dituturkan salah satu dosennya tahun lalu. Saat itu di kelas, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja menceritakan kepada seluruh kelas tentang salah seorang mahasiswa bimbingannya yang berkewarganegaraan Vietnam. Si mahasiswa ini, menurut Pak Tatang, berkata dengan berani kepadanya:

"Pak, saya yakin Vietnam dalam beberapa tahun lagi akan lebih maju dari Indonesia. Kami kerja lebih keras. Di mana-mana semua orang kerja keras. Bahkan orang miskin kami kerja lebih keras dari orang miskin Bapak."

Alfonso termasuk salah satu dari orang-orang yang panas mendengar cerita itu. Seseorang yang negaranya hancur total tahun 70an akibat perang, yang negaranya tertinggal 30 tahun dari Indonesia yang memiliki keunggulan SDA dan SDM jauh lebih banyak? Namun selain panas, hatinya perih juga kalau itu memang benar. Mungkin si Vietnam itu ingin menambahkan juga, namun tidak enak jika didengar rekan-rekannya: "Dan mahasiswa-mahasiswa kami kerja lebih keras dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia!".

Tidak, batin Alfonso. Ia tidak mau kalah. Ia teringat ucapan salah seorang seniornya di ITB ini. Seniornya yang 85 angkatan lebih tua darinya.

"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera, agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari; bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli; bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Dan seniornya itu, setelah lulus dari ITB, telah membuktikan kata-kata itu. Di bawah pimpinannya, bangsa Indonesia melangkah ke arah jajaran bangsa-bangsa terdepan dunia. Sayang langkah itu terhenti. Dan bahkan sempat mundur.

Dan Alfonso berangan-angan dengan sumber daya Indonesia yang melimpah, dikombinasikan dengan bidang ilmu yang ditekuninya, teknik kimia, apa yang bisa dilakukan?

Ia tidak mau kalah dengan Brasil yang menjual etanol di setiap SPBU di seantero negeri itu, dan dengan demikian menghilangkan ketergantungan akan keberlangsungan negaranya terhadap situasi politik yang mengelilingi ladang-ladang minyak Timur Tengah. Ia tidak mau kalah dengan RRC yang, karena diembargo, telah memproduksi sendiri seluruh katalis untuk industri kimianya, yang menghemat devisa negara hingga berjuta-juta dolar Amerika. Merekalah contoh bahwa negara-negara berkembang bisa selangkah menuju ke arah kemajuan dengan teknik kimia, dan Alfonso berharap Indonesia akan menjadi contoh pula.

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya


Alfonso tahu tingginya harapan terhadap mahasiswa ITB. Terhadap para calon insinyur, ilmuwan, dan seniman terbaik bangsa. Betapa tingginya citra mahasiswa ITB di hadapan rakyat kecil.

"Mau ke ITB mas? Bikin motor yang irit bensin ya mas ntar." Begitu kata salah seorang tukang ojek tetangga Alfonso empat tahun lalu. Saya mau kuliah teknik kimia, bukan teknik mesin, bang, gumam Alfonso dalam hati, namun ia menyadari itulah bentuk ekspektasi masyarakat.

Dan Alfonso tahu bahwa harapan masyarakat terhadap mahasiswa sebuah institut teknologi tidaklah cukup dipenuhi dengan mendemo pemerintah yang korup, dengan romantisme dan kata-kata. Namun dengan menyadari bahwa para insinyur-lah ujung tombak pembangunan. Dengan mengembangkan energi alternatif dan menyelesaikan krisis pangan. Dengan mengembangkan semua produk barang (dan hampir semua barang kebutuhan masyarakat adalah hasil industri) bebas impor. Bahkan kualitas ekspor.

Alfonso melihat kembali ke arah spanduk itu. SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA. Dan tiba-tiba ia terhenyak menyadari apa makna pergantian kata TERBAIK menjadi HARAPAN pada spanduk penyambutan tersebut.

Ia dan banyak teman-temannya merasa bangga menjadi putra-putri terbaik bangsa. Alfonso hanya berharap bahwa mereka benar-benar tahu arti kebanggaan tersebut. Bahwa selain menjadi yang TERBAIK, merekalah juga HARAPAN bangsa ini. Bahwa mereka disubsidi pendidikannya oleh duit rakyat bukan untuk lari ke Amerika. Bahwa setelah mereka menapakkan kakinya di Bumi Ganesha mereka bukan hanya milik orangtua mereka namun telah menjadi milik ibu pertiwi. Bahwa rakyat rindu bukan hanya melihat mereka membantu pengolahan migas negara di perusahaan-perusahaan asing, namun juga mengembangkan teknologi pengilangan minyak canggih versi Indonesia. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya keluarga mereka, ingin makmur juga.

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya


Lima tahun lagi keyakinan ini akan diuji, pikir Alfonso. Di saat ibuku sudah tua dan pensiun, di saat adikku masuk kuliah, di saat anakku baru lahir mungkin...

"HEI!!!"

Teriakan itu membuyarkan lamunan Alfonso. Sedetik kemudian Alfonso sudah mulai memaki-maki temannya yang mengagetkannya itu.

"Dari mana aja lu? Gua udah jamuran dari tadi nungguin lu pada! Mana yang laen?"

"Yeee!!! Ini baru jam 5:32, kan kita janjian setengah enam, baru juga telat dua menit, lu ngapain aja dari tadi? Pasti kebanyakan ngelamun ya? Dasar lu mah... Tuh yang laen udah pada di mobil."

Alfonso menggelengkan kepala. Benar-benar, ia kebanyakan melamun. Untuk menghindari rasa malu, ia bertanya "Kita mau ke mana sampai jam berapa? Gua gak bisa sampe malem nih, besok pagi mau mulai ngerun penelitian..."

"Duh, tau deh yang sekarang lagi S2... yaudah gampang dah itu mah, sekarang cabut dulu lah!"

Alfonso mengangkat bahu dan bangkit berdiri, melangkahkan kakinya. Nggak apa-apa sesekali senang-senang, pikirnya. Yang penting bisa bagi waktu. Dan berarti besok pagi ia sudah harus berada di lab pilot untuk menapak selangkah lebih maju menuju pembuatan pabrik enzim yang pertama di Indonesia.



Ipang BIP ft. Ridho Slank - Jadilah Juara

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya



.

Rabu, 16 September 2009

Pertemuan dengan Sang HIMATEK Ideal

DISCLAIMER: Tokoh-tokoh yang ada di cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jikalau ada kesamaan nama, sifat, maupun apapun dengan seseorang, hal itu di luar kehendak sang pengarang.

"Wah, apa ini? HIMATEK Notes Attack?"

Alfonso melihat layar laptopnya dengan tertarik. Saat itu ia sedang menjelajah group HIMATEK di Facebook, dan tiba-tiba saja ia masuk ke sebuah diskusi tentang HIMATEK Notes Attack.

"Lomba nulis notes fesbuk... Tema:... 3. Kutemukan cinta di HIMATEK... Pemenang favorit... voucher warung HIMATEK sebesar 60rb rupiah... WOW."

Alfonso pun langsung membuka MS Word 2007-nya, dan mulai mengetik. Jari-jarinya meluncur cepat di keyboard laptopnya, melahirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Mudah sekali ide mengalir dari hati ke otak, dari otak ke jari, dari jari ke keyboard, dari keyboard ke layar... Di layar bermunculan ungkapan-ungkapan tentang HIMATEK, tentang tujuan HIMATEK, tentang apa gunanya HIMATEK bagi mahasiswa, tentang apa hebatnya HIMATEK sehingga pantas untuk dicintai, tak lupa kritikan bagi mereka yang seakan sudah melupakan apa arti berhimpunan dan tentu saja ajakan bagi semua orang untuk lebih mencintai HIMATEK. Alfonso tidak berhenti begitu saja. Dentang jam tengah malam berkumandang mengiringi suara hantaman jari ke keyboard yang tanpa henti. Dan Alfonso terus mengetik. Sambil menyeka peluh yang bercucuran di dahi, dan cileuh yang bermunculan di kelopak mata.

Dan akhirnya jadilah sudah notes dari Alfonso. "Aku Cinta HIMATEK".

"Ctrl+C... Masuk ke facebook, notes... Ctrl+V... POST. Tag si ini, si itu, si anu, dll..."

Selesai sudah, pikir Alfonso, dan ia pun tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Tombol Turn-Off di layar laptopnya pun telah ia klik. Alfonso pun bangkit dari kursinya, hendak melemparkan badannya ke kasurnya yang empuk. Namun perhatiannya segera tertuju pada pintu kamarnya, Ada sesosok tubuh sedang berdiri di muka pintu kamarnya, membelakangi dirinya.

Sosok itu seperti seseorang yang sudah dikenalnya, namun Alfonso tidak bisa mengingat siapa dia. Orang itu memakai jaket hitam yang amat dikenali Alfonso: jaket Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia, dengan dua strip putih di lengan kanan.

"Selamat malam, Alfonso." katanya dingin. Alfonso merasakan ada nada sinis dalam salam orang asing ini.

"Siapa kau? Mau apa kau di sini?" tanya Alfonso tajam.

"Kau boleh memanggilku apa saja yang kau mau, tapi orang-orang biasa memanggilku Sang HIMATEK Ideal..." jawab sosok itu. "... meskipun aku sendiri tidak terlalu suka dipanggil dengan nama itu. Aku belum menyumbang banyak untuk HIMATEK... namun setidaknya lebih banyak dari kebanyakan 'anggota'nya... Kau boleh menganggapku personifikasi dari orang-orang seperti itu."

"Lalu mau apa kau kemari?" Alfonso mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih hati-hati.

"Mengomentari notes yang kau tulis untuk HIMATEK Notes Attack." jawab Sang HIMATEK Ideal. Tegas, tajam, dan dingin. Alfonso hanya bisa terdiam, terkejut dan tak bisa memikirkan respon apapun atas pernyataan yang tiba-tiba ini. Sang HIMATEK Ideal melanjutkan kata-katanya.

"Merasa layakkah kau menulis hal-hal yang kau telah tulis di notes itu, Alfonso?" ucap Sang HIMATEK Ideal, diiringi tawa pendek yang jelas mengejek. "Kau terlalu banyak bermimpi."

Alfonso menjawab dengan sengit. "Setiap orang boleh dan berhak bahkan wajib punya mimpi!"

"TIDAK jika mimpi itu TIDAK untuk dijalankan!" bentak Sang HIMATEK Ideal. Alfonso terhenyak.

"Selama ini kau terlalu banyak berteori, Alfonso. Kau punya harapan yang seabrek untuk HIMATEK yang kau cintai ini, tapi mana kapabilitasmu untuk membuktikannya? Mana kemampuanmu untuk menjadikan HIMATEK yang kau cintai ini sesuai dengan harapanmu? Tidak ada kan? Nihil? Nol? Harapanmu itu harapan palsu, harapan kosong!!!"

Alfonso terdiam.

"Retorika, Alfonso, retorika. Berapa banyak argumenmu tentang HIMATEK yang kau ungkapkan kepada orang-orang namun gagal kau realisasikan, atau kau tidak tahu cara merealisasikannya. Aku tidak pernah berkoar-koar tentang harapanku untuk HIMATEK, aku MELAKUKANNYA. Dan jika aku melakukannya pasti aku MEWUJUDKANNYA. Aku kerja nyata, Alfonso, tidak seperti kamu."

"Kamu tidak pernah berbuat apa-apa untuk HIMATEK. Tidak pernah menyumbangkan sesuatu apapun yang berarti untuk HIMATEK. Sekarang kamu ingin menguliahi teman-temanmu tentang kecintaan terhadap HIMATEK? Sedangkan aku yang telah berbuat ini itu, jauh lebih banyak darimu di HIMATEK, tidak pernah sebegitunya melakukan hal itu? Sejauh apa kau cinta HIMATEK, sejauh apa kontribusimu di HIMATEK, Alfonso?"

Untuk hal ini, Alfonso tidak bisa berdiam diri.

"Aku representasi HIMATEK di badan tertinggi KM-ITB! Sebagai seorang HIMATEK ideal tentunya kau tahu bahwa jabatan itu tidak main-main!"

"Selevel Kahim, eh?" balas Sang HIMATEK Ideal dengan cepat dan menyayat. "Ya, jika ini sistem KM-ITB yang ideal, Alfonso. Kau diharapkan menyangga beban berat untuk menyampaikan aspirasi 300an anggota HIMATEK yang peduli akan kinerja Kabinet dan Tim MWA. Namun sayangnya, massa HIMATEK tidak banyak yang peduli akan hal-hal itu. Kinerjamu jadi terabaikan. Dapat kukatakan, kerjamu mudah sekali sebagai Senator sekarang ini. Datang, duduk, diam, pulang. Persis anggota DPR."

"Tapi aku tidak seperti itu!!!" teriak Alfonso.

"Tapi lihatlah betapa mudahnya. Yang penting daftar absen penuh, karena massa HIMATEK hanya dapat mengukur itu dari kinerja Senator. Hanya daftar hadir. Tidak ada yang marah karena aspirasi mereka bertentangan dengan apa yang Kabinet kerjakan. Tidak ada yang menyalahkanmu karena gagal menyampaikan aspirasi mereka, yang bertentangan dengan apa yang Kabinet kerjakan. Tidak ada yang peduli jika kau datang rapat dengan pandangan kosong dan hanya diam termangu."

"Dan kau gagal di masa jabatan pertamamu, Alfonso. Gagal. Nama HIMATEK tercoreng karena kau bolos rapat hingga sebulan. Karena kau malas. Dan tidak siap menerima amanah sebesar Senator."

"Dan sayangnya, kontribusi 'besar'mu di HIMATEK hanya sebagai Senator, Alfonso. Untuk keadaan HIMATEK seperti ini, Senator yang baik haruslah mampu memasyarakatkan KM-ITB kepada anggota-anggotanya. Apa kontribusimu dalam hal itu, Alfonso?"

"Tidak semuanya itu salahku!" protes Alfonso.

"Tapi itu bagian kesalahanmu juga, dan porsimu tidak kecil." balas Sang HIMATEK Ideal. "Itu sebagian saja dari kesalahanmu, Alfonso. Masih ada banyak. Akan kuuraikan."

"Kau berkata-kata tentang tujuan HIMATEK. Beranikah kau mengakui bahwa sebenarnya kau baru mendengar dan mengetahui tujuan HIMATEK itu waktu Kahim berorasi di depan calon angkatan termuda di lapangan basket saat kaderisasi?"

"Kau mengajak teman-temanmu datang ke forum-forum HIMATEK dan tidak melakukan apa-apa selain ngobrol. Aku tidak mengajak teman-temanku di muka umum, namun aku DATANG dan BERKONTRIBUSI. Tidak seperti kamu, Alfonso."

"Kau berkata-kata tentang bagaimana seharusnya anggota HIMATEK bersikap. Aku tidak pernah berkoar-koar tentang bagaimana anggota HIMATEK harus bersikap. Tapi aku terlibat aktif di semua kepanitiaan yang kuikuti. Tidak seperti kamu Alfonso. Tiap rapat anggota, rapat divisi, bahkan kuliah, aku datang tepat waktu. Tidak seperti kamu Alfonso. Tiap kuliah aku tidak pernah titip absen. Tiap labtek aku tidak pernah rekdat. Tugas kuliah kubuat sendiri, tidak menyalin. Tidak seperti kamu Alfonso. Jika HIMATEK butuh solusi, aku beri solusi konkrit dan aplikatif. Tidak seperti kamu Alfonso. IPKku masih jauh di atas cukup untuk Cum Laude, tidak seperti kamu Alfonso."

Alfonso hanya menunduk. Semua yang dikatakan Sang HIMATEK Ideal itu benar adanya.

"Tahu orang Farisi, Alfonso? Kaum munafik di negeri Israel zaman dahulu kala. Kaum yang selalu menekuni kitab Taurat tapi tidak pernah melakukannya. Kaum omdo. Omong doang. Itulah kau, Alfonso."

"CUKUP!!!!!!" teriak Alfonso. Sang HIMATEK Ideal terus melanjutkan pidatonya tanpa mempedulikan protes Alfonso.

"Kau terlalu banyak bicara. Aktiflah bergerak membangun HIMATEK jika kau mencintainya. Seperti aku yang telah memberikan ini itu untuk HIMATEK. Aku terbukti menjadi orang yang bisa HIMATEK andalkan. Karena aku cinta HIMATEK. Kau, mau mengaku cinta HIMATEK? Hanya dengan mulutmu saja, Alfonso. Cintamu itu cinta palsu. Omong kosong."

Alfonso tertunduk. Tersungkur. Gemetar. Menangis.

"Itu memang benar adanya, wahai Sang HIMATEK Ideal..." desis Alfonso dengan lirih. "Kau sempurna. Kontribusiku untuk HIMATEK memang tidak seberapa. Sifatku sebagai kader HIMATEK pun jauh dari sempurna. Bahkan bukan termasuk golongan yang terbaik. Dibandingkan denganmu, aku bukan apa-apa. Meskipun begitu..."

Hening sejenak.

"Meskipun begitu, untuk mengatakan bahwa cintaku terhadap HIMATEK adalah palsu... KAU TELAH MELEWATI BATAS!!!" teriak Alfonso sambil bangkit berdiri tegak. Tatapan matanya yang marah menghunjam jaket HIMATEK di punggung Sang HIMATEK Ideal.

"Kau tidak berhak." gumam Alfonso, pelan. "Kau tidak berhak mendefinisikan CINTA!" teriak Alfonso ke arah punggung Sang HIMATEK Ideal.

"Aku memang bukan HIMATEK Ideal. Aku HIMATEK Ampas. IPKku tidak cum laude. Kelakuanku buruk. Pemikiranku tidak semaju rekan-rekanku yang lain. Aku tidak rajin, tidak ulet, tidak jujur, tidak teliti, aku punya banyak kekurangan. Aku iri padamu, Sang HIMATEK Ideal. Aku ingin berkontribusi lebih sepertimu. Ingin bisa membagi waktu sebaik kau. Ingin bisa belajar dan berorganisasi seiringan dengan hasil baik bagi keduanya. Aku ingin memiliki pemikiran-pemikiranmu yang jitu. Kharismamu yang membuat engkau mudah mengendalikan teman-temanmu menuju HIMATEK ideal versi dirimu."

"Tapi apakah aku tidak boleh mengekspresikan kecintaanku dengan kata-kata? Aku memang tidak mampu berbuat lebih dari kata-kata. Tapi inilah caraku untuk mengungkapkan kecintaanku bagi HIMATEK. Dan dengan kata-kata pula aku mengajak teman-temanku untuk mencintai HIMATEK. Karena aku sendiri pun cinta akan HIMATEK."

"HIMATEK, yang telah memberikan kepadaku kepercayaan pertama seumur hidupku sebagai Penanggung Jawab sesuatu. Meskipun itu hanyalah PJ name tag saat kaderisasi."

"HIMATEK, yang membuat aku merasa bisa menyelesaikan pekerjaan dalam sebuah organisasi untuk pertama kalinya dalam hidupku. Meskipun itu hanyalah sebuah Analisis SWOT Angkatan."

"HIMATEK, yang telah memberikan kepadaku jabatan struktural pertama pada sebuah kepanitiaan. Meskipun itu hanyalah Koordiv Lapangan pada sebuah wisudaan, dengan anggota divisi tidak lebih dari 5 orang."

"HIMATEK, yang mengenalkanku dengan rekan-rekan, kakak-kakak, dan adik-adik tingkat yang merupakan manusia-manusia berkualitas. Meskipun itu diawali hanya dalam bentuk KINKAT, MEKFLU, EKSPANDER, dan BURNER."

"HIMATEK, yang telah memberikan pengalaman pertama dalam hidupku untuk berbicara di depan umum dalam tekanan, pada saat hearing calon Senator 2008/09."

"HIMATEK, yang menyerahkan kepadaku mandat terbesar yang pernah kuterima dalam 21 tahun hidupku: membawa suara dan pikiran 300an jiwa manusia ke Kongres KM-ITB."

"HIMATEK, yang mengajarkan efisiensi dan efektivitas rapat. Etos kerja. Kejujuran."

"HIMATEK, yang mengubah orientasiku masuk kampus ini dari sekadar cari jurusan bergengsi yang murah, menjadi semangat untuk membalas budi pada rakyat Indonesia dengan memajukan negara."

"HIMATEK telah memberi terlalu banyak untukku. Apa yang telah kuberikan kepadanya? Tapi kau lupa, hai Sang HIMATEK Ideal, bahwa HIMATEK pada hakekatnya adalah sebuah wadah. Wadah yang tidak bisa memberi, tapi bisa menjadi alat bagi kita untuk berkembang."

"Tanpa HIMATEK aku bukanlah apa-apa, hai Sang HIMATEK Ideal. Berbeda denganmu. Mungkin tanpa HIMATEK IPKmu masih akan cum laude. Mungkin tanpa HIMATEK skill organisasimu akan tetap tinggi. Mungkin tanpa HIMATEK kau akan tetap bisa bergaul. Mungkin tanpa HIMATEK kau akan tetap hebat. Akan tetap kritis. Akan tetap cerdas. Akan tetap ideal."

"Tapi aku, aku yang bukan apa-apa. HIMATEK telah memberi terlalu banyak. Dan itulah yang akan terus kukejar. Aku cinta HIMATEK sebagai wadah. Maka akan kuberdayakan ia sebagai wadah. Aku akan terus belajar di dalamnya. Dibentuk di dalamnya. Dan sebagai bukti kecintaanku, akan kuumumkan kepada dunia nanti jika aku telah menjadi manusia yang berguna dan berandil untuk orang lain: bahwa di TEKNIK KIMIA ITB ada sebuah wadah bernama HIMATEK, yang dapat mengubah bukan siapa-siapa seperti aku menjadi seorang siapa-siapa!!!"

Sang HIMATEK ideal melangkah mundur, mendekati Alfonso. "Alfonso, sayang sekali..."

"Aku tahu kau masih memiliki sejuta protes untuk argumenku." potong Alfonso. "Lagipula kau adalah Sang HIMATEK Ideal. Argumenku tadi tentu mudah kaulawan. Maka akan kupertegas. Aku akan meningkatkan aktivitas dan kontribusiku di HIMATEK, aku akan menjadi kader yang HIMATEK banggakan, dan selagi aku melakukannya, kau boleh diam dan lakukan bagianmu. Dan ini salam perpisahan untukmu, sekaligus ucapan terima kasih..."

Alfonso mengayunkan tinjunya ke arah kepala Sang HIMATEK Ideal. Sang HIMATEK Ideal menghindar. Alfonso secara refleks kemudian menarik jahim Sang HIMATEK Ideal.

GUBRAK.

Alfonso terbanting. Ia jatuh dari kursi. Tangan kanannya teracung ke atas, memegang jahim dengan namanya sendiri. Ia segera bangkit dan membetulkan letak kursinya. Matanya terarah ke layar laptopnya yang masih menyala. Di sana ada jendela MS Word 2007 yang masih terbuka, di dalamnya ada sebaris tulisan "Karangan untuk HIMATEK Notes Attack" dan selebihnya kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul satu malam.

"Rupanya aku ketiduran sebelum sempat mulai menulis." gumam Alfonso.

Ia menggosok-gosok kepalanya yang terbentur tadi, kemudian mematikan laptopnya. Ia memutuskan untuk menunda penulisan notes itu untuk saat dia bangun pagi nanti. Lagipula, ia sudah tahu pasti apa yang akan ia tulis.


.

Sabtu, 11 Juli 2009

Tih Bjal Dunav Se Vylnuva

Dalam rangka mengisi jam-jam kosong (yang merupakan waktu mayoritas saya) selama periode kerja praktek, saya telah menemukan kegiatan baru yang cukup bermutu, yaitu mengarang cerita. Tentu saja bagi yang sudah mengenal saya, anda bisa menebak dengan tepat bahwa cerita yang saya karang pastilah bukan cerita biasa.

Ya, ini adalah cerita fiksi-sejarah-lagu pertama yang saya buat, dan menimbang jam-jam kosong saya selama kerja praktek yang telah diperkirakan dengan akurat akan lebih banyak daripada saat kuliah, ini jelas bukan yang terakhir.

Apa itu cerita fiksi-sejarah-lagu? Dia adalah gabungan dari:
- cerita fiksi-sejarah, yaitu cerita fiksi yang memiliki dasar sejarah (a.k.a. sejarah didramatisir, contoh paling terkenal adalah Romance of Three Kingdoms a.k.a. Samkok); dan
- cerita fiksi-lagu, yaitu cerita fiksi yang memprosakan, atau (umumnya) menarasikan sebuah lagu.

Dan lagu pertama yang saya jadikan korban adalah lagu patriotik yang cukup terkenal di Bulgaria, Tih Bjal Dunav se Vylnuva (Sungai Danube Putih yang Tenang Beriak-riak), yang menceritakan tentang salah satu episode dramatis yang masih dikenang bangsa Bulgaria hingga saat ini, yaitu salah satu peristiwa dalam Perang Kemerdekaan Bulgaria melawan penjajah Turki Utsmani, yaitu… seperti yang bisa dibaca dalam ceritanya.

Sebelum dibaca mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan, secara saya membuat cerita ini hanya untuk membunuh waktu luang saat kerja praktek, syukur-syukur bisa menambah wawasan pembaca tentang sejarah dunia.

Panjang ya ceritanya? Ya, kan tujuannya untuk menghabiskan waktu. Heh heh heh…
Selamat menikmati.

-----------------------------------------------------

29 Mei 1876.





Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
(Sungai Danube putih yang tenang menjadi bergelombang, dan beriak-riak dengan gembira)


Lev Kostadinov tercenung di geladak. Matanya menatap nanar ke depan. Air. Jernih. Riak-riak air menari-nari dipadu sinar mentari, menutupi permukaan air dengan warna putih. Sejauh mata memandang. Dan ia pun memejamkan mata.

Lev hampir tak kuasa menahan air mata ketika mengenang air putih yang sedang ia layari ini, dan mengapa ia melayari air putih ini, air putih yang selama berabad-abad telah menjadi saksi bisu jatuh bangunnya manusia dan peradaban yang disangga di punggungnya, dan nampaknya peranan saksi bisu ini akan terus disandangnya hingga akhir dunia.

Air putih itu bernama Danube; atau, seperti Lev kita ini menyebutnya, Dunav; atau seperti musuh-musuh Lev di seberang sana menyebutnya, Tuna.

Timbul dari pedalaman Schwarzwald, Hutan Hitam di pelosok Bavaria Jerman, air putih yang di tanah kelahirannya dipanggil Donau ini mengalir sepanjang lebih dari seribu kilometer ke timur, ke Laut Hitam di Silang Dunia antara dua ranah peradaban besar, Eropa dan Asia. Bahunya yang tegar telah ditakdirkan terbeban oleh kawasan yang paling bergejolak dan paling sering menjadi tempat di mana darah anak manusia tertumpah: Semenanjung Balkan.

Sejak dua ribu tahun sebelum Lev lahir, air putih ini telah menjadi perbatasan terdepan di bagian utara negara adidaya pertama dunia, Kekaisaran Romawi Kuno, yang memanggil air putih ini dengan sebutan Ister atau Danuvius. Perang secara berkesinambungan terjadi antara Kekaisaran Romawi yang menumpuk benteng dan tembok pertahanan di sepanjang bahu selatan sang air putih, melawan bangsa-bangsa (yang oleh orang Romawi disebut) barbar dan nomad yang kerap terjun laksana air hujan menyerbu dari bahu utara sang air putih.

Seiring berjalannya waktu, perang tidak pernah berhenti selama seribu tahun ketika ras Jerman berebut pengaruh dengan ras Slavik dan ras Latin di daerah yang terbagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil tersebut. Ras Jerman, yang bernaung di bawah konfederasi Kekaisaran Romawi Suci, lebih sering dianggap penjajah oleh penduduk mayoritas; yaitu bangsa-bangsa Hungaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, Serbia, Ceko, dan Slovakia; yang di baliknya seringkali disokong oleh bangsa ras Slavik paling jaya, Rusia.

Hasil benturan ini mengakibatkan bahu sang air putih ditumbuhi berbagai budaya: setelah melewati Vienna ibukota Austria, ia membelah Slovakia dan ibukotanya Pressburg atau Bratislava, di mana ia disebut Dunaj. Kemudian ia melewati Hungaria dan kota Budapest, di mana sang air putih berganti nama menjadi Duna. Setelah itu, sang air putih melintasi Serbia dan ibukotanya Beograd. Dan ia kemudian mengalir sepanjang perbatasan Bulgaria-Rumania, di mana ia di satu sisi dipanggil Dunav dan di sisi lain bernama Dunarea.

Segalanya berubah ketika pada abad ke-14, malapetaka datang bagi para nenek moyang Lev yang sebenarnya sudah cukup parah nasibnya dihantam perang berkepanjangan.

Bahaya tersebut bernama segerombolan tentara, menyeruak dari Anatolia: pasukan Kekaisaran Turki Utsmani, yang baru mengambil alih kepemimpinan kekhilafahan Islam.

Menyeberangi Dardanella dan Laut Marmara, beratus-ratus ribu serdadu dengan cepat merebut daerah-daerah Eropa yang telah diperlemah perang berkepanjangan. Sultan Suleiman Nan Cemerlang berhasil menyeberangi sang air putih, menghajar tentara Eropa hingga di Mohacs, Hungaria, dan nangkring dengan sukses di pintu gerbang ibukota Eropa, Vienna.

Tapi hingga di situ saja. Dengan cepat seluruh bangsa Eropa bersatu menghadapi ancaman asing ini. Dimotivasi dengan teriakan perang suci mempertahankan agama, berjuta-juta serdadu Eropa memukul mundur sang penjajah. Setelah melalui perang tanpa henti, beratus-ratus tahun kemudian barulah ketenangan sedikit terjadi; ekspansi Turki Utsmani berhenti di bahu sang air putih, Danube. Ketenangan semu, karena kedua belah pihak masih saling mengintip; aliansi Eropa di utara dan Turki Utsmani di selatan beserta jajahan-jajahan Eropanya yang menjerit-jerit minta diselamatkan.

Dan di selatan itulah terletak Bulgaria, tanah air Lev yang minta dibebaskan itu. Dan untuk itulah ia melayari sang air putih, dengan garpu taman yang ia pegang dengan kokoh di tangan kanannya, di atas kapal yang kini dengan gembira membelah sang air putih yang beriak-riak keemasan disorot sinar mentari petang, seakan menari-nari dengan ceria mengiringi perjalanan Lev.





I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni
(Karena Radetzki berlayar dengan gagah, di atas riak emasnya)


Garpu taman inilah yang juga dipegang oleh Lev beberapa hari yang lalu, saat ia meloncat ke atas kapal yang ia tumpangi ini, dari Calafat, Rumania.

“Tujuan?” tanya sang penjaga kapal kepada Lev dalam bahasa Jerman.

“Sulina.” jawab Lev singkat.

“Lima keping perak.” kata sang penjaga kapal. Lev memberikan sesuai jumlah yang diminta, kemudian meloncat ke jembatan yang menghubungkan geladak dengan dermaga.

Seorang penumpang, perempuan muda berumur dua puluhan dengan gaun berwarna kuning, memandangi Lev dan barang-barang bawaannya. Ada sebuah tas besar tersandang di bahu Lev. Tangan kirinya menenteng penyiram tanaman sedangkan tangan kanannya menggenggam gagang garpu taman.

“Tukang kebun?” tanya si gadis, yang disambut Lev hanya dengan anggukan.

“Kau adalah tukang kebun keempat yang kulihat di kapal ini.” lanjutnya. Lev hanya diam. “Nama dan asalmu?”

“Lev Kostadinov dari Bulgaria, Nona.” jawab Lev singkat.

“Oh, Bulgaria. Ketiga tukang kebun yang di sana –“ katanya menunjuk ke arah tepi geladak yang berseberangan. “– berasal dari Austria, Hungaria, dan Slovakia nampaknya. Ada banyak sekali tukang kebun yang naik kapal ini!” ucapnya seakan-akan ini hal yang menggembirakan. “Apakah ada banyak lowongan kerja saat ini di Balkan?” tanyanya dengan nada keingintahuan yang mencolok.

“Seperti itulah kira-kira, Nona.” jawab Lev tak jelas. “Permisi dulu, saya mungkin tertarik untuk bertanya-tanya kepada mereka… terima kasih atas waktunya, Nona.” Dan dengan kalimat penutup itu Lev pergi meninggalkan si gadis bergaun hijau muda yang keheranan.

Levat Balkanski?” tegur Lev kepada ketiga pria berpenampilan tukang kebun yang sedang berdiri memandangi hamparan air putih. Ketiganya menoleh. Kemudian salah seorang dari antara mereka, yang berkumis, menyahut.

V boy velikanski. Ayo ikut aku, Nak!” katanya sambil membimbing Lev berjalan ke sisi dalam kapal. Tapi salah seorang dari antara mereka, pemuda berambut pirang, menyodok perut Lev sambil setengah berteriak “Lev sobat!”

Ia mengenalinya sebagai Giorgi Stoyanov, teman satu kampungnya. Dan meledaklah tawa keduanya, hingga si pria berkumis menepuk kepala keduanya, menyuruh mereka diam. Dalam tenang mereka berempat masuk ke salah satu kamar di kapal tersebut.

“Kau sampai dengan selamat, Lev.” sapa orang yang satu lagi, yang dikenali Lev sebagai kakak kelas tiga tahun di atasnya di Politeknik Timişoara, Rumania. Lev tersenyum kepadanya.

“Jadi, masih berapa orang lagi yang akan naik?” tanya Lev antusias.

“Dua ratus lima seluruhnya, Lev.” jawab si pria berkumis. “Kebanyakan akan naik di Bechet. Letnan Voinovski dan Botev sendiri akan naik dari sana, lengkap dengan semua alat-alat. Dan perkenalkan, Borislav Radoslavov.”

Uluran tangan Radoslavov disambut Lev, disusul dengan pertanyaan “Kalian mengaku orang asing?”

“Terpaksa, Lev sobat.” kali ini Giorgi yang menjawab. “Kita tidak mau ada banyak orang Bulgaria yang kelihatan mondar-mandir di kapal penumpang Austria-Hungaria ini. Dan kau sendiri?”

“Aku pribadi tidak sanggup mengingkari tanah kelahiranku.” jawab Lev.

“Ayo kita naik ke atas.” potong kakak kelas Lev, Dimitar Tsvetanov. “Kalau sudah sampai di Mila Rodino, kita adalah patriot. Untuk saat ini, kita adalah tukang kebun.”

“Aku tetap tinggal di sini. Bahaya jika ada yang sampai melihat… erm, perlengkapan yang kita bawa di tas-tas ini.” kata Radoslavov. Ketiga pemuda tersebut mengangguk, lalu berjalan naik ke geladak.

Asap dari cerobong kapal dihembus kencang oleh angin begitu mereka naik. Kapal penumpang bertenaga uap melaju kencang di atas air putih, menimbulkan riak yang membuat ikan-ikan di sekitarnya berloncatan dan terlihat berkilau ditimpa cahaya matahari sore. Terdengar suara keras bercerita.

“Kapal ini, Radetzky, membawa nama besar Jenderal Josef Radetzky, panglima Kekaisaran Austria-Hungaria kelahiran Ceko, yang telah membawa kejayaan bagi nama besar Dinasti Habsburg berkat kemenangan-kemenangannya di Novara, Custoza, dan Leipzig melawan Napoleon…”

Demikian penjelasan sang kapten kapal penumpang Radetzky, Dagobert Engländer, pria tua berbadan gemuk yang hobi memilin-milin kumis putihnya, kepada para penumpang yang menyimak dengan tertarik.

“Dan sebentar lagi, akan membawa kejayaan berkat jasanya dalam memenangkan tanah air kita dari penjajah.” gumam Giorgi Stoyanov. Lev mengangguk perlahan.

Radetzky terus melaju membelah air putih yang tenang, menimbulkan riak keemasan di kala petang.

Begitulah Lev dan kawan-kawannya mengarungi air putih, menunggu rekan-rekan mereka naik di setiap dengan berbagai samaran, siap menempuh pelayaran untuk kembali ke tanah airnya.

Dan akhirnya saat itu tiba.





No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
(Namun setelah Kozloduy terlihat di depan)


“Kozloduy di depan!” teriak Boris Radoslavov. “Sampaikan pada Botev, kita telah mencapai tujuan.” katanya kepada Tsvetanov.

“Kozloduy, Lev…” bisik Giorgi tertahan.

Bagi Lev, Kozloduy bukan hanya sekadar sebuah kota kecil Bulgaria yang terletak di pinggir Sungai Danube. Lebih dari itu, Kozloduy adalah kota masa kecilnya dan Giorgi. Di mana ia dan Giorgi berlari-lari di sepanjang tepian Danube. Dan di mana ia bertemu dengan Valentina.

Sebulan yang lalu di Timişoara, Valentina Angelova berlari-lari dengan cemas sepanjang jalan raya kawasan Iosefin. “Lev!!!” teriaknya cemas.

Lev menoleh ke belakang. Dilihatnya Valentina berlari ke arahnya, rambut panjang dan gaun ungunya tertiup angin sore. Di sebelahnya, trem bertenaga kuda melintas dengan cepat. Lev dengan sigap menyambar tubuh gadis itu dan mendorongnya ke samping. Keduanya terjatuh.

“Berapa kali aku mengingatkanmu untuk tidak berlari di jalur trem, sayang?” tegur Lev sambil berdiri dan mengulurkan tangan. Valentina meraihnya.

“Aku cemas, Lev!” jeritnya. Ia dengan cepat berdiri, lalu menyeret Lev ke balik sebuah pohon besar di tepi jalan.

“Tentang apa, sayang? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Awan masih putih seperti biasanya, berarak di langit yang biru seperti biasanya, ditimpa sinar matahari yang teduh seperti biasanya, di atas aku dan kau yang berbahagia seperti biasanya...”

“Oh, Lev!” jerit Valentina, terlihat putus asa. “Gombalnya nanti saja. Katakan pendapatmu tentang omongan Tsvetanov tadi yang menyebutkan kalian berdua akan ikut berperang ke Bulgaria bersama Hristo Botev.”

“Err... itu benar?” gumam Lev pura-pura tolol.

“Lev!” kembali Valentina menjerit. “Bagaimana kuliahmu, Lev? Apa kata ibumu nanti?”

“Aku akan pulang ke Kozloduy, sayang.” jawab Lev. “Ke rumah kita. Aku akan menemui ibu. Juga Bibi Ivanka dan Yanko. Akan kuajak mereka ikut bergerak. Lalu seluruh rakyat Kozloduy akan bergerak juga. Serentak bersama-sama seluruh negeri. Lalu Bulgaria akan merdeka. Rakyat Bulgaria akan memerintah sendiri. Dan punya politeknik sendiri. Dan aku akan lulus dengan ijazah dari negeri sendiri.”
Valentina terdiam.

“Impian besar kita, Valentina.” lanjut Lev, kali ini tegas. “Impian yang kita bawa saat kita berangkat menyeberang Dunav dari Kozloduy ke Rumania. Bahwa suatu hari nanti kita akan kembali ke Bulgaria, Bulgaria yang merdeka.”

“Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat, Lev.” akhirnya ia berkata.

“Tidak.” jawab Lev tegas. Valentina menunduk. Matanya berkaca-kaca.

“Tapi aku berjanji akan membawamu kembali ke Bulgaria, sayang.” lanjut Lev. “Bulgaria yang telah kumerdekakan dengan tanganku sendiri. Dan tangan-tangan rakyatnya.”

“Pergilah, Lev.” Bisik Valentina. “Aku mengerti dirimu. Percayalah aku sendiri rindu untuk kembali ke tanah air kita. Maafkan aku, Lev, aku tidak bisa...”

“Akan kumerdekakan Bulgaria untukmu, sayang.” potong Lev, menghentikan bisikan Valentina...

“Kita tidak akan mendarat di tanah Kekaisaran Turki Utsmani itu, saudara.” celetuk salah seorang penumpang, membuyarkan lamunan Lev tentang peristiwa satu bulan lalu.

“Bulgaria bukan tanah Kekaisaran Turki Utsmani!” teriak suara dari dalam kapal, dan seolah merupakan aba-aba, Lev dan kawan-kawannya segera bersiaga.





V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak
(Sangkakala dibunyikan, panji dikibarkan)


Bunyi terompet di tangan Radoslavov seakan menjadi penanda bagi dua ratus orang di atas Radetzky untuk mengambil tindakan yang telah disiapkan.

“Apa-apaan ini?” jerit salah seorang awak kapal.

“Lihat ke atas!” teriak salah seorang penumpang.

Di atas, orang-orang dapat melihat pada tiang bendera di mana bendera Kekaisaran Austria-Hungaria tadinya berkibar sendirian, namun kini pada tiang telah diikatkan sebuah panji yang lebih besar: putih, hijau, dan merah terbentang menantang angin dengan gagahnya.

“Ini adalah tiga warna kita, Lev.” kata Mihaila Marianova suatu kali. “Tiga warna yang harus kau simpan dalam hati sebagai perlambang tanah airmu yang harus kau hormati. Bukan bendera yang itu.” lanjutnya sambil menunjuk bendera merah dengan bulan sabit dan bintang putih yang berkibar tinggi di depan kantor Gubernur Bulgaria.

“Iya, Ibu.” jawab Lev bersemangat sambil memakai gelang berwarna putih, hijau, dan merah yang baru diberikan ibunya di tangan kanannya.

“Bendera ini suatu saat akan berkibar dengan bangganya di seluruh tanah air kita, seperti yang ayahmu cita-citakan dulu.” lanjut Mihaila dengan suara gemetar, seperti yang selalu digunakannya setiap kali ia membicarakan almarhum suaminya, Kostadin Vasilov.

“Iya, Ibu.” jawab Lev, seperti jawabannya selalu kepada ibunya ketika wanita yang dikaguminya itu menanamkan rasa cintanya kepada tanah Bulgaria. Juga ketika ibunya bercerita dengan semangat tentang warna-warna tersebut, tentang permainya alam negerinya: putihnya Dunav, hijaunya Stara Planina, dan merahnya sinar matahari Pirin. Tentang kegemilangan Maharaja Krum dan Asparukh, tentang kemegahan ibukota tua Tarnovo, tentang penjajah Utsmani yang merampas ingatan akan semuanya itu…

Dan sekarang, bendera yang dicita-citakan itu telah berkibar setelah sekian lama ia tidak melihatnya di tempatnya yang terhormat: terbentang dengan gagah di ketinggian, memperlihatkan warna-warna cemerlangnya dilatarbelakangi matahari senja, menunggu untuk diiringi langkahnya dengan berani oleh anak-anak bangsanya.

Dan Lev menggenggam bayonet dan pedang yang ia ambil dari tasnya, naik ke geladak dengan langkah tegap.



Mladi Bylgarski junaci javjavat se tam
(Pejuang-pejuang muda Bulgaria tiba-tiba muncul)


Langkah Lev diiringi Giorgi di sampingnya, dengan perlengkapan yang sama. Di geladak kapal sekarang telah berdiri dua ratus lima pejuang yang telah menanggalkan atribut tukang kebun mereka dalam posisi siap tempur.

Terjadi kegaduhan di kalangan penumpang dan awak kapal. Beberapa awak kapal sempat bersitegang dengan para pejuang. Kapten Dagobert Engländer turun untuk menghadapi para pejuang. Dari barisan pejuang, maju seorang pria paruh baya untuk menemui kapten.

“Jangan takut, para penumpang. Kami di sini tidak untuk tujuan yang jahat!” katanya mengumumkan kepada semua yang ada di atas geladak.

“Itu pejuang Bulgaria!” teriak seorang pemuda. “Lihat ikat kepala mereka!”





Na chela im levski znaci, v ochite im plam
(Di dahi lambang sang singa, tampil dengan gagah)


Empat jam lalu, dari pelabuhan Bechet, naik lima puluh orang dengan membawa tas-tas besar. Tas-tas tersebut berisi perlengkapan perang dan atribut-atribut lainnya. Setelah naik dengan selamat, kedua kepala rombongan menyapa Lev dan kawan-kawan yang telah berada di atas kapal.

“Lev Kostadinov.”

“Nikolai Voinovski.”

Voinovski adalah seorang letnan angkatan perang Rusia yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Bulgaria. Dari yang Lev dengar, ia adalah satu-satunya ahli militer yang ikut serta di perjalanan ini.

“Senang melihat kalian, para pejuang muda.” kata Voinovski kepada Lev dan kawan-kawan. “Dengar, empat jam lagi kita akan tiba di tujuan. Bersiaplah di kamar yang telah ditetapkan. Semua perlengkapan kalian di situ. Dan jika telah terdengar aba-aba dari terompet, persiapkanlah senjata… dan pakailah ini.”

Voinovski menjejalkan sepotong kain merah dalam genggaman Lev dan kawan-kawan, satu per satu. Lev membukanya dan langsung mengenalinya: singa emas, Levat Bylgarski, yang bermahkotakan lima salib; lambang tahta negara kuno Bulgaria.

“Pakailah jika semuanya nanti telah siap. Pakailah untuk mengingat atas dasar apa kalian berkorban.”

Lev menoleh. “Voivod Botev.”

Pemimpin pergerakan ini, Hristo Botev, adalah orang yang berbicara pada Lev.

“Baiklah, Voivod.”

Dan saat ini, kain merah tersebut terikat kuat di dahi Lev dan rekan-rekannya, di atas mata-mata penuh semangat dan antusiasme tinggi. Di depan mereka, berdiri Voinovski dan Botev, menghadapi para penumpang yang takut bercampur bingung, dan para awak kapal yang bersiaga penuh.





Gord otprede im zastana, mladijat im vozhd
(Berdiri tegap di depan mereka, pemimpin mereka yang muda)


Botev maju selangkah, menghampiri kapten Radetzky, Dagobert Engländer. Tangannya yang biasa menggenggam pena, kini menggenggam pedang panjang.

Hal ini telah ditunggu-tunggunya sejak kecil. Ayahnya, Botyo Petkov, adalah salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan Bulgaria. Sejak Hristo beranjak remaja, ia telah berani terang-terangan menantang kekuasaan Kekaisaran Turki Utsmani di Bulgaria sehingga ia terpaksa melarikan diri menghindari kejaran pihak berwajib Utsmani hingga ke Rumania. Di sana, ia terus berjuang demi kemerdekaan Bulgaria dengan menggunakan surat kabar buatannya sendiri sebagai corong pengobar semangat kemerdekaan bagi rakyat Bulgaria di tanah air maupun di pengasingan. Dari situ, ia dikenal luas oleh orang Bulgaria di pengasingan sebagai salah satu pemimpin utama bangsa Bulgaria yang sedang berjuang meraih kemerdekaan.

Ketika konfrontasi fisik dengan penguasa Utsmani mulai terlihat tak terelakkan lagi, dan tidak ada pemimpin militer yang dapat diandalkan, Botev memutuskan untuk berjuang tanpa pena; dengan menumpahkan darah. Ia memutuskan untuk memimpin sendiri pasukan berkekuatan dua ratus lima pemuda Bulgaria dari pengasingan, untuk membantu pemberontakan yang sedang dikobarkan melawan penguasa Utsmani di tanah air mereka.





Pa si duma kapitanu, s gol v rakata nozh:
(Dia berbicara pada sang kapten, dengan pedang terhunus di tangan:)


“Apa yang kalian inginkan?” tanya Engländer tajam selayaknya seorang kapten kapal terhadap penumpag gelap di kapalnya.

“Salam, Kapten.” kata Botev. “Saya akan memperkenalkan diri saya dan teman-teman saya.”

Dan Botev mulai berbicara kepada sang kapten dan seluruh penumpang, dengan penuh tekad:





Az zym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime ja svoboda, krv da lejme dnes

(Akulah panglima Bulgaria, dan inilah orang-orangku
Kami melaju menuju kebebasan, untuk menumpahkan darah kami hari ini)


“Bapak Kapten dan para penumpang yang saya hargai!

Suatu kehormatan bagi saya untuk memberitahukan kepada anda bahwa para pemberontak Bulgaria, yang merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi panglimanya, telah berada di atas kapal uap ini.”

Beberapa penumpang mulai memperhatikan kata-kata Botev. Wajah-wajah ketakutan berubah menjadi antusias dan penuh keingintahuan.

“Dengan mengorbankan bahan makanan dan peralatan pertanian kami, dengan mengorbankan usaha yang sangat besar, dan pada akhirnya dengan mengorbankan segala yang berharga di dunia ini… kami telah memperlengkapi diri kami dengan hal-hal yang kami butuhkan, untuk datang membantu saudara-saudara sebangsa kami yang memberontak, yang telah bertarung dengan berani di bawah Sang Singa Bulgaria demi kemerdekaan dan kebebasan tanah air kami tercinta – Bulgaria.

Kami berdoa kepada Tuhan agar para penumpang tidak cemas sama sekali dan tetap tenang. Kepada anda, Pak Kapten…” Botev menatap tajam kepada Dagobert Engländer. “saya dengan berat hati meminta anda untuk mempercayakan kapal anda kepada kami hingga kepergian kami, dan

Maka dari itu, jerit pertempuran kami adalah sebagai berikut:

Hidup Bulgaria!
Hidup Kaisar Franz Joseph!
Hidup Pangeran Andrássy!
Hidup Eropa…!”

Dengan menyebut nama Kaisar Austria Franz Joseph dan Perdana Menteri Hungaria Gyula Andrássy, yaitu para pemimpin negara paling berkuasa di daratan Eropa (Austria-Hungaria) dan juga pemilik Radetzky, Lev paham bahwa Botev ingin menunjukkan perjuangannya mewakili bangsa Eropa melawan dominasi budaya asing Turki Utsmani di tanah yang seharusnya menjadi milik sebuah negara Eropa yang berdaulat.





Nij letime za Bylgarija, pomosht da dadem
I ot tezhka tiranija, da ja otyrvem

(Kami melaju ke Bulgaria, untuk memberikan bantuan kami
Untuk menyelamatkannya hari ini, dari belenggu tirani)


“Jadi apa jawaban anda, Kapten?” kali ini Voinovski yang bertanya.

Kapten Engländer menatap wajah-wajah para pejuang berikat kepala merah itu. Setelah memilin-milin kumis putihnya, ia akhirnya menjawab.

“Baiklah.” ucap Engländer. “Herrlich! Putar haluan ke selatan! Kita mampir sebentar ke Kozloduy!” teriaknya menggelegar.

“Jangan gila, Kapten!” balas si jurumudi. “Di kapal ini ada seratus lebih penumpang sipil…”

“Seratus lebih warga Eropa yang mendukung pembebasan tanah Eropa dari penjajahan asing!” teriak seorang penumpang, kakek-kakek dengan baju biru laut.

“Hidup Bulgaria! Hidup Franz Joseph! Hidup Pangeran Andrássy! Hidup Eropa…!” terdengar teriakan mengulang jerit pertempuran yang dikumandangkan Botev. Teriakan itu datang dari seorang penumpang lain, wanita yang menyapa Lev saat ia naik ke kapal ini.

“Tenang, para penumpang, tenang.” Engländer mencoba menenangkan para penumpang dengan suaranya yang dalam. “Herrlich, Kozloduy, kecepatan penuh! Sekarang!”

Para penumpang bersorak-sorai bersama para pejuang. Botev membungkuk dalam-dalam kepada sang kapten. Voinovski menghampiri juru mudi dan berkata “Aku tahu sebuah pantai yang tersembunyi di dekat Kozloduy. Kita akan menuju ke sana.”

Para pejuang yang lain disalami oleh beberapa penumpang.

“Antonis Niniades.” kakek-kakek berbaju biru laut memperkenalkan diri pada Giorgi Stoyanov. “Veteran Perang Kemerdekaan Yunani. Sekarang giliran kalian untuk menghantam para barbar Anatolia itu kembali ke habitat mereka, anak-anak muda.”

“Sungguh tidak sopan saya mengetahui nama anda, namun anda belum mengenal saya.” ucap gadis berbaju kuning kepada Lev. “Elena Ionescu. Saya mendukung sepenuhnya perjuangan anda. Saya harap anda memperoleh keberhasilan yang sama dengan leluhur-leluhur saya, Stefan cel Mare, Mihai Viteazul, dan Iancu Hunedoara yang hidup matinya dibaktikan untuk mempertahankan Rumania dari kerakusan monster-monster pembawa yatagan itu.”

“Tambah lagi kecepatannya, Herrlich! Tambah lagi kayunya, Szekelyhidi!” teriak Engländer kepada para awak kapalnya. “Anak-anak Austria-Hungaria, ingatlah perjuangan para leluhur kita di Vienna dan di Mohacs! Saatnya kita membantu untuk membalas dendam terhadap bangsa pencoleng dari padang belantara itu!”

Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni


Radetzky melaju kencang menyusur putihnya air Danube, membawa tekad para patriot Bulgaria dan semangat rakyat Eropa. Tubuh Lev gemetaran hingga ke ujung kaki; bukan karena takut, tapi rasa tidak sabar ingin memberikan sesuatu bagi tanah kelahirannyalah yang menjadikannya begitu.

No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak


Mereka tiba di sebuah pantai tak berpenghuni dekat Kozloduy satu jam setelah matahari terbenam. Lev meloncat dengan semangat ke darat dan segera tersungkur berlutut, mencium tanah airnya. Botev dan rekan-rekannya segera menyusul melakukan hal yang sama. Di barisan belakang, Tsvetanov mengibarkan bendera Bulgaria tinggi-tinggi.

“Selamat jalan dan selamat berjuang!” seru Dagobert Engländer sambil melambaikan topinya. Para penumpang yang lain bersorak-sorak sambil melambai-lambaikan tangan. Kapal Radetzky kembali meluncur di Danube, ke tujuannya semula.

------------------------------------

2 Juni 2009.

“Ini adalah puisi yang dibuat oleh penyair kenamaan Ivan Vazov,” demikian Todor Ivanov menerangkan. “untuk mengenang sahabatnya yang juga penyair kenamaan, Hristo Botev, dan 205 pemuda patriot Bulgaria yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah. Ya, Mihaylov?”

“Apa yang terjadi dengan Botev dan kawan-kawannya, Pak?” tanya Tzanko Mihaylov.

“Pada bulan April 1876, rakyat negeri kita Bulgaria mengadakan pemberontakan di seluruh negeri melawan penjajah Turki Utsmani dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan nama Pemberontakan April. Botev dan sekelompok pemuda Bulgaria dalam pengasingan di Rumania memutuskan untuk membantu perjuangan rakyat di tanah asal mereka dengan cara melintasi Sungai Danube sebagai suatu angkatan bersenjata untuk ikut bertempur melawan pasukan Turki Utsmani. Dengan menyamar sebagai tukang kebun, mereka menaiki kapal penumpang Radetzky milik Austria-Hungaria dari berbagai pelabuhan Rumania yang berbeda dan membajak kapal tersebut di tengah Sungai Danube untuk mengantarkan mereka ke pelabuhan Kozloduy di Bulgaria. Tekad para pemuda ini membuat sang kapten kapal dan para penumpang sedemikian terharu sehingga mereka akhirnya dengan sukarela menolong para pejuang untuk mendarat di Bulgaria.

Sang kapten dan para penumpang bahkan membantu dengan mendaratkan para pejuang tersebut di tempat yang tersembunyi dari pelabuhan, menolak memberi informasi kepada penguasa Utsmani yang melakukan pencarian, dan bahkan menolak permintaan penguasa Utsmani agar kapal Radetzky digunakan untuk patroli di Danube untuk mencari para pemberontak. Tindakan heroik sang kapten dan para penumpang terus dikenang oleh bangsa kita sepanjang masa, dan sebagai buktinya di Kozloduy hari ini kita masih dapat melihat kapal Radetzky yang dijadikan museum, tegak memandang Sungai Danube dari tepiannya.

Sangat disayangkan setelah Botev dan para pejuang tersebut mendarat, mereka mengetahui fakta bahwa pemberontakan di daerah itu telah berhasil ditumpas habis oleh tentara Turki Utsmani. Mereka tidak menyerah, mereka berusaha untuk maju teratur ke daerah pegunungan sambil membangkitkan semangat rakyat Bulgaria sepanjang perjalanan. Namun kekejaman pasukan Turki Utsmani telah menciutkan semangat rakyat sehingga mereka tidak berani mengulurkan tangan membantu pasukan Botev.

Selama empat hari, pasukan Botev bertempur di perjalanan sebelum akhirnya mereka mengambil posisi pertahanan di Gunung Okoltchitza. Di sana, mereka menahan gempuran tentara Kekaisaran Turki Utsmani dan tentara-tentara bayarannya yang berjumlah jauh lebih banyak selama berjam-jam dengan hasil yang gemilang. Namun pada saat matahari mulai terbenam, sebutir peluru menghantam dada Botev sehingga beliau tewas seketika. Kematian pemimpin mereka membuat pasukan Botev moralnya merosot dan kemudian kalah. 130 patriot Bulgaria gugur sementara sisanya tertangkap dan dieksekusi, atau berhasil meloloskan diri dengan jumlah yang sangat sedikit.”

Ivanov melihat jam di tangan kirinya. 11:59.

“Karena itu, tahukah kalian, anak-anak? Setiap tanggal 2 Juni tepat tengah hari, seluruh sirene di negeri ini dibunyikan untuk mengenang semua orang yang mengorbankan nyawanya bagi Bulgaria.

Dan sekarang, anak-anak, bersamaan dengan bunyi sirene, mari kita menyanyikan bersama-sama puisi yang telah dilagukan ini, untuk mengenang jasa-jasa Botev dan pasukannya…”

Suara Ivanov tersendat, dan kemudian ia melanjutkannya.

“…dan mereka semua yang telah menumpahkan darahnya bagi tanah air…”

Pukul 12:00. Terdengar suara sirene bergaung di kejauhan. Serentak semua anak di kelas itu bangkit dan mengikuti aba-aba gurunya untuk bernyanyi.

Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni

No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak

Mladi Bylgarski junaci, javjavat se tam
Na chela im levski znaci, v ochite im plam

Gord otprede im zastana, mladijat im vozhd
Pa si duma kapitanu, s gol v rakata nozh:

“Az sym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime za svoboda, kryv da lejme dnes”

Nij letime za Bylgarija, pomosht da dadem
I ot tezhka tiranija, da ja otyrvem”


Danube Putih yang tenang, kini beriak
Radetzky melaju girang, dengan semarak

Namun lihatlah tatkala Kozloduy dekat
Berbunyilah sangkakala, panji terangkat

Tampillah para pejuang, siap siaga
Di dahi m’reka terpampang, singa yang gagah

Tangan melolos senjata, dari sarungnya
Pada kapten dia berkata, dengan lantangnya:

“Aku panglima Bulgaria, dan para rekan
Kami semua siap sedia, siap berikan

Apapun yang dibutuhkan tanah k’lahiran
Kami kan b’ri k’merdekaan, melawan tiran”


------------------------

2 Juni 1876.

“Ledakkan mereka!” teriak Voinovski disusul dentuman meriam dari kubu pejuang Bulgaria yang menghantam belasan tentara Utsmani yang dipimpin Hassan Hairi Bey.

Di sisi yang berseberangan, barikade yang dibuat Botev dan regunya cukup menahan laju serangan prajurit bayaran Utsmani, bashi-bazouk, dan menjadikan mereka sasaran empuk peluru-peluru pejuang Bulgaria. “Putar ke kanan, pimpin lima orang rekanmu, Berbatov! Stoichkov, dukung mereka dari belakang! Pandev, awasi sisi kiri! Yang lain tetap di posisi, tembak begitu ada yang mendekat! Hidup Bulgaria!” Botev dengan berapi-api menyemangati pasukannya yang telah kelelahan bertempur seharian melawan musuh yang berlipat ganda.

“Dari informasi yang kuperoleh di desa, bajingan-bajingan itu telah membantai habis rakyat desa Batak yang tidak berdosa. Tiga ribu orang dipotong-potong; pria, wanita, dan anak-anak. Kota itu sekarang rata dengan tanah kecuali beberapa gundukan mayat di sana-sini.” gerutu Lev, yang bergabung dengan regu pimpinan Trifon Berbatov. Sebutir peluru baru saja meleset tipis dari dahinya.

“Akan kupreteli mereka yang bertanggung jawab dengan tanganku sendiri.” balas Tsvetanov yang juga satu regu dengan Lev, sambil terus menembakkan peluru ke arah markas artileri pasukan bashi-bazouk.

Hari mulai malam. Para pejuang telah memperoleh kemenangan besar dan menahan serbuan musuh. Pertempuran telah bersiap untuk diakhiri pada hari itu, para prajurit akan beristirahat, ketika saat itu tiba.

Sebutir peluru menerjang Botev. Sang Panglima pun jatuh tersungkur.

Voivod Botev!” seru Dimitar Tsvetanov.

Lev dan Giorgi segera menghampiri Botev yang ambruk. Botev memandangi keduanya sambil tersenyum, kemudian ia berkata dengan tenang:

“Dia yang mati bagi kemerdekaan, tidak hanya mati bagi negerinya, tapi juga bagi seluruh dunia... Hidup… Bulgaria!!!”

Botev mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meneriakkan satu kata penutup dalam hidupnya. Lev memandang Giorgi, yang berkata pelan “Voivod Botev telah pergi”.

Lev tercenung. Namun rupanya rekan-rekan yang lain telah menyadari berita duka itu dengan cepat.

“Dia telah tiada!” teriak yang lainnya.

Detik berikutnya, segumpal mortir Utsmani menghantam telak barikade pertahanan yang dibuat Voinovski, menewaskan Voinovski dan beberapa rekan lainnya.

Saat-saat selanjutnya adalah saatnya kekacauan. Sayap kiri kubu pejuang kehilangan komando dari Botev, setiap personel yang ditugaskan melakukan serangan balik gugur tertembus peluru pasukan bazhi-bazouk. Sayap kanan yang dibarikade oleh Voinovski pun berhasil diratakan oleh hantaman artileri pasukan Utsmani, yang disusul oleh rangsekan satu batalion infantri Hassan Hairi Bey ke pusat pertahanan pasukan Bulgaria. Sekitar separuh dari kekuatan para pejuang telah hilang, dan sisanya pun banyak yang terluka parah.

“Hai tikus-tikus Balkan! Keluar dan menyerahlah!” teriak Hassan Hairi Bey dari posisinya.

Borislav Radoslavov meraih panji besar triwarna Bulgaria dan meletakkan ujung bayonetnya di sana.

“Hei, apa yang akan kau lakukan?” teriak Lev.

“Kita harus menyerah!” teriak Radoslavov. “Atau mati. Kita harus membuat bendera putih.”

Terdengar letusan senapan. Lev menembak Radoslavov di kepala.

“Merdeka atau mati!” teriak Lev. “Kalau tidak dapat merdeka, mati! Kalau menyerah, lebih baik mati!”

Dengan teriakan itu Lev merebut panji Bulgaria dari mayat Radoslavov dan menerjang tembakan-tembakan pasukan Utsmani bersama-sama panji triwarna tersebut. Keduanya segera saja dihujani berpuluh-puluh peluru yang segera membuat lubang di mana-mana. Namun Lev tak berhenti berlari. Sesekali tembakan ia lepaskan, pedang ia ayunkan, belasan prajurit Utsmani dia tewaskan, hingga akhirnya ia tersungkur ambruk.
Panji putih hijau merah yang dibawanya terlepas, turun menyelimuti tubuhnya.

“Tuhan...” rintihnya pelan. “Bulgaria… Ibu…”

“Valentina…”

Dan dengan empat kata terakhir itu, Lev Kostadinov menyerahkan nyawanya kepada Sang Pencipta, diselimuti oleh triwarna kebanggaan ibu pertiwi, yang kepadanyalah ia mengorbankan hidupnya.




“Az zym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime ja svoboda, krv da lejme dnes”



Saedineniento Pravi Silata!

----------------------------------

Disclaimer dan keterangan:

- Tokoh-tokoh (selain Hristo Botev, Nikola Voinovski, Dagobert Engländer, Franz Joseph, Gyula Andrássy, Ivan Vazov, dan Hassan Hairi Bey) dan detail percakapan serta peristiwa yang terjadi adalah rekaan pengarang semata, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG., dengan berbasis pada peristiwa sejarah aslinya.

- Pidato Botev untuk kapten dan seluruh penumpang Radetzky adalah asli dan tercatat, sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang disajikan di cerita ini adalah hasil karya pengarang, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG..

- Terjemahan lirik Tih Bjal Dunav se Vylnuva dalam bahasa Indonesia adalah hasil karya pengarang, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG..

- Semua deskripsi peristiwa sejarah dan lambang yang diberikan dalam cerita ini adalah akurat.

- Kata-kata terakhir Botev adalah semboyan hidupnya.


Terjemahan istilah Bulgaria:

- Levat Balkanski, v boy velikanski
Singa Balkan, bersama kita (dua baris pertama dari bait ketiga lagu kebangsaan pertama Bulgaria, Shumi Maritsa).

- Mila Rodino
Tanah air tercinta (juga merupakan judul lagu kebangsaan Bulgaria saat ini).

-Levat Bylgarski
Singa Bulgaria (lambang negara Bulgaria).

- Voivod
Panglima perang (biasanya merujuk kepada pemimpin pasukan-pasukan alias warlord).

- Saedineniento pravi silata
Bersatu kita teguh (motto negara Bulgaria saat ini).

- Yatagan
Pedang tradisional Turki (pada zaman penjajahan Utsmani, identik dengan kekejaman dan penindasan Kekaisaran Turki Utsmani).

.

Kamis, 04 Juni 2009

Kewajiban Utama Seorang Suami

Seorang suami pulang dengan wajah lesu ke rumahnya pada pukul 12 malam setelah kerja lembur yang melelahkan. Ketika ia memasuki ruang makan, nampak sang istri sedang duduk menghadapi makanan yang sudah dingin melotot marah kepadanya.

"Ke mana saja kau?" bentak sang istri. "Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Sudah lewat empat jam dari waktu makan dan engkau tidak juga muncul untuk menemaniku makan. Apakah kau sudah tidak perduli lagi kepadaku?"

"Sayang," jawab sang suami dengan kalem namun ketus. "jika aku tidak pulang jam segini, kita bukan hanya tidak bisa makan bersama, tapi KITA TIDAK AKAN PUNYA UANG UNTUK MAKAN."

---------------

Demi Tuhan, untuk bangsa dan almamater - merdeka!


.

Jumat, 19 Desember 2008

HIMATEK yang Jaya

Ini adalah cerita tentang suatu masa di mana HIMATEK jaya.

Ini adalah cerita saat semua anggota HIMATEK merasa memiliki dan dimiliki oleh himpunannya, dan dekat satu sama lain terlepas dari asal-usul dan angkatannya. Saat semua anggotanya merasa sebagai satu kesatuan dan satu keluarga, yang bangga akan identitasnya.

Anggota BPA saat itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan rekan-rekan seangkatannya, sehingga jika orang-orang memiliki saran dan keluhan tentang himpunan, tidak ada seorang pun yang sungkan bercerita kepada anggota BPA. Jika anggota BPA sedang memiliki waktu kosong di luar kesibukan akademik, mereka akan selalu mengajak ngobrol rekan-rekan seangkatannya yang mereka jumpai, untuk menyampaikan informasi maupun bertanya tentang semua isu yang ada. Ngobrol bisa di mana saja; di meja himpunan, di sela-sela kegiatan bergosip, di kos teman saat belajar bareng, di lab saat waktu luang, di kantin, di kendaraan umum, saat main futsal, saat lari pagi, di mana saja, kapan saja.

Dan hal ini dimungkinkan karena semua anggota BPA tidak ada yang menjabat dalam bentuk apapun pada acara-acara himpunan sehingga memiliki banyak waktu untuk berkonsentrasi dalam bagian terpenting pekerjaannya, yaitu mewakili angkatannya.

Kemauan semua anggota himpunan ditampung dan disampaikan BPA kepada sang Kahim, yang memang dekat dengan semua massa HIMATEK; dikenal angkatan bawah sebagai figur yang tidak sombong dan mau berbagi nilai-nilai, dicintai angkatan sendiri sebagai rekan yang dekat di hati dan selalu bisa mengajak teman-temannya untuk bekerja bersama, dan dihormati angkatan atas sebagai pemimpin muda yang terbuka terhadap saran dan kritik namun tetap tegas dan visioner.

Antara sang Kahim dan BPA tidak ada batasan formal; BPA berperan sebagai rekan sekerja Kahim. Nasihat-nasihat yang diberikan tidak melulu formal; keluhan seorang anggota saja dapat langsung diberitakan BPA kepada Kahim, sehingga sang Kahim tahu benar concern dari tiap-tiap anggota himpunannya yang berjumlah 300-an itu, orang per orang.

Sang Kahim bekerja bersama-sama timnya, yaitu Badan Pengurus. Istilah Kadiv menjadi kurang populer, digantikan oleh Koordiv; karena semua anggota divisinya ikut berperan, ikut bekerja, dan ikut berpikir dalam menentukan dan menjalankan proker-prokernya sehingga tugas sang Koordiv hanya me-manage ide-ide dan pekerjaan-pekerjaan anggotanya, bukan lagi menjadi sumber tunggal ide-ide dan penentu tunggal kebijakan seperti yang sering terjadi. Meskipun tanggung jawab atas divisinya dipegang oleh Koordiv, namun sang Kahim atau siapapun tidak perlu bertanya pada Koordiv jika ingin mengetahui progress divisinya. Cukup tanyakan kepada salah satu anggotanya, karena semua anggota divisi mengenal divisinya sebaik Koordivnya.

Semua anggota himpunan selalu tahu segala perkembangan terkini tentang himpunan. Selain karena anggota-anggota BPA yang tiap hari tak kenal lelah menyampaikan info-info kepada semua orang yang mereka temui, juga karena Divisi Kominfo yang tiap hari rutin menerbitkan selebaran tentang isu apapun yang terkini di kelas-kelas.

Acara-acara rutin himpunan disambut baik oleh semua anggota. Semua mau berpartisipasi, semua mau memiliki. Form-form oprec kepanitiaan selalu terisi penuh; dan semua yang mengisi tidak hanya ikut-ikutan namun sungguh ingin bekerja. Tidak ada batasan angkatan. Anggota yang sudah Tingkat 3 dan 4 ikut bekerja di lapangan saat acara-acara Syukuran Wisuda dan acara-acara lainnya.

Karena banyaknya sumber daya anggota untuk kepanitiaan, tidak ada lagi orang yang terpaksa mengorbankan prestasi akademik untuk bekerja total di kepanitiaan sementara ada orang lain yang enak-enakan belajar. Semua kegiatan di tiap divisi dan tiap acara dilakukan dengan pembagian kerja yang baik sehingga semua orang memiliki waktu belajar yang sama dan juga waktu berorganisasi yang sama.

Dengan demikian prestasi akademis setiap anggota pun terjaga, apalagi Divisi Akademik rajin menggelar kegiatan responsi maupun belajar bersama tidak hanya menjelang ujian, tetapi rutin. Dan kegiatan ini tidak membuat alergi orang-orang, karena dijalankan secara informal dan menyenangkan, sama halnya seperti belajar bareng saja. Orang-orang yang mengadakan responsi ini memang orang-orang yang bisa menerangkan pelajaran dengan baik sehingga penjelasannya mudah dan enak dimengerti. Tujuan kegiatan belajar bersama ini bukan saja untuk memperoleh nilai bagus, namun juga menumbuhkan minat dan pemahaman terhadap mata kuliah yang diajarkan dan aplikasinya.

Tumbuhnya minat kepada bidang keilmuan, diiringi bagusnya prestasi akademik, membuat anggota himpunan tertarik untuk terjun langsung dalam aplikasi. Program-program pengabdian masyarakat yang dimotori Divisi Workshop kebanjiran peminat. Sumber daya manusia HIMATEK yang luas membuat program-program pengabdian masyarakat HIMATEK pun beragam lingkupnya, mulai dari skala lokal kampus, regional, hingga nasional. Nama HIMATEK pun jadi mashyur karena setiap anggotanya yang mengobrol dengan rekan-rekan mahasiswa dari jurusan lain semuanya dapat bercerita panjang lebar dan detail mengenai program-program pengabdian masyarakat yang sukses, karena mereka sendiri telah terlibat di dalamnya.

Apalagi jika melihat acara-acara HIMATEK yang selalu ramai, karena semua anggotanya terlibat. Setiap pertandingan olahraga, basket, voli, futsal, yang melibatkan HIMATEK, selalu dipenuhi penonton. Setiap himpunan yang akan tanding melawan HIMATEK harus datang untuk menjaga tempat duduk minimal satu setengah jam sebelum pertandingan, kalau tidak mereka tidak akan kebagian tempat duduk, kalah melawan lautan jaket hitam berisi 200an massa HIMATEK yang sangat antusias mendukung timnya dengan yel-yel khas yang pasti dikenali seluruh mahasiswa ITB karena begitu sering dan kerasnya dikumandangkan, baik saat timnya menang atau kalah.

Makrab-makrab himpunan yang digelar setidaknya dua kali satu semester, tidak bisa lagi digelar di selasar Labtek X karena anggotanya yang datang pasti melebihi 250 orang. Wisudawan-wisudawan HIMATEK meninggalkan kampusnya dengan perasaan bangga karena diiringi oleh 200an junior-juniornya yang mengarak mereka dari SABUGA menuju sekre HIMATEK yang baru, tempat berlangsungnya acara syukuran.

Sekre baru ini diperoleh setelah sang Kahim beserta seluruh massa melobi Program Studi untuk memberikan sekre yang baru, yang lebih luas, yang lebih nyaman. Hubungan Program Studi dan himpunan begitu baik berkat citra himpunan yang bersih dan profesional. Sekre baru segera diberikan kepada himpunan, di salah satu ruangan Labtek X yang tak ragu dikorbankan Prodi untuk himpunan kebanggaannya ini. Sekre lama digunakan sebagai tempat usaha untuk menjual makanan, minuman, buku-buku, suvenir, dan produk-produk lain khas HIMATEK. Juga digunakan sebagai pusat informasi tentang segala kegiatan HIMATEK yang ditujukan untuk mahasiswa luar HIMATEK, termasuk untuk penjualan majalah bulanan HIMATEK yang diterbitkan Divisi Kominfo. Semua itu di bawah pengelolaan Divisi Dana Usaha, yang segera saja menjadi mesin pencetak uang untuk HIMATEK.

Divisi Konservator segera saja menjadi salah satu divisi paling sibuk berhubung sekre himpunan yang harus dijaganya bertambah besar dan orang yang datang ke sana setiap hari ratusan jumlahnya. Buku-buku bacaan bertebaran untuk dibaca anggota yang sedang santai-santai tiduran di kasur sambil menonton televisi atau minum-minum kopi atau teh bikinan sendiri. Komputer himpunan yang berjumlah tiga selalu terpakai; satu untuk mendengarkan musik, satu untuk internet maupun ngeprint, dan satu lagi untuk main PES. Televisi pun ada dua; satu untuk menonton siaran televisi, satu untuk menonton DVD. Semua itu berkat keuntungan usaha yang besar, yang bahkan masih ada sisanya untuk membantu rekan-rekan anggota himpunan yang kurang mampu. Dalam menangani sekre himpunan, untunglah Konservator tidak kelabakan karena bersih-bersih himpunan yang diadakan sebulan sekali selalu dibantu oleh anggota-anggota lain yang banyak jumlahnya.

Sekre himpunan menjadi pusat kekeluargaan anggota, dan selalu ramai. Tapi kekeluargaan tidak hanya terbatas di sekre. Jika ada yang sakit atau kecelakaan, dalam waktu 1x24 jam pasti telah terkumpul uang sumbangan yang cukup untuk biaya pengobatannya, yang diserahkan langsung oleh perwakilan himpunan yang datang menjenguk. Tidak ada cerita tentang DO gara-gara keuangan, tidak mampu membeli buku, atau bahkan sepatu. Semua ditanggung himpunan lewat iuran bersama yang dengan senang hati diberikan rekan-rekannya yang lebih mampu. Setiap hari di sekre himpunan selalu ramai karena yang berulang tahun hari itu pasti dikerjain dan dirayakan ulang tahunnya di sekre himpunan.

Segera saja HIMATEK menjadi salah satu himpunan yang disegani di ITB. Apalagi Divisi Ekstern rutin mengadakan kajian strategis mengenai isu-isu terkini di kampus dan Indonesia, tak jarang mengundang anggota divisi lain, dan selalu diikuti sang Kahim. Hasil kajian inilah yang disuarakan pada forum-forum massa ITB, yang selalu mendapat aplaus dari mahasiswa-mahasiswa lainnya karena kajiannya yang berbobot, mendalam, dan tepat sasaran. Isu-isu tersebut selalu dikomunikasikan Divisi Kominfo kepada semua anggota himpunan lewat baik selebaran hariannya, majalah bulanannya, maupun media-media lainnya. BPA pun rajin memberitakan lewat obrolan-obrolan informal keseharian. Semua anggota pun paham tentang isu-isu yang ada di kampus dan di Indonesia, dan paham serta mendukung sikap himpunannya mengenai isu tersebut. Maka di forum-forum, omongan orang berjaket hitam dengan dua garis putih di lengan kanan selalu disimak dengan baik, siapapun dia.

Hal ini sangat mempermudah tugas Senator HIMATEK dalam menarik dan menyuarakan aspirasi; Senator HIMATEK yang adalah seorang yang sangat dekat dengan semua kalangan di himpunan, dipercaya dan dicintai semua golongan, bekerja secara total, dan menghabiskan waktunya untuk memahami suara himpunan serta menyuarakannya dengan diplomatis dan mengena di Kongres KM-ITB. Tugasnya menjadi jauh lebih mudah karena dia tidak perlu menggali lagi untuk mendapatkan aspirasi anggota; aspirasi tersebut sudah bermunculan di atas tanah dan tinggal dikeruk saja.

Pendapat Senator HIMATEK selaku perwakilan himpunan yang maju pun selalu mendapat perhatian khusus dari himpunan-himpunan lainnya. Ditambah lagi berhasilnya penanaman nilai-nilai di atas telah membuat anggota HIMATEK sadar apa artinya berKM-ITB sehingga banyak kader-kader HIMATEK aktif berkegiatan di Kabinet KM-ITB dan kegiatan-kegiatan terpusat lainnya. Nilai-nilai yang mereka dapat di HIMATEK ditularkan kepada rekan-rekan mahasiswa sehingga kemahasiswaan ITB cepat atau lambat menjadi kemahasiswaan yang kuat dan dekat dengan semua mahasiswanya, dan HIMATEK memegang peranan penting di dalam gerakan itu.

Saat sang Kahim beserta Badan Pengurusnya akan mengakhiri masa jabatan, mereka pun tersenyum. Bangga akan prestasi-prestasi yang telah dicapai himpunannya, namun terlebih lagi bangga karena memiliki HIMATEK sebagai himpunannya. Ditambah, mereka yakin bahwa pengganti-pengganti mereka adalah orang-orang yang tak kalah hebat, yaitu junior-junior mereka, hasil kaderisasi HIMATEK yang cerdas dan efisien. Kaderisasi yang membuat putra-putri terbaik bangsa yang baru memasuki gerbang perkuliahan sadar bahwa himpunan bukanlah beban, himpunan bukanlah pilihan, himpunan bukanlah kewajiban, namun himpunan adalah kebutuhan. Tidak ada lagi him dan nonhim; seluruh peserta kaderisasi paham betul apa arti berhimpun dan tidak ada orang yang sebodoh itu melepaskan kesempatan emas untuk berkarya dan berkeluarga dalam sebuah himpunan yang jaya.



Mengutip kata-kata sang presiden terpilih Amerika Serikat, Barack Obama:
"Yes we can."




.