Jumat, 25 September 2009

Humor ITB - Sedia Payung Sebelum Hujan

Pada suatu ketika diadakan lomba mengarang antar universitas se-Indonesia, dengan tema situasi sosial politik bangsa Indonesia. Dua orang panitia sibuk membaca beribu-ribu karangan yang masuk. Berjam-jam membaca membuat mereka jenuh dan akhirnya salah seorang dari mereka, Tono, memperlihatkan sebuah karangan kepada temannya, Parjo, dan berkata:

"Ini pasti karangan anak UI, Jo."

"Tahu dari mana?" tanya Parjo.

"Lihat, di sini disebut-sebut tentang 'Jaket kuning yang tiap hari kukenakan...'"

"Hahahaha. Tebakan yang cukup masuk akal." gumam Parjo.

"Kalau yang ini pasti karangan anak IPB." lanjut Tono.

"Betul Ton, aku tahu, soalnya ada kata-kata '...kampusku di Dramaga'."

Keduanya kemudian tertawa-tawa, lalu melanjutkan membaca. Tak berapa lama, giliran Parjo yang angkat bicara duluan.

"Kalau yang ini Ton, ini pasti karangan anak ITB!"

Tono melihat karangan yang ditunjukkan Parjo, namun tidak ada satu kata pun dalam karangan itu yang menandakan ITB atau bahwa pengarangnya adalah anak ITB. Tono dengan heran bertanya kepada Parjo:

"Tahu dari mana?"

Parjo menunjuk bagian atas kertas dan menjawab dengan enteng:

"Karangannya dibuka dengan kalimat 'Sebelumnya mohon maaf jika ada bagian tulisan saya yang tiada berkenan di hati, karena saya sadari saya belumlah sempurna sebagai penulis...'"


.

Kamis, 24 September 2009

Dihukum Karena Hal Yang Tidak Diperbuatnya

Baca judul tulisan ini, lalu pikirkan. Adil tidak? Fair tidak?

Coba bayangkan seorang ibu umur 40an berteriak sambil menangis tersedu-sedu:

"HAL APA YANG TELAH KUPERBUAT HINGGA AKU MENDAPAT COBAAN SEPERTI INI...?!?!?!?"

dengan gaya yang lazim kita temui di sinetron-sinetron Indonesia. Kalau di sinetron sih, biasanya tokoh seperti itu adalah tokoh baiknya, yang anggun, selalu ramah sama orang, rajin beribadah. Tapi pasti aja tokoh kayak gini adalah tokoh yang paling apes. Entah suaminya meninggal, dirinya sakit-sakitan, anaknya diputusin pacar, rumahnya disita, dan seterusnya. Lalu dia berteriak seperti kalimat di atas. Lalu kita (baca: penggila sinetron) berpikir, dunia kejam nian, apa yang telah dia perbuat sehingga mendapat nasib malang bertubi-tubi?

Intermezzo. Hehehe. *NB: penempatan intermezzo di awal cerita bukan hal yang baik sebenarnya*

=======

Kembali ke judul. Waktu dulu ada yang pernah cerita ke saya tentang seorang anak kecil yang bertanya pada bapaknya. "Pak, tadi pagi saya di sekolah disetrap guru karena hal yang tidak saya kerjakan. Apakah itu adil?"

Bapaknya lantas berang dan langsung menjawab. "Tentu tidak! Gurumu sangat keterlaluan. Tentu kau tidak bisa disalahkan atas hal yang kau tidak lakukan. Bapak akan menghadap Kepala Sekolah besok. Tapi ngomong-ngomong, hal apa sih yang tidak kau lakukan itu?"

Anaknya nyengir dan menjawab "TIDAK mengerjakan PR."

Kedengarannya klise. Tapi poinnya jelas. Masalah dihukum atau tidak, masalah salah atau benar, bukan hanya masalah apa yang DIPERBUAT, tapi bisa jadi masalah apa yang TIDAK DIPERBUAT.

======

Minggu kemarin saya jalan-jalan dengan adik perempuan saya yang berumur 12 tahun di mall, sehabis menjemputnya dari gereja. Sehabis makan di food court di lantai 3, kami turun dengan lift ke lantai paling bawah untuk pulang. Saat kami akan naik lift, ada seorang bapak tinggi besar membawa dua orang anak. Yang besar lelaki sekitar umur 8-9 tahun berbadan gendut, yang kecil perempuan umur 5-6 tahun gendut juga. Kedua anak ini rupanya lumayan nakal juga.

Ketika pintu lift terbuka dan sekitar 10 orang penumpangnya berhamburan turun, kedua anak ini langsung menerobos masuk lift tanpa menunggu yang turun selesai keluar lift. Si bapak diam saja. Saya cuma bisa berdehem dan teriak pelan "Tolong tunggu yang turun dulu, seperti biasa!".

Lalu saya dan adik saya masuk lift dengan posisi di tengah-tengah (tidak bersandar ke dinding lift), adik saya di samping saya. Lift itu penuh sesak, ada sekitar 13 orang. Sialnya tidak ada yang turun di lantai dasar seperti saya (semua turun di basement parkiran rupanya). Di antara saya dan tombol lift ada si bapak. Saya tidak bisa menjangkau tombol lift itu. Saya lalu berkata "Maaf Pak, permisi". Namun si bapak tetap bergeming. Dengan susah payah, adik saya yang berbadan lebih kecil bisa menekan tombol lift. Dan sehabis adik saya menekan tombol, si bapak menempelkan telapak tangannya menutupi TOMBOL-TOMBOL LIFT untuk NYENDER.

Setelah itu kedua anak gendut itu mulai ngobrol keras dan kemudian melompat-lompat di dalam lift. Ya. JINGKRAK-JINGKRAK. Di dalam LIFT yang sedang berjalan. Anaknya GENDUT-GENDUT. Saya mulai mikir apakah saya harus baca doa atau jitak kepala anak-anak ini. Bapaknya diam saja.

Ketika pintu lift terbuka di GF, saya dan adik saya bersiap-siap turun, namun si bapak yang berbadan BESAR dan MENGHALANGI pintu keluar lift tidak menunjukkan tanda-tanda mau minggir. Padahal sudah jelas tadi penumpang yang memencet tombol GF hanya SAYA, yang ada di BELAKANGNYA. "Pak, PERMISI" ulang saya dengan suara lebih keras dari saat saya mau menekan tombol lift tadi. Dia tetap diam. Adik saya, yang berbadan lebih kecil, lebih tidak sabar dan mencoba menerobos keluar. Dia berhasil dan saat itu semua orang tersadar dan mencoba minggir, namun tetap saja jalur keluarnya sulit karena liftnya penuh sesak dan orang yang SEHARUSNYA PALING DULUAN MINGGIR yaitu si bapak itu malah DIAM seperti gupala di depan pintu lift. Saya mencoba keluar, namun saat itu pintu lift tertutup, saya mencoba menerobos (karena jika turun sampai lantai bawah lagi, eskalator sedang mati dan jalurnya jauh, lagipula adik saya sudah berada di luar lift).

Dan BREKK. Pintunya menggencet saya, saya mencoba menjejak keluar lift agar tidak kehilangan keseimbangan, dan alhasil kaki kanan saya mendarat tepat di belakang adik saya yang sedang melangkah, menginjak sendalnya, dan talinya putus. Sementara adik saya memungut sendal kesayangannya itu, saya menyempatkan diri melihat pintu lift yang sedang menutup itu, menatap marah pada si goblok yang MENEMPELKAN TANGANNYA DI TOMBOL LIFT tapi tidak menahan tombolnya agar terbuka saat ada yang mau turun.

Saya emosi dan hampir berteriak "GOBLOK!" di depan muka si bapak itu. Namun segera saya mencoba berpikiran jernih dan positif. Mau tahu pikiran paling baik yang timbul di benak saya saat itu? MUNGKIN BAPAK ITU TULI.

Dan saya sampai pulang masih tetap emosi, masih tetap uring-uringan karena sendal kesayangan adik saya putus gara-gara si bapak goblok itu. Bapak itu tidak melakukan apa-apa terhadap saya, tapi karena dia tidak melakukan apa-apa itulah maka saya jadi kesal.

Yah, mungkin saya juga salah karena emosi. Sampai di rumah saya minta maaf secara tidak langsung kepadanya dalam doa, dan mengakui ada bagian kesalahan saya juga.

Namun saya tetap berterima kasih atas pertemuan saya dengan si bapak, yang telah mengajarkan kepada saya buruknya sebuah ignorance.

======

Undang-undang negara Republik Indonesia ada yang menyatakan bahwa jika seseorang melihat terjadinya tindak kejahatan namun tidak melaporkannya, ia dapat dituduh bersekongkol dengan pelaku dan dapat dikenai hukuman penjara. Waktu dulu saya ikut sekolah minggu, salah satu ayat paling berkesan yang dibacakan kakak pembimbing saya adalah Yakobus 4:17 "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa".

Sudah tahu arah tujuan pembicaraan saya kan?

Albert Einstein pernah berkata "Saya cinta damai, tetapi bukan hanya itu, saya berani berperang demi kedamaian". Yang dimaksud Einstein bukan perang sebenarnya, tapi yang ia maksud adalah ia berani mengajak orang-orang untuk tidak berperang. Kenapa?

Karena Einstein menyadari bahwa jika ia cinta damai secara PASIF (yakni hanya berkomitmen bahwa DIRINYA SAJA yang tidak akan berpartisipasi dalam perang), perdamaian tidak akan terjadi. Orang-orang lain masih akan berperang. Maka ia memutuskan untuk AKTIF, mengajak orang-orang untuk tidak berperang.

Berapa banyak dari kita yang berpikiran bahwa "Saya akan membetulkan kehidupan saya dulu. Yang penting saya jadi orang baik, benar, rajin, pintar, jujur, disiplin, dan berprestasi. Urusan temen-temen saya yang begundal, brengsek, tukang tipu, pemalas, goblok dan lain sebagainya itu, urusan mereka, toh mereka kan udah gede ini."

Itu EGOIS, saudara. Membiarkan teman kita jatuh dalam dosa sementara kita luput dari dosa. Saya masih percaya kata-kata Einstein: "Sang Pencipta tidak sedang bermain dadu" ketika mencipta, ketika meletakkan kita di lingkungan pertemanan kita saat ini. Dan saya masih percaya bahwa tanggung jawab untuk saling menasihati itu ada di pundak semua umatNya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban untuk itu saat Hari Terakhir nanti.

Dan hukuman yang menanti bukan karena kejahatan yang kita lakukan, tetapi karena kebaikan yang kita tidak lakukan.

======

Kendala nyata? Banyak.

Setahun ini nyontek tugas dan semacamnya sudah saya kurangi sampai batas sangat minimum, namun prestasi akademik saya ya segitu-segitu aja. Cape juga klo mempromosikan integritas akademik dan cuma dikata-katain "Yang nggak nyontek ntar IPKnya jadi kayak lu! Mending nyontek, terus kayak gw! Yang IPKnya lebih tinggi dari lu aja nggak pernah bacot macam-macam!"

Bagian terakhir sih yang membuat hati ini paling pedih. Dan hanyalah harapan yang tentu diharap jadi kenyataan, bahwa yang lebih punya daya untuk promosi integritas akademik akan memberdayakan modal mereka itu. Tidak hanya lurus dalam kehidupannya, namun juga meluruskan orang lain yang bengkok-bengkok. Barangsiapa tahu berbuat baik tapi tidak melakukannya... yah, begitulah.

======

Ketika telah nyata bahwa keuntungan nyalin tugas dan nyontek jauh lebih besar daripada kerugiannya...

Ketika akal sehat dan keadaan pun telah berteriak "NYONTEK SANA!"...

Ketika jargon-jargon integritas akademik terdengar seperti bualan aktivis semata...

Ketika nasihat-nasihat dari kawan seperjuangan dianggap upaya sok suci dan munafik...

Pandanglah Wajah Sang Pencipta yang teduh dan tanyakan dengan tulus kepadaNya... dan tangkaplah jawabanNya dengan hati nurani yang terdalam.



.

Selasa, 22 September 2009

Jadilah Juara

Kembali dengan cerita fiksi-lagu kedua dari saya, yang saya jadikan korban kali ini adalah lagu Jadilah Juara, OST King, oleh Ipang BIP dan Ridho Slank. Selamat menikmati.

DISCLAIMER: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesalahan yang tidak mengenakkan dalam penuturan peristiwa, nama, tempat, maupun fakta-fakta lainnya, penulis mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.

=========================

Alfonso turun dari angkot Panghegar - Dipati Ukur, memberikan uang seribu kepada sang supir, dan cepat-cepat lari sebelum sang supir sempat meminta tambahan ongkos. Setelah terdengar suara deru angkot menjauh, ia baru menghentikan larinya dan memandang ke depan, mencari-cari dengan matanya. Rupanya dia belum datang. Memang salahku datang sepuluh menit lebih awal untuk bertemu orang yang biasanya telat sepuluh menit kalau janjian, pikirnya.

Maka ia memutuskan untuk menghampiri landmark kampusnya, papan nama Institut Teknologi Bandung pada sebuah batu bercat hijau muda, dan duduk bersandar di sana sambil menikmati pemandangan sekitar Gerbang Ganesha. Jalanan putih bagaikan tertutup salju yang hanya ada di negeri empat musim. Ada tukang gorengan, mahasiswa-mahasiswa berjaket himpunan masing-masing yang berwarna-warni, mobil-mobil mewah keluar masuk gerbang. Sesekali terdengar suara burung di atas kepala yang mirip sirine pertanda serangan udara Jepang waktu Perang Dunia Kedua: jika suaranya berkumandang, itu pertanda bom-bom akan segera berjatuhan. Alangkah permainya kampusku, pikir Alfonso sambil tersenyum.

Dan tiba-tiba dari arah dalam kampus terlihat segerombolan mahasiswa berjas almamater. Sebagian besar dari mereka bertampang lesu. Yang pria sibuk mengelap keringat, yang wanita merapikan rambutnya yang acak-acakan. Alfonso kembali tersenyum. Ini anak-anak angkatan 2011 yang baru selesai menjalani rangkaian acara penerimaan hari ini, pikirnya.

Dan seketika dirinya sudah merasa sok tua, mengenang saat ia pertama kalinya melangkahkan kaki melalui Gerbang Ganesha. Apakah spanduk yang begitu menggetarkan hatinya dulu itu masih selalu terpampang setiap awal tahun ajaran? Ia menoleh ke suatu arah dan melihat bahwa ya, masih ada, namun agak sedikit berbeda.

SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA.

Mungkin kata 'TERBAIK' dianggap terlalu arogan, keluh Alfonso sedih. Mungkin kata itu dihapuskan karena orang melihat arogansi mahasiswa ITB yang begitu tinggi dan kerjanya hanya menyombongkan diri seperti saya, pikir Alfonso. Atau mungkin juga karena mahasiswa-mahasiswa ITB dianggap tidak lagi memenuhi syarat, tidak lagi diharapkan untuk menyandang beban begitu berat sebagai putra-putri terbaik bangsa.

Padahal ia begitu merindukan melihat kata itu. Kata yang menurutnya memang pantas disematkan kepada Ganesha-Ganesha muda yang akan mengawali langkahnya membangun negara. Kata yang menunjukkan tingginya ekspektasi negara ini pada Institut Teknologi Bandung. Pada manusia-manusia yang adalah calon-calon patriot bangsa yang sebenarnya. Ya, Alfonso percaya bahwa pejuang kemerdekaan di masa ini bukan lagi tentara ataupun politisi, tapi orang-orang ilmu pengetahuan alam.

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini


Dari dulu Alfonso selalu meyakini bahwa bidang ilmu pengetahuan alam-lah yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan. Bukan ilmu sosial. Yang menentukan nasib bangsa Indonesia seharusnya adalah para teknokrat, para insinyur, para dokter, para ilmuwan. Bukan politikus, pengacara, ekonom, atau artis. Ilmu sosial memperbincangkan hal-hal maya, ilmu alam membuat hal-hal nyata.

Ketika kenaikan harga BBM menjadi perdebatan para analis ekonomi, bukankah insinyur perminyakan-lah yang kerja keras memompa minyak yang jadi perdebatan itu keluar dari perut bumi? Ketika di bursa saham orang kelabakan karena fluktuasi harga saham perusahaan otomotif, perumahan, petrokimia; bukankan yang mereka kerjakan hanya memperbincangkan hasil kerja para insinyur mesin, sipil, dan kimia? Ketika wabah flu burung dan SARS menyebar dan pemerintah memerintahkan keadaan tanggap darurat, bukankah itu semua tidak ada artinya jika para dokter tidak mampu menolong orang-orang sakit dan para ilmuwan tidak menemukan vaksin? Para jenderal TNI jika negara kita diserang musuh sibuk mengatur koordinat pertahanan, membaca peta, mengatur letak artileri, pasukan infantri, angkatan laut, dan angkatan udara. Apa kerja mereka jika tidak ada para insinyur yang membuat benteng, peta, artileri, senapan, kapal perang, dan pesawat tempur? Bahkan ketika orang-orang sibuk mencari uang, sebenarnya siapa sih yang membuat uang? Mesin cetak, perkebunan abakus, dan tinta. Siapa yang membuat itu semua? Insinyur-insinyur.

Jadi jelaslah menurut Alfonso bahwa insinyur-lah yang bisa mengubah nasib bangsa ini secara nyata. Membasmi krisis energi dan pangan dan pada akhirnya memandirikan bangsa secara ekonomi. Memperbaiki sistem transportasi dan tata kota sehingga permasalahan sosial urban dapat diminimalisasi. Membuat alutsista canggih sendiri sehingga kedaulatan bangsa terjunjung tinggi. Mendirikan industri berbasis sumber daya lokal sehingga profit yang didapat besar dan digunakan untuk biaya pendidikan rakyat sehingga makin banyak rakyat yang terdidik untuk pembangunan nyata.

Dan tempat mana lagi paling cocok untuk mencetak insinyur-insinyur yang bisa melakukan hal-hal itu, selain di kampus berjudul institut teknologi ini? Yang dari semua segi memang terbaik pada bidangnya di negeri ini? Jadi kenapa harus malu mengakui bahwa di sinilah tempatnya putra-putri terbaik bangsa menuntut ilmu?

Kecuali jika hal itu tidaklah lagi benar. Jika yang menuntut ilmu di sini bukanlah lagi putra-putri terbaik bangsa. Benarkah?

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya


Patriot-patriot negara memberikan tubuh dan darah mereka sebagai batu bata penyusun istana kemerdekaan. Tank-tank dan senapan mesin Belanda, bayonet dan samurai Jepang, tidak menggentarkan mereka. Bagaimana dengan pejuang-pejuang kemerdekaan versi Alfonso zaman ini, yaitu para mahasiswa teknik, termasuk dirinya sendiri? Alfonso pun mulai menghitung daftar hal-hal yang ditakutinya.

Angin dingin pagi hari kota Bandung. Ketakutan ini membuatnya seringkali meringkuk tenang di dalam selimutnya sementara wekernya sudah berbunyi tujuh kali untuk memanggilnya agar segera bangun dan berangkat kuliah. Akibatnya sudah tak terhitung berapa puluh kelas pagi yang ia lewatkan.

Gengsi dan ketakutan untuk mendapat nilai nol sendirian sementara teman-temannya mendapat nilai bagus. Ketakutan ini membuatnya sering memodifikasi tugas dan laporan karena semua orang kebanyakan melakukannya. Daripada tidak mengumpulkan? Yah, sebenarnya Alfonso tahu kalau hal ini bisa diatasi jika ia mengerti betul materi tugas dan laporan dengan belajar sungguh-sungguh, tapi apa mau dikata bahwa salah satu ketakutan lain Alfonso adalah takut...

Mengorbankan waktu(istirahat dan main)nya untuk memahami materi-materi kuliah. Sebenarnya sebuah perbuatan yang sangat tidak mahasiswa sekali.

Dengan melihat diri sendiri saja dan segala ketakutannya, Alfonso dapat menyimpulkan bahwa memang tidak semua yang kuliah di Institut Teknologi Bandung ini merupakan putra-putri terbaik bangsa.

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah


Alfonso teringat cerita yang pernah dituturkan salah satu dosennya tahun lalu. Saat itu di kelas, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja menceritakan kepada seluruh kelas tentang salah seorang mahasiswa bimbingannya yang berkewarganegaraan Vietnam. Si mahasiswa ini, menurut Pak Tatang, berkata dengan berani kepadanya:

"Pak, saya yakin Vietnam dalam beberapa tahun lagi akan lebih maju dari Indonesia. Kami kerja lebih keras. Di mana-mana semua orang kerja keras. Bahkan orang miskin kami kerja lebih keras dari orang miskin Bapak."

Alfonso termasuk salah satu dari orang-orang yang panas mendengar cerita itu. Seseorang yang negaranya hancur total tahun 70an akibat perang, yang negaranya tertinggal 30 tahun dari Indonesia yang memiliki keunggulan SDA dan SDM jauh lebih banyak? Namun selain panas, hatinya perih juga kalau itu memang benar. Mungkin si Vietnam itu ingin menambahkan juga, namun tidak enak jika didengar rekan-rekannya: "Dan mahasiswa-mahasiswa kami kerja lebih keras dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia!".

Tidak, batin Alfonso. Ia tidak mau kalah. Ia teringat ucapan salah seorang seniornya di ITB ini. Seniornya yang 85 angkatan lebih tua darinya.

"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera, agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari; bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli; bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Dan seniornya itu, setelah lulus dari ITB, telah membuktikan kata-kata itu. Di bawah pimpinannya, bangsa Indonesia melangkah ke arah jajaran bangsa-bangsa terdepan dunia. Sayang langkah itu terhenti. Dan bahkan sempat mundur.

Dan Alfonso berangan-angan dengan sumber daya Indonesia yang melimpah, dikombinasikan dengan bidang ilmu yang ditekuninya, teknik kimia, apa yang bisa dilakukan?

Ia tidak mau kalah dengan Brasil yang menjual etanol di setiap SPBU di seantero negeri itu, dan dengan demikian menghilangkan ketergantungan akan keberlangsungan negaranya terhadap situasi politik yang mengelilingi ladang-ladang minyak Timur Tengah. Ia tidak mau kalah dengan RRC yang, karena diembargo, telah memproduksi sendiri seluruh katalis untuk industri kimianya, yang menghemat devisa negara hingga berjuta-juta dolar Amerika. Merekalah contoh bahwa negara-negara berkembang bisa selangkah menuju ke arah kemajuan dengan teknik kimia, dan Alfonso berharap Indonesia akan menjadi contoh pula.

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya


Alfonso tahu tingginya harapan terhadap mahasiswa ITB. Terhadap para calon insinyur, ilmuwan, dan seniman terbaik bangsa. Betapa tingginya citra mahasiswa ITB di hadapan rakyat kecil.

"Mau ke ITB mas? Bikin motor yang irit bensin ya mas ntar." Begitu kata salah seorang tukang ojek tetangga Alfonso empat tahun lalu. Saya mau kuliah teknik kimia, bukan teknik mesin, bang, gumam Alfonso dalam hati, namun ia menyadari itulah bentuk ekspektasi masyarakat.

Dan Alfonso tahu bahwa harapan masyarakat terhadap mahasiswa sebuah institut teknologi tidaklah cukup dipenuhi dengan mendemo pemerintah yang korup, dengan romantisme dan kata-kata. Namun dengan menyadari bahwa para insinyur-lah ujung tombak pembangunan. Dengan mengembangkan energi alternatif dan menyelesaikan krisis pangan. Dengan mengembangkan semua produk barang (dan hampir semua barang kebutuhan masyarakat adalah hasil industri) bebas impor. Bahkan kualitas ekspor.

Alfonso melihat kembali ke arah spanduk itu. SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA. Dan tiba-tiba ia terhenyak menyadari apa makna pergantian kata TERBAIK menjadi HARAPAN pada spanduk penyambutan tersebut.

Ia dan banyak teman-temannya merasa bangga menjadi putra-putri terbaik bangsa. Alfonso hanya berharap bahwa mereka benar-benar tahu arti kebanggaan tersebut. Bahwa selain menjadi yang TERBAIK, merekalah juga HARAPAN bangsa ini. Bahwa mereka disubsidi pendidikannya oleh duit rakyat bukan untuk lari ke Amerika. Bahwa setelah mereka menapakkan kakinya di Bumi Ganesha mereka bukan hanya milik orangtua mereka namun telah menjadi milik ibu pertiwi. Bahwa rakyat rindu bukan hanya melihat mereka membantu pengolahan migas negara di perusahaan-perusahaan asing, namun juga mengembangkan teknologi pengilangan minyak canggih versi Indonesia. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya keluarga mereka, ingin makmur juga.

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya


Lima tahun lagi keyakinan ini akan diuji, pikir Alfonso. Di saat ibuku sudah tua dan pensiun, di saat adikku masuk kuliah, di saat anakku baru lahir mungkin...

"HEI!!!"

Teriakan itu membuyarkan lamunan Alfonso. Sedetik kemudian Alfonso sudah mulai memaki-maki temannya yang mengagetkannya itu.

"Dari mana aja lu? Gua udah jamuran dari tadi nungguin lu pada! Mana yang laen?"

"Yeee!!! Ini baru jam 5:32, kan kita janjian setengah enam, baru juga telat dua menit, lu ngapain aja dari tadi? Pasti kebanyakan ngelamun ya? Dasar lu mah... Tuh yang laen udah pada di mobil."

Alfonso menggelengkan kepala. Benar-benar, ia kebanyakan melamun. Untuk menghindari rasa malu, ia bertanya "Kita mau ke mana sampai jam berapa? Gua gak bisa sampe malem nih, besok pagi mau mulai ngerun penelitian..."

"Duh, tau deh yang sekarang lagi S2... yaudah gampang dah itu mah, sekarang cabut dulu lah!"

Alfonso mengangkat bahu dan bangkit berdiri, melangkahkan kakinya. Nggak apa-apa sesekali senang-senang, pikirnya. Yang penting bisa bagi waktu. Dan berarti besok pagi ia sudah harus berada di lab pilot untuk menapak selangkah lebih maju menuju pembuatan pabrik enzim yang pertama di Indonesia.



Ipang BIP ft. Ridho Slank - Jadilah Juara

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya



.

Rabu, 16 September 2009

Pertemuan dengan Sang HIMATEK Ideal

DISCLAIMER: Tokoh-tokoh yang ada di cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jikalau ada kesamaan nama, sifat, maupun apapun dengan seseorang, hal itu di luar kehendak sang pengarang.

"Wah, apa ini? HIMATEK Notes Attack?"

Alfonso melihat layar laptopnya dengan tertarik. Saat itu ia sedang menjelajah group HIMATEK di Facebook, dan tiba-tiba saja ia masuk ke sebuah diskusi tentang HIMATEK Notes Attack.

"Lomba nulis notes fesbuk... Tema:... 3. Kutemukan cinta di HIMATEK... Pemenang favorit... voucher warung HIMATEK sebesar 60rb rupiah... WOW."

Alfonso pun langsung membuka MS Word 2007-nya, dan mulai mengetik. Jari-jarinya meluncur cepat di keyboard laptopnya, melahirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Mudah sekali ide mengalir dari hati ke otak, dari otak ke jari, dari jari ke keyboard, dari keyboard ke layar... Di layar bermunculan ungkapan-ungkapan tentang HIMATEK, tentang tujuan HIMATEK, tentang apa gunanya HIMATEK bagi mahasiswa, tentang apa hebatnya HIMATEK sehingga pantas untuk dicintai, tak lupa kritikan bagi mereka yang seakan sudah melupakan apa arti berhimpunan dan tentu saja ajakan bagi semua orang untuk lebih mencintai HIMATEK. Alfonso tidak berhenti begitu saja. Dentang jam tengah malam berkumandang mengiringi suara hantaman jari ke keyboard yang tanpa henti. Dan Alfonso terus mengetik. Sambil menyeka peluh yang bercucuran di dahi, dan cileuh yang bermunculan di kelopak mata.

Dan akhirnya jadilah sudah notes dari Alfonso. "Aku Cinta HIMATEK".

"Ctrl+C... Masuk ke facebook, notes... Ctrl+V... POST. Tag si ini, si itu, si anu, dll..."

Selesai sudah, pikir Alfonso, dan ia pun tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Tombol Turn-Off di layar laptopnya pun telah ia klik. Alfonso pun bangkit dari kursinya, hendak melemparkan badannya ke kasurnya yang empuk. Namun perhatiannya segera tertuju pada pintu kamarnya, Ada sesosok tubuh sedang berdiri di muka pintu kamarnya, membelakangi dirinya.

Sosok itu seperti seseorang yang sudah dikenalnya, namun Alfonso tidak bisa mengingat siapa dia. Orang itu memakai jaket hitam yang amat dikenali Alfonso: jaket Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia, dengan dua strip putih di lengan kanan.

"Selamat malam, Alfonso." katanya dingin. Alfonso merasakan ada nada sinis dalam salam orang asing ini.

"Siapa kau? Mau apa kau di sini?" tanya Alfonso tajam.

"Kau boleh memanggilku apa saja yang kau mau, tapi orang-orang biasa memanggilku Sang HIMATEK Ideal..." jawab sosok itu. "... meskipun aku sendiri tidak terlalu suka dipanggil dengan nama itu. Aku belum menyumbang banyak untuk HIMATEK... namun setidaknya lebih banyak dari kebanyakan 'anggota'nya... Kau boleh menganggapku personifikasi dari orang-orang seperti itu."

"Lalu mau apa kau kemari?" Alfonso mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih hati-hati.

"Mengomentari notes yang kau tulis untuk HIMATEK Notes Attack." jawab Sang HIMATEK Ideal. Tegas, tajam, dan dingin. Alfonso hanya bisa terdiam, terkejut dan tak bisa memikirkan respon apapun atas pernyataan yang tiba-tiba ini. Sang HIMATEK Ideal melanjutkan kata-katanya.

"Merasa layakkah kau menulis hal-hal yang kau telah tulis di notes itu, Alfonso?" ucap Sang HIMATEK Ideal, diiringi tawa pendek yang jelas mengejek. "Kau terlalu banyak bermimpi."

Alfonso menjawab dengan sengit. "Setiap orang boleh dan berhak bahkan wajib punya mimpi!"

"TIDAK jika mimpi itu TIDAK untuk dijalankan!" bentak Sang HIMATEK Ideal. Alfonso terhenyak.

"Selama ini kau terlalu banyak berteori, Alfonso. Kau punya harapan yang seabrek untuk HIMATEK yang kau cintai ini, tapi mana kapabilitasmu untuk membuktikannya? Mana kemampuanmu untuk menjadikan HIMATEK yang kau cintai ini sesuai dengan harapanmu? Tidak ada kan? Nihil? Nol? Harapanmu itu harapan palsu, harapan kosong!!!"

Alfonso terdiam.

"Retorika, Alfonso, retorika. Berapa banyak argumenmu tentang HIMATEK yang kau ungkapkan kepada orang-orang namun gagal kau realisasikan, atau kau tidak tahu cara merealisasikannya. Aku tidak pernah berkoar-koar tentang harapanku untuk HIMATEK, aku MELAKUKANNYA. Dan jika aku melakukannya pasti aku MEWUJUDKANNYA. Aku kerja nyata, Alfonso, tidak seperti kamu."

"Kamu tidak pernah berbuat apa-apa untuk HIMATEK. Tidak pernah menyumbangkan sesuatu apapun yang berarti untuk HIMATEK. Sekarang kamu ingin menguliahi teman-temanmu tentang kecintaan terhadap HIMATEK? Sedangkan aku yang telah berbuat ini itu, jauh lebih banyak darimu di HIMATEK, tidak pernah sebegitunya melakukan hal itu? Sejauh apa kau cinta HIMATEK, sejauh apa kontribusimu di HIMATEK, Alfonso?"

Untuk hal ini, Alfonso tidak bisa berdiam diri.

"Aku representasi HIMATEK di badan tertinggi KM-ITB! Sebagai seorang HIMATEK ideal tentunya kau tahu bahwa jabatan itu tidak main-main!"

"Selevel Kahim, eh?" balas Sang HIMATEK Ideal dengan cepat dan menyayat. "Ya, jika ini sistem KM-ITB yang ideal, Alfonso. Kau diharapkan menyangga beban berat untuk menyampaikan aspirasi 300an anggota HIMATEK yang peduli akan kinerja Kabinet dan Tim MWA. Namun sayangnya, massa HIMATEK tidak banyak yang peduli akan hal-hal itu. Kinerjamu jadi terabaikan. Dapat kukatakan, kerjamu mudah sekali sebagai Senator sekarang ini. Datang, duduk, diam, pulang. Persis anggota DPR."

"Tapi aku tidak seperti itu!!!" teriak Alfonso.

"Tapi lihatlah betapa mudahnya. Yang penting daftar absen penuh, karena massa HIMATEK hanya dapat mengukur itu dari kinerja Senator. Hanya daftar hadir. Tidak ada yang marah karena aspirasi mereka bertentangan dengan apa yang Kabinet kerjakan. Tidak ada yang menyalahkanmu karena gagal menyampaikan aspirasi mereka, yang bertentangan dengan apa yang Kabinet kerjakan. Tidak ada yang peduli jika kau datang rapat dengan pandangan kosong dan hanya diam termangu."

"Dan kau gagal di masa jabatan pertamamu, Alfonso. Gagal. Nama HIMATEK tercoreng karena kau bolos rapat hingga sebulan. Karena kau malas. Dan tidak siap menerima amanah sebesar Senator."

"Dan sayangnya, kontribusi 'besar'mu di HIMATEK hanya sebagai Senator, Alfonso. Untuk keadaan HIMATEK seperti ini, Senator yang baik haruslah mampu memasyarakatkan KM-ITB kepada anggota-anggotanya. Apa kontribusimu dalam hal itu, Alfonso?"

"Tidak semuanya itu salahku!" protes Alfonso.

"Tapi itu bagian kesalahanmu juga, dan porsimu tidak kecil." balas Sang HIMATEK Ideal. "Itu sebagian saja dari kesalahanmu, Alfonso. Masih ada banyak. Akan kuuraikan."

"Kau berkata-kata tentang tujuan HIMATEK. Beranikah kau mengakui bahwa sebenarnya kau baru mendengar dan mengetahui tujuan HIMATEK itu waktu Kahim berorasi di depan calon angkatan termuda di lapangan basket saat kaderisasi?"

"Kau mengajak teman-temanmu datang ke forum-forum HIMATEK dan tidak melakukan apa-apa selain ngobrol. Aku tidak mengajak teman-temanku di muka umum, namun aku DATANG dan BERKONTRIBUSI. Tidak seperti kamu, Alfonso."

"Kau berkata-kata tentang bagaimana seharusnya anggota HIMATEK bersikap. Aku tidak pernah berkoar-koar tentang bagaimana anggota HIMATEK harus bersikap. Tapi aku terlibat aktif di semua kepanitiaan yang kuikuti. Tidak seperti kamu Alfonso. Tiap rapat anggota, rapat divisi, bahkan kuliah, aku datang tepat waktu. Tidak seperti kamu Alfonso. Tiap kuliah aku tidak pernah titip absen. Tiap labtek aku tidak pernah rekdat. Tugas kuliah kubuat sendiri, tidak menyalin. Tidak seperti kamu Alfonso. Jika HIMATEK butuh solusi, aku beri solusi konkrit dan aplikatif. Tidak seperti kamu Alfonso. IPKku masih jauh di atas cukup untuk Cum Laude, tidak seperti kamu Alfonso."

Alfonso hanya menunduk. Semua yang dikatakan Sang HIMATEK Ideal itu benar adanya.

"Tahu orang Farisi, Alfonso? Kaum munafik di negeri Israel zaman dahulu kala. Kaum yang selalu menekuni kitab Taurat tapi tidak pernah melakukannya. Kaum omdo. Omong doang. Itulah kau, Alfonso."

"CUKUP!!!!!!" teriak Alfonso. Sang HIMATEK Ideal terus melanjutkan pidatonya tanpa mempedulikan protes Alfonso.

"Kau terlalu banyak bicara. Aktiflah bergerak membangun HIMATEK jika kau mencintainya. Seperti aku yang telah memberikan ini itu untuk HIMATEK. Aku terbukti menjadi orang yang bisa HIMATEK andalkan. Karena aku cinta HIMATEK. Kau, mau mengaku cinta HIMATEK? Hanya dengan mulutmu saja, Alfonso. Cintamu itu cinta palsu. Omong kosong."

Alfonso tertunduk. Tersungkur. Gemetar. Menangis.

"Itu memang benar adanya, wahai Sang HIMATEK Ideal..." desis Alfonso dengan lirih. "Kau sempurna. Kontribusiku untuk HIMATEK memang tidak seberapa. Sifatku sebagai kader HIMATEK pun jauh dari sempurna. Bahkan bukan termasuk golongan yang terbaik. Dibandingkan denganmu, aku bukan apa-apa. Meskipun begitu..."

Hening sejenak.

"Meskipun begitu, untuk mengatakan bahwa cintaku terhadap HIMATEK adalah palsu... KAU TELAH MELEWATI BATAS!!!" teriak Alfonso sambil bangkit berdiri tegak. Tatapan matanya yang marah menghunjam jaket HIMATEK di punggung Sang HIMATEK Ideal.

"Kau tidak berhak." gumam Alfonso, pelan. "Kau tidak berhak mendefinisikan CINTA!" teriak Alfonso ke arah punggung Sang HIMATEK Ideal.

"Aku memang bukan HIMATEK Ideal. Aku HIMATEK Ampas. IPKku tidak cum laude. Kelakuanku buruk. Pemikiranku tidak semaju rekan-rekanku yang lain. Aku tidak rajin, tidak ulet, tidak jujur, tidak teliti, aku punya banyak kekurangan. Aku iri padamu, Sang HIMATEK Ideal. Aku ingin berkontribusi lebih sepertimu. Ingin bisa membagi waktu sebaik kau. Ingin bisa belajar dan berorganisasi seiringan dengan hasil baik bagi keduanya. Aku ingin memiliki pemikiran-pemikiranmu yang jitu. Kharismamu yang membuat engkau mudah mengendalikan teman-temanmu menuju HIMATEK ideal versi dirimu."

"Tapi apakah aku tidak boleh mengekspresikan kecintaanku dengan kata-kata? Aku memang tidak mampu berbuat lebih dari kata-kata. Tapi inilah caraku untuk mengungkapkan kecintaanku bagi HIMATEK. Dan dengan kata-kata pula aku mengajak teman-temanku untuk mencintai HIMATEK. Karena aku sendiri pun cinta akan HIMATEK."

"HIMATEK, yang telah memberikan kepadaku kepercayaan pertama seumur hidupku sebagai Penanggung Jawab sesuatu. Meskipun itu hanyalah PJ name tag saat kaderisasi."

"HIMATEK, yang membuat aku merasa bisa menyelesaikan pekerjaan dalam sebuah organisasi untuk pertama kalinya dalam hidupku. Meskipun itu hanyalah sebuah Analisis SWOT Angkatan."

"HIMATEK, yang telah memberikan kepadaku jabatan struktural pertama pada sebuah kepanitiaan. Meskipun itu hanyalah Koordiv Lapangan pada sebuah wisudaan, dengan anggota divisi tidak lebih dari 5 orang."

"HIMATEK, yang mengenalkanku dengan rekan-rekan, kakak-kakak, dan adik-adik tingkat yang merupakan manusia-manusia berkualitas. Meskipun itu diawali hanya dalam bentuk KINKAT, MEKFLU, EKSPANDER, dan BURNER."

"HIMATEK, yang telah memberikan pengalaman pertama dalam hidupku untuk berbicara di depan umum dalam tekanan, pada saat hearing calon Senator 2008/09."

"HIMATEK, yang menyerahkan kepadaku mandat terbesar yang pernah kuterima dalam 21 tahun hidupku: membawa suara dan pikiran 300an jiwa manusia ke Kongres KM-ITB."

"HIMATEK, yang mengajarkan efisiensi dan efektivitas rapat. Etos kerja. Kejujuran."

"HIMATEK, yang mengubah orientasiku masuk kampus ini dari sekadar cari jurusan bergengsi yang murah, menjadi semangat untuk membalas budi pada rakyat Indonesia dengan memajukan negara."

"HIMATEK telah memberi terlalu banyak untukku. Apa yang telah kuberikan kepadanya? Tapi kau lupa, hai Sang HIMATEK Ideal, bahwa HIMATEK pada hakekatnya adalah sebuah wadah. Wadah yang tidak bisa memberi, tapi bisa menjadi alat bagi kita untuk berkembang."

"Tanpa HIMATEK aku bukanlah apa-apa, hai Sang HIMATEK Ideal. Berbeda denganmu. Mungkin tanpa HIMATEK IPKmu masih akan cum laude. Mungkin tanpa HIMATEK skill organisasimu akan tetap tinggi. Mungkin tanpa HIMATEK kau akan tetap bisa bergaul. Mungkin tanpa HIMATEK kau akan tetap hebat. Akan tetap kritis. Akan tetap cerdas. Akan tetap ideal."

"Tapi aku, aku yang bukan apa-apa. HIMATEK telah memberi terlalu banyak. Dan itulah yang akan terus kukejar. Aku cinta HIMATEK sebagai wadah. Maka akan kuberdayakan ia sebagai wadah. Aku akan terus belajar di dalamnya. Dibentuk di dalamnya. Dan sebagai bukti kecintaanku, akan kuumumkan kepada dunia nanti jika aku telah menjadi manusia yang berguna dan berandil untuk orang lain: bahwa di TEKNIK KIMIA ITB ada sebuah wadah bernama HIMATEK, yang dapat mengubah bukan siapa-siapa seperti aku menjadi seorang siapa-siapa!!!"

Sang HIMATEK ideal melangkah mundur, mendekati Alfonso. "Alfonso, sayang sekali..."

"Aku tahu kau masih memiliki sejuta protes untuk argumenku." potong Alfonso. "Lagipula kau adalah Sang HIMATEK Ideal. Argumenku tadi tentu mudah kaulawan. Maka akan kupertegas. Aku akan meningkatkan aktivitas dan kontribusiku di HIMATEK, aku akan menjadi kader yang HIMATEK banggakan, dan selagi aku melakukannya, kau boleh diam dan lakukan bagianmu. Dan ini salam perpisahan untukmu, sekaligus ucapan terima kasih..."

Alfonso mengayunkan tinjunya ke arah kepala Sang HIMATEK Ideal. Sang HIMATEK Ideal menghindar. Alfonso secara refleks kemudian menarik jahim Sang HIMATEK Ideal.

GUBRAK.

Alfonso terbanting. Ia jatuh dari kursi. Tangan kanannya teracung ke atas, memegang jahim dengan namanya sendiri. Ia segera bangkit dan membetulkan letak kursinya. Matanya terarah ke layar laptopnya yang masih menyala. Di sana ada jendela MS Word 2007 yang masih terbuka, di dalamnya ada sebaris tulisan "Karangan untuk HIMATEK Notes Attack" dan selebihnya kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul satu malam.

"Rupanya aku ketiduran sebelum sempat mulai menulis." gumam Alfonso.

Ia menggosok-gosok kepalanya yang terbentur tadi, kemudian mematikan laptopnya. Ia memutuskan untuk menunda penulisan notes itu untuk saat dia bangun pagi nanti. Lagipula, ia sudah tahu pasti apa yang akan ia tulis.


.

Selasa, 15 September 2009

Siapakah Orang "Indonesia Asli"?


Peta Kedatangan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Nenek moyang bangsa Indonesia, secara teoritis, berasal dari tempat yang sekarang bernama Provinsi Yunnan di Republik Rakyat Cina, melalui migrasi ribuan tahun lalu. Penduduk asli Kepulauan Indonesia saat itu yaitu ras Austromelanesoid tergusur oleh keberadaan nenek moyang bangsa Indonesia saat ini dan terdesak ke Irian. Berdasarkan waktu kedatangannya, para imigran tersebut dibagi dua:

1. Proto Melayu
Orang-orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang melalui dua jalur:
a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong.
b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Batak, Dayak, dan Sasak (Lombok).

2. Deutero Melayu
Orang-orang Deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu kebudayaan Dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis.

Semua yang disebutkan di atas, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi" Indonesia yang sekarang, berasal dari Cina. Namun mereka tetaplah nenek moyang bangsa Indonesia. Yang membedakan hanyalah waktu kedatangan, entah itu 2000 SM, 500 SM, atau 1000an M.
Bhinneka Tunggal Ika!

.