Sabtu, 26 Januari 2013

Biorefinery Series - Intro : A Recontemplation; My Longtime Dreams, My Nation's Future

"Biorefinery, biorefinery, biorefinery! Ia adalah angin segar untuk suatu negara mantan eksportir minyak mentah yang katanya tanahnya tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman; negaraku."

Sebenarnya topik ini sudah lama ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Sebuah gagasan yang perlahan-lahan terbentuk selama lebih dari 2,5 tahun kuliah teknik kimia, khususnya teknologi bioproses; terinspirasi oleh dosen-dosen terbaik di bidangnya; tentang kondisi dunia saat ini, tentang potensi negara kita yang lebih daripada yang lain, tentang mental rakyatnya, tentang janji lulusan ITB untuk mengabdikan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia; tentang mimpi seorang sarjana teknik yang ingin berguna, tentang mimpi sebuah bangsa yang ingin digdaya di mata dunia; tentang biorefinery.

sumber: indianagrain.com
Apa itu biorefinery? Secara kasar, menurut pembimbing tugas rancang pabrik saya dalam pembicaraan pertama kami tepat 3 tahun yang lalu, biorefinery adalah dengan bahan baku/proses biologis (sumber daya alam dari makhluk hidup; hewan/tumbuhan/dll). Biorefinery berasal dari 2 kata yaitu bio, yang menyiratkan arti sesuatu yang bersifat hidup; dan refinery, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kilang, biasanya untuk menyebut kilang minyak. Fitur khas refinery (kilang minyak) adalah satu bahan baku (crude oil) yang sebenarnya merupakan senyawa kompleks dan bermacam-macam (hidrokarbon C-1 hingga C-puluhan/ratusan), diolah dengan proses-proses yang bermacam-macam untuk menghasilkan produk yang berbeda-beda dan banyak jenisnya. Produk yang banyak jenisnya dimungkinkan karena bahan baku (crude oil) merupakan senyawa rantai karbon yang panjangnya beragam. Jika rantai ini diputus-putus kemudian disambung-sambung ulang dan disusun ulang (cracking, sintesis, reforming, treating, dll), maka senyawa apapun yang berbasis hidrokarbon dapat dihasilkan (LPG, bensin, avtur, solar, aromatik, minyak berat, aspal, dll).

Biorefinery dengan demikian memiliki konsep sama dengan refinery (kilang minyak), namun bahan bakunya alih-alih crude oil, biorefinery memproses biomassa. Seperti crude oil, biomassa adalah kumpulan senyawa berantai panjang dan beragam (karbohidrat, protein, lipid, dll). Jika diputuskan (dihidrolisis, dst) dan disusun ulang (fermentasi, enzimatik, reaksi lainnya) maka dapat diciptakan senyawa-senyawa yang beragam, lebih beragam dan kompleks daripada yang dapat diciptakan di kilang minyak. Jadi ide awal biorefinery adalah semangat yang mendasari pengembangan bioteknologi industri : peralihan ekonomi berbasis sumber daya fosil (yang semakin sulit dieksplorasi dan persebarannya tak merata) kepada ekonomi berbasis sumber daya terbarukan/biomassa.

Ya, terkait unhealthy reliance pada migas/fosil ini memang terkesan repetitif, sudah pernah saya bahas sebelumnya dalam sebuah presentasi untuk PPAB HIMATEK, namun saya merasa perlu untuk menuliskannya lagi. Seperti kita ketahui bersama, dunia saat ini sangat tergantung pada material fosil (minyak dan gas alam) untuk diolah menjadi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Berikut adalah daftar ketergantungan kita terhadap material fosil:

- Energi. Hal terpenting dalam masyarakat modern. Produk utama migas adalah energi. Bensin untuk sebagian besar kendaraan pribadi dan umum, solar/diesel untuk kendaraan berat, mesin-mesin, dan industri, batubara dan gas alam untuk pembangkit listrik. Tanpa energi fosil, tidak akan ada industri. Tidak akan ada konstruksi bangunan-bangunan besar, atau pertambangan logam besar. Tidak akan ada transportasi antarbenua. Tidak akan ada jaringan komunikasi global. Tidak akan ada peradaban dunia modern.

- Material. Plastik, salah satu material terpenting dalam kehidupan kita saat ini, berasal dari pemrosesan minyak bumi. Bayangkan apa jadinya dunia ini jika tidak ada plastik? Aspal, yang tanpanya tak akan ada sebagian besar transportasi darat, juga berasal dari minyak bumi.

- Pangan. Khususnya di Indonesia, ketergantungan petani akan pupuk sudah sedemikian besarnya sehingga kebutuhan pangan tidak akan tercukupi jika lahan pertanian dan perkebunan tidak dipupuki sedemikian jumlahnya. Dan bahan baku utama pupuk adalah gas alam.

Dapat kita lihat bahwa dunia saat ini nyaris bergerak 100% karena sumber daya fosil tak-terbarukan ini. Di setiap negara, di setiap wilayah, semua membutuhkannya. Namun, lihatlah data ini..

diambil dari presentasi Teknik Kimia: Wawasan Energi Terbarukan Nasional, untuk PPAB HIMATEK tahun 2011
Sumber daya migas ini tidak merata persebarannya. Cadangan sumber daya yang teramat pentingnya, hanya dikuasai segelintir entitas saja. Yang mampu mendapatkannya dengan demikian hanyalah si negara penghasil, atau negara kaya yang mampu membelinya. Dengan demikian yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin (karena tidak mampu berkembang, sedangkan pembangunan itu tergantung sekali dengan energi), belum lagi akan terjadi perang untuk perebutan sumber migas. Jika saya di sini membahas geopolitik internasional yang sejak dulu berputar pada perebutan sumber energi (lahan peternakan untuk kuda/penarik gerobak, perang untuk perdagangan budak, dan barulah ketika minyak bumi ditemukan, sumber minyak.... pelumpuhan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor dalam Perang Dunia II, adalah strategi Jepang untuk secepat-cepatnya menguasai Tarakan di Indonesia untuk bahan bakar mesin-mesin perangnya!) maka akan habis satu artikel sendiri.

Selain itu, ditilik secara ekonomi, jika kita melihat bahwa cadangan minyak yang mudah diambil juga akan semakin sedikit, makin lama minyak bumi akan makin sulit diperoleh (bukan habis!). Sulitnya pengambilan akan berujung pada naiknya biaya operasi, dan dengan demikian naiknya harga jual, hingga satu titik di mana penggunaan minyak bumi sudah tidak ekonomis dan tidak layak lagi. Jika demikian, haruskah dunia berakhir ketika penggunaan sumber daya fosil ini sudah tidak dimungkinkan lagi?

Meskipun kelak zaman akan mengarahkan kita untuk beralih dari (atau tidak lagi menggunakan) sumber daya fosil, kebutuhan manusia akan produk-produk turunan fosil tetap akan ada; maka untuk mengatasinya, produk-produk tersebut harus tetap diproduksi, namun dengan bahan baku alternatif yaitu biomassa! Biomassa adalah masa depan kita, yang menjamin peradaban modern berbasis migas akan tetap ada. Seperti kata seorang dosen saya, zaman batu bukan berakhir karena batu habis. Demikian pula zaman migas bukan berakhir karena migas habis.

Sumber: biochar.org
Energi dari biomassa sangatlah luas bentuknya: bioetanol dan biodiesel generasi pertama, maupun bensin dan minyak diesel buatan dari biomassa yang sama persis dengan bensin dan solar hasil kilang minyak; listrik yang dihasilkan dari pembakaran biomassa; biogas dan syngas hasil gasifikasi biomassa untuk menggantikan gas alam... Biopolimer untuk menggantikan plastik, karet alam dan polimer alam untuk menggantikan karet sintetis dan material-material hasil petrokimia lainnya... Pupuk organik dari limbah kebun yang lebih sehat secara neraca massa dibandingkan pupuk buatan pabrik... Belum lagi obat-obatan, vitamin, kebutuhan pangan, antibiotik, dan produk-produk berorientasi peningkatan dan penyelamatan kehidupan manusia lainnya, yang tidak dapat diproduksi di kilang minyak. Tidak perlu lagi saya bahas bahwa negara kita yang begitu kaya akan sumber daya alam baik secara kuantitas maupun kualitas, akan mampu menjadi pemain besar di dunia masa depan... itu juga akan memakan satu artikel tersendiri.

Biorefinery, biorefinery, biorefinery! Ia adalah angin segar untuk suatu negara mantan eksportir minyak mentah yang katanya tanahnya tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman; negaraku.

Sewaktu kuliah dulu, di sub program studi teknologi bioproses, saya pernah bercita-cita kelak ingin membuat suatu entitas/perusahaan yang bergerak di bidang implementasi teknologi-teknologi khususnya bioproses untuk mengolah sumber daya alam negara ini. Salah satu dosen saya menanamkan kepada saya dalam kuliah-kuliahnya dari dulu hingga sekarang dalam interaksinya dengan saya di perusahaan sebagai tenaga ahli, akan betapa kayanya alam negeri ini, betapa baik mutu (bukan hanya jumlah) sumber daya alamnya dan tiada bandingnya di negara lain. 2,5 tahun lebih di sub program studi teknologi bioproses saya diajarkan bahwa sumber daya alam itu dapat diberi nilai tambah berlipat-lipat sangat dengan pemrosesan secara biologis. 2,5 tahun pula saya meneliti bagaimana mendapatkan enzim amilase murah untuk industri biofuel etanol Indonesia yang lebih kompetitif, 3 bulan mendalami prarancangan pabrik untuk mengolah sumber daya alam asli Indonesia yang terabaikan menjadi bernilai tambah menggunakan teknologi bioproses, dan selama 1 tahun terakhir ini bekerja di sebuah perusahaan yang mendalami khususnya pemberian nilai tambah pada sumber daya alam Indonesia dengan kajian dan perancangan untuk pengolahan skala industrial.

Sekitar sebulan yang lalu, di tengah kesibukan deadline pekerjaan, saya sempat berdiskusi dengan salah satu sesama alumni yang sekarang sedang mengambil pendidikan pascasarjana di luar negeri. Dalam diskusi via dunia maya itu, kawan ini sempat menceritakan tentang keinginan dia kembali ke Indonesia dan menerapkan ilmu/teknologi yang telah ia pelajari di luar negeri, namun juga timbul pertanyaan tentang apakah teknologi (bioproses) tersebut dapat diterapkan di Indonesia. Ketika itu saya menjadi teringat kembali: ya, mengapa teknologi yang berpotensi besar menaikkan derajat bangsa ini, belum sepenuhnya dikembangkan di Indonesia?

Pertanyaan itu menghantui pikiran saya terus, sampai saya memutuskan untuk mengambil cuti satu hari dan bergegas pergi ke Bandung untuk menemui seorang profesor di Teknik Kimia ITB. Dalam diskusi yang berlangsung selama sekitar setengah jam kami berbincang-bincang tentang banyak hal: apa hambatan terbesar pengembangan teknologi bioproses di Indonesia; bagaimana riset di Indonesia seharusnya adalah kunci pembangunan namun tidak dapat disinergiskan antara pemerintah, akademisi, dan pemilik modal; bagaimana pergeseran nilai universitas-universitas dari pemberi dampak dan solusi menjadi sekedar menara gading; kesalahan manajemen sumber daya alam oleh rezim pemerintahan terdahulu; ancaman tidak terpenuhinya potensi segudang negeri ini; namun tak lupa juga secercah harapan yang harus dieksekusi oleh generasi penerus, jika tidak maka mungkin semuanya akan terlambat....

Saya pulang dengan tekad, bahwa bangsa ini harus saya jadikan mandiri! Mandiri dengan sumber daya alamnya, dengan pengolahan yang cerdas, dengan biorefinery! Mungkin memang kebetulan, setelah itu saya berdiskusi dengan salah satu kawan saya yang lain, yang juga lulusan Teknik Kimia ITB dan saat ini merintis karir sebagai insinyur di industri-industri sekitar Surabaya, Jawa Timur. Dari situ saya mendapat kabar bahwa di Indonesia ini sudah ada sebuah biorefinery yang mampu memanfaatkan satu sumber daya alam tanpa sisa, tanpa limbah, semuanya berguna: Wilmar dan biorefinery sawit-nya di Gresik, salah satu biorefinery terbesar dan tercanggih di kawasan ini. Ya, kita bisa, dan kita akan lakukan lebih dari ini. Dan kemudian secara kebetulan lagi, saya diizinkan untuk mewakili perusahaan dalam Regional Conference on Biotechnology di Bandung, yang bertemakan Biotechnology for Biorefinery. Apa yang saya dapat di situ mempertegas kesimpulan pertemuan saya dengan profesor tadi, untuk mensinergiskan riset dan industri, mendayagunakan potensi negara, dan segera mengeksekusinya.

Demikianlah awal mula motivasi pembuatan rangkaian tulisan mengenai biorefinery ini. Tulisan ini akan terdiri dari 3 bagian (karena panjangnya); yaitu bagian intro yang seperti bisa dibaca di atas berisi sebagian besar perenungan pribadi saja dari saya, bagian 1 yang berisi ringkasan wawancara saya dengan profesor tanggal 4 Januari 2013, dan bagian 2 yang berisi ringkasan dari Regional Conference on Biotechnology tanggal 23-24 Januari 2013.



Indonesia,
25-26 Januari 2013

Special credits to:
Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja
Dr. Ukan Sukandar
Dr. Mubiar Purwasasmita
Prof. Dr. Tjandra Setiadi 
Dr. I Gede Wenten
Dr. Retno Gumilang Dewi 
Dr. Ronny Purwadi
Ir. R. Hikmawan Wargakusumah 
Elizabeth Valentin
Julius Valenza
M. Rusydi Fatahillah