Sabtu, 24 Maret 2012

Demo

Ketika sedang istirahat, Paiman mendengar ada keributan di luar. Segera ia keluar dari rumahnya yang sederhana, dan melihat ratusan orang berbaris membawa poster, pengeras suara, obor, batu, dan golok.

"Apa-apaan ini?" teriak Paiman.

"Kami sedang demo, Pak!" jawab seorang dari kerumunan tersebut. "Ayo ikut kami!"

"Memangnya apa yang kalian demo?" tanya Paiman.

"Demo kepada pemerintah agar memberi rumah, Pak!" jawabnya. "Ini semua perkumpulan orang-orang yang tidak punya rumah. Ayo Pak, bergabung bersama kami! Tunjukkan kepedulian Bapak!"

"Lho, mengapa saya harus ikut?" tanya Paiman. "Wong saya sudah punya rumah kok!"

Orang yang memegang obor itu melemparkan obornya ke rumah kecil Paiman. Dalam sekejap api berkobar membakar rumah itu dan seluruh isinya.

"Sekarang jadi tidak." katanya. "Ayo Pak, mari ikut kami!"

-------------------








"Siapapun jangan kau pernah sakiti
dalam pencarian jati dirimu
dan semua yang kau impikan"
- GIGI -


Bogor, 24 Maret 2012
ditulis dengan iringan doa
semoga mereka yang berjuang untuk haknya
tidak melaksanakan perjuangannya itu
dengan diiringi perampasan hak orang lain





.

Senin, 12 Maret 2012

Balance

"Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik."
- Rasul Paulus, dalam I Tesalonika 5:21 -

"There is nothing I like less
than bad arguments for a view I hold dear."
- Daniel Dennett, filsuf Amerika -



============================

Salah satu kuliah yang paling berkesan ketika saya belajar Teknik Kimia adalah kuliah Neraca Massa dan Energi. Di dalam kuliah tersebut, saya diajar dan belajar untuk memikirkan keseimbangan. Bahwa dalam kehidupan selalu ada neraca. Bahwa jumlah yang masuk dan terbentuk, harus seimbang dengan yang keluar dan tertinggal. Bahwa pengadaan dan peniadaan harus seimbang. Bahwa derajat kebebasan harus dibuat nol, agar data dan fakta pun harus seimbang. Karena seimbang, artinya sama kuat. Dan karena sama kuat, artinya sanggup untuk saling menyokong.

Mungkin karena itu juga, saya kemudian terbiasa menjadi seorang balancer. Selalu memandang sesuatu dari kedua sisi. Selalu terbiasa menguji segala sesuatu, dan mempertanyakan semua argumen dari kedua sisi. Atau ketiga sisi. Atau keberapa sisi sajalah, sebanyak sisi yang ada.

Dan mungkin juga itulah sebabnya, banyak yang menyebut saya sebagai pengganggu keseimbangan. Selalu mengganggu zona nyaman orang, mempertanyakan hal-hal yang orang tidak ingin pertanyakan, selalu tidak pernah konsisten, dan tidak pernah sependapat dengan siapapun.

Tidak, kawan. Justru sebaliknya. Saya adalah seorang pecinta keseimbangan. Dan pecinta kesempurnaan.

Saya ingin agar tiap orang memiliki pemikiran yang benar sebenar-benarnya. Saya ingin agar orang meyakini pemikiran yang menurutnya terbaik, bukan karena dia tidak mengetahui pemikiran-pemikiran lainnya, namun justru karena dia paham betul berbagai pemikiran lainnya, dan justru dengan memahami berbagai pemikiranlah dia sampai kepada keyakinan bahwa pemikirannyalah yang paling benar. Keyakinannya itulah keyakinan seyakin-yakinnya, yang tidak goyah hanya karena datangnya fakta baru. Keyakinan yang kuat dan teruji.

Neraca Massa dan Energi, mengajarkan saya penyederhanaan. Simplifikasi masalah kehidupan menjadi terstruktur dalam diagram. Sederhana saja logika yang ingin saya katakan. Jika anda benar, jangan takut berargumen. Jika anda berargumen secara adil dan kemudian kalah, (1) akuilah bahwa anda salah atau (2) jika anda masih yakin bahwa anda benar, ubah cara penyampaian anda untuk meyakinkan orang lain.

Terserah anda memanggil saya apa. Sang pemikir. Sang penanya. Sang penguji. Sang pengacau.

Tapi saya hanya menganggap diri sebagai sang pembelajar. Yang selalu ingin tahu apa yang benar. Apa yang paling benar. Kebenaran yang bersinar terang di atas 'kebenaran-kebenaran' lainnya.


Mungkin catatan ini dibuat terlambat tiga tahun... Tiga tahun yang lalu, ketika saya masih berkutat dalam perjuangan untuk menyampaikan suara dan keinginan rakyat kepada para pemimpinnya, dan di saat yang bersamaan juga berjuang menyampaikan pandangan dan kebijakan pemimpin kepada rakyatnya, dan juga berjuang untuk yang terpenting, yaitu menyelaraskan kedua perjuangan tersebut.

Mungkin dapat menjadi pengingat bagi semua pihak yang berkepentingan, bahwa argumen dibuat untuk dipercaya oleh orang lain, bukan oleh diri sendiri.

============================


Sudirman, 12 Maret 2012
dibuat setelah mendapatkan tugas
untuk membuat neraca massa sederhana




.

Minggu, 11 Maret 2012

First They Came...


First they came for the communists,
and I didn't speak out because I wasn't a communist.

Then they came for the trade unionists,
and I didn't speak out because I wasn't a trade unionist.

Then they came for the Jews,
and I didn't speak out because I wasn't a Jew.

Then they came for me
and there was no one left to speak out for me.


======================

This is a poem, written by Martin Niemoller, priest and leader of anti-NAZI clergymen in Germany in World War II. As you may already guess, "they" refers to NAZI party.



Apathy is the 8th deadly sin, and it is a silent killer.







Ditulis di hari peringatan,
namun bukan untuk memperingati,
keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret.

.

Sabtu, 03 Maret 2012

Belajar dari Transjakarta

Sudah sebulan lebih saya menjadi pengguna rutin berbagai jalur busway. Tentang kelelahan saya menghadapi berbagai jenis dan variasi transportasi ibukota yang lebih kejam dari ibu ****** ini mungkin bisa diuraikan dalam satu post tersendiri kelak. Namun, yang ingin saya tuliskan di sini adalah pelajaran yang saya dapat di atas balok-balok bergerak tersebut, balok-balok beroda yang meluncur (dan kadang tersendat) di jalurnya (yang kadang diserobot) untuk memindahkan saya dari satu tempat ke tempat lain di ibukota.

Bagi yang mungkin kurang familiar dengan Jakarta, di ibukota kita ini ada satu jalur busway yang merupakan rute busway pertama di Jakarta. Jalur ini dikenal dengan nama Koridor I atau Blok M - Kota, melintasi beberapa jalan protokol dan kawasan tersibuk Jakarta. Ini peta lengkap jalurnya, sebagai ilustrasi. Klik untuk memperbesar jika dirasa perlu (dan mungkin memang perlu, untuk memahami poin yang saya sampaikan di bawah).


Di jalur ini terdapat sebuah halte yang cukup spesial, yaitu Halte Harmoni Central Busway. Jika dilihat dari namanya saja, dan apalagi jika anda mencocokkan dengan peta di atas, akan terlihat apa istimewanya halte ini: dia adalah titik pertemuan dari 4 rute jalur busway, 3 di antaranya berakhir di ujung barat, timur, dan selatan Jakarta, dan 1 sisanya di stasiun pusat (Kota) yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota satelitnya. Intinya, halte ini adalah penghubung antara seluruh penjuru Jakarta dan antara Jakarta dengan sekitarnya. Segitu pentingnya.

Konsekuensinya, akan banyak orang yang naik busway di Koridor 1 hanya untuk turun di Harmoni, yaitu untuk transit ke tujuan selanjutnya di belahan Jakarta yang lain. Jika kita telusuri koridor 1 dari Blok M, Senayan, Sudirman, Thamrin, Medan Merdeka hingga Harmoni, kita akan melihat suatu fenomena di mana bus Transjakarta yang penuh sesak, tiba-tiba kosong dari Harmoni menuju Kota, karena sekitar 2/3 penumpangnya turun di Harmoni!

Fenomena ini merugikan bagi jasa Transjakarta, mengapa? Karena dari Harmoni ke Kota, bus dijalankan dalam keadaan sepi penumpang, sedangkan di halte-halte sebelumnya banyak penumpang dengan tujuan Kota tidak terangkut karena bus penuh dengan penumpang yang akan turun di Harmoni! Sederhananya: penumpang tujuan Kota tidak terangkut, padahal bus tujuan Kota kosong. Entah apa istilah ilmu lalu lintas untuk fenomena ini, namun sepemahaman saya, keadaan seperti ini serba tidak enak. Mubazir bagi bis Harmoni-Kota yang kosong, sengsara bagi penumpang di halte-halte Blok M-Harmoni yang berdesak-desakan baik saat antri maupun saat di bus.

Sepengamatan saya, pada jam-jam sibuk (padat penumpang), ada solusi yang dicoba diterapkan oleh pihak Transjakarta. Biasanya jika dua bus datang di waktu yang berdekatan di satu halte, petugas Transjakarta di salah satu bus akan mengumumkan bahwa busnya hanya akan sampai Harmoni.

Tujuannya? Tujuannya adalah untuk memisahkan antara penumpang tujuan Kota dengan penumpang yang hanya sampai Harmoni. Jadi kasarnya ada dua jenis bus untuk satu rute: yang sampai Kota, dan yang sampai Harmoni saja.

Untuk apa? Untuk menguntungkan semua pihak. Penumpang yang akan ke Kota tidak usah berebut bus dengan penumpang yang akan ke Harmoni saja, mereka mendapat antrian dan bus terpisah, dan di bus pun akan sedikit lebih lega. Bus yang akan ke Kota tidak lagi mubazir (kosong) di tengah jalan. Sementara bus yang ke Harmoni, setelah mengantarkan penumpang dalam kondisi penuh (efisien), bisa langsung berbalik arah kembali menuju Blok M untuk mengangkut penumpang-penumpang lain (memperpendek rute) sehingga laju pengangkutan lebih cepat.

Sistem ini hanya bisa berhasil jika tidak ada yang melanggar aturan (tak tertulis). Dan sebagaimana Indonesia, selalu saja ada celah pelanggaran peraturan. Pembagian tujuan bus tadi bisa saja tidak dipatuhi penumpang. Karena bus tujuan Kota pasti melewati Harmoni, penumpang yang akan ke Harmoni bisa saja naik bus tujuan Kota, lalu turun di Harmoni. Ini bikin penuh antrian dan bus, sehingga tujuan awal pemisahan bus tidak tercapai. Sebaliknya, penumpang tujuan Kota pun bisa saja naik bus yang ke Harmoni (karena bus tujuan Harmoni biasanya tiba di depan/sebelum bus tujuan Kota, jadi penumpang dapat naik dengan alasan ingin lebih cepat) kemudian dia turun di Harmoni dan mengantri lagi untuk ke arah Kota. Ini membuat penuh antrian penumpang di Harmoni, dan membuat bus penuh juga.

Ketika saya menemukan fakta ini tadi sore, saya teringat sesuatu.

Jalur busway ini sama seperti jalur hidup. Ketika anda sudah membayar tiga ribu lima ratus rupiah untuk beli tiket, anda bebas untuk ke mana saja sepanjang jalur busway yang membentang di seluruh Jakarta itu. Seperti banyak yang bilang, "Life is your own choice". Ya, begitulah. Dengan 3500 rupiah anda bisa naik di Kalideres, turun di Kampung Rambutan, terserah. Mau ganti jalur sampe 5 kali juga silakan. Hidup pun begitu. Hidup ini pilihan anda sendiri yang menjalaninya. Jalan mana yang anda pilih, itu bebas. Jalani hidupmu sendiri.

Namun, seperti jalur busway pula, ketika kita menjalani hidup kita, janganlah kita mengambil jalan hidup orang lain! Ketika tujuan kita ke Kota, janganlah naik bus ke Harmoni, karena itu akan bikin penuh jatah orang lain yang mengambil jalan tersebut! Apalagi, setiap jalan hidup memiliki beban dan keringanan, di mana biasanya keringanan diberikan atas kompensasi dari beban. Kerjaan gaji tinggi, karena kerjanya berat. Fasilitas kerja diberikan, karena kerja menuntut adanya fasilitas tersebut. Ada hak, ada kewajiban. Seperti di busway. Kenapa yang dapat tempat duduk biasanya orang yang naik di halte pertama? Karena dia yang akan menempuh perjalanan paling jauh! Semua sudah ditetapkan secara adil.

Ilustrasi yang lebih tepat juga dapat dijumpai di jalur busway itu sendiri secara umum. Jalur busway adalah jalur yang terpisah dari jalanan, dan dipisahkan oleh separator berupa pembatas jalan. Jalur ini eksklusif untuk bus Transjakarta dan tidak boleh dimasuki kendaraan lain. Namun, ketika macet, banyak kendaraan yang masuk ke dalam jalur ini. Untuk menghindari macet, karena jalurnya sepi.

Ini dia yang tidak boleh! Jalur busway dibuat khusus karena busway melayani kepentingan umum. Bus Transjakarta yang melaluinya, harus melakukan kewajiban bus Transjakarta, yaitu berhenti di setiap halte untuk mengangkut penumpang! Karena dia menjalankan kewajiban itu, dia mendapatkan keringanan yaitu diberikan jalur khusus yang cepat dan bebas macet. Kendaraan pribadi yang masuk jalur busway, sama halnya dengan merampok! Mereka masuk jalur cepat tanpa mau menjalankan kewajiban bus Transjakarta, dan bukan hanya itu saja, mereka menghambat bus Transjakarta yang sedang melakukan bebannya! Jalur busway yang seharusnya lancar (untuk bus Transjakarta yang melakukan kewajiban sebagai alat transportasi umum) menjadi macet, dan pelayanannya pun terhambat, semua karena pihak yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa harus melakukan beban.

==================================

Manusia bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Dan jalan hidup orang berbeda-beda.

Ketika kita memilih jalan hidup yang rendah, janganlah kita berjalan di jalur hidup orang yang tinggi. Jangan berharap untuk mendapatkan keringanan bagi beban yang tidak kita tanggung! Berikan kesempatan itu pada orang lain yang memang siap! Dan ketika kita memilih jalan hidup yang tinggi itu, hendaknya janganlah kita mengeluh ketika mengerjakan bebannya. Jika kita merasa jalan ini bukan jalan milik kita, tinggalkan jalan ini beserta seluruh beban dan keringanannya, bukan hanya ingin melepas bebannya saja. Sesungguhnya adil pulalah seluruh jalan yang ditunjukkan oleh Dia Yang Maha Adil.

Janganlah kita jadi pegawai bergaji besar dengan harapan untuk bisa makmur, jika kita tidak juga siap untuk bekerja sangat keras. Pegawai pemalas tapi digaji besar adalah beban untuk perusahaan, pegawai dengan kualitas kerja buruk tapi banyak makan uang perusahaan!
Jika kita tidak sanggup bekerja keras, berhentilah, cari pekerjaan lain. Jika kita merasa pekerjaan berat ini tidak cocok untuk kita, berarti gaji besar ini juga tidak cocok untuk kita, karena gaji besar adalah penghargaan perusahaan bagi orang-orang yang telah bekerja keras untuknya.

Janganlah kita jadi tentara dengan harapan ingin terlihat gagah dan sangar memegang senjata, jika kita tidak juga siap untuk mati di medan perang. Tentara pengecut adalah beban untuk rekan-rekannya ketika bertempur, tidak menambah kekuatan, bahkan menambah resiko kecelakaan!
Jika kita merasa takut mati, berhentilah, atau bagi yang belum jadi, hendaknya kita urungkan niat menjadi tentara. Jika kita merasa engkau bukan orang yang takut mati, mungkin memang kita tidak layak memegang senjata, karena senjata adalah alat untuk melindungi rakyat negeri kita, sebagaimana juga raga kita sendiri jika kondisi menuntut.

Janganlah kita jadi tokoh masyarakat dengan harapan ingin mendapat gengsi dan dihormati, jika kita tidak siap untuk selalu memberi contoh dan teladan dalam perkataan dan perbuatan. Tokoh masyarakat yang tidak bisa jadi panutan adalah beban untuk masyarakat, dengan merusak standar perilaku masyarakat!
Jika kita secuilpun tidak ada niatan untuk menjadi teladan, hendaknya kita renungkan kembali dan pikirkan betul arti integritas itu. Jika kita merasa memang kita tidak pantas diteladani, mungkin memang diri kita juga tidak pantas untuk dihormati, karena hormat datang seiring dengan perbuatan yang memang patut untuk mendapatkannya.

Janganlah kita jadi pemimpin dengan harapan ingin memegang kendali dan berkuasa atas orang-orang, jika kita tidak mau tulus mengabdi. Pemimpin yang tidak tulus bukan hanya beban, ia adalah BENCANA bagi rakyatnya ketika ia memimpin!
Jika kita merasa tidak ingin tulus untuk memimpin, jangan menjadi pemimpin. Jika kita merasa memang tidak memiliki niat yang baik untuk menjadi pemimpin, mungkin memang kita juga tidak boleh memegang kendali atas rakyat, karena tunduknya rakyat adalah bentuk kepercayaan rakyat terhadap ketulusan niat pemimpinnya untuk membuat rakyatnya menjadi lebih baik.

Janganlah kita menjadi mahasiswa ITB dengan harapan ingin memperoleh ilmu, pengalaman, dan pekerjaan, jika kita tidak mau mengamalkan semuanya itu untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, seperti janji dan ikrar mahasiswa yang harusnya kita ucapkan dengan lantang dalam sidang penerimaan mahasiswa baru di Gedung Sabuga! Mahasiswa ITB yang abai mengembalikan ilmunya kepada kesejahteraan rakyat Indonesia, adalah beban bagi negara dan rakyat yang membiayai kuliahnya, adalah inhibitor bagi rekan-rekannya yang lebih berniat tapi tak mampu masuk ITB, adalah duri di mata rakyat Indonesia yang tak berdaya dan tiap harinya merindukan pembebas!

Jika kita tidak kuat dengan semua itu, menepilah. Ilmu yang kita pelajari di kampus, pengalaman yang kita alami sebagai mahasiswa ITB di lingkungan yang disusun ITB (kerja praktek, kuliah bersama dosen-dosen terbaik Indonesia, tugas-tugas kuliah yang menempa diri, aktivitas kemahasiswaan yang beragam), dan pekerjaan yang akan kita jalani, itu adalah sarana yang diberikan ITB kepada kita agar kita bisa membangun dan memajukan negara ini! Jika kita tak mau menjalankan kewajiban kita, ada baiknya jika kita menepi, memberi tempat kita pada yang lebih berniat! Jika sudah terlanjur kita mengambil semua keringanan itu, lakukanlah kewajiban kita!

Manusia bebas memilih jalan hidupnya. Bukan orang lain yang menentukan. Kita sendiri. Maka dari itu, hendaknya kita bijak sebelum memilih jalur. Mudah-mudahan kita tidak memakan jalur orang lain dalam menjalani hidup kita. Pilihan antara beban dan keringanan adalah satu paket. Jangan ambil secara terpisah.

Ada yang bilang, be yourself, not what people expects from you. Sepintas bijak. Tapi ini adalah ajaran postmodernisme yang pragmatis! Orang memiliki ekspektasi ke kita karena kita telah terlebih dahulu menjalankan peran kita sebagai orang yang menanggung ekspektasi orang lain! Silakan bayangkan jika presiden kita berbicara "Rakyat boleh menuntut apa saja dari diri saya, tapi saya tidak akan berubah." Bisa digantung nggak presiden kayak gitu? Well, kalau presiden tidak mau jadi seperti yang rakyat harapkan, presiden bisa turun. Tugas presiden, seperti halnya tugas tentara, tokoh masyarakat, mahasiswa ITB, dan bus Transjakarta, adalah menanggung beban dan harapan dari rakyat. Tidak mau menanggung ekspektasi orang? Step down please.

Tapi kembali lagi, itu adalah hidup kita. Kita boleh melanggar jalur semaunya. Tak ada sanksi, hanya kepatutan di pikiran kita sendirilah yang menjadi marka jalan yang membatasinya.


Jalur mana yang kita pilih?


Bogor, 3-4 Maret 2012
ditulis oleh seorang sarjana Teknik Kimia ITB
yang berharap semoga ia telah ada di jalan
untuk mencapai cita-cita besarnya;
seseorang yang mudah sekali terinspirasi
oleh hal kecil yang ada di sekelilingnya;
dan seorang pengguna rutin bus Transjakarta
.





.

Jumat, 02 Maret 2012

Fenomena Hukum Jalanan

Salah satu perbedaan paling mendasar antara Orde Baru dan Orde Paling Baru (ini nama julukan saya sendiri terhadap kenaikan entropi yang terjadi pasca jatuhnya Presiden Soeharto), adalah kebebasan pers.

Berkat kebebasan pers, rakyat Indonesia tiap harinya disodori apa yang oleh media dinamakan ketimpangan hukum. Berkali-kali media menggambarkan koruptor-koruptor elit lolos dari jerat hukum, sehingga masyarakat makin lama makin apatis kepada aparat penegak hukum khususnya, dan negara pada umumnya.

Dan rakyat pun geram, apalagi karena jerat yang terlalu lemah ini kemudian diklaim hanya kuat menangkap ikan-ikan kecil. Contohnya?

Nenek pencuri biji kakao dituntut perusahaan perkebunan. http://news.detik.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari

Remaja maling sendal diancam penjara? http://forum.kompas.com/nasional/58148-maling-sandal-jepit-butut-%3D-5-tahun-penjara.html

Bocah maling ayam dituntut penjara juga? http://www.indosiar.com/fokus/dua-bocah-maling-ayam-diseret-ke-meja-hijau_91281.html

Dan bahkan ada rangkumannya! http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/01/prestasi-atau-ironi-kasus-kasus-sepele.html

Bahkan terakhir yang lagi ngetop di jejaring sosial, yaitu kisah nenek pencuri singkong dan hakim yang 'cerdik', yang diklaim sebagai "KISAH NYATA" yang terjadi somewhere di Sumatera bagian selatan (ada yang bilang Prabumulih, Sumsel; ada yang bilang Lampung): http://hajingfai.blogspot.com/2012/02/kisah-nenek-pencuri-singkong.html

yang sejujurnya saya kurang sukai dengan beberapa alasan:

1. Cerita yang diklaim sungguhan terjadi ini, saya berani jamin sebenarnya cerita rekaan yang dibuat berdasarkan cerita di Amerika Serikat ini, dengan tokoh hakim digantikan walikota New York zaman Perang Dunia II, Fiorello LaGuardia: http://www.snopes.com/glurge/laguardia.asp. Kemiripannya luar biasa, hingga saya yakin cerita 'sungguhan' tentang nenek pencuri singkong itu hanya jiplakan dari cerita Walikota LaGuardia ini. Dengan demikian cerita nenek pencari singkong itu tidak benar-benar terjadi, dan bahkan mungkin saja cerita sumbernya (yang di Amerika Serikat) juga hanya rekaan, sejenis cerita rakyat yang bagus untuk mengajar nilai moral, tapi tidak benar-benar terjadi.

2. Bahkan terlepas dari keotentikannya, kita dapat bayangkan implikasinya jika benar ada kejadian seperti itu. Keesokan harinya akan muncul pencuri-pencuri singkong yang (bisa jadi) beneran miskin semua. Lalu pengadilan-pengadilan sejenis akan dilakukan, denda-denda atas penduduk kota karena "membuat kemiskinan yang memungkinkan pencurian terjadi" dan dalam waktu singkat para pencuri akan kaya dengan uang denda pengadilan. Orang miskin akan malas bekerja, karena pencurian dijustifikasi oleh hukum. Hukum memberikan alasan bagi orang untuk mencuri: karena mereka miskin.

Anyway, membahas artikel tersebut akan makan satu postingan tersendiri. Intinya, mulai dari maling sendal sampai maling jemuran, ketika sudah masuk pers dan menyebar di dunia informasi, rakyat pun marah. Dengan satu argumen yang sama:

"Kalau penjahat dan koruptor kelas berat yang merampok uang negara aja nggak dihukum, kenapa maling kecil yang nggak seberapa merugikannya harus dihukum?"

Buat yang mengikuti pergerakan saya di kampus dulu, pasti sudah familiar dengan argumen yang sering dilontarkan oleh sebagian mahasiswa ITB "Diri lo sendiri udah bener belom, kok mau-maunya ngurusin orang lain?"

Dan ini mengarah ke gerakan pragmatisme! Di mana kita harus sempurna dulu baru boleh menggerakkan orang lain ke arah kebaikan. Di mana kita mustahil menjadi sempurna, dan maka dari itu kita selamanya tidak dapat menyebarkan kebaikan. Di mana kebenaran adalah relativisme individual, di mana setiap orang bisa benar, dan di mana interaksi antarmanusia sebagai homo socius dipertanyakan. Perhatikan komen-komen di link yang saya berikan. Sengaja saya berikan link-link yang penuh dengan komen-komen yang naif dan tanpa sadar terbungkus pragmatisme.

Efek teknisnya adalah suatu gerakan yang, meminjam istilah salah seorang rekan saya, dinamakan integritas pecundang. Ketika hukum aproksimasi integritas diterapkan, yaitu bahwa perkataan harus sebanding dengan tindakan, maka rute bawah yang termudah diambil untuk memenuhinya adalah bungkam saat tak bisa bertindak.

Filosofi inilah yang sekarang menjadi mainstream, termasuk bagi rakyat Indonesia, apalagi yang melek media. Turunan dari gerakan ini adalah apa yang saya istilahkan sebagai kecenderungan penihilan, alias gerakan pembuangan susu sebelanga karena nila (yang mungkin saja lebih dari) setitik, yaitu ketika pragmatisme tadi diterapkan dalam suatu sistem. Ketika suatu sistem dinilai impoten untuk menyelesaikan satu masalah besar, maka sistem itu divonis impoten dan tidak boleh digunakan. Contohnya ya itu tadi, ketika hukum hanya dapat digunakan untuk menjaring maling-maling kecil sementara yang besar lolos, maka hukum itu cacat dan tak layak digunakan bahkan untuk menjaring maling-maling kecil itu. Bebaskanlah mereka.

Hal ini akan semakin menyebar jika dikatalisis oleh memang lemahnya sistem tersebut. Dalam hal ini, ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah memang sudah hampir naik mencapai puncaknya sehingga sistem hukum diabaikan, dan rakyat lebih memilih hukum jalanan yang fleksibel, tepat untuk beberapa kasus, namun justru meninggalkan celah yang jauh lebih besar yang dapat dengan lebih mudah dieksploitasi untuk hal-hal yang baik.

Attitude seperti ini tidak hanya berlaku untuk hukum saja. Coba kita lihat beberapa contoh lainnya yang telah menjadi mainstream, khususnya di Masyarakat INdonesia Golongan KElas Menengah Menuju atAS (MINGKEM MAS):

- Ketika polisi memberlakukan tilang atas pelanggaran 'ringan' seperti melanggar lampu merah, tidak memakai helm/seatbelt, ada argumen pengendara "Polisi mah beraninya cuma sama pengguna jalanan yang kecil-kecil kayak kita ini". So? Apa dengan kegagalan polisi mengungkap kasus-kasus kriminal besar, pelanggaran-pelanggaran lalulintas anda jadi boleh ditoleransi? Itu melanggar hukum juga toh?

- Ketika pemerintah mengadakan program ini itu, reaksinya adalah "Ah, ngapain ngurusin begituan? Ada masalah lain yang lebih besar buat negara ini!. Ya ya ya, Indonesia gak boleh punya atlet berprestasi, Indonesia gak boleh mempercanggih alutsista yang udah bobrok ini, sampe semua rakyat Indonesia gak ada lagi yang miskin! Oke, oke. Keren.

- Ketika banyak LSM yang mengurusi moral (seperti FPI, terlepas dari teknis aksinya), banyak yang berteriak "Ngapain ngurusin moral yang kecil-kecil? Urusin tuh persoalan yang lebih 'besar'!". Right. Selama Edi Tanzil dan kawan-kawannya belom ketangkep dan dihukum penjara seberat-beratnya maka perjudian, pelacuran, dan kebejatan-kebejatan lainnya legal di Indonesia. Logika yang sangat brilian.

Dan belum lagi jika saya membahas serangan masyarakat postmodern ini terhadap agama. Bisa satu post tersendiri lagi. Yah, intinya, hanya yang terburuknya sajalah yang dilihat masyarakat. Hal-hal baik lain yang ditawarkan, tak digubris lagi.

Inilah yang dinamakan penurunan standar. Di mana jika keadaan berada di bawah standar, bukan keadaan yang kita manipulasi agar naik memenuhi standar, namun standarlah yang kita turunkan agar memenuhi keadaan. Bisa dilihat contohnya seperti yang saya alami selama belasan tahun terakhir ini:

- Kalau memang nilainya jelek waktu kuliah, bukannya meningkatkan kuantitas dan kualitas belajar, malah mengusahakan penurunan standar nilai sehingga bisa dapat A.
- Kalau sudah sekali salah dalam berpendapat, lebih baik diam saja, daripada disalahkan terus.

Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Penurunan yang konstan ini lama-lama akan mendekati nol. Dan selesailah sudah semua. Bangsa ini akan terus hidup dalam penjaranya yang kecil, yang didirikan oleh pemikiran rakyatnya sendiri.

Harusnya yang dilakukan itu, usahakan peningkatan standar! Usahakan sistem-sistem tersebut dapat pula membereskan masalah-masalah yang besar! Ingat, kita boleh menuntut para pelaku sistem untuk mengarahkan fokus mereka ke arah hal-hal yang besar, kita boleh menekan para pelaku sistem untuk terus mengejar penyelesaian masalah yang besar itu (dan jika kita dapat ambil bagian, terlibatlah semaksimal mungkin!), tapi jangan, JANGAN kita mematikan seluruh sistemnya hanya karena dia hanya bisa menyelesaikan masalah-masalah kecil! Masalah kecil tetaplah masalah, dan harus diselesaikan. Mulai dari yang kecil dulu, bukan? Betul, kita tidak boleh tinggal diam dalam keadaan kecil terus-menerus, tapi bergeraklah menuju besar, jangan hanya diam tinggal menunggu besar. Pergerakan ke arah yang besar dimulai dengan melangkah dari hal kecil, bukan dengan melewatinya.

Akar dari semuanya itu adalah pragmatisme, budaya instan, filsafat individualis, dan egosentrisme manusia, yang berujung pada minimnya spiritualitas dan budi luhur, di mana semuanya itu adalah nyata bertentangan dengan Pancasila, dasar negara kita yang berTuhan, berkemanusiaan, berkebangsaan, dan berpegang pada masyarakat yang sosial.

Makanya pake timbangan elektronik aja, biar gak berat sebelah...

PS: Saya sadar sepenuhnya kalau ini tulisan isinya emang kebanyakan kata-kata njelimet yang bahkan saya juga bingung abis baca lagi. Tapi apa daya, saya tetap mempost ini tulisan sebagai bentuk penghargaan saya terhadap fungsi blog ini sebagai tempat curhat saya kepada umum. Harap maklum setulus-tulusnya. Terimakasih. Dan sebagai penutupnya, ini ada quote favorit saya, dari Bung Karno.

"Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dahulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Soviet-Rusia merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Soviet-Rusia satu per satu."


Sudirman, 2 Maret 2012
diketik pada jam shalat Jumat di dalam kantor yang kosong
di tengah hujan badai yang menerpa ibukota



.