Selasa, 22 September 2009

Jadilah Juara

Kembali dengan cerita fiksi-lagu kedua dari saya, yang saya jadikan korban kali ini adalah lagu Jadilah Juara, OST King, oleh Ipang BIP dan Ridho Slank. Selamat menikmati.

DISCLAIMER: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesalahan yang tidak mengenakkan dalam penuturan peristiwa, nama, tempat, maupun fakta-fakta lainnya, penulis mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.

=========================

Alfonso turun dari angkot Panghegar - Dipati Ukur, memberikan uang seribu kepada sang supir, dan cepat-cepat lari sebelum sang supir sempat meminta tambahan ongkos. Setelah terdengar suara deru angkot menjauh, ia baru menghentikan larinya dan memandang ke depan, mencari-cari dengan matanya. Rupanya dia belum datang. Memang salahku datang sepuluh menit lebih awal untuk bertemu orang yang biasanya telat sepuluh menit kalau janjian, pikirnya.

Maka ia memutuskan untuk menghampiri landmark kampusnya, papan nama Institut Teknologi Bandung pada sebuah batu bercat hijau muda, dan duduk bersandar di sana sambil menikmati pemandangan sekitar Gerbang Ganesha. Jalanan putih bagaikan tertutup salju yang hanya ada di negeri empat musim. Ada tukang gorengan, mahasiswa-mahasiswa berjaket himpunan masing-masing yang berwarna-warni, mobil-mobil mewah keluar masuk gerbang. Sesekali terdengar suara burung di atas kepala yang mirip sirine pertanda serangan udara Jepang waktu Perang Dunia Kedua: jika suaranya berkumandang, itu pertanda bom-bom akan segera berjatuhan. Alangkah permainya kampusku, pikir Alfonso sambil tersenyum.

Dan tiba-tiba dari arah dalam kampus terlihat segerombolan mahasiswa berjas almamater. Sebagian besar dari mereka bertampang lesu. Yang pria sibuk mengelap keringat, yang wanita merapikan rambutnya yang acak-acakan. Alfonso kembali tersenyum. Ini anak-anak angkatan 2011 yang baru selesai menjalani rangkaian acara penerimaan hari ini, pikirnya.

Dan seketika dirinya sudah merasa sok tua, mengenang saat ia pertama kalinya melangkahkan kaki melalui Gerbang Ganesha. Apakah spanduk yang begitu menggetarkan hatinya dulu itu masih selalu terpampang setiap awal tahun ajaran? Ia menoleh ke suatu arah dan melihat bahwa ya, masih ada, namun agak sedikit berbeda.

SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA.

Mungkin kata 'TERBAIK' dianggap terlalu arogan, keluh Alfonso sedih. Mungkin kata itu dihapuskan karena orang melihat arogansi mahasiswa ITB yang begitu tinggi dan kerjanya hanya menyombongkan diri seperti saya, pikir Alfonso. Atau mungkin juga karena mahasiswa-mahasiswa ITB dianggap tidak lagi memenuhi syarat, tidak lagi diharapkan untuk menyandang beban begitu berat sebagai putra-putri terbaik bangsa.

Padahal ia begitu merindukan melihat kata itu. Kata yang menurutnya memang pantas disematkan kepada Ganesha-Ganesha muda yang akan mengawali langkahnya membangun negara. Kata yang menunjukkan tingginya ekspektasi negara ini pada Institut Teknologi Bandung. Pada manusia-manusia yang adalah calon-calon patriot bangsa yang sebenarnya. Ya, Alfonso percaya bahwa pejuang kemerdekaan di masa ini bukan lagi tentara ataupun politisi, tapi orang-orang ilmu pengetahuan alam.

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini


Dari dulu Alfonso selalu meyakini bahwa bidang ilmu pengetahuan alam-lah yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan. Bukan ilmu sosial. Yang menentukan nasib bangsa Indonesia seharusnya adalah para teknokrat, para insinyur, para dokter, para ilmuwan. Bukan politikus, pengacara, ekonom, atau artis. Ilmu sosial memperbincangkan hal-hal maya, ilmu alam membuat hal-hal nyata.

Ketika kenaikan harga BBM menjadi perdebatan para analis ekonomi, bukankah insinyur perminyakan-lah yang kerja keras memompa minyak yang jadi perdebatan itu keluar dari perut bumi? Ketika di bursa saham orang kelabakan karena fluktuasi harga saham perusahaan otomotif, perumahan, petrokimia; bukankan yang mereka kerjakan hanya memperbincangkan hasil kerja para insinyur mesin, sipil, dan kimia? Ketika wabah flu burung dan SARS menyebar dan pemerintah memerintahkan keadaan tanggap darurat, bukankah itu semua tidak ada artinya jika para dokter tidak mampu menolong orang-orang sakit dan para ilmuwan tidak menemukan vaksin? Para jenderal TNI jika negara kita diserang musuh sibuk mengatur koordinat pertahanan, membaca peta, mengatur letak artileri, pasukan infantri, angkatan laut, dan angkatan udara. Apa kerja mereka jika tidak ada para insinyur yang membuat benteng, peta, artileri, senapan, kapal perang, dan pesawat tempur? Bahkan ketika orang-orang sibuk mencari uang, sebenarnya siapa sih yang membuat uang? Mesin cetak, perkebunan abakus, dan tinta. Siapa yang membuat itu semua? Insinyur-insinyur.

Jadi jelaslah menurut Alfonso bahwa insinyur-lah yang bisa mengubah nasib bangsa ini secara nyata. Membasmi krisis energi dan pangan dan pada akhirnya memandirikan bangsa secara ekonomi. Memperbaiki sistem transportasi dan tata kota sehingga permasalahan sosial urban dapat diminimalisasi. Membuat alutsista canggih sendiri sehingga kedaulatan bangsa terjunjung tinggi. Mendirikan industri berbasis sumber daya lokal sehingga profit yang didapat besar dan digunakan untuk biaya pendidikan rakyat sehingga makin banyak rakyat yang terdidik untuk pembangunan nyata.

Dan tempat mana lagi paling cocok untuk mencetak insinyur-insinyur yang bisa melakukan hal-hal itu, selain di kampus berjudul institut teknologi ini? Yang dari semua segi memang terbaik pada bidangnya di negeri ini? Jadi kenapa harus malu mengakui bahwa di sinilah tempatnya putra-putri terbaik bangsa menuntut ilmu?

Kecuali jika hal itu tidaklah lagi benar. Jika yang menuntut ilmu di sini bukanlah lagi putra-putri terbaik bangsa. Benarkah?

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya


Patriot-patriot negara memberikan tubuh dan darah mereka sebagai batu bata penyusun istana kemerdekaan. Tank-tank dan senapan mesin Belanda, bayonet dan samurai Jepang, tidak menggentarkan mereka. Bagaimana dengan pejuang-pejuang kemerdekaan versi Alfonso zaman ini, yaitu para mahasiswa teknik, termasuk dirinya sendiri? Alfonso pun mulai menghitung daftar hal-hal yang ditakutinya.

Angin dingin pagi hari kota Bandung. Ketakutan ini membuatnya seringkali meringkuk tenang di dalam selimutnya sementara wekernya sudah berbunyi tujuh kali untuk memanggilnya agar segera bangun dan berangkat kuliah. Akibatnya sudah tak terhitung berapa puluh kelas pagi yang ia lewatkan.

Gengsi dan ketakutan untuk mendapat nilai nol sendirian sementara teman-temannya mendapat nilai bagus. Ketakutan ini membuatnya sering memodifikasi tugas dan laporan karena semua orang kebanyakan melakukannya. Daripada tidak mengumpulkan? Yah, sebenarnya Alfonso tahu kalau hal ini bisa diatasi jika ia mengerti betul materi tugas dan laporan dengan belajar sungguh-sungguh, tapi apa mau dikata bahwa salah satu ketakutan lain Alfonso adalah takut...

Mengorbankan waktu(istirahat dan main)nya untuk memahami materi-materi kuliah. Sebenarnya sebuah perbuatan yang sangat tidak mahasiswa sekali.

Dengan melihat diri sendiri saja dan segala ketakutannya, Alfonso dapat menyimpulkan bahwa memang tidak semua yang kuliah di Institut Teknologi Bandung ini merupakan putra-putri terbaik bangsa.

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah


Alfonso teringat cerita yang pernah dituturkan salah satu dosennya tahun lalu. Saat itu di kelas, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja menceritakan kepada seluruh kelas tentang salah seorang mahasiswa bimbingannya yang berkewarganegaraan Vietnam. Si mahasiswa ini, menurut Pak Tatang, berkata dengan berani kepadanya:

"Pak, saya yakin Vietnam dalam beberapa tahun lagi akan lebih maju dari Indonesia. Kami kerja lebih keras. Di mana-mana semua orang kerja keras. Bahkan orang miskin kami kerja lebih keras dari orang miskin Bapak."

Alfonso termasuk salah satu dari orang-orang yang panas mendengar cerita itu. Seseorang yang negaranya hancur total tahun 70an akibat perang, yang negaranya tertinggal 30 tahun dari Indonesia yang memiliki keunggulan SDA dan SDM jauh lebih banyak? Namun selain panas, hatinya perih juga kalau itu memang benar. Mungkin si Vietnam itu ingin menambahkan juga, namun tidak enak jika didengar rekan-rekannya: "Dan mahasiswa-mahasiswa kami kerja lebih keras dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia!".

Tidak, batin Alfonso. Ia tidak mau kalah. Ia teringat ucapan salah seorang seniornya di ITB ini. Seniornya yang 85 angkatan lebih tua darinya.

"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera, agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari; bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli; bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Dan seniornya itu, setelah lulus dari ITB, telah membuktikan kata-kata itu. Di bawah pimpinannya, bangsa Indonesia melangkah ke arah jajaran bangsa-bangsa terdepan dunia. Sayang langkah itu terhenti. Dan bahkan sempat mundur.

Dan Alfonso berangan-angan dengan sumber daya Indonesia yang melimpah, dikombinasikan dengan bidang ilmu yang ditekuninya, teknik kimia, apa yang bisa dilakukan?

Ia tidak mau kalah dengan Brasil yang menjual etanol di setiap SPBU di seantero negeri itu, dan dengan demikian menghilangkan ketergantungan akan keberlangsungan negaranya terhadap situasi politik yang mengelilingi ladang-ladang minyak Timur Tengah. Ia tidak mau kalah dengan RRC yang, karena diembargo, telah memproduksi sendiri seluruh katalis untuk industri kimianya, yang menghemat devisa negara hingga berjuta-juta dolar Amerika. Merekalah contoh bahwa negara-negara berkembang bisa selangkah menuju ke arah kemajuan dengan teknik kimia, dan Alfonso berharap Indonesia akan menjadi contoh pula.

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya


Alfonso tahu tingginya harapan terhadap mahasiswa ITB. Terhadap para calon insinyur, ilmuwan, dan seniman terbaik bangsa. Betapa tingginya citra mahasiswa ITB di hadapan rakyat kecil.

"Mau ke ITB mas? Bikin motor yang irit bensin ya mas ntar." Begitu kata salah seorang tukang ojek tetangga Alfonso empat tahun lalu. Saya mau kuliah teknik kimia, bukan teknik mesin, bang, gumam Alfonso dalam hati, namun ia menyadari itulah bentuk ekspektasi masyarakat.

Dan Alfonso tahu bahwa harapan masyarakat terhadap mahasiswa sebuah institut teknologi tidaklah cukup dipenuhi dengan mendemo pemerintah yang korup, dengan romantisme dan kata-kata. Namun dengan menyadari bahwa para insinyur-lah ujung tombak pembangunan. Dengan mengembangkan energi alternatif dan menyelesaikan krisis pangan. Dengan mengembangkan semua produk barang (dan hampir semua barang kebutuhan masyarakat adalah hasil industri) bebas impor. Bahkan kualitas ekspor.

Alfonso melihat kembali ke arah spanduk itu. SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI HARAPAN BANGSA. Dan tiba-tiba ia terhenyak menyadari apa makna pergantian kata TERBAIK menjadi HARAPAN pada spanduk penyambutan tersebut.

Ia dan banyak teman-temannya merasa bangga menjadi putra-putri terbaik bangsa. Alfonso hanya berharap bahwa mereka benar-benar tahu arti kebanggaan tersebut. Bahwa selain menjadi yang TERBAIK, merekalah juga HARAPAN bangsa ini. Bahwa mereka disubsidi pendidikannya oleh duit rakyat bukan untuk lari ke Amerika. Bahwa setelah mereka menapakkan kakinya di Bumi Ganesha mereka bukan hanya milik orangtua mereka namun telah menjadi milik ibu pertiwi. Bahwa rakyat rindu bukan hanya melihat mereka membantu pengolahan migas negara di perusahaan-perusahaan asing, namun juga mengembangkan teknologi pengilangan minyak canggih versi Indonesia. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya keluarga mereka, ingin makmur juga.

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya


Lima tahun lagi keyakinan ini akan diuji, pikir Alfonso. Di saat ibuku sudah tua dan pensiun, di saat adikku masuk kuliah, di saat anakku baru lahir mungkin...

"HEI!!!"

Teriakan itu membuyarkan lamunan Alfonso. Sedetik kemudian Alfonso sudah mulai memaki-maki temannya yang mengagetkannya itu.

"Dari mana aja lu? Gua udah jamuran dari tadi nungguin lu pada! Mana yang laen?"

"Yeee!!! Ini baru jam 5:32, kan kita janjian setengah enam, baru juga telat dua menit, lu ngapain aja dari tadi? Pasti kebanyakan ngelamun ya? Dasar lu mah... Tuh yang laen udah pada di mobil."

Alfonso menggelengkan kepala. Benar-benar, ia kebanyakan melamun. Untuk menghindari rasa malu, ia bertanya "Kita mau ke mana sampai jam berapa? Gua gak bisa sampe malem nih, besok pagi mau mulai ngerun penelitian..."

"Duh, tau deh yang sekarang lagi S2... yaudah gampang dah itu mah, sekarang cabut dulu lah!"

Alfonso mengangkat bahu dan bangkit berdiri, melangkahkan kakinya. Nggak apa-apa sesekali senang-senang, pikirnya. Yang penting bisa bagi waktu. Dan berarti besok pagi ia sudah harus berada di lab pilot untuk menapak selangkah lebih maju menuju pembuatan pabrik enzim yang pertama di Indonesia.



Ipang BIP ft. Ridho Slank - Jadilah Juara

Kita adalah pejuang
yang membela harga diri
negeri ini

Kita bangsa yang berani
tak takut untuk hadapi
semuanya

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya

Jangan lelah jangan lemah
janganlah mudah mengalah
dan menyerah

Cita-cita satu negara
kita yang harus menjawabnya
Harapan dari bangsa ini
kita menjadi juaranya

Berusaha pantang menyerah
jadilah juara
Berjuanglah pantang menyerah
jadi pemenangnya



.

Tidak ada komentar: