Rabu, 10 Desember 2014

Kami Tak Perlu Dibela

Ketika saya mengisi malam hari ulang tahun saya ke-26 dengan kegiatan rutin bermanfaat seperti facebookan, saya kebetulan mengamati ada suatu isu yang diangkat oleh beberapa kawan di social media tersebut. Tentang pernyataan Mendikdasmen Kabinet Kerja, Bapak Anies Baswedan yang sebenarnya sangat saya hormati (read more). Pernyataannya antara lain bisa dibaca di sini, dengan kutipan kira-kira sebagai berikut:

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Anies Baswedan
(foto: detik.com)
Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan kementeriannya sedang mengevaluasi proses belajar mengajar yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah negeri. Salah satu yang sedang dievaluasi terkait dengan tata cara membuka dan menutup proses belajar.

"Saat ini kita sedang menyusun, tatib soal aktivitas ini, bagaimana memulai dan menutup sekolah, termasuk soal doa yang memang menimbulkan masalah. Ini sedang direview dengan biro hukum," ujar Anies dalam jumpa pers di kantornya, Gedung Kemendikbud, Jalan Jend Sudirman, Jakarta, Senin (1/12/2014).

Anies mengatakan hal itu menjawab pertanyaan tentang adanya keluhan sejumlah orangtua murid terhadap tata cara dominan agama tertentu dalam proses belajar mengajar. Hal itu membuat siswa penganut agama lain menjadi tidak nyaman.

"Sekolah di Indonesia mempromosikan anak-anak taat menjalankan agama, tapi bukan melaksanakan praktik satu agama saja," tuturnya.

Menurut Anies, sekolah negeri bukanlah tempat untuk mempromosikan keyakinan agama tertentu. Sesuai dengan asas pemerintah menjamin kemerdekaan beragama di Indonesia, sekolah seharusnya memberikan kesetaraan bagi penganut agama lainnya.

"Sekolah negeri menjadi sekolah yang mempromosikan sikap berketuhanan yang Maha Esa, bukan satu agama," tutup Anies.


Pak Menteri yang baik,

Sekali ini saya harus bilang, statement ini blunder bagi Pak Menteri yang saya hormati ini. Sebaiknya sebelum berbicara, Pak Menteri harusnya melihat situasi politik saat ini, ke mana opini masyarakat saat ini berhembus, isu apa yang sedang panas. Meskipun Pak Menteri berawal dari "orang baik yang berpolitik", saya sangat mengharapkan Pak Menteri berkembang menjadi "politisi yang baik". Maafkan saya.

Pak Menteri, statement ini sejalan dengan skema lawan-lawan politik dari bos anda, yang dari sebelum pilpres hingga bos anda berhasil diturunkan nantinya, akan terus memposisikan bos anda dan pemerintahannya sebagai musuh agama mayoritas dan antek agama minoritas yang bersumber dari asing dan aseng (padahal sekarang si asing dan si aseng itu kebanyakan sudah tidak beragama). Seharusnya Pak Menteri sadar akan hal ini, dan tidak memperumit posisi bos anda yang sudah terjepit juga.

Pak Menteri yang saya hormati,

Kami umat Kristen selaku kaum minoritas di negara ini, sejujurnya tidak mengharapkan adanya perlakuan khusus, ataupun sekedar penyamaan hak. Sejarah selalu mencatat, bahwa kami adalah umat yang semakin bertumbuh imannya dalam posisi sebagai minoritas. Dalam lorong-lorong katakombe di bawah kota Roma, kami lebih menghayati ajaran suci kami, dibandingkan di atas kuda-kuda perang yang berderap ke Tanah Suci untuk berperang dengan para leluhur Pak Menteri.

Di negeri ini, kami sudah biasa hidup sebagai minoritas. Kami sudah biasa hidup dalam 'lingkungan yang beragam', yaitu lingkungan yang dikelilingi orang-orang yang 'berbeda identitas' dengan kami, bersekolah dan bekerja di tengah orang-orang yang 'berbeda identitas' dengan kami, meskipun kami tidak pernah tahu apakah orang-orang itu akan terbiasa juga dengan kehadiran kami.

Kami setiap hari sudah biasa mendengar kerasnya azan dari masjid terdekat yang jaraknya hanya ratusan meter dari rumah kami, sementara kami harus beribadah menempuh jarak beberapa kilometer atau bahkan harus patungan menyewa ruko dengan alasan bahwa "rumah ibadah tidak bisa didirikan di suatu tempat yang tidak cukup jumlah penganutnya" (lantas apakah kami harus tinggal di satu ghetto eksklusif, agar bisa punya rumah ibadah dengan lancar?)... namun demikian kami tidak pernah terpikir untuk pindah agama saja hanya karena tempat tinggal kami dikelilingi beberapa masjid, meskipun katanya ada yang ketakutan terancam pindah agama hanya karena di tempat tinggalnya baru berdiri satu gereja.

Kami hanya diam ketika mendengar setiap hal ini itu dilabeli sebagai Kristenisasi, meskipun menurut kami kostum Sinterklas sama kadar kekristenannya dengan kadar keislaman dari ketupat Lebaran.

Kami hanya senyum-senyum pahit saja ketika orang menganggap bahwa kami senang dan memaksa diberi ucapan selamat pada hari raya kami, padahal kami sendiri tidak pernah merasa meminta diberi ucapan selamat dari orang yang tidak merayakan (makna dari hari raya itu sendiri sudah lebih dari cukup untuk kami bersukacita, tanpa perlu tambahan ucapan selamat dari orang lain).

Kami hanya pasrah ketika pengeboman gereja-gereja dianggap dilakukan oleh 'oknum', sementara ketika terjadi salah ucap sedikit saja yang dianggap menyinggung kaum kelas satu di negeri ini, semuanya berteriak 'konspirasi minoritas dengan asing aseng'.

Dan sekarang ini, Pak Menteri yang baik, jika anda berpikir bahwa ada "tata cara dominan agama tertentu dalam proses belajar mengajar" yang akan "membuat siswa penganut agama lain menjadi tidak nyaman", dengan percaya diri dan lantang kami akan mengatakan seyakin-yakinnya : para orang tua kami sangat mampu untuk mendidik anak-anaknya dalam iman, agar tidak berpindah keyakinan hanya karena melihat teman-temannya berdoa dengan cara yang berbeda setiap harinya.

Karena menurut ajaran kami, kami telah ditebus dengan harga yang termahal, sehingga tidak ada alasan untuk menggadaikan keselamatan itu sama sekali, dengan harga apapun juga. Hanya masalah doa di sekolah? Itu masalah keciiiil.

Jadi tolonglah, Pak Menteri, janganlah terlalu mengurusi hal-hal ini. Saya tahu, bos Pak Menteri sedang sibuk dengan segala pencitraannya, dengan (saya harap) hanya satu tujuan : mendapatkan kepercayaan rakyatnya, agar program-program yang dianggapnya bermanfaat bagi bangsa ini bisa dijalankan dengan mulus dan didukung penuh.

Jadi sekali lagi tolonglah, Pak Menteri, jangan rusak usaha tersebut, hanya untuk suatu hal yang mungkin Pak Menteri pikir sebagai suatu aksi membela kaum minoritas.

Karena kami tidak perlu dibela.

Karena ada tertulis, tahan uji menimbulkan pengharapan.




Jakarta, 9-10 Desember 2014
Kristen 100%
Indonesia 100%



.

Rabu, 16 Juli 2014

Rose and Chamomile

[1]
Just across the north sea she lies still, my first and utmost obsession.
Fiery, blazing scarlet adorns her perfectly; both arousing and burning.
The world's center of attention, the envy of all nations.
Her red, warmth for her fellows, fury for those she despises.

So close by distance, yet firmly untouchable;
with her mighty armada fiercely guarding
every inch of waters between us, and shouting:
"Never again you shall pass, never again!"

That defines her position: within my sight, out of my reach.
Now we're just exchanging explosive-loaded rockets
and sending heavy bombers over each other;
with a woeful outcome: devastating without conquering.


[2]
There on a far away eastern land, she reigns proud and haughtily.
White is her colour, white as her winter; pure and serene, they say.
Is purity a rejection for outsiders? Does serenity hide her vast army?
A perfect disguise and protection, for she is coveted by many.

Her winter staves off any invaders,
freezing them before the truth starts to hurt;
the bitter truth when they feel they've won,
to know that in fact they are actually hopeless.

But uncharted as it seems, my confidence keeps telling me:
"You will know the path! You can race the winter!"
And here am I, stuck inside her cold nights;
resigned my fate to her mercy.



[3]
Oh boy, tell me how silly I am.
Who send me to my own death?
Nobody here to blame, only myself.
With limited resources and fake self-belief,
I throw myself deep down the abyss of life;
by opening not one, but two deadly fronts.
 


14. bis 15. Juli 2014
Feldmarschall von Liebeskrank









For you who haven't get the references on the title yet; rose is the national flower of England, while chamomile is the national flower of Russia. For another references appeared, you may want to discover by yourselves.


.

Minggu, 29 Juni 2014

Darah Garuda

Siapa yang berani menikamnya?
Dia terkapar
Berlumur darah
Sirna keemasannya
Sirna warna warninya

Bandung-Jakarta

28-29 Juni 2014

Selasa, 24 Juni 2014

Kumpulan Lawak dan Satir Pilpres 2014


 Salam pilpres! Berikut ini saya berikan kompilasi status facebook saya selama periode pilpres 2014 yang isinya barang-barang abstrak nggak jelas. Akan terus diupdate sampai tanggal 9 Juli 2014 jika ada yang baru. Silakan meringis dan meratapi pilihan anda jika kebetulan berbeda dengan saya! Salam satu batang, salam dua biji! #eh


ANJING MENGGONGGONG KAFILAH NGIBRIT

Alkisah suatu hari, di ujung sebuah gang buntu mepet jurang pinggir kali.

Panjul: "Dasar penyakitan! Pake baju lengan panjang terus, pasti pundak sampeyan kudisan! Selangkangan sampeyan juga pasti kudisan!"


Jambrong: "Ayo kalau berani kita medical check up lah. Lagian ngaca dong, situ malahan jidatnya yang panuan, kukunya cantengan, mukanya bopengan, matanya picek..."


Panjul: "Eh, udah dong, kenapa malah jadi bawa-bawa fisik! Dasar preman nggak beradab, bisanya maenan fisik doang!"

#kehedsiah #ngunyahsendok #gigirontok



APALAH ARTI IDEOLOGI

Acara nonton bareng final Liga Antah Berantah antara Jamban FC dan Pispot FC.

Jambanholic: "Pokoknya saya nggak mikir menang kalah, yang penting itu tim saya itu selalu main cantik, sepakbola indah! Nggak kayak tim kamu, yang bisanya selalu cuma 'park the bus' doang!"


Pispotmania: "Alah, palingan juga nggak pede sama kemampuan tim sendiri, belum mulai tanding aja udah nyari alasan kalau kalah! Tim saya itu bukannya nggak bisa nyerang, tapi 'bertahan indah', bukan main serang nggak pake otak!"

Pertandingan berakhir mengejutkan: skor 3-1 bagi Jamban FC dengan ball possession hanya 22% dan shot on goal hanya 2 (satu gol lagi adalah gol bunuh diri dari pemain Pispot FC).

Pispotmania: "Kemenangan bukan segalanya. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu niat bermain sepakbola. Terlihat jelas mana tim yang niat menang dan yang cuma 'park the bus'."
 

Jambanholic: "YEEEEY GUA MENANG! GUA MENANG! POKOKNYA GUA MENANG! PERSETAN SEPAKBOLA INDAH!"

#FansLogic
#FakLojik



NETRALITAS SEMU

Tahun 2013. Si Japra lagi ngegeje di kantor sambil browsing-browsing situs geje macam Soccer Memes dan Goal Dot Com.

"Ronaldo belagu, Ronaldo sok ganteng, Ronaldo tukang diving kayak banci, Ronaldo selamanya cuma bisa jilat sepatu Messi, Ronaldo tampang maho, di saat Ronaldo sibuk ngiklan sampo, Messi sibuk menang 4 Ballon d'Or, dasar Gaynaldo, dasar Penaldo..." Japra terus membaca berbagai jenis komen sampah yang ada di suatu artikel.


"Kenapa ya gara-gara pemain bola doang, orang mulutnya bisa jadi kotor begitu, asal njeplak, ga pake logika, kayak orang nggak berpendidikan aja... Belom tentu juga semua yang ditulis itu bener, kok ini fans satu tim bola udah kayak ngerasa pemilik dunia aja." keluh Japra dalam hati, sambil bertekad menuangkan suara dalam hatinya itu ke dalam sebuah wadah implementasi berupa status facebook.

Saat kemudian Japra membuka facebooknya, tiba-tiba muncul satu notif. Ternyata Jimbrong, teman sekantornya, ngeshare satu link berita (mungkin ini kantor lagi geje banget kali ya, pada facebookan semua karyawanya). Judulnya "Messi called to court over allegations of tax evasion". Tambahan komen dari Jimbrong: "Lagaknya sok suci, eh gak taunya nilep pajak juga. Mendingan Ronaldo, Ballon d'Or cuma 1, tapi ga perlu sampe ngambil duit pajak buat nambah beli 3 biji lagi, he he he".

"Bener juga ya, setuju sekali, Messi tidak sesempurna yang para fansnya pikirkan, gak taunya cacatnya gede juga." gumam Japra dalam hati setelah membaca share dari Jimbrong tersebut. Tentunya, suara dalam hatinya kali ini tidak akan ia jadikan status facebook.

#Repleksi
#FakLojik
#FansLogic
#SilentFans

Disclaimer: tidak ada Barcelonista dan Madridista yang disakiti (dan saya harap tidak ada yang merasa disakiti) dalam pembuatan satir ini. 



DI MANA JELATA DIINJAK, DI SANA PRABU DIJUNJUNG

Di suatu SMA pinggiran ibukota. Puluhan siswa berkerumun menonton adu mulut dua orang siswa yang akhirnya berujung pada perkelahian. Atau lebih tepatnya, menonton Paijo memukuli Juki sampai babak belur.

Eko bergumam "Anjir, lemah banget si Juki. Digebukin abis-abisan sampai gak bisa ngelawan gitu. Cowok bukan sih? Berantem aja kagak bisa, ckckck".

Gondo yang ada di sampingnya diam saja, tak berkomentar.

Seminggu kemudian...

Kembali terjadi adu mulut yang berujung perkelahian. Kali ini Juki, yang ternyata selama seminggu itu belajar pencak silat di padepokan silat Bang Ali, menjadikan Paijo bulan-bulanan.

Gondo melirik Eko, seakan ingin menanyakan sesuatu.

Eko balas menatap Gondo dengan muka serius, kemudian berkata dengan suara dalam "Lihat, itu si Paijo benar-benar gentleman sejati. Dia bisa saja memberi pukulan telak kalau dia mau, tapi dia memilih mengalah. Luar biasa."

Gondo hanya bisa melongo, dan beberapa saat kemudian menyilangkan satu jarinya di jidat.

#MataLuPicek #SalamJariTengah




.

Kamis, 03 April 2014

Turun Tangan, Sebuah Unjuk Rasa

Ada sebuah teori yang dulu pernah saya dengar di zaman purbakala, saat saya masih jadi mahasiswa di sebuah kampus di mana para penghuninya amat hobi melontarkan berjuta teori luar biasa (alias, di luar kebiasaan, atau terkadang gila). Teori ini terkait demonstrasi atau unjuk rasa.

Jadi menurut yang empunya teori (maaf lupa siapa, atau mungkin bahkan saya sendiri yang mengeluarkannya? maklumlah sudah lama sekali), ada tiga manfaat dari orang berdemonstrasi atau berunjuk rasa:
1. Mengupayakan tercapainya tuntutan.
2. Membuat pernyataan sikap ke khalayak ramai.
3. Memperkuat sikap dan keyakinan sendiri.

Contohnya dengan ilustrasi yang sangat sederhana, saat ada demonstrasi anti koruptor di depan KPK, sang demonstran harusnya mengharapkan (1) koruptor yang didemo menerima hukuman seberat-beratnya sesuai kejahatannya, (2) mereka terlihat oleh masyarakat sebagai pihak yang anti korupsi, dan (3) diri mereka sendiri tambah sadar dan teguh keyakinannya bahwa korupsi itu adalah sungguh perbuatan yang buruk sehingga pantas didemo, sehingga ke depannya kelakuan mereka pun akan mencerminkan keyakinan itu, seperti tidak akan korupsi atau akan berusaha memberantas korupsi sesuai lingkupnya masing-masing.

-----------------------------

Pemilu 2014 sudah makin dekat. Dan bagi saya pribadi, saya berharap bahwa jika saya memilih dalam pilpres nanti, bukan hanya sekadar kegiatan mencoblos suatu nama atau wajah di atas kertas dalam bilik tertutup, tapi juga sebuah unjuk rasa. Sebuah demonstrasi politik.

Dimulai dari pikiran inilah, saya mulai tertarik kepada salah satu (bakal) calon presiden. Oh iya, terkait Pemilu Legislatif (yang akan dilaksanakan lebih dahulu), itu bahasan terpisah, tetapi jujur saya memilih membahas Pemilu Presiden terlebih dahulu, just for the sake of which is the more interesting for myself between those two. Sorry, personal standpoint.

Kembali ke sang (bakal) calon presiden yang gagasannya telah berhasil memancing perhatian saya. Beliau adalah Anies Baswedan, salah satu peserta konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Tidak, saya rasa tidak perlu saya uraikan tentang beliau, betul?

Karena tanpa perlu saya ulangi eksposisi panjang lebar tentang gagasan beliau, tentang bagaimana elaborasi dari konsep Turun Tangan yang menjadi jargon beliau... ada banyak relawan beliau, relawan-relawan Turun Tangan (yang saya sangat salut, karena mereka merupakan salah satu kelompok paling militan yang saya lihat di kancah perpolitikan nasional saat ini, dalam mengusung calon presiden yang didukung sekaligus juga mampu memahami dan siap mengeksekusi gagasan yang dibawa oleh calonnya) ... yang lebih jago menjelaskan tentang semuanya itu. Misalnya saja artikel yang ditulis oleh rekan Pandji Pragiwaksono yang menurut saya sudah sangat cukup menggambarkan. Kalau belum kenyang juga, silakan berkeliling ke link-link (oh shit, I think I just made an unintended pun) di bagian akhir tulisan ini.

Saya hanya ingin menyampaikan, jika seandainya beliau memenangkan konvensi calon presiden Partai Demokrat dan saya (pasti akan) memilih beliau di Pilpres, maka itu adalah sebuah demonstrasi politik dari diri saya. Sebuah unjuk rasa.

Tentunya dengan memilih beliau saya berharap beliau menang dan terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (sudah jelas!).

Namun, dengan pilihan saya tersebut, saya juga ingin menyampaikan kepada semua orang tentang apa yang saya lihat, apa yang saya harapkan, dan apa yang ingin saya lakukan untuk negara ini. Dan juga tentang konsep Turun Tangan, yang sendirinya adalah merupakan konsep sebuah unjuk rasa. Bahwa setiap tindakan merupakan pengingat akan kapabilitas diri, sekaligus ajakan bagi orang-orang lain untuk ikut bertindak.

Dengan mendukung konsep Turun Tangan, saya ingin mewartakan bahwa rakyat bukan hanya berhak berharap, namun juga diberi arahan dan semangat untuk mampu mewujudkan harapan itu, bersama-sama, serempak serentak, masif dan sinergis.

Bahwa negara ini tidak akan besar jika suara rakyatnya bisa dibeli dengan harga semurah sehelai kaos oblong bersablon dan selembar limapuluhribuan yang terselip dalam bingkisan sembako serangan fajar. Bahwa rakyat yang ingin bangsanya maju, bisa mengawali langkahnya dengan keseriusan dalam memilih pemimpinnya.

Bahwa semua orang boleh berharap KKN akan hapus dari bumi Indonesia, dan bahwa semua orang harusnya sadar masing-masing dari kita bisa membantu mewujudkan hal itu... atau juga bisa membantu memperparahnya, baik dengan aktif maupun dengan diam.

Bahwa semua orang yang percaya bahwa akar masalah bangsa ini ada pada pendidikan, yang percaya bahwa pemerintahan harus bersih dari politisi-politisi busuk, yang percaya bahwa Indonesia harus berdaulat penuh atas pengelolaan dan pengusahaan seluruh sumber daya dari alamnya yang kaya raya, yang percaya bahwa kesenjangan sosial harus diberantas, yang percaya bahwa pemerataan pembangunan dari Sabang sampai Merauke harus ditegakkan, atau bahkan yang sekedar ingin agar dirinya dan keluarganya bisa bebas dari jurang kemiskinan; sesungguhnya dapat berperan besar dalam mewujudkan semua hal tersebut.

Bahwa anggapan akan rusaknya kondisi bangsa ini bukan alasan bagi rakyat kecil untuk berhenti berharap, bahwa kita semua, ya, semua dari kita masih bisa melakukan sesuatu agar bangsa ini bisa merangkak keluar, lepas landas, dan terbang tinggi... dengan keyakinan bahwa di sekeliling kita, jutaan orang sedang bergerak ke arah hal yang sama, tanpa saling menjatuhkan seperti kepiting dalam periuk.

Bahwa baik buruknya negara ini ada di tangan rakyatnya, sebagaimana esensi demokrasi. Bahwa sebagaimanapun keadaan, jika kita telah berusaha untuk turun tangan memperbaikinya, maka kita akan menganggap wajah negeri kita saat itu sebagai hasil karya tangan kita sendiri, dan kita akan tersenyum karenanya... dan bahwa kita pantas berharap bahwa senyum itu akan menjadi senyum universal ketika kita tahu, segenap negeri ini dipenuhi oleh orang-orang yang telah berusaha, dan telah tersenyum.

Bahwa jikalau seandainya memang Ratu Adil itu benar-benar ada, saya menganggap pastilah ia bukan superman atau penyihir yang bisa sendirian memusnahkan segenap kejahatan di negeri ini; tetapi adalah pemimpin yang, sesuai dengan sebutannya, mampu menempatkan rakyatnya berpartisipasi aktif dalam memajukan negerinya sesuai dengan posisi dan potensinya masing-masing.

Bahwa selagi menunggu datangnya pagi, dalam kegelapan kita bisa menyalakan lilin, senter, petromak, obor, lampu hape, lampu halogen, lampu sorot, atau penerangan apapun yang ada di tangan kita.

Dan, sebagai manfaat ketiga dari unjuk rasa politik saya itu, dengan mendukung konsep Turun Tangan sesungguhnya saya sedang berteriak pada diri saya sendiri: "kamu bisa, akan, dan harus melakukan sesuatu yang besar bagi negaramu; kamu bisa, akan, dan harus memajukan negaramu tidak dengan hanya menungggu karya tangan orang lain, tetapi juga dengan Turun Tangan, karena kamu tahu dengan pasti apa yang tanganmu bisa berikan bagi negara ini...!"

Bahwa dengan kapabilitas kita, dengan kapabilitas bangsa Indonesia, sudah seharusnya setiap dari kita mulai Turun Tangan, bukan hanya urun angan.

Itulah yang akan menjadi unjuk rasa saya kelak, ketika seorang Anies Baswedan kelak maju menjadi peserta Pilpres 2014. Dan jika seandainya memang beliau gagal untuk lulus konvensi... maka curahan pikiran dalam lamunan tengah malam inilah yang menjadi demonstrasi, menjadi unjuk rasa politik saya, tentang harapan akan Indonesia yang lebih baik sebagai hasil dari segenap rakyatnya yang turun tangan.




“Schweigen im Angesicht des Bösen ist selbst böse: Gott wird uns nicht als schuldlos betrachten. Nicht zu sprechen ist sprechen. Nicht zu handeln ist handeln” (Silence in the face of evil is itself evil: God will not hold us guiltless. Not to speak is to speak. Not to act is to act.)
- sepenggal dari surat Dietrich Bonhoeffer, teolog Jerman yang turun tangan menentang NAZI, saat menunggu hukuman matinya di dalam penjara -



Silakan lihat situs resmi Anies Baswedan
dan facebook Anies Baswedan
dan channel Youtube Anies Baswedan.



.

Sabtu, 08 Maret 2014

Masterpiece

Sebulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan bertemu dengan Ir. Triharyo Soesilo, alumni ITB angkatan 77, dalam rangka untuk mengundang beliau dan beberapa rekannya untuk mengisi sesi berbagi ilmu dan pengalaman kepada alumni-alumni Teknik Kimia ITB yang masih berasa muda (more on this later).

Ada sepotong percakapan dengan beliau yang sangat mengena bagi saya, karena entah kebetulan atau memang begitulah seharusnya, yang beliau katakan sangat menjawab isu yang seringkali saya debatkan dengan rekan-rekan saya: apa artinya menjadi seorang alumni ITB.

Berikut kira-kira kata-kata yang beliau sampaikan kepada kami waktu itu:

"Saya kasih tahu ya, kalau keinginan kamu itu sekadar: punya rumah, punya mobil, dan menyekolahkan anak di sekolah yang baik; kalau cuma itu aja, percayalah, untuk lulusan ITB, minimal semuanya itu pasti bisa terpenuhi, kecuali memang dia (maaf) melakukan kesalahan sangat bodoh dalam hidupnya. Jadi tidak perlu khawatir.

Sisanya, kita harus mengejar pencapaian masterpiece kita masing-masing: hal a
pa yang membedakan kita dengan orang lain, pencapaian terbesar yang kita bisa banggakan. Jadi direktur, jadi orang kaya, belum tentu bisa disebut masterpiece; warna apa yang bisa kamu berikan?

Jadi sekali lagi, saya ulangi; kalau kamu cuma ingin rumah, mobil, bisa nyekolahin anak; nggak usah dikejar, untuk lulusan ITB, itu semua pasti dapat. Maka dari itu, jangan takut untuk mengejar cita-cita, masterpiece kamu.
"

Kalau orang luar saat membaca ini mungkin menangkapnya anak ITB kok sombong sekali, ya nggak? (silakan untuk referensi baca artikel-artikel bernada sejenis yang banyak sekali tersebar di internet)

Sementara beberapa anak ITB mungkin malah berpikir bahwa kata-kata ini membuat terlena dan menjadikan orang malas dalam bekerja, ya nggak?

Tapi kalau buat saya, sama seperti menyikapi jargon "putra-putri terbaik bangsa", kata-kata Pak Hengki ini justru mengingatkan saya bahwa semuanya itu berimbang: ada privilege, ada demand; ada advantage, ada challenge; ada benefit, ada responsibility.

Ketika (katanya) nikmat hidup itu lebih mudah didapat, berarti kekuatan kita, modal kita, masih berlebih, masih 'bersisa'; syukurilah advantage yang kita dapat, dengan cara bagaimana?

Dengan berani mengejar hal yang lebih, tidak hanya mengejar kecukupan materi (yang katanya mudah terpenuhi itu), mimpi yang bermanfaat buat orang banyak, yang memberi warna pada dunia; kontribusi yang menjadi landmark kita; menjadi MASTERPIECE.
 

Apakah lebih sombong punya mimpi untuk menjadi bermanfaat bagi banyak orang dengan keunikan potensi dan kelebihan dari masing-masing diri kita sendiri; dibandingkan punya mimpi 'hanya' jadi orang kaya, punya karir sukses, dan hidup kecukupan, seperti manusia pada umumnya? (kalau menurut saya itu mah bukan mimpi, tapi memang keinginan setiap manusia, untuk hidup enak, yang biasanya ya selalu dikejar, baik mimpi atau bukan)
 
Ya, kalau karena berani mengejar mimpi besar itu, anak ITB dibilang sombong; saya bangga jadi lulusan ITB yang sombong.

Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater.







Minggu, 02 Maret 2014

Empty, Half, and Full

Tiga orang yang sedang bertarung di pemilihan untuk memperebutkan suatu jabatan publik, mendapatkan sebuah pertanyaan di suatu acara debat.

"Jika anda terpilih, apakah anda akan mengadakan syukuran atau perayaan, dan apa alasannya?"

Calon pertama menjawab: "Tentu saja, karena kemenangan itu sesuatu yang patut dirayakan."

Calon kedua menjawab: "Tidak, karena menurut saya, mendapatkan jabatan ini berarti mendapat tanggung jawab dan beban yang besar, sebagai pelayan masyarakat; ini adalah kewajiban dan bukan kemenangan, bukan sesuatu yang harus disambut dengan perayaan."

Calon ketiga: "Ya, karena menurut saya, mendapatkan jabatan ini berarti mendapat tanggung jawab dan beban yang besar, sebagai pelayan masyarakat; saya akan sangat berterima kasih jika mendapat kesempatan lebih untuk bermanfaat bagi banyak orang, sesuai cita-cita saya. Sungguh, menerima kesempatan besar untuk bermanfaat bagi masyarakat luas ini adalah kebanggaan dan anugerah bagi saya, maka tentu saja saya akan merayakannya."

================================

Dulu, ketika saya kuliah, di semester 4 ada sebuah mata kuliah bernama Neraca Massa dan Energi. Berikut ini adalah peristiwa yang benar-benar terjadi di saat ujian tengah semester. Pada ujian itu, ada sebuah soal yang sangat panjang, dengan penjelasannya memakan tempat setengah lembar soal, dan porsi nilainya adalah sekitar 30-40% dari nilai total ujian tersebut; di mana kita ditugaskan untuk menghitung neraca massa di serangkaian unit operasi yang terdiri dari (kalau tidak salah) lebih dari 3 unit operasi dan 10 aliran. In short, rumit dan berbahaya.

Berikut ini adalah ilustrasi bagaimana beberapa rekan saya menjawabnya.

Rekan pertama, karena pusing, menjawab bahwa soal tidak bisa dikerjakan.

Rekan kedua menghabiskan waktu hampir sepanjang ujian untuk menyelesaikan soal itu, namun sampai waktu habis, dia belum sampai ke jawabannya.

Rekan ketiga, setelah melakukan perhitungan tahap pertama, menemukan bahwa analisis derajat kebebasan (ADK) sistem tidak sama dengan nol, sehingga soal tidak dapat dikerjakan (dalam ilmu neraca massa dan energi, syarat soal dapat diselesaikan adalah ADK = 0, tidak kurang dan tidak lebih). Rekan ini mendapat nilai penuh untuk nomor tersebut.

================================

Dalam suatu episode Detektif Conan, ditemukan mayat seorang korban pembunuhan di WC umum. Di lokasi kejadian, juga nampak noda darah berbentuk huruf S. Para tersangka terdiri dari empat orang rekan korban dari klub menembak.

Kogoro Mouri berpendapat bahwa pelaku adalah salah satu rekan korban, yang bernama Sano. Alasannya tidak perlu dipikirkan lagi, huruf S ditulis korban dengan darahnya sendiri sebagai pesan kematian yang menandakan Sano adalah pembunuhnya.

Inspektur Megure, setelah memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan di lokasi, membantah pendapat tersebut. Menurutnya, tanda S yang ditinggalkan adalah trik dari pelaku sebenarnya untuk menuduh Sano sebagai kambing hitam.

Singkat cerita, pada akhirnya, Conan memecahkan kasus ini. Pelakunya adalah benar Sano yang ternyata, dalam kesimpulan yang dijelaskan, dengan sengaja menuliskan inisialnya sendiri di tempat kejadian agar terhindar dari tuduhan (dengan trik reverse psychology).

================================

Ada sebuah cerita humor yang, entah benar atau tidak, sering dikaitkan dengan tokoh Nasruddin Hoja. Dalam kisah ini, Nasruddin Hoja muda sedang duduk-duduk santai di depan rumahnya ketika tetangganya, seorang saudagar yang kaya raya, lewat dan menyapanya.

"Wahai Nasruddin, apakah gerangan yang sedang kau kerjakan di depan rumahmu itu?" tanya sang saudagar.

"Wahai tetanggaku yang baik, sesungguhnya aku sekarang sedang bersantai, menikmati hidup." jawab Nasruddin.

Sang saudagar menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban pemuda Nasruddin dan kemudian berkata "Wahai Nasruddin tetanggaku, tidakkah pernah terpikir bagimu untuk mengerjakan sesuatu, yang tidak hanya bermalas-malasan seperti yang engkau lakukan sekarang ini? Tidakkah engkau pernah berpikir, misalnya, untuk melakukan hal yang bermanfaat, seperti memelihara beberapa ekor ayam?"

"Apa untungnya itu bagiku?" tanya Nasruddin sambil tersenyum polos.

Sang saudagar menjawab "Kau bisa menjual telur yang dihasilkan ayam-ayam itu, dan mendapatkan uang. Atau, kau bisa menetaskan beberapa telur dan memelihara lebih banyak ayam, lalu menjual sebagian ayam-ayam itu, dan mendapatkan uang lebih banyak lagi!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" tanya Nasruddin kembali, masih tersenyum.

Sang saudagar menjelaskan "Dengan uangmu itu mungkin kau bisa membeli ternak yang lebih besar, seperti kambing atau sapi; kau bisa menjual susunya dan mendapatkan lebih banyak uang, lalu dengan uang itu kau bisa membeli lebih banyak ternak lagi, dan kau akan mendapatkan uang jauh lebih banyak lagi!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" kembali Nasruddin mengulangi pertanyaannya.

Sang saudagar menatap Nasruddin keheranan, lalu menjawab lagi "Kau bisa memiliki beribu-ribu ternak, dan bahkan kau bisa menggaji orang untuk mengurusi ternak-ternakmu itu, dan pada akhirnya kau bisa menjadi peternak dan saudagar yang kaya raya!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" tanya Nasruddin lagi.

Akhirnya sang saudagar meledak dan berteriak "Apa yang kukatakan masih kurang jelas? Kau bisa jadi orang kaya, punya uang banyak, dan tidak usah bekerja keras lagi seumur hidupmu! Setelah kau jadi orang yang kaya raya, kau bisa bersantai sepanjang yang kau mau, menikmati hidup dengan duduk-duduk seenakmu di depan rumahmu sambil menikmati pemandangan sampai puas!"

Nasruddin manggut-manggut. "Jadi, aku harus mulai bekerja keras sepanjang hidupku, supaya nanti setelah aku bekerja keras, aku jadi bisa duduk-duduk di depan rumahku, bersantai menikmati hidup?" tanyanya.

"Ya!" teriak sang saudagar, puas.

Nasruddin Hoja tersenyum, dan berkata "Menurutmu, apa yang sekarang sedang kulakukan?"

================================


Sekian renungan abstrak saya di Minggu sore, yang berisi tiga cerita pendek nggak jelas dan satu cerita lawak. Izinkan saya menutup renungan ini dengan kutipan yang ditenarkan di generasi saya oleh biksu Tong Sam Cong, "hampa adalah isi, isi adalah hampa", dan dengan kutipan yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman saya sendiri:


Sometimes, what separates little and great minds are the reason only, with the mediocre minds often are in the opposite corner.


 




.