Sabtu, 11 Juli 2009

Tih Bjal Dunav Se Vylnuva

Dalam rangka mengisi jam-jam kosong (yang merupakan waktu mayoritas saya) selama periode kerja praktek, saya telah menemukan kegiatan baru yang cukup bermutu, yaitu mengarang cerita. Tentu saja bagi yang sudah mengenal saya, anda bisa menebak dengan tepat bahwa cerita yang saya karang pastilah bukan cerita biasa.

Ya, ini adalah cerita fiksi-sejarah-lagu pertama yang saya buat, dan menimbang jam-jam kosong saya selama kerja praktek yang telah diperkirakan dengan akurat akan lebih banyak daripada saat kuliah, ini jelas bukan yang terakhir.

Apa itu cerita fiksi-sejarah-lagu? Dia adalah gabungan dari:
- cerita fiksi-sejarah, yaitu cerita fiksi yang memiliki dasar sejarah (a.k.a. sejarah didramatisir, contoh paling terkenal adalah Romance of Three Kingdoms a.k.a. Samkok); dan
- cerita fiksi-lagu, yaitu cerita fiksi yang memprosakan, atau (umumnya) menarasikan sebuah lagu.

Dan lagu pertama yang saya jadikan korban adalah lagu patriotik yang cukup terkenal di Bulgaria, Tih Bjal Dunav se Vylnuva (Sungai Danube Putih yang Tenang Beriak-riak), yang menceritakan tentang salah satu episode dramatis yang masih dikenang bangsa Bulgaria hingga saat ini, yaitu salah satu peristiwa dalam Perang Kemerdekaan Bulgaria melawan penjajah Turki Utsmani, yaitu… seperti yang bisa dibaca dalam ceritanya.

Sebelum dibaca mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan, secara saya membuat cerita ini hanya untuk membunuh waktu luang saat kerja praktek, syukur-syukur bisa menambah wawasan pembaca tentang sejarah dunia.

Panjang ya ceritanya? Ya, kan tujuannya untuk menghabiskan waktu. Heh heh heh…
Selamat menikmati.

-----------------------------------------------------

29 Mei 1876.





Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
(Sungai Danube putih yang tenang menjadi bergelombang, dan beriak-riak dengan gembira)


Lev Kostadinov tercenung di geladak. Matanya menatap nanar ke depan. Air. Jernih. Riak-riak air menari-nari dipadu sinar mentari, menutupi permukaan air dengan warna putih. Sejauh mata memandang. Dan ia pun memejamkan mata.

Lev hampir tak kuasa menahan air mata ketika mengenang air putih yang sedang ia layari ini, dan mengapa ia melayari air putih ini, air putih yang selama berabad-abad telah menjadi saksi bisu jatuh bangunnya manusia dan peradaban yang disangga di punggungnya, dan nampaknya peranan saksi bisu ini akan terus disandangnya hingga akhir dunia.

Air putih itu bernama Danube; atau, seperti Lev kita ini menyebutnya, Dunav; atau seperti musuh-musuh Lev di seberang sana menyebutnya, Tuna.

Timbul dari pedalaman Schwarzwald, Hutan Hitam di pelosok Bavaria Jerman, air putih yang di tanah kelahirannya dipanggil Donau ini mengalir sepanjang lebih dari seribu kilometer ke timur, ke Laut Hitam di Silang Dunia antara dua ranah peradaban besar, Eropa dan Asia. Bahunya yang tegar telah ditakdirkan terbeban oleh kawasan yang paling bergejolak dan paling sering menjadi tempat di mana darah anak manusia tertumpah: Semenanjung Balkan.

Sejak dua ribu tahun sebelum Lev lahir, air putih ini telah menjadi perbatasan terdepan di bagian utara negara adidaya pertama dunia, Kekaisaran Romawi Kuno, yang memanggil air putih ini dengan sebutan Ister atau Danuvius. Perang secara berkesinambungan terjadi antara Kekaisaran Romawi yang menumpuk benteng dan tembok pertahanan di sepanjang bahu selatan sang air putih, melawan bangsa-bangsa (yang oleh orang Romawi disebut) barbar dan nomad yang kerap terjun laksana air hujan menyerbu dari bahu utara sang air putih.

Seiring berjalannya waktu, perang tidak pernah berhenti selama seribu tahun ketika ras Jerman berebut pengaruh dengan ras Slavik dan ras Latin di daerah yang terbagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil tersebut. Ras Jerman, yang bernaung di bawah konfederasi Kekaisaran Romawi Suci, lebih sering dianggap penjajah oleh penduduk mayoritas; yaitu bangsa-bangsa Hungaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, Serbia, Ceko, dan Slovakia; yang di baliknya seringkali disokong oleh bangsa ras Slavik paling jaya, Rusia.

Hasil benturan ini mengakibatkan bahu sang air putih ditumbuhi berbagai budaya: setelah melewati Vienna ibukota Austria, ia membelah Slovakia dan ibukotanya Pressburg atau Bratislava, di mana ia disebut Dunaj. Kemudian ia melewati Hungaria dan kota Budapest, di mana sang air putih berganti nama menjadi Duna. Setelah itu, sang air putih melintasi Serbia dan ibukotanya Beograd. Dan ia kemudian mengalir sepanjang perbatasan Bulgaria-Rumania, di mana ia di satu sisi dipanggil Dunav dan di sisi lain bernama Dunarea.

Segalanya berubah ketika pada abad ke-14, malapetaka datang bagi para nenek moyang Lev yang sebenarnya sudah cukup parah nasibnya dihantam perang berkepanjangan.

Bahaya tersebut bernama segerombolan tentara, menyeruak dari Anatolia: pasukan Kekaisaran Turki Utsmani, yang baru mengambil alih kepemimpinan kekhilafahan Islam.

Menyeberangi Dardanella dan Laut Marmara, beratus-ratus ribu serdadu dengan cepat merebut daerah-daerah Eropa yang telah diperlemah perang berkepanjangan. Sultan Suleiman Nan Cemerlang berhasil menyeberangi sang air putih, menghajar tentara Eropa hingga di Mohacs, Hungaria, dan nangkring dengan sukses di pintu gerbang ibukota Eropa, Vienna.

Tapi hingga di situ saja. Dengan cepat seluruh bangsa Eropa bersatu menghadapi ancaman asing ini. Dimotivasi dengan teriakan perang suci mempertahankan agama, berjuta-juta serdadu Eropa memukul mundur sang penjajah. Setelah melalui perang tanpa henti, beratus-ratus tahun kemudian barulah ketenangan sedikit terjadi; ekspansi Turki Utsmani berhenti di bahu sang air putih, Danube. Ketenangan semu, karena kedua belah pihak masih saling mengintip; aliansi Eropa di utara dan Turki Utsmani di selatan beserta jajahan-jajahan Eropanya yang menjerit-jerit minta diselamatkan.

Dan di selatan itulah terletak Bulgaria, tanah air Lev yang minta dibebaskan itu. Dan untuk itulah ia melayari sang air putih, dengan garpu taman yang ia pegang dengan kokoh di tangan kanannya, di atas kapal yang kini dengan gembira membelah sang air putih yang beriak-riak keemasan disorot sinar mentari petang, seakan menari-nari dengan ceria mengiringi perjalanan Lev.





I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni
(Karena Radetzki berlayar dengan gagah, di atas riak emasnya)


Garpu taman inilah yang juga dipegang oleh Lev beberapa hari yang lalu, saat ia meloncat ke atas kapal yang ia tumpangi ini, dari Calafat, Rumania.

“Tujuan?” tanya sang penjaga kapal kepada Lev dalam bahasa Jerman.

“Sulina.” jawab Lev singkat.

“Lima keping perak.” kata sang penjaga kapal. Lev memberikan sesuai jumlah yang diminta, kemudian meloncat ke jembatan yang menghubungkan geladak dengan dermaga.

Seorang penumpang, perempuan muda berumur dua puluhan dengan gaun berwarna kuning, memandangi Lev dan barang-barang bawaannya. Ada sebuah tas besar tersandang di bahu Lev. Tangan kirinya menenteng penyiram tanaman sedangkan tangan kanannya menggenggam gagang garpu taman.

“Tukang kebun?” tanya si gadis, yang disambut Lev hanya dengan anggukan.

“Kau adalah tukang kebun keempat yang kulihat di kapal ini.” lanjutnya. Lev hanya diam. “Nama dan asalmu?”

“Lev Kostadinov dari Bulgaria, Nona.” jawab Lev singkat.

“Oh, Bulgaria. Ketiga tukang kebun yang di sana –“ katanya menunjuk ke arah tepi geladak yang berseberangan. “– berasal dari Austria, Hungaria, dan Slovakia nampaknya. Ada banyak sekali tukang kebun yang naik kapal ini!” ucapnya seakan-akan ini hal yang menggembirakan. “Apakah ada banyak lowongan kerja saat ini di Balkan?” tanyanya dengan nada keingintahuan yang mencolok.

“Seperti itulah kira-kira, Nona.” jawab Lev tak jelas. “Permisi dulu, saya mungkin tertarik untuk bertanya-tanya kepada mereka… terima kasih atas waktunya, Nona.” Dan dengan kalimat penutup itu Lev pergi meninggalkan si gadis bergaun hijau muda yang keheranan.

Levat Balkanski?” tegur Lev kepada ketiga pria berpenampilan tukang kebun yang sedang berdiri memandangi hamparan air putih. Ketiganya menoleh. Kemudian salah seorang dari antara mereka, yang berkumis, menyahut.

V boy velikanski. Ayo ikut aku, Nak!” katanya sambil membimbing Lev berjalan ke sisi dalam kapal. Tapi salah seorang dari antara mereka, pemuda berambut pirang, menyodok perut Lev sambil setengah berteriak “Lev sobat!”

Ia mengenalinya sebagai Giorgi Stoyanov, teman satu kampungnya. Dan meledaklah tawa keduanya, hingga si pria berkumis menepuk kepala keduanya, menyuruh mereka diam. Dalam tenang mereka berempat masuk ke salah satu kamar di kapal tersebut.

“Kau sampai dengan selamat, Lev.” sapa orang yang satu lagi, yang dikenali Lev sebagai kakak kelas tiga tahun di atasnya di Politeknik Timişoara, Rumania. Lev tersenyum kepadanya.

“Jadi, masih berapa orang lagi yang akan naik?” tanya Lev antusias.

“Dua ratus lima seluruhnya, Lev.” jawab si pria berkumis. “Kebanyakan akan naik di Bechet. Letnan Voinovski dan Botev sendiri akan naik dari sana, lengkap dengan semua alat-alat. Dan perkenalkan, Borislav Radoslavov.”

Uluran tangan Radoslavov disambut Lev, disusul dengan pertanyaan “Kalian mengaku orang asing?”

“Terpaksa, Lev sobat.” kali ini Giorgi yang menjawab. “Kita tidak mau ada banyak orang Bulgaria yang kelihatan mondar-mandir di kapal penumpang Austria-Hungaria ini. Dan kau sendiri?”

“Aku pribadi tidak sanggup mengingkari tanah kelahiranku.” jawab Lev.

“Ayo kita naik ke atas.” potong kakak kelas Lev, Dimitar Tsvetanov. “Kalau sudah sampai di Mila Rodino, kita adalah patriot. Untuk saat ini, kita adalah tukang kebun.”

“Aku tetap tinggal di sini. Bahaya jika ada yang sampai melihat… erm, perlengkapan yang kita bawa di tas-tas ini.” kata Radoslavov. Ketiga pemuda tersebut mengangguk, lalu berjalan naik ke geladak.

Asap dari cerobong kapal dihembus kencang oleh angin begitu mereka naik. Kapal penumpang bertenaga uap melaju kencang di atas air putih, menimbulkan riak yang membuat ikan-ikan di sekitarnya berloncatan dan terlihat berkilau ditimpa cahaya matahari sore. Terdengar suara keras bercerita.

“Kapal ini, Radetzky, membawa nama besar Jenderal Josef Radetzky, panglima Kekaisaran Austria-Hungaria kelahiran Ceko, yang telah membawa kejayaan bagi nama besar Dinasti Habsburg berkat kemenangan-kemenangannya di Novara, Custoza, dan Leipzig melawan Napoleon…”

Demikian penjelasan sang kapten kapal penumpang Radetzky, Dagobert Engländer, pria tua berbadan gemuk yang hobi memilin-milin kumis putihnya, kepada para penumpang yang menyimak dengan tertarik.

“Dan sebentar lagi, akan membawa kejayaan berkat jasanya dalam memenangkan tanah air kita dari penjajah.” gumam Giorgi Stoyanov. Lev mengangguk perlahan.

Radetzky terus melaju membelah air putih yang tenang, menimbulkan riak keemasan di kala petang.

Begitulah Lev dan kawan-kawannya mengarungi air putih, menunggu rekan-rekan mereka naik di setiap dengan berbagai samaran, siap menempuh pelayaran untuk kembali ke tanah airnya.

Dan akhirnya saat itu tiba.





No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
(Namun setelah Kozloduy terlihat di depan)


“Kozloduy di depan!” teriak Boris Radoslavov. “Sampaikan pada Botev, kita telah mencapai tujuan.” katanya kepada Tsvetanov.

“Kozloduy, Lev…” bisik Giorgi tertahan.

Bagi Lev, Kozloduy bukan hanya sekadar sebuah kota kecil Bulgaria yang terletak di pinggir Sungai Danube. Lebih dari itu, Kozloduy adalah kota masa kecilnya dan Giorgi. Di mana ia dan Giorgi berlari-lari di sepanjang tepian Danube. Dan di mana ia bertemu dengan Valentina.

Sebulan yang lalu di Timişoara, Valentina Angelova berlari-lari dengan cemas sepanjang jalan raya kawasan Iosefin. “Lev!!!” teriaknya cemas.

Lev menoleh ke belakang. Dilihatnya Valentina berlari ke arahnya, rambut panjang dan gaun ungunya tertiup angin sore. Di sebelahnya, trem bertenaga kuda melintas dengan cepat. Lev dengan sigap menyambar tubuh gadis itu dan mendorongnya ke samping. Keduanya terjatuh.

“Berapa kali aku mengingatkanmu untuk tidak berlari di jalur trem, sayang?” tegur Lev sambil berdiri dan mengulurkan tangan. Valentina meraihnya.

“Aku cemas, Lev!” jeritnya. Ia dengan cepat berdiri, lalu menyeret Lev ke balik sebuah pohon besar di tepi jalan.

“Tentang apa, sayang? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Awan masih putih seperti biasanya, berarak di langit yang biru seperti biasanya, ditimpa sinar matahari yang teduh seperti biasanya, di atas aku dan kau yang berbahagia seperti biasanya...”

“Oh, Lev!” jerit Valentina, terlihat putus asa. “Gombalnya nanti saja. Katakan pendapatmu tentang omongan Tsvetanov tadi yang menyebutkan kalian berdua akan ikut berperang ke Bulgaria bersama Hristo Botev.”

“Err... itu benar?” gumam Lev pura-pura tolol.

“Lev!” kembali Valentina menjerit. “Bagaimana kuliahmu, Lev? Apa kata ibumu nanti?”

“Aku akan pulang ke Kozloduy, sayang.” jawab Lev. “Ke rumah kita. Aku akan menemui ibu. Juga Bibi Ivanka dan Yanko. Akan kuajak mereka ikut bergerak. Lalu seluruh rakyat Kozloduy akan bergerak juga. Serentak bersama-sama seluruh negeri. Lalu Bulgaria akan merdeka. Rakyat Bulgaria akan memerintah sendiri. Dan punya politeknik sendiri. Dan aku akan lulus dengan ijazah dari negeri sendiri.”
Valentina terdiam.

“Impian besar kita, Valentina.” lanjut Lev, kali ini tegas. “Impian yang kita bawa saat kita berangkat menyeberang Dunav dari Kozloduy ke Rumania. Bahwa suatu hari nanti kita akan kembali ke Bulgaria, Bulgaria yang merdeka.”

“Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat, Lev.” akhirnya ia berkata.

“Tidak.” jawab Lev tegas. Valentina menunduk. Matanya berkaca-kaca.

“Tapi aku berjanji akan membawamu kembali ke Bulgaria, sayang.” lanjut Lev. “Bulgaria yang telah kumerdekakan dengan tanganku sendiri. Dan tangan-tangan rakyatnya.”

“Pergilah, Lev.” Bisik Valentina. “Aku mengerti dirimu. Percayalah aku sendiri rindu untuk kembali ke tanah air kita. Maafkan aku, Lev, aku tidak bisa...”

“Akan kumerdekakan Bulgaria untukmu, sayang.” potong Lev, menghentikan bisikan Valentina...

“Kita tidak akan mendarat di tanah Kekaisaran Turki Utsmani itu, saudara.” celetuk salah seorang penumpang, membuyarkan lamunan Lev tentang peristiwa satu bulan lalu.

“Bulgaria bukan tanah Kekaisaran Turki Utsmani!” teriak suara dari dalam kapal, dan seolah merupakan aba-aba, Lev dan kawan-kawannya segera bersiaga.





V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak
(Sangkakala dibunyikan, panji dikibarkan)


Bunyi terompet di tangan Radoslavov seakan menjadi penanda bagi dua ratus orang di atas Radetzky untuk mengambil tindakan yang telah disiapkan.

“Apa-apaan ini?” jerit salah seorang awak kapal.

“Lihat ke atas!” teriak salah seorang penumpang.

Di atas, orang-orang dapat melihat pada tiang bendera di mana bendera Kekaisaran Austria-Hungaria tadinya berkibar sendirian, namun kini pada tiang telah diikatkan sebuah panji yang lebih besar: putih, hijau, dan merah terbentang menantang angin dengan gagahnya.

“Ini adalah tiga warna kita, Lev.” kata Mihaila Marianova suatu kali. “Tiga warna yang harus kau simpan dalam hati sebagai perlambang tanah airmu yang harus kau hormati. Bukan bendera yang itu.” lanjutnya sambil menunjuk bendera merah dengan bulan sabit dan bintang putih yang berkibar tinggi di depan kantor Gubernur Bulgaria.

“Iya, Ibu.” jawab Lev bersemangat sambil memakai gelang berwarna putih, hijau, dan merah yang baru diberikan ibunya di tangan kanannya.

“Bendera ini suatu saat akan berkibar dengan bangganya di seluruh tanah air kita, seperti yang ayahmu cita-citakan dulu.” lanjut Mihaila dengan suara gemetar, seperti yang selalu digunakannya setiap kali ia membicarakan almarhum suaminya, Kostadin Vasilov.

“Iya, Ibu.” jawab Lev, seperti jawabannya selalu kepada ibunya ketika wanita yang dikaguminya itu menanamkan rasa cintanya kepada tanah Bulgaria. Juga ketika ibunya bercerita dengan semangat tentang warna-warna tersebut, tentang permainya alam negerinya: putihnya Dunav, hijaunya Stara Planina, dan merahnya sinar matahari Pirin. Tentang kegemilangan Maharaja Krum dan Asparukh, tentang kemegahan ibukota tua Tarnovo, tentang penjajah Utsmani yang merampas ingatan akan semuanya itu…

Dan sekarang, bendera yang dicita-citakan itu telah berkibar setelah sekian lama ia tidak melihatnya di tempatnya yang terhormat: terbentang dengan gagah di ketinggian, memperlihatkan warna-warna cemerlangnya dilatarbelakangi matahari senja, menunggu untuk diiringi langkahnya dengan berani oleh anak-anak bangsanya.

Dan Lev menggenggam bayonet dan pedang yang ia ambil dari tasnya, naik ke geladak dengan langkah tegap.



Mladi Bylgarski junaci javjavat se tam
(Pejuang-pejuang muda Bulgaria tiba-tiba muncul)


Langkah Lev diiringi Giorgi di sampingnya, dengan perlengkapan yang sama. Di geladak kapal sekarang telah berdiri dua ratus lima pejuang yang telah menanggalkan atribut tukang kebun mereka dalam posisi siap tempur.

Terjadi kegaduhan di kalangan penumpang dan awak kapal. Beberapa awak kapal sempat bersitegang dengan para pejuang. Kapten Dagobert Engländer turun untuk menghadapi para pejuang. Dari barisan pejuang, maju seorang pria paruh baya untuk menemui kapten.

“Jangan takut, para penumpang. Kami di sini tidak untuk tujuan yang jahat!” katanya mengumumkan kepada semua yang ada di atas geladak.

“Itu pejuang Bulgaria!” teriak seorang pemuda. “Lihat ikat kepala mereka!”





Na chela im levski znaci, v ochite im plam
(Di dahi lambang sang singa, tampil dengan gagah)


Empat jam lalu, dari pelabuhan Bechet, naik lima puluh orang dengan membawa tas-tas besar. Tas-tas tersebut berisi perlengkapan perang dan atribut-atribut lainnya. Setelah naik dengan selamat, kedua kepala rombongan menyapa Lev dan kawan-kawan yang telah berada di atas kapal.

“Lev Kostadinov.”

“Nikolai Voinovski.”

Voinovski adalah seorang letnan angkatan perang Rusia yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Bulgaria. Dari yang Lev dengar, ia adalah satu-satunya ahli militer yang ikut serta di perjalanan ini.

“Senang melihat kalian, para pejuang muda.” kata Voinovski kepada Lev dan kawan-kawan. “Dengar, empat jam lagi kita akan tiba di tujuan. Bersiaplah di kamar yang telah ditetapkan. Semua perlengkapan kalian di situ. Dan jika telah terdengar aba-aba dari terompet, persiapkanlah senjata… dan pakailah ini.”

Voinovski menjejalkan sepotong kain merah dalam genggaman Lev dan kawan-kawan, satu per satu. Lev membukanya dan langsung mengenalinya: singa emas, Levat Bylgarski, yang bermahkotakan lima salib; lambang tahta negara kuno Bulgaria.

“Pakailah jika semuanya nanti telah siap. Pakailah untuk mengingat atas dasar apa kalian berkorban.”

Lev menoleh. “Voivod Botev.”

Pemimpin pergerakan ini, Hristo Botev, adalah orang yang berbicara pada Lev.

“Baiklah, Voivod.”

Dan saat ini, kain merah tersebut terikat kuat di dahi Lev dan rekan-rekannya, di atas mata-mata penuh semangat dan antusiasme tinggi. Di depan mereka, berdiri Voinovski dan Botev, menghadapi para penumpang yang takut bercampur bingung, dan para awak kapal yang bersiaga penuh.





Gord otprede im zastana, mladijat im vozhd
(Berdiri tegap di depan mereka, pemimpin mereka yang muda)


Botev maju selangkah, menghampiri kapten Radetzky, Dagobert Engländer. Tangannya yang biasa menggenggam pena, kini menggenggam pedang panjang.

Hal ini telah ditunggu-tunggunya sejak kecil. Ayahnya, Botyo Petkov, adalah salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan Bulgaria. Sejak Hristo beranjak remaja, ia telah berani terang-terangan menantang kekuasaan Kekaisaran Turki Utsmani di Bulgaria sehingga ia terpaksa melarikan diri menghindari kejaran pihak berwajib Utsmani hingga ke Rumania. Di sana, ia terus berjuang demi kemerdekaan Bulgaria dengan menggunakan surat kabar buatannya sendiri sebagai corong pengobar semangat kemerdekaan bagi rakyat Bulgaria di tanah air maupun di pengasingan. Dari situ, ia dikenal luas oleh orang Bulgaria di pengasingan sebagai salah satu pemimpin utama bangsa Bulgaria yang sedang berjuang meraih kemerdekaan.

Ketika konfrontasi fisik dengan penguasa Utsmani mulai terlihat tak terelakkan lagi, dan tidak ada pemimpin militer yang dapat diandalkan, Botev memutuskan untuk berjuang tanpa pena; dengan menumpahkan darah. Ia memutuskan untuk memimpin sendiri pasukan berkekuatan dua ratus lima pemuda Bulgaria dari pengasingan, untuk membantu pemberontakan yang sedang dikobarkan melawan penguasa Utsmani di tanah air mereka.





Pa si duma kapitanu, s gol v rakata nozh:
(Dia berbicara pada sang kapten, dengan pedang terhunus di tangan:)


“Apa yang kalian inginkan?” tanya Engländer tajam selayaknya seorang kapten kapal terhadap penumpag gelap di kapalnya.

“Salam, Kapten.” kata Botev. “Saya akan memperkenalkan diri saya dan teman-teman saya.”

Dan Botev mulai berbicara kepada sang kapten dan seluruh penumpang, dengan penuh tekad:





Az zym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime ja svoboda, krv da lejme dnes

(Akulah panglima Bulgaria, dan inilah orang-orangku
Kami melaju menuju kebebasan, untuk menumpahkan darah kami hari ini)


“Bapak Kapten dan para penumpang yang saya hargai!

Suatu kehormatan bagi saya untuk memberitahukan kepada anda bahwa para pemberontak Bulgaria, yang merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi panglimanya, telah berada di atas kapal uap ini.”

Beberapa penumpang mulai memperhatikan kata-kata Botev. Wajah-wajah ketakutan berubah menjadi antusias dan penuh keingintahuan.

“Dengan mengorbankan bahan makanan dan peralatan pertanian kami, dengan mengorbankan usaha yang sangat besar, dan pada akhirnya dengan mengorbankan segala yang berharga di dunia ini… kami telah memperlengkapi diri kami dengan hal-hal yang kami butuhkan, untuk datang membantu saudara-saudara sebangsa kami yang memberontak, yang telah bertarung dengan berani di bawah Sang Singa Bulgaria demi kemerdekaan dan kebebasan tanah air kami tercinta – Bulgaria.

Kami berdoa kepada Tuhan agar para penumpang tidak cemas sama sekali dan tetap tenang. Kepada anda, Pak Kapten…” Botev menatap tajam kepada Dagobert Engländer. “saya dengan berat hati meminta anda untuk mempercayakan kapal anda kepada kami hingga kepergian kami, dan

Maka dari itu, jerit pertempuran kami adalah sebagai berikut:

Hidup Bulgaria!
Hidup Kaisar Franz Joseph!
Hidup Pangeran Andrássy!
Hidup Eropa…!”

Dengan menyebut nama Kaisar Austria Franz Joseph dan Perdana Menteri Hungaria Gyula Andrássy, yaitu para pemimpin negara paling berkuasa di daratan Eropa (Austria-Hungaria) dan juga pemilik Radetzky, Lev paham bahwa Botev ingin menunjukkan perjuangannya mewakili bangsa Eropa melawan dominasi budaya asing Turki Utsmani di tanah yang seharusnya menjadi milik sebuah negara Eropa yang berdaulat.





Nij letime za Bylgarija, pomosht da dadem
I ot tezhka tiranija, da ja otyrvem

(Kami melaju ke Bulgaria, untuk memberikan bantuan kami
Untuk menyelamatkannya hari ini, dari belenggu tirani)


“Jadi apa jawaban anda, Kapten?” kali ini Voinovski yang bertanya.

Kapten Engländer menatap wajah-wajah para pejuang berikat kepala merah itu. Setelah memilin-milin kumis putihnya, ia akhirnya menjawab.

“Baiklah.” ucap Engländer. “Herrlich! Putar haluan ke selatan! Kita mampir sebentar ke Kozloduy!” teriaknya menggelegar.

“Jangan gila, Kapten!” balas si jurumudi. “Di kapal ini ada seratus lebih penumpang sipil…”

“Seratus lebih warga Eropa yang mendukung pembebasan tanah Eropa dari penjajahan asing!” teriak seorang penumpang, kakek-kakek dengan baju biru laut.

“Hidup Bulgaria! Hidup Franz Joseph! Hidup Pangeran Andrássy! Hidup Eropa…!” terdengar teriakan mengulang jerit pertempuran yang dikumandangkan Botev. Teriakan itu datang dari seorang penumpang lain, wanita yang menyapa Lev saat ia naik ke kapal ini.

“Tenang, para penumpang, tenang.” Engländer mencoba menenangkan para penumpang dengan suaranya yang dalam. “Herrlich, Kozloduy, kecepatan penuh! Sekarang!”

Para penumpang bersorak-sorai bersama para pejuang. Botev membungkuk dalam-dalam kepada sang kapten. Voinovski menghampiri juru mudi dan berkata “Aku tahu sebuah pantai yang tersembunyi di dekat Kozloduy. Kita akan menuju ke sana.”

Para pejuang yang lain disalami oleh beberapa penumpang.

“Antonis Niniades.” kakek-kakek berbaju biru laut memperkenalkan diri pada Giorgi Stoyanov. “Veteran Perang Kemerdekaan Yunani. Sekarang giliran kalian untuk menghantam para barbar Anatolia itu kembali ke habitat mereka, anak-anak muda.”

“Sungguh tidak sopan saya mengetahui nama anda, namun anda belum mengenal saya.” ucap gadis berbaju kuning kepada Lev. “Elena Ionescu. Saya mendukung sepenuhnya perjuangan anda. Saya harap anda memperoleh keberhasilan yang sama dengan leluhur-leluhur saya, Stefan cel Mare, Mihai Viteazul, dan Iancu Hunedoara yang hidup matinya dibaktikan untuk mempertahankan Rumania dari kerakusan monster-monster pembawa yatagan itu.”

“Tambah lagi kecepatannya, Herrlich! Tambah lagi kayunya, Szekelyhidi!” teriak Engländer kepada para awak kapalnya. “Anak-anak Austria-Hungaria, ingatlah perjuangan para leluhur kita di Vienna dan di Mohacs! Saatnya kita membantu untuk membalas dendam terhadap bangsa pencoleng dari padang belantara itu!”

Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni


Radetzky melaju kencang menyusur putihnya air Danube, membawa tekad para patriot Bulgaria dan semangat rakyat Eropa. Tubuh Lev gemetaran hingga ke ujung kaki; bukan karena takut, tapi rasa tidak sabar ingin memberikan sesuatu bagi tanah kelahirannyalah yang menjadikannya begitu.

No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak


Mereka tiba di sebuah pantai tak berpenghuni dekat Kozloduy satu jam setelah matahari terbenam. Lev meloncat dengan semangat ke darat dan segera tersungkur berlutut, mencium tanah airnya. Botev dan rekan-rekannya segera menyusul melakukan hal yang sama. Di barisan belakang, Tsvetanov mengibarkan bendera Bulgaria tinggi-tinggi.

“Selamat jalan dan selamat berjuang!” seru Dagobert Engländer sambil melambaikan topinya. Para penumpang yang lain bersorak-sorak sambil melambai-lambaikan tangan. Kapal Radetzky kembali meluncur di Danube, ke tujuannya semula.

------------------------------------

2 Juni 2009.

“Ini adalah puisi yang dibuat oleh penyair kenamaan Ivan Vazov,” demikian Todor Ivanov menerangkan. “untuk mengenang sahabatnya yang juga penyair kenamaan, Hristo Botev, dan 205 pemuda patriot Bulgaria yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah. Ya, Mihaylov?”

“Apa yang terjadi dengan Botev dan kawan-kawannya, Pak?” tanya Tzanko Mihaylov.

“Pada bulan April 1876, rakyat negeri kita Bulgaria mengadakan pemberontakan di seluruh negeri melawan penjajah Turki Utsmani dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan nama Pemberontakan April. Botev dan sekelompok pemuda Bulgaria dalam pengasingan di Rumania memutuskan untuk membantu perjuangan rakyat di tanah asal mereka dengan cara melintasi Sungai Danube sebagai suatu angkatan bersenjata untuk ikut bertempur melawan pasukan Turki Utsmani. Dengan menyamar sebagai tukang kebun, mereka menaiki kapal penumpang Radetzky milik Austria-Hungaria dari berbagai pelabuhan Rumania yang berbeda dan membajak kapal tersebut di tengah Sungai Danube untuk mengantarkan mereka ke pelabuhan Kozloduy di Bulgaria. Tekad para pemuda ini membuat sang kapten kapal dan para penumpang sedemikian terharu sehingga mereka akhirnya dengan sukarela menolong para pejuang untuk mendarat di Bulgaria.

Sang kapten dan para penumpang bahkan membantu dengan mendaratkan para pejuang tersebut di tempat yang tersembunyi dari pelabuhan, menolak memberi informasi kepada penguasa Utsmani yang melakukan pencarian, dan bahkan menolak permintaan penguasa Utsmani agar kapal Radetzky digunakan untuk patroli di Danube untuk mencari para pemberontak. Tindakan heroik sang kapten dan para penumpang terus dikenang oleh bangsa kita sepanjang masa, dan sebagai buktinya di Kozloduy hari ini kita masih dapat melihat kapal Radetzky yang dijadikan museum, tegak memandang Sungai Danube dari tepiannya.

Sangat disayangkan setelah Botev dan para pejuang tersebut mendarat, mereka mengetahui fakta bahwa pemberontakan di daerah itu telah berhasil ditumpas habis oleh tentara Turki Utsmani. Mereka tidak menyerah, mereka berusaha untuk maju teratur ke daerah pegunungan sambil membangkitkan semangat rakyat Bulgaria sepanjang perjalanan. Namun kekejaman pasukan Turki Utsmani telah menciutkan semangat rakyat sehingga mereka tidak berani mengulurkan tangan membantu pasukan Botev.

Selama empat hari, pasukan Botev bertempur di perjalanan sebelum akhirnya mereka mengambil posisi pertahanan di Gunung Okoltchitza. Di sana, mereka menahan gempuran tentara Kekaisaran Turki Utsmani dan tentara-tentara bayarannya yang berjumlah jauh lebih banyak selama berjam-jam dengan hasil yang gemilang. Namun pada saat matahari mulai terbenam, sebutir peluru menghantam dada Botev sehingga beliau tewas seketika. Kematian pemimpin mereka membuat pasukan Botev moralnya merosot dan kemudian kalah. 130 patriot Bulgaria gugur sementara sisanya tertangkap dan dieksekusi, atau berhasil meloloskan diri dengan jumlah yang sangat sedikit.”

Ivanov melihat jam di tangan kirinya. 11:59.

“Karena itu, tahukah kalian, anak-anak? Setiap tanggal 2 Juni tepat tengah hari, seluruh sirene di negeri ini dibunyikan untuk mengenang semua orang yang mengorbankan nyawanya bagi Bulgaria.

Dan sekarang, anak-anak, bersamaan dengan bunyi sirene, mari kita menyanyikan bersama-sama puisi yang telah dilagukan ini, untuk mengenang jasa-jasa Botev dan pasukannya…”

Suara Ivanov tersendat, dan kemudian ia melanjutkannya.

“…dan mereka semua yang telah menumpahkan darahnya bagi tanah air…”

Pukul 12:00. Terdengar suara sirene bergaung di kejauhan. Serentak semua anak di kelas itu bangkit dan mengikuti aba-aba gurunya untuk bernyanyi.

Tih bjal Dunav se vylnuva, veselo shumi
I Radetzki gordo pluva, nad zlatni vylni

No koga se tam syzira Kozlodujski brjag
V parahoda rog izsvirva, razvja se bajrak

Mladi Bylgarski junaci, javjavat se tam
Na chela im levski znaci, v ochite im plam

Gord otprede im zastana, mladijat im vozhd
Pa si duma kapitanu, s gol v rakata nozh:

“Az sym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime za svoboda, kryv da lejme dnes”

Nij letime za Bylgarija, pomosht da dadem
I ot tezhka tiranija, da ja otyrvem”


Danube Putih yang tenang, kini beriak
Radetzky melaju girang, dengan semarak

Namun lihatlah tatkala Kozloduy dekat
Berbunyilah sangkakala, panji terangkat

Tampillah para pejuang, siap siaga
Di dahi m’reka terpampang, singa yang gagah

Tangan melolos senjata, dari sarungnya
Pada kapten dia berkata, dengan lantangnya:

“Aku panglima Bulgaria, dan para rekan
Kami semua siap sedia, siap berikan

Apapun yang dibutuhkan tanah k’lahiran
Kami kan b’ri k’merdekaan, melawan tiran”


------------------------

2 Juni 1876.

“Ledakkan mereka!” teriak Voinovski disusul dentuman meriam dari kubu pejuang Bulgaria yang menghantam belasan tentara Utsmani yang dipimpin Hassan Hairi Bey.

Di sisi yang berseberangan, barikade yang dibuat Botev dan regunya cukup menahan laju serangan prajurit bayaran Utsmani, bashi-bazouk, dan menjadikan mereka sasaran empuk peluru-peluru pejuang Bulgaria. “Putar ke kanan, pimpin lima orang rekanmu, Berbatov! Stoichkov, dukung mereka dari belakang! Pandev, awasi sisi kiri! Yang lain tetap di posisi, tembak begitu ada yang mendekat! Hidup Bulgaria!” Botev dengan berapi-api menyemangati pasukannya yang telah kelelahan bertempur seharian melawan musuh yang berlipat ganda.

“Dari informasi yang kuperoleh di desa, bajingan-bajingan itu telah membantai habis rakyat desa Batak yang tidak berdosa. Tiga ribu orang dipotong-potong; pria, wanita, dan anak-anak. Kota itu sekarang rata dengan tanah kecuali beberapa gundukan mayat di sana-sini.” gerutu Lev, yang bergabung dengan regu pimpinan Trifon Berbatov. Sebutir peluru baru saja meleset tipis dari dahinya.

“Akan kupreteli mereka yang bertanggung jawab dengan tanganku sendiri.” balas Tsvetanov yang juga satu regu dengan Lev, sambil terus menembakkan peluru ke arah markas artileri pasukan bashi-bazouk.

Hari mulai malam. Para pejuang telah memperoleh kemenangan besar dan menahan serbuan musuh. Pertempuran telah bersiap untuk diakhiri pada hari itu, para prajurit akan beristirahat, ketika saat itu tiba.

Sebutir peluru menerjang Botev. Sang Panglima pun jatuh tersungkur.

Voivod Botev!” seru Dimitar Tsvetanov.

Lev dan Giorgi segera menghampiri Botev yang ambruk. Botev memandangi keduanya sambil tersenyum, kemudian ia berkata dengan tenang:

“Dia yang mati bagi kemerdekaan, tidak hanya mati bagi negerinya, tapi juga bagi seluruh dunia... Hidup… Bulgaria!!!”

Botev mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meneriakkan satu kata penutup dalam hidupnya. Lev memandang Giorgi, yang berkata pelan “Voivod Botev telah pergi”.

Lev tercenung. Namun rupanya rekan-rekan yang lain telah menyadari berita duka itu dengan cepat.

“Dia telah tiada!” teriak yang lainnya.

Detik berikutnya, segumpal mortir Utsmani menghantam telak barikade pertahanan yang dibuat Voinovski, menewaskan Voinovski dan beberapa rekan lainnya.

Saat-saat selanjutnya adalah saatnya kekacauan. Sayap kiri kubu pejuang kehilangan komando dari Botev, setiap personel yang ditugaskan melakukan serangan balik gugur tertembus peluru pasukan bazhi-bazouk. Sayap kanan yang dibarikade oleh Voinovski pun berhasil diratakan oleh hantaman artileri pasukan Utsmani, yang disusul oleh rangsekan satu batalion infantri Hassan Hairi Bey ke pusat pertahanan pasukan Bulgaria. Sekitar separuh dari kekuatan para pejuang telah hilang, dan sisanya pun banyak yang terluka parah.

“Hai tikus-tikus Balkan! Keluar dan menyerahlah!” teriak Hassan Hairi Bey dari posisinya.

Borislav Radoslavov meraih panji besar triwarna Bulgaria dan meletakkan ujung bayonetnya di sana.

“Hei, apa yang akan kau lakukan?” teriak Lev.

“Kita harus menyerah!” teriak Radoslavov. “Atau mati. Kita harus membuat bendera putih.”

Terdengar letusan senapan. Lev menembak Radoslavov di kepala.

“Merdeka atau mati!” teriak Lev. “Kalau tidak dapat merdeka, mati! Kalau menyerah, lebih baik mati!”

Dengan teriakan itu Lev merebut panji Bulgaria dari mayat Radoslavov dan menerjang tembakan-tembakan pasukan Utsmani bersama-sama panji triwarna tersebut. Keduanya segera saja dihujani berpuluh-puluh peluru yang segera membuat lubang di mana-mana. Namun Lev tak berhenti berlari. Sesekali tembakan ia lepaskan, pedang ia ayunkan, belasan prajurit Utsmani dia tewaskan, hingga akhirnya ia tersungkur ambruk.
Panji putih hijau merah yang dibawanya terlepas, turun menyelimuti tubuhnya.

“Tuhan...” rintihnya pelan. “Bulgaria… Ibu…”

“Valentina…”

Dan dengan empat kata terakhir itu, Lev Kostadinov menyerahkan nyawanya kepada Sang Pencipta, diselimuti oleh triwarna kebanggaan ibu pertiwi, yang kepadanyalah ia mengorbankan hidupnya.




“Az zym Bylgarski vojvoda, momci mi sa tez
Nij letime ja svoboda, krv da lejme dnes”



Saedineniento Pravi Silata!

----------------------------------

Disclaimer dan keterangan:

- Tokoh-tokoh (selain Hristo Botev, Nikola Voinovski, Dagobert Engländer, Franz Joseph, Gyula Andrássy, Ivan Vazov, dan Hassan Hairi Bey) dan detail percakapan serta peristiwa yang terjadi adalah rekaan pengarang semata, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG., dengan berbasis pada peristiwa sejarah aslinya.

- Pidato Botev untuk kapten dan seluruh penumpang Radetzky adalah asli dan tercatat, sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang disajikan di cerita ini adalah hasil karya pengarang, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG..

- Terjemahan lirik Tih Bjal Dunav se Vylnuva dalam bahasa Indonesia adalah hasil karya pengarang, made in Ir.Alfonso R.P.dC.eG..

- Semua deskripsi peristiwa sejarah dan lambang yang diberikan dalam cerita ini adalah akurat.

- Kata-kata terakhir Botev adalah semboyan hidupnya.


Terjemahan istilah Bulgaria:

- Levat Balkanski, v boy velikanski
Singa Balkan, bersama kita (dua baris pertama dari bait ketiga lagu kebangsaan pertama Bulgaria, Shumi Maritsa).

- Mila Rodino
Tanah air tercinta (juga merupakan judul lagu kebangsaan Bulgaria saat ini).

-Levat Bylgarski
Singa Bulgaria (lambang negara Bulgaria).

- Voivod
Panglima perang (biasanya merujuk kepada pemimpin pasukan-pasukan alias warlord).

- Saedineniento pravi silata
Bersatu kita teguh (motto negara Bulgaria saat ini).

- Yatagan
Pedang tradisional Turki (pada zaman penjajahan Utsmani, identik dengan kekejaman dan penindasan Kekaisaran Turki Utsmani).

.

Tidak ada komentar: