Minggu, 27 Oktober 2013

Positive Sum Game

Di suatu sore yang berhujan, setelah terkurung dalam kamar membaca sekilas apa yang tampak di beberapa social network saya, tiba-tiba muncullah urgensi untuk mengosongkan pikiran dengan menumpahkan isinya ke dalam suatu tulisan singkat saja... tentang transaksi, uang, dan manfaat. Selamat membaca.

=======================

Tulisan ini berbicara soal transaksi. Pertukaran sumber daya. Transaksi pada mulanya memiliki tujuan untuk pemenuhan kebutuhan. Prinsipnya, transaksi dilakukan untuk saling memenuhi kebutuhan dengan cara saling menukar sumber daya yang dimiliki sehingga pihak-pihak yang bertransaksi saling terpenuhi kebutuhannya. Si A punya X dan butuh Y, si B punya Y dan butuh X, jadilah si A dan si B bertransaksi menukar X dan Y, sehingga keduanya mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Kebutuhan mereka terpenuhi.

Pertukaran semacam itu terjadi pada apa yang kita sebut sekarang sebagai zaman barter. Lalu dunia berkembang, jumlah dan jenis kebutuhan hidup orang semakin banyak, pasar pun semakin rumit, dan muncullah uang untuk mempermudah transaksi.
Pada hakikatnya, yang terjadi tetaplah pertukaran untuk pemenuhan kebutuhan, dengan sesuatu bernama uang sebagai perantara untuk menyederhanakannya. Ya, begitulah, dengan uang ataupun tanpa uang, bagi saya prinsip transaksi tetaplah sama: saling memenuhi kebutuhan. Apa arti dan konsekuensinya?

Ini berarti, ketika saya mendapatkan sesuatu, saya harus memberikan manfaat, yang setara dengan manfaat yang saya dapatkan. Ini berarti, ketika saya menjual barang dengan harga mahal, barang itu harusnya memang sebegitu bermanfaatnya hingga harga barang itu memang cocok dengan nilai kontribusinya bagi dunia ini. Ini berarti, ketika saya digaji dengan mahal, kemampuan yang saya berikan harusnya memang sebegitu bermanfaatnya hingga nilai gaji itu memang cocok dengan nilai kontribusi saya bagi dunia ini.

Maka, arti dari prinsip ekonomi "memperoleh untung sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya", adalah bagaimana kita mencari jalan yang mudah untuk mendapatkan barang atau jasa yang sebenarnya bernilai tinggi, untuk kemudian kita jual dengan nilai yang tinggi, sehingga kita memperoleh keuntungan darinya.

Tapi BUKAN, sama sekali BUKAN dengan hanya mengemas barang/jasa yang aslinya memang tidak ada nilainya, menjadi seolah-olah bermanfaat dan pada akhirnya membuat orang menjadi membayar (se)mahal (itu) untuk sesuatu yang tidak (se)bermanfaat (itu).

Ketika saya mendapatkan sesuatu jauh lebih banyak daripada nilai manfaat yang saya berikan kepada orang lain, itu bukan berdagang. Itu namanya pencurian, perampokan, penipuan.

Dengan demikian, sebenarnya kita sudah menyalahi hakikat dari transaksi itu sendiri ketika kita melakukan hal-hal seperti berdagang kucing dalam karung (berusaha menipu pembeli dengan menjual barang yang sebenarnya nilai manfaatnya jauh di bawah harga jualnya) atau makan gaji buta (dibayar jauh lebih tinggi daripada manfaat yang diberikan kepada orang yang membayar anda)... atau contoh-contoh lainnya yang lebih luas dari itu, seperti menjual barang yang malah memiliki efek destruktif atau bekerja pada pekerjaan yang malah membawa keburukan bagi masyarakat.

Ketika kita berbicara soal uang dan manfaat, akan ada lebih banyak referensi yang membahas soal apa manfaat uang kita, alias manfaat apa yang bisa kita dapatkan dengan sekian jumlah uang. Tetapi jarang yang membahas soal sisi satunya lagi: apakah ketika kita mendapatkan sekian jumlah uang itu kita sudah memberi manfaat? Mungkin inilah kesalahan dunia yang pragmatis dan mengesahkan sikap egosentris; hanya berpikir tentang apa manfaat yang bisa kita peroleh, tanpa berpikir manfaat apa yang bisa kita berikan. Padahal dalam transaksi, ada dua pihak yang saling bertukar sumber daya. Dan seharusnya ada dua pihak yang mendapat manfaat. Ada dua pihak yang saling terpenuhi kebutuhannya.

Transaksi adalah pertukaran manfaat, bukan sarana penipuan. Janganlah bangga hanya karena bisa mendapatkan uang banyak. Atas setiap uang yang kita dapatkan, pertanyakanlah, apa saja yang sudah saya berikan sehingga saya pantas menerima uang ini? Dan mungkin beberapa dari kita akan tersenyum puas atas tumpukan uang yang kita peroleh, karena itu menggambarkan besarnya manfaat kita untuk dunia ini.

Karena kita hidup di dunia ini bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk memberi manfaat, membuat dunia menjadi lebih baik.



Seberapa besar manfaat yang dapat anda berikan bagi dunia?




"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah."
- Filipi 1:22a -





Regenstadt, 27 Oktober 2013
ditulis setelah minum Jawara - Jahe Warisan Nusantara
(tidak dibayar dengan uang untuk mengiklankan)


.

Senin, 16 September 2013

Rupiah Melemah, Dosanya Insinyur

Hari-hari terakhir ini masyarakat Indonesia dipusingkan dengan anjloknya nilai rupiah. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika. Rupiah dan dollar adalah dua dari berbagai mata uang yang ada di dunia ini. Mata uang adalah alat bantu tak langsung yang digunakan untuk menilai barang, jasa, dan nyaris segala macam apapun yang ada di dunia modern ini. Jika mata uang diposisikan sebagai komoditas juga, maka penurunan nilai rupiah disebabkan oleh suatu 'tangan tak terlihat', konsep abstrak yang dipakai beberapa ekonom untuk menggambarkan mekanisme pasar.

Akibatnya tidak se-abstrak penjelasannya, tapi langsung terasa ke kehidupan: karena sedikit melemahnya mata uang nasional, kehidupan kita berantakan; harga-harga naik, orang makin susah hidup, orang makin tidak bahagia. Waktu saya kecil dulu, populer sekali istilah 'krisis moneter' yang mengubah arah gerak negara kita, hingga menggulingkan seorang presiden yang saking lamanya berkuasa, saya sampai mengira nama depan beliau "Presiden" dan nama belakang beliau "Soeharto". Jangan terlalu dipikirkanlah, otak anak kelas 4 SD...

Lantas mungkin ada yang berpikir, masalah ekonomi yang begitu pelik dan mengancam hajat hidup orang banyak ini, apa kaitannya dengan ilmu keteknikan, dan apa ada yang bisa dilakukan dari sisi keteknikan? Tentunya jawabannya ada dan bisa, karena kalau sudah bicara kondisi negara, semua disiplin ilmu itu saling terkait; dan ternyata bukan sekedar ada, tapi sangat erat kaitannya; bukan juga sekedar bisa, tapi juga bisa menjadi kuncinya. Bagaimana pula maksudnya? Kita cut aja intronya biar nggak lebih panjang daripada isi tulisannya (karena isi tulisannya sendiri singkat kok, orang cuma pendapat sepintas amatiran aja); begini ceritanya.

Sewaktu mahasiswa saya pernah menulis sebuah cerita semi-fiksi yang sebagian besar isinya adalah Author Filibuster dari hasil kontemplasi saya terhadap peran para insinyur dan ilmuwan-ilmuwan alam terhadap dunia ini, yaitu segalanya. Tergolong radikal dan provokatif serta keras campur narsis, karena memang saat itu ditulis untuk kalangan sendiri alias internal himpunan mahasiswa teknik kimia. Tetapi percayalah bahwa seperti spanduk "selamat datang putra-putri terbaik bangsa", tulisan itu dibuat bukan untuk bahan jadi sombong, tetapi justru untuk menyadarkan betapa berat jadi orang yang dikaruniai kemudahan untuk bisa (dan harus) menjadi manfaat bagi orang lain, masyarakat luas, bahkan bangsa dan dunia.

Oke maafkan saya jadi melantur lagi. Itu tadi masih masuk intro. Sekarang kita masuk ke dalam poin yang mau disampaikan.

Logika sederhana saya, yang pendidikan ekonominya hanya sebatas sampai kurikulum SMA dan sisanya empiris saja dari pengalaman hidup, adalah begini.

Nilai rupiah melemah adalah karena permintaan-penawaran, di mana dollar semakin jarang, sehingga untuk memperoleh sekian dollar dibutuhkan makin banyak rupiah.

Dollar semakin jarang, karena menurut prinsip neraca, jumlah dollar yang keluar dari Indonesia lebih sedikit dari jumlah dollar yang masuk. Ini berkaitan dengan fungsi dollar sebagai devisa, yaitu alat tukar yang umum diakui dalam perdagangan internasional.

Dollar yang masuk ke Indonesia adalah dollar yang didapat dari pihak luar negeri, dengan cara berdagang produk yang kita buat di dalam negeri yang dijual keluar dan dibayar dengan dollar, alias ekspor. Sementara dollar yang keluar dari Indonesia adalah dollar yang kita berikan kepada pihak luar negeri ketika kita membeli produk yang dibuat di luar negeri dan dibayar dengan dollar, alias impor.

Neraca dollar Indonesia secara sederhana adalah Akumulasi (jumlah dollar di Indonesia) = In -Out + Generasi. Karena Indonesia tidak mungkin membuat dollar (=Generasi), maka jumlah dollar di Indonesia berkurang, kata orang, karena jumlah dollar yang keluar makin banyak, alias impor makin banyak. Kalau kata orang lagi, dalam "Out" itu selain impor, ada lagi dollar keluar dalam jumlah besar yaitu untuk bayar utang luar negeri kita. Ya intinya yang "Out" itu makin besar kalau kata orang.

Nah. Ini dia. Kalau balik membahas masalah intinya yaitu kekurangan dollar, logika sederhana saya mengatakan bahwa masalahnya ya dua. Yang pertama seperti dikatakan orang: "Out"-nya membengkak, yang kedua yang orang sering lupa, "In"-nya tidak bertambah mengimbangi pertambahan "Out"!

Itu dari rumusnya. Nah kalau terjemahannya bagaimana? Terjemahannya, bangsa kita ini kebanyakan mengimpor dan terlalu sedikit mengekspor. Kalau mau diringkas lagi, kedua poin tersebut berarti: kurangnya kemandirian bangsa! Maksudnya bagaimana? Begini pemikiran sederhana saya.

Dari sisi kebanyakan impor, maksudnya adalah kita tidak bisa membuat barang-barang yang kita butuhkan sendiri. Sederhananya, tinjau saja kebutuhan dasar kita: pangan. Makanan pokok: nasi. Beras: impor. Kita sangat gemar makan roti dan mie, bahkan Indomie menjadi trademark kita di mata dunia, tetapi bahan bakunya yaitu gandum: 100% impor. Tahu tempe makanan nasional, bahkan identik dengan makanan semua rakyat termasuk rakyat kecil, tetapi bahan bakunya yaitu kedelai: 100% impor.

Sebagian besar bahan pangan yang sudah jadi bahan makanan lokal tak terpisahkan dari bangsa ini pun impor: bawang, cabe, sayuran, daging sapi plus pakan sapinya. Berarti bahan baku rendang, makanan khas Indonesia yang katanya juara 1 makanan terenak dunia, itu sebagian besar sudah impor! Padahal katanya negeri kita ini tanahnya subur makmur dan kaya, tapi untuk mengisi perut sendiri saja harus impor semua. Itu baru daratnya. Di laut, kita sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, terkenal pula sebagai salah satu importir garam terbesar.

Kebutuhan dasar lainnya: pakaian. Material baju yang kebanyakan adalah bahan sintetis, produk petrokimia, impor. Kemudian plastik, material dari sebagian besar bahan-bahan rumah tangga saat ini, impor. Sangat tidak respectable bangsa sebesar ini hanya punya pabrik plastik beberapa gelintir dengan kapasitas belum mencukupi kebutuhan. Itupun bahan baku pabrik plastiknya impor. Ya, minyak bumi, impor! Minyak bumi yang adalah darah peradaban modern! Belum cukup impor minyak bumi, bahkan untuk produk utamanya, bahan bakar, kita pun masih mengimpor sebagian. Perlu dijelaskan lagi arti vital bahan bakar cair (bensin, solar dst) alias saat ini BBM, di dunia modern ini? Rasanya sudah terlalu jelas.

Lalu beralih ke kebutuhan vital masyarakat modern lainnya. Bangunan, konstruksi, infrastruktur. Struktur dan alat berat. Baja 30% lebih impor, mesin-mesin impor semua mulai dari pompa air sampai turbin uap, padahal Indonesia kaya akan bijih besi, bijih nikel, dan insinyur mesin. Aspal untuk jalanan 50% lebih impor. Kendaraan semua merk asing, biarpun dimanufaktur di Indonesia tapi materialnya sebagian besar impor, termasuk mesin-mesinnya yang mahal.

Kemudian satu lagi nadi dari kehidupan modern: listrik dan telekomunikasi. Kabel listrik materialnya 40% impor padahal Indonesia salah satu produsen tembaga dan bauksit terbesar dunia. Apalagi yang namanya barang-barang mahal atau teknologi tinggi, wah hampir semua impor! HP, komputer, serta segala gadget dan alat elektronik lainnya. Di abad elektronik dan internet ini. Padahal Indonesia penghasil timah terbesar, dan dengan demikian berpotensi juga sebagai produsen rare earth element/LRE atau logam tanah jarang/LTJ terbesar.

Belum lagi jika kita bicara produk kimia. Untuk pengolahan bahan-bahan yang kita tidak impor, ternyata bahan-bahan kimianya impor! Katalis-katalis, enzim, pelarut, aditif, water treatment, koagulan, dan sebagainya. Bahan-bahan berharga selangit macam produk-produk farmasi termasuk obat-obatan pun sebagian besar impor. Termasuk kebutuhan pertahanan saja sebagian besar impor: senjata, amunisi, kendaraan tempur. Mau membangun industri pemroduksinya? Bah, alat-alat dan teknologinya pun impor semua.

Itu semua contoh bahwa kita sebagai bangsa yang besar (wilayah dan jumlah penduduknya, juga katanya sumberdayanya) malah tidak mampu memenuhi kebutuhan kita sebagai bangsa yang besar itu, sehingga hampir semua kebutuhan kita harus impor. Memang di era perdagangan bebas ini jual beli antarnegara adalah hal yang wajar, tetapi yang tidak wajar adalah kita membuang uang untuk membeli barang yang harusnya lebih murah kalau kita buat sendiri, dan juga membuang uang (opportunity loss) ketika kita menjual barang yang seharusnya bisa kita jual lebih mahal! Dan di sinilah masuk poin kedua: dari sisi kekurangan ekspor.

Jika tadi dilihat dari pembahasan soal kebanyakan impor, maka impor kita yang tidak perlu sebenarnya secara kasar dibagi menjadi impor bahan mentah yang kita tidak sanggup sediakan karena bobroknya sektor hulu, dan impor bahan turunan yang sebenarnya kita punya bahan mentahnya. Di sinilah, impor-impor yang tidak perlu ini sebenarnya bisa kita tutup dengan cara membetulkan sektor hulu (pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan dst) dan dengan mendirikan pengolahan bahan baku menjadi bahan turunan yang lebih mahal. Bahkan, kita pun bisa dan harus berubah dari importir menjadi eksportir untuk beberapa komoditas tersebut.

Kemarin, saya mengikuti diskusi kamisan yang diadakan di rumah alumni IA-ITB di Jakarta. Topiknya kebetulan menyinggung masalah industrialisasi ini, dibawakan oleh salah satu alumni TK ITB yang cukup ternama di dunia perindustrian Indonesia: Ir. Rauf Purnama (TK'62) yang track recordnya bisa dicari di google. Tema acaranya adalah "SDA, UUD 1945 Pasal 33, dan Kemakmuran/Kesejahteraan", materinya bisa dibaca di sini. Apa yang saya dapat?

Bahwa negara ini belum dalam menghayati pasal 33 UUD 1945 yang dicetuskan para pendiri negara sebagai dasar ekonomi nasional. Saya tidak akan bahas ayat per ayat karena menumpuknya penyelewengan di sana, tetapi kita tinjau ayat 3 seperti disorot Pak Rauf: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Jika "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" kita artikan sebagai SDA (sumber daya alam, bukan menteri agama), maka menurut saya tafsiran dari "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" adalah dengan diolah secanggih mungkin menjadi barang yang semahal mungkin alias diberikan nilai tambah, bukan hanya diekspor begitu saja. Bingung? Begini.

Waktu saya SD, pemerintahan via pendidikan dan berita TV seolah-olah mendoktrin saya bahwa ekspor itu baik dan impor itu buruk. Ada benarnya juga, namun ternyata tidak semua ekspor baik. Seperti sudah saya jelaskan, ada 'opportunity lost' ketika kita mengekspor suatu barang dengan harga sangat murah, padahal hanya dengan diproses beberapa langkah, barang itu sudah jadi barang lain yang lebih mahal dan bisa kita jual dengan harga mahal pula. Lebih bodohnya lagi, ketika kita mengekspor/menjual barang mentah yang murah itu, tapi kita justru membeli produk mahal hasil olahan barang kita yang murah itu dari negara lain, alias mengimpor! Bodohnya makin pol ketika yang terjadi adalah negara lain membeli barang mentah dari kita dengan harga murah, membikinnya jadi barang mahal di negara mereka, dan menjualnya kembali ke negara kita dengan harga mahal!

Inilah maksudnya; negara kita yang sebenarnya dari potensinya bisa jadi pengekspor, malah hanya jadi pengimpor. Seharusnya bisa memiliki daya saing tinggi, tapi malahan terpuruk. Seharusnya bisa memenuhi semua kebutuhan rakyatnya, bahkan sampai rakyat negara lain juga, namun kenyataannya harus bergantung pada produk luar negeri dari mulai kebutuhan dasar hingga barang mahal. Seharusnya bisa mengeruk devisa sebesar-besarnya, tapi malahan terpaksa ngutang demi menjaga nilai tawar mata uang.

Sebagian besar presentasi Pak Rauf di hari kamis malam kemarin berkisar pada penjabaran soal contoh-contoh SDA yang selama ini kita sia-siakan dengan mengekspor bahan mentah terlalu murah dan tidak mengolahnya lebih lanjut. Dari satu bahan mentah saja, bisa dihasilkan ratusan macam produk yang bisa dijual dengan harga ratusan kali lipat (!!!) dan membuka lapangan kerja ribuan kali lipat dibandingkan jika diekspor begitu saja dengan harga murah. Selengkapnya bisa didownload di link yang saya berikan, namun berikut saya berbaik hati membagikan beberapa tampilan slide beliau mengenai contoh-contoh berapa jumlah dollar yang bisa kita keruk jika kita membangun industri pengolahan bahan mentah ketimbang menjualnya begitu saja (semua screenshot yang saya tampilkan adalah berasal dari slide presentasi karya Ir. Rauf Purnama).


1. Industri berbasis gas alam.

 
Gas alam yang selama ini dijual dalam bentuk LNG ternyata dapat menjadi berbagai macam produk yang dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan. Kalau diperhatikan lagi, coba deh, kira-kira LNG kita diekspor untuk diapakan sama negara pembelinya? Yak, betul, untuk diolah menjadi produk-produk turunan yang ada di kanan itu, yang akhirnya kita beli lagi dari mereka karena kita butuh dan kita 'nggak punya industrinya' (padahal kalau ada bahan baku ya harusnya kita juga bisa bikin dong): plastik, tekstil, ban, pembungkus, obat, dll...


Ini contoh untuk gas kita dari Blok Natuna yang dijual via pipa gas ke Singapura, tentunya dengan harga jauh lebih rendah dari LNG. Bandingkan jika kita hanya menjual gas sebanyak 700 MMSCFD itu begitu saja, harganya hanya US$ 1,04 miliar. Tapi jika kita olah gas alam itu dalam bentuk industri, misalnya bikin kompleks industri di Batam (jarak Natuna-Batam tidak jauh berbeda daripada Natuna-Singapura sehingga pipa gas kurang lebih panjangnya sama), menjadi produk yang tidak terlalu rumit, cukup menjadi amonia dan metanol, di mana amonia dapat diolah lebih lanjut di sebuah pabrik pupuk besar menghasilkan pupuk urea dan produk-produk sampingnya diolah lagi menjadi asam formiat dan hidrogen peroksida (contohnya persis pabrik Pupuk Kujang sekarang, yang dulunya Pak Rauf juga ada andil mengembangkannya) serta sebagian lagi dibuat amonium nitrat (bahan peledak) dan akrilonitril (bahan baku karet sintetis)... maka nilainya naik jadi 5 kali lipat!

Belum lagi jika kita mengolah produk-produk ini lebih lanjut. Metanol sendiri sebenarnya dapat diolah menjadi puluhan jenis produk mulai dari bahan bakar, plastik, hingga obat dan bahan aditif makanan. Akrilonitril dapat diolah menjadi material seperti plastik, karet sintetis, maupun komponen elektronik. Datanya saya tidak ada, tapi silakan perkirakan sendiri pertambahan nilai yang didapat.

2. Industri berbasis nikel.


Ini dia salah satu barang tambang yang sedang jadi dilema. Industri hilirnya coba dipacu oleh pemerintah via larangan ekspor bijih mentahnya dengan UU Minerba, namun para penambangnya malah menjual sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya sebelum UU tersebut jatuh tanggal pelaksanaannya pada tahun 2014. Para penambangnya lebih suka ia dijual murah begitu saja dalam bentuk bijih mentah, padahal nikel adalah bahan baku stainless steel (dialah yang membuat steel menjadi stainless), komponen mesin-mesin canggih, magnet, dan beberapa komponen baterai dan elektronik. Dan lain-lain.

Belum ngomong industri elektronik atau besi baja yang bisa dikembangkan dari nikel, cukup ke produk yang sekadar meningkatkan kemurnian nikel dari bijihnya seperti ferronickel, nickel matte, dan nikel murni... kita sudah dapat peningkatan nilai tambah sebesar lebih dari 13x lipat.

3. Industri berbasis tembaga.


Ingat tembaga jadi ingat tambang Grasberg, simbol imperialisme modern di mana rakyat Irian ditindas, perut buminya dikeruk habis oleh kawan bule kita. Bijih yang diangkut ke luar negeri itu jika diolah di tempat dalam sebuah smelter mungkin dapat mengembangkan industri mekanikal dan elektrikal nasional. Namun saat ini bijihnya hanya diekspor begitu saja, meninggalkan uang di kantong-kantong pejabat Jakarta dan limbah penghancur lingkungan di pulau berkeragaman hayati tertinggi di dunia.


Dan mungkin kawan-kawan praktisi pertambangan dapat menjelaskan bahwa bijih tembaga itu selalu diikuti oleh emas dan sedikit perak. What? Asal anda tahu, tambang Grasberg itu bukan 'hanya' tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Namun, ia juga adalah tambang emas terbesar di dunia! Sementara emas sendiri adalah juga devisa negara. Ya, kita pemilik tambang emas terbesar dunia hanya memiliki cadangan emas terbesar ke-40 dunia sebanyak 73,1 ton, sementara hasil emas dari tambang Grasberg pada tahun 2006 saja adalah 58,5 ton/tahun! Anda tahu siapa pemilik cadangan emas terbesar dunia? Yak, betul, mbahnya Freeport, negara Oom Sam, dengan cadangan emas 8311 ton. Tambang Grasberg beroperasi sejak 40 tahun lalu, jadi silakan hitung kira-kira berapa persen cadangan emas negerinya Barack Obama itu yang berasal dari bumi kita. Sudah ketemu kira-kiranya? Silakan tepuk tangan.

4. Industri berbasis minyak bumi.


Minyak bumi ini, seperti sudah saya katakan, darahnya abad modern. Semua produk utama abad ini memerlukan minyak bumi: transportasi, komunikasi, industri (via BBM) dan material-material seperti tekstil, plastik, dll (via petrokimia). Dahulu kala, ketika kita masih dianggap negara kaya minyak, ada rencana untuk menjadikan industri petrokimia (pengolahan minyak bumi) menjadi kickstart untuk urat nadi perekonomian nasional. Maksudnya, itulah industri yang cepat menghasilkan uang, kemudian uangnya digunakan untuk mengembangkan industri-industri lainnya; contoh industri kickstart ini adalah industri otomotif Jepang dan industri besi baja Korea Selatan. Melihat negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang tak memiliki minyak bumi namun bisa mengembangkan industri petrokimianya, rasanya sebenarnya dahulu kita, yang memiliki bahan bakunya, pasti mampu. Mengapa tidak jadi? Kurang niat atau kurang kapasitas atau kurang ajarnya negara lain? Tidak penting, yang penting adalah sekarang tidak jadi. A missed opportunity.

Skema di atas menunjukkan perbandingan antara pengolahan minyak bumi menjadi BBM dengan pengolahan minyak bumi menjadi salah satu alternatif jalur saja, yaitu paraxylene, bahan baku polimer yang menjadi bahan baku tekstil sintetis. Pertambahan nilainya? Bisa mencapai 170x lipat! Kita belum bicara produk-produk lain yang daftarnya saja akan menghabiskan berhalaman-halaman.

5. Industri berbasis minyak sawit.


Minyak sawit. Minyak zaman modern yang penuh kontroversi (selengkapnya bisa dilihat di salah satu tulisan saya di sini). Negara kita adalah penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, menyuplai lebih dari 50% minyak sawit dan 20% minyak tanaman dunia. Terlepas dari kemunafikan dengan mencacimaki minyak ini sebagai minyak tak ramah lingkungan, toh negara-negara maju tetap mengekspor berjuta-juta ton CPO untuk mereka olah menjadi produk-produk mahal di negara mereka. Mereka tidak mau lagi beli CPO Indonesia? Baik, silakan saja kita embargo diri sendiri; tutup ekspor CPO, buat beribu-ribu pabrik biodiesel (dan dengan demikian menghapus impor solar serta subsidi solar dan listrik PLTD), pelumas, polimer, kosmetik, sabun, dan lain-lain. Oleochemical, pengganti petrochemical; bahan kimia zaman baru.

----------------

Semua contoh tersebut hanya baru membahas dari sisi keuntungan yang didapat berkat pertambahan nilai produk dibanding bahan mentahnya. Belum lagi jika disebutkan multiplier effect yang tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting: meningkatnya kemakmuran rakyat berkat akses ke barang-barang murah untuk kebutuhan sehari-hari, pembukaan lapangan kerja untuk jutaan rakyat Indonesia. dan berlipatnya pendapatan negara dari pajak!

Itulah kunci dari presentasi beliau: peningkatan statusisasi rakyat labil ekonomi dan penghapusan konspirasi kemakmuran melalui harmonisisasi industrialisasi via integrasi dan hilirisasi. Nah, yang ngerti itu siapa? Gimana caranya?

Jawabnya jelas: seharusnya para insinyur yang paling tahu. Seharusnya tanggung jawab para insinyur terutama untuk menjalankannya. Agar bangsa ini tidak lagi menjadi enigma terbesar di dunia. Bangsa yang kaya tapi miskin. Ayam mati di lumbung padi. Tergilas oleh bangsa-bangsa miskin semacam Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tidak punya SDA tapi menjadikan industri sebagai pilar ekonominya. Modal mereka bukan SDA, tapi SDM. Bahan baku bisa dibeli, tapi teknologi dan eksekusinya direncanakan oleh SDM yang berkualitas dan visioner, serta berjiwa nasionalis, memperjuangkan kepentingan negaranya.

Kompleks raksasa Jurong Petrochemical Island di Singapura, negeri pulau yang tak lebih luas dari ibukota negara kita, dibangun dengan sengaja di atas tanah reklamasi yang pasirnya so pasti dari Indonesia, dengan investasi total mencapai US$ 31 miliar, untuk memproses 1,3 juta barel per hari minyak bumi yang setetes pun tak ada yang digali dari tanah mereka, menjadi produk-produk mahal bernilai US$ 66 miliar per tahun, yang dijual antara lain ke negara kita yang ngakunya kaya minyak, membuat Singapura menjadi negara pengolah minyak ketiga terbesar di dunia... dengan jumlah lifting crude oil nasionalnya sebesar 0 barel per hari!

Dan mereka yang miskin itu, akhirnya bisa kaya, bermodalkan skema dan keinginan kuat. Apalagi kita, yang katanya kaya. Niat, kemauan, dan ketegaran hati. Apakah menteri energi dan sumber daya mineral kita bukan insinyur? Apakah menteri perindustrian kita bukan insinyur? Apakah menko perekonomian kita bukan insinyur yang mantan ketua ikatan alumni kampus unggulan penghasil insinyur? Jelas ini bukan ketidaktahuan, karena informasi di atas semuanya hanya ditulis bermodalkan logika dan internet.

Jadi sederhananya begini:

1. Rupiah melemah karena devisa negara dalam hal ini dollar berkurang.

2. Dollar didapat dari ekspor dan dibuang via impor.

3. Beberapa cara untuk menambah dollar adalah mengurangi impor dan menambah ekspor.

4. Cara mengurangi impor adalah dengan memproduksi sendiri barang-barang yang biasanya diimpor, sementara cara menambah ekspor adalah mengolah lebih lanjut barang-barang yang biasanya langsung diekspor mentah-mentah.

5. Kunci dari kedua hal tersebut (cara mengurangi impor dan menambah ekspor) adalah membangun kemandirian industri yang memberi nilai tambah.

6. Yang dibekali ilmu dan bertanggung jawab untuk membangun kemandirian industri pemberi nilai tambah adalah para teknokrat, insinyur-insinyur, khususnya insinyur proses dan insinyur-insinyur lainnya.

7. Dengan demikian, dosa insinyurlah rupiah melemah, dan tanggung jawab insinyurlah menguatkan rupiah.

Mohon maaf kesimpulan ini masih mentah, hanya dibekali sedikit fakta dan berbekal logika sederhana, serta dibungkus penyampaian unek-unek selaku calon insinyur.

Sebenarnya nggak ada yang baru sih dengan tulisan saya. Semua ada di internet atau berita. Pengetahuan umum yang dirangkum doang. Makanya namanya juga pemikiran sederhana. Semoga saja bisa dibaca secara sederhana dan dimaknai secara sederhana juga: bangun pemudi pemuda Indonesia, lengan bajumu singsingkan untuk negara, masa yang akan datang kewajibanmulah, menjadi tanggunganmu terhadap nusa; kita adalah pejuang yang membela harga diri negeri ini, cita-cita satu negara kita yang harus menjawabnya!


Bandung, 14 September 2013
ditulis di sekre HIMATEK,
di tengah keributan ospek;
dilanjutkan di
Bogor, 15 September 2013
dengan kepala pusing
dan perut mulas;
diselesaikan di
Jakarta, 16 September 2013
pagi-pagi terburu-buru
setelah mandi keringat di KRL;
jadi maafkanlah jika ada salah.



Senin, 12 Agustus 2013

Mendengar Nama Bung Hatta

12 Agustus 1902, di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), lahir seorang bayi laki-laki dari keluarga HM Djamil, seorang ulama, dan istrinya Siti Saleha. Anak itu diberi nama Muhammad Athar. "Athar" dalam bahasa Arab berarti harum, wangi; dan menurutku, terkabullah doa kedua orangtuanya itu, yang mereka panjatkan melalui nama, karena di kemudian hari anak ini akan dikenal oleh beratus juta rakyat bangsanya dengan sebuah nama yang harum: Bung Hatta.


--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang pemuda unggul; salah satu siswa terbaik negerinya, yang dikirim ke luar negeri untuk belajar; sesuatu yang pada saat itu adalah kesempatan amat sangat langka yang hanya dapat diraih segelintir orang yang sangat menonjol. Di saat negerinya berada dalam keadaan carut-marut, terjajah, menderita; terbuka jalan keluar untuknya, untuk hidup enak di peradaban yang lebih maju, sebuah jalan yang tidak dibukakan bagi sembarang orang; kesempatan itu tidak diambilnya.

Hingga aku juga mengingatnya sebagai seorang patriot, yang menunjukkan apa artinya berjuang jiwa raga demi bangsanya. Bagaimana ilmunya dia pelajari baik dan dia pergunakan bagi kemakmuran bangsanya. Bagaimana waktunya pun ia berikan bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya: di saat ia bisa hidup makmur tenang di pusat peradaban dunia, ia bergabung dalam Liga Anti-Imperialisme. Mewakili bangsanya. Mempertaruhkan studi dan hidupnya. Bagaimana dengan lebih gila lagi, setelah lulus sarjana ia tinggalkan studi doktornya. Kembali pulang ke bangsanya. Membaktikan ilmu dan hidupnya bagi perjuangan bangsanya. Hanya untuk diasingkan pemerintah kolonial hingga belasan tahun lamanya. Bagaimana meskipun begitu ia tetap berjuang, hingga bangsanya merdeka; bagaimana ia tetap berjuang, setelah bangsanya merdeka; bagaimana ia tetap berjuang bagi bangsanya, sampai akhir hayatnya.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini studi di luar negeri oleh sebagian besar pemuda yang beruntung dapat menikmatinya dipandang sebagai jalan keluar, sebagai pintu gerbang menuju dunia yang lebih nyaman, aman dan mapan ketimbang tanah airnya yang kacau balau dan membutuhkan tenaganya sebagai kaum intelektual yang beruntung.

"Betul, banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, istimewa dalam tanah jajahan di mana semangat selalu tertindas, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang cendekiawan, akademisi, dan pendidik; sebelas tahun di bangku kuliah, hidupnya dikelilingi oleh buku hingga bahkan mas kawin dan harta warisannya pun berupa buku, di pengasingan waktunya dihabiskan untuk menulis buku filsafat, dan perhatiannya tercurah betul pada upaya pendidikan karakter bagi generasi penerus.

Itulah yang membuat aku juga mengingatnya sebagai seorang Bapak Bangsa; karena ia tahu benar bahwa kunci keberlangsungan suatu bangsa ada pada regenerasi, dengan cara mendidik generasi yang akan memegang arah bangsanya di masa depan. Bagaimana ia merumuskan tiga tujuan perguruan tinggi, yang menjadi pembeda antara pergerakan pemuda bangsanya dengan bangsa lainnya, dan yang hingga kini menanamkan kesadaran bahwa pemuda-lah aktor pergerakan bangsa ini di masa lalu, masa kini, dan seharusnya masa depan. Bagaimana hal itu telah dipegangnya sejak awal ia memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dengan membentuk partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dan menitikberatkan kaderisasi serta pendidikan, yang disebutnya untuk membuat rakyatnya merdeka seutuhnya.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini pendidikan berantakan sedari dini, di mana anak-anak terlalu cepat diekspos pada semua informasi tanpa bimbingan dan pengawasan, remaja dikekang kebebasan berpikirnya lewat penjara bernama gengsi orangtua dan prestasi akademis, dan kampus-kampus hanya semata menjadi pabrik-pabrik tenaga kerja yang hanya hidup untuk mengenyangkan perut sendiri dan anak istri; di mana banyak generasi muda tak gemar membaca buku, dan pendidikan karakter dikerdilkan sebatas "soft skills" untuk menambah daya jual para calon kuli.

"Dan, memang, manusia susila dan demokratis ini (...) dapat menginsyafi tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Dan mereka pulalah yang akan diharapkan akan menjadi pemimpin-pemimpin yang bertanggung-jawab dalam negara dan masyarakat."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang diplomat yang visioner; yang telah mempersiapkan langkah bangsanya menghadapi Perang Dingin sejak hari-hari awalnya di tahun 1948. Dari prediksinya itulah lahir ungkapan "mendayung di antara dua karang" dan "politik bebas aktif" yang diharapkannya menjadi acuan bagi pergerakan politik luar negeri bangsanya.

Justru karena itulah aku juga mengingatnya sebagai seorang nasionalis tulen, yang teramat bangga dan percaya pada potensi dan kekuatan bangsanya, serta mau memperjuangkan agar bangsanya bukan sekadar jadi bangsa sembarangan saja, melainkan jadi pemimpin dunia. Bahwa pada hakikatnya "bebas" berarti bangsanya tidak bisa seenaknya dijadikan objek permainan semata bagi bangsa-bangsa lain yang lebih besar, bukan hanya mengekor saja, tapi menentukan jalannya sendiri untuk kebaikannya sendiri. Bahwa pada hakikatnya "aktif" berarti bangsanya bukan sekadar diam, tetapi juga memegang peranan, tampil sebagai pelopor dan penggiat, sebagai bangsa yang menentukan arah gerak dunia ini menjadi lebih baik untuk semua bangsa, bukan untuk sekelompok bangsa tertentu saja.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini baik pemerintah negaraku maupun rakyatnya seperti kehilangan derajat ketika bersinggungan dengan bangsa asing, di mana pemerintah tunduk tak berdaya menuruti kepentingan asing yang menghambat laju pembangunan negeri ini, dan di alam bawah maupun atas sadar rakyat masih tertanam indoktrinasi superioritas produk asing dalam segala sisi.

"Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun sedangkan aktif artinya menjuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah Bapak Koperasi; ya, dialah yang memperkenalkan dan mempromosikan bentuk badan usaha ini di negerinya, yang dianggapnya sebagai satu bentuk badan usaha yang paling mewakili falsafah hidup bangsanya, Pancasila. Badan usaha koperasi, di mana semua anggotanya memiliki, semua anggotanya bekerja, dan semua anggotanya menikmati hasilnya.

Lebih dari itu, aku juga mengingatnya sebagai cendekiawan yang mengabdikan ilmunya pada bangsanya; ilmu ekonomi, yang khusus dipelajarinya di belahan dunia yang jauh, bertahun-tahun lamanya. Bagaimana ia berkontemplasi akan ilmunya dan akan kondisi bangsanya, kemudian mencetuskan ekonomi Pancasila. Bagaimana ia tidak menelan mentah-mentah seluruh teori yang dijejalkan padanya di bangku kuliah, tidak kapitalis sepenuhnya maupun sosialis sepenuhnya, namun menggabungkannya dengan falsafah bangsanya sehingga tercetuslah gagasan ekonomi yang menitikberatkan keadilan sosial, bukan hanya material. Bagaimana ia menggagas agar kekuatan ekonomi di tangan rakyat, namun dilindungi oleh negara; di mana ia menekankan bagian penting yang membutuhkan perlindungan negara adalah pada jalur distribusi. Bagaimana ia melampaui zaman dengan menentang penitikberatan terhadap ekspor dan menjunjung harga diri bangsa dengan penguatan pasar lokal. Bagaimana koperasi yang dibawanya sebenarnya adalah salah satu bentuk dari pendukung skema ekonomi yang digagasnya, yaitu untuk keadilan sosial, di mana kemajuan ekonomi tidak dinikmati segelintir penguasa perusahaan saja.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini kesenjangan ekonomi merajalela; di mana segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan negeri, kelas menengah banting tulang untuk korporasi-korporasi demi sesuap nasi, dan rakyat miskin tetap miskin sampai mati; di mana teori-teori ekonomi asing dipakai mentah-mentah tanpa pertimbangan bijak, dan indikator-indikator makroekonomi dibangga-banggakan sebagai bukti kemajuan ekonomi tanpa melihat kesejahteraan masyarakat secara nyata; serta di mana banyaknya ekonom tidak sebanding dengan kemajuan pemberantasan kesenjangan ekonomi, banyaknya insinyur dan ilmuwan tidak sebanding dengan kemajuan pengembangan teknologi, dan secara umum banyaknya sarjana tidak sebanding dengan kemajuan negara ini.

"Dasar kekeluargaan itulah dasar hubungan istimewa pada kooperasi. Di sini tak ada majikan dan buruh, melainkan usaha bersama antara mereka yang sama kepentingannya dan tujuannya."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah Sang Dwitunggal; nama yang ia sandang bersama-sama Bung Karno, sahabat karibnya, rekan seperjuangannya dalam memerdekakan dan mengemudikan bangsanya. Dia seorang sahabat yang baik, tulus, dan perhatian; yang menegur keras sahabat karibnya yang ia anggap telah menyimpang, dengan kritik terbuka jujur terang-terangan.

Namun aku juga mengingatnya sebagai seorang sahabat sejati, yang dapat berseberangan dan bersikap keras soal berbagai pandangan, dengan tidak menumbuhkan dendam pribadi. Bagaimana setelah mundur sebagai Wakil Presiden, ia tetap berhubungan baik dengan Bung Karno. Bagaimana di tengah kritik-kritik kerasnya, ia dan Bung Karno masih tetap saling bersilaturahmi ke rumah masing-masing, masih tetap saling besuk ketika ada yang sakit. Bagaimana meskipun berbeda pendapat secara tajam, ketika Bung Karno diturunkan dan diperlakukan tak adil hingga sakit keras, ia tampil sebagai pembela terdepan dan pelindung keluarganya, bahkan menjadi wali nikah anak Bung Karno. Bagaimana setelah Bung Karno meninggal pun, ia tetap membela sahabatnya itu...

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini emosi kerap mendepak akal sehat tanpa terkendali, di mana masalah kecil dapat menyulut api yang nyalanya berkobar-kobar tiada henti, dan kita menjadi lebih suka berkelahi antar sesama bangsa sendiri demi membela sesuatu yang tidak berarti, dibanding bersatu padu menyelesaikan masalah yang jelas-jelas lebih perlu dihadapi.

"Aa, No... Apa kabar?"

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang pemimpin bangsa yang sederhana; yang tak pernah mementingkan harta ataupun menyalahgunakan kekuasaannya, meskipun saat ia menjadi orang nomor dua di negerinya. Ia hidup bersahaja, dari gaji pokok semata ditambah dari menulis buku, tanpa mau menikmati fasilitas tambahan apapun dari negara atau pihak lain, yang sebenarnya mudah saja ia dapat jika ia kehendaki.

Niat di balik semua itulah yang membuat aku juga mengingatnya sebagai teladan yang memiliki integritas dan harga diri. Bagaimana ia mengembalikan semua dana tunjangan dan sisa belanja Wakil Presiden ke negara, karena meyakini bahwa sesungguhnya pejabat adalah pelayan rakyat. Bagaimana ia naik haji dengan honor penerbitan buku-bukunya yang ia tabung bertahun-tahun dan menolak sama sekali difasilitasi negara, karena ia ingin berhaji sebagai seorang muslim yang mampu, bukan sebagai petinggi negara yang dimampukan rakyatnya. Bagaimana bahkan setelah tak menjadi Wakil Presiden, ia menolak tawaran menjadi komisaris berbagai perusahaan besar, untuk menjaga image netral seorang (mantan!) Wakil Presiden, juga untuk menghindari makan gaji buta. Bagaimana karena semuanya itu, sampai akhir hayatnya keluarganya sampai kesusahan membayar rekening listrik, dan ia, salah satu orang paling terpandang di negerinya, hanya mampu menyimpan guntingan iklan sepatu Bally yang diidam-idamkannya tanpa mampu membelinya hingga detik ia meninggal dunia... demi menunjukkan arti integritas, totalitas sebagai seorang abdi negara yang sebenar-benarnya, setinggi-tingginya, seluhur-luhurnya!

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini penyelewengan dan korupsi merajalela di segala lapisan mulai dari penguasa hingga aparat terbawah, di mana tanpa malu orang beramai-ramai merampas hak orang lain sesukanya baik diam-diam maupun terang-terangan, dikarenakan tatanan masyarakat yang mendewakan uang dan materi sebagai berhala pengganti Tuhan mereka.

"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang negarawan yang komplit; politisi, cendekiawan, diplomat, ekonom, filsuf, pejuang, pembangun, pemimpin, guru, teladan, abdi negara seutuhnya. Bung Hatta adalah apa yang ada dalam pikiranku sebagai definisi suatu manusia unggul: yaitu satu insan yang diberi kelebihan, bakat, dan kesempatan sebesar-besarnya, mumpuni dalam berbagai bidang yang dikuasainya secara menyeluruh, dan mendayagunakan segenap keunggulan yang dimilikinya itu dengan memprioritaskan kepentingan orang banyak sebanyak-banyaknya, untuk masyarakat luas, bangsa, negara dan dunia.

Bung Hatta adalah sosok yang amat perlu dikenal oleh segenap rakyat negerinya, negeri Indonesia kita yang telah 68 tahun merdeka, yang selama separuh pertama umurnya beruntung memiliki seorang abdi setia bernama Mohammad Hatta, dan yang selama sisa umurnya membutuhkan Bung Hatta-Bung Hatta baru, yaitu kita semua yang diberi kesempatan bukan untuk disia-siakan, namun untuk memberi dampak besar bagi negeri di mana kita telah ditempatkan oleh Sang Pemilik Takdir.

"Hanya ada satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku."




Mengenang Drs. Mohammad Hatta
atau lebih dikenal dengan nama 'Bung Hatta':
Proklamator Kemerdekaan
dan Wakil Presiden Pertama
Republik Indonesia,
lahir pada hari ini,
111 tahun yang lalu.





"Jujur, lugu dan bijaksana;
mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
rakyat Indonesia."
- Iwan Fals, dalam lagunya "Bung Hatta" -





Senin, 17 Juni 2013

Subsidi BBM, Memperlancar atau Merusak Pembangunan Bangsa Indonesia?

Tidak biasanya saya memuat tulisan yang hanya berisi kutipan atau salinan dari tulisan orang lain di blog ini. Namun, untuk kali kedua, saya akan membuat pengecualian. Berikut adalah tulisan dari tokoh yang sudah saya anggap sebagai guru, panutan, dan sumber inspirasi saya dalam belajar dan bekerja untuk negeri ini; Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja.

Tulisan berikut dikirimkan ke saya dalam bentuk e-mail, berupa sedikit pengantar dalam badan e-mail dan isi tulisan dalam lampiran e-mail berbentuk file .doc. Tulisan berikut (yang dicetak miring) adalah tulisan Pak Tatang yang saya salin sebagaimana aslinya, tanpa membetulkan kesalahan-kesalahan tulis yang mungkin ada di dalamnya.


Selamat membaca.

===================

Rekan-rekan di BKK-PII,

Terlampir adalah tulisan saya yang berjudul "Subsidi BBM : Memperlancar atau merusak pembangunan bangsa Indonesia?".

Minggu sore tanggal 26 Mei lalu, tulisan itu saya kirim via email ke Redaktur Opini Harian Kompas dengan permohonan agar dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam Rubrik Opini harian tersebut. Karena tak ada berita, tetapi juga nggak dimuat, hari Minggu tg 2 Juni saya mengirim email lagi kepada Redaktur Opini, menanyakan apakah tulisan tersebut telah diterima dan apakah telah dipertimbangkan untuk bisa/tidak-bisa dimuat dalam Rubrik Opini.

Dua hari kemudian, Selasa tg 4 Juni, saya menerima jawaban bahwa tulisan tersebut tak dapat dimuat dengan pertimbangan "topik yang sama telah ada yang membahas sebelumnya" (walaupun saya yakin betul bahwa belum ada yang isinya seperti tulisan saya tersebut). Saya balas email dengan menyatakan bahwa saya cukup lapang, karena dengan demikian tulisan itu bisa saya kirim ke koran lain.

Hari Rabu pagi tanggal 5 Juni, tulisan tersebut saya kirim ke Redaktur Pendapat Koran Tempo (yang menurut beberapa teman biasanya mau memuat tulisan yang bernada 'keras') untuk dipertimmbangkan bisa-tidaknya dimuat dalam Rubrik Pendapat koran tersebut. Karena juga tak ada berita tapi nggak dimuat, Selasa tg 14 Juni lalu saya mengirim email lagi ke Redaktur Pendapat, menanyakan tulisan tersebut. Karena tak juga mendapat jawaban, tadi pagi saya mengirim email lagi ke Redaktur Pendapat, menyatakan bahwa saya menarik kembali tulisan tersebut karena akan saya edarkan melalui media lain, antara lain mailing list BKK-PII ini.

Mudah-mudahan rekan-rekan sekalian berkenan membaca tulisan saya terlampir itu dan mengomentarinya, dalam rangka mengupayakan perbaikan perjalanan pembangunan manusia dan bangsa Indonesia.

Salam sejawat.

Tatang

--------------------------

Subsidi BBM
Memperlancar atau merusak pembangunan bangsa Indonesia?.


Oleh TATANG HERNAS SOERAWIDJAJA

Data yang disajikan oleh Ditjen Anggaran KemenKeu (http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/ DataPokokAPBN202013.pdf) menunjukkan bahwa paling sedikitnya sejak tahun 2007, subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu merupakan pengeluaran amat besar negara ini. Bahkan dalam 4 tahun terakhir, subsidi BBM menjadi pengeluaran tunggal terbesar; jauh lebih besar dari pengeluaran untuk subsidi-subsidi lain dan belanja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Pekerjaan Umum. Oleh karena ini, sudah sepatutnyalah bangsa Indonesia mengkaji cermat, berdasar pertimbangan non-politik, apakah subsidi BBM masih layak dilakukan dan memang bermanfaat bagi pembangunan manusia Indonesia.

Subsidi BBM sudah salah kaprah

Menurut definisi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), WTO (World Trade Organization), maupun buku-buku ajar ilmu ekonomi, subsidi adalah kontribusi finansial dari pemerintah atau badan publik yang diberikan kepada produsen atau konsumen untuk membuat suatu barang atau layanan tersedia pada harga di bawah harga pasar yang normal. Tujuan-tujuan pemberian subsidi yang disebut WTO sebagai “wajar/pantas untuk dilakukan” adalah paling sedikitnya salah satu dari : Pengembangan industri; Mendorong inovasi dan kemunculan national champions; Perlindungan lingkungan; Ketahanan nasional; Pelestarian kebudayaan dan warisan budaya; Mempertahankan karakter multifungsi dari pertanian; dan Redistribusi pendapatan (meliputi : mendorong kemajuan daerah tertentu, membantu industri yang sedang kesulitan, dan kewajiban pelayanan publik).

Telaahan awal menunjukkan bahwa subsidi BBM yang dilakukan pemerintah Indonesia tampaknya hanya bisa sesuai dengan kategori tujuan “Ketahanan nasional” (dalam bidang energi) dan “Kewajiban pelayanan publik”. Akan tetapi, bahkan WTO sekalipun menegaskan bahwa subsidi untuk tujuan ketahanan nasional diberikan kepada barang produksi dalam negeri untuk mewujudkan tingkat produksi domestik yang menjamin ketahanan nasional dalam bidang yang dimaksud. Padahal, sebagian besar BBM yang dikonsumsi di dalam negeri kita dewasa ini bukanlah produksi dalam negeri, melainkan barang impor. WTO juga menyatakan bahwa untuk tujuan kewajiban pelayanan publik, pelaksanaan pemberian subsidi harus menjamin bahwa penerima manfaat yang dikehendaki sama dengan penerima manfaat pada kenyataan sebenarnya, dan umumnya hanya diberikan pada barang/layanan yang takaran konsumsi normalnya mudah dikendalikan (seperti air, listrik, telekomunikasi). Padahal, cara penjualan terbuka di SPBU-SPBU membuat konsumsi BBM oleh masing-masing pembeli tak bisa dijaga selalu berada pada tingkat yang normal dan, sebagaimana sudah diungkap oleh berbagai sumber yang layak dipercaya, sekitar 85 % dari dana subsidi BBM diterima mereka-mereka yang tak berhak. Kini, subsidi BBM malah sebenarnya sudah beralih fungsi menjadi ‘insentif pemborosan” oleh pemilik-pemilik kendaraan pribadi yang umumnya adalah golongan menengah ke atas. Jadi, jelas bahwa subsidi BBM yang masih dilakukan pemerintah Indonesia sampai sekarang sebenarnya sudah salah kaprah, karena tak mencapai tujuan yang hakiki, malahan membuat porsi yang sangat besar dari anggaran negara terbuang percuma.

Mendorong penyelewengan

Sebagaimana tersaji pada tabel (yang merupakan bagian dari tulisan ini), harga solar dan premium di Indonesia sudah satu dekade lebih merupakan yang terendah di ASEAN. Pada tahun-tahun terakhir, harga di Brunei memang lebih rendah dari di Indonesia, tetapi ini dapat difahami, karena Brunei masih merupakan eksportir netto minyak bumi dan volume ekspornya lebih besar dari volume pemakaian domestik. Penting juga untuk dicatat bahwa harga solar dan premium di Indonesia bahkan tak lebih tinggi daripada di Uni Emirat Arab (UEA), yang merupakan eksportir besar minyak bumi.

Perbedaan harga solar dan premium yang besar antara di dalam negeri dan di negara-negara tetangga sangat berpotensi memicu penyelewengan. Penyelundupan ke luar negeri terhadap solar dan premium yang ada di dalam negeri bisa dilakukan oleh siapa saja yang bernurani jahat. Lebih dahsyat lagi efek perusakannya adalah kejahatan koruptif yang hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan atau yang berpengaruh kuat dalam politik. Yang ini biasanya tak terpikirkan oleh para mahasiwa yang polos dan kelompok-kelompok awam lainnya. Sebagai contoh : Satu tanker solar atau premium yang baru diimpor dengan harga normal (sekitar 100 US cent/liter) dan masih dalam perjalanan di kapal (katakanlah dibeli dari Singapura dan sudah berada di Selat Karimata) dibeli dengan harga subsidi (Rp4500 atau sekitar 47 US cent/liter). Dana subsidi diurus di level tinggi di Jakarta sehingga seolah-olah BBM tersebut sudah sampai ke dan dikonsumsi masyarakat. Satu tanker BBM tersebut kemudian dijual lagi ke luar negeri dengan harga, katakanlah, Rp7500/liter. Melalui kejahatan koruptif ini, maka pihak pelaku akan mendapatkan dana besar yang tidak hanya membuatnya jadi sangat kaya-raya, melainkan juga memungkinkannya mencengkeram kekuasaan negara melalui pembiayaan kampanye partai politik atau calon-calon potensial pemimpin negeri.

Demi mencegah penyelewangan-penyelewengan yang dicontohkan di atas, maka jika pun tak dihapuskan sama sekali, subsidi BBM perlu dikurangi agar membuat perbedaan harga di dalam negeri dan di negara-negara tetangga (atau dengan harga pasar yang normal) tidak besar.



Perbandingan harga BBM, dari tahun 1998 s/d 2012, di negara-negara ASEAN dan Uni Emirat Arab.



Sumber : GIZ, “International Fuel Prices 2010/2011, 7th Edition, “International Fuel Prices 2012/2013”, Data Preview April 2013.

Berujung rendahnya daya beli rakyat
Karena bahan bakar alias energi adalah kebutuhan primer masyarakat, harga BBM yang sangat murah dalam jangka waktu lama pada akhirnya akan berakibat rendahnya daya beli kebanyakan rakyat kita. Merujuk pada data riwayat harga yang tersaji di dalam tabel, maka lambat laun daya beli kebanyakan rakyat Indonesia akan terperosok menjadi yang paling rendah di ASEAN. Jika supir taksi di Singapura bisa berlibur ke Jakarta; kapan supir taksi di Jakarta bisa berlibur ke Singapura?.

Sesungguhnya, salah satu kewajiban para pucuk pimpinan negara maupun partai politik adalah meningkatkan daya beli kebanyakan rakyat kita, supaya akhirnya tak kalah dari negara-negara tetangga (atau bahkan negara mana pun di dunia!). Penegasan pemimpin-pemimpin politik negeri ini yang menolak kenaikan harga BBM sebenarnya menimbulkan pertanyaan : ” Betulkah para pemimpin kita, terutama para politisi, tidak tahu/sadar akan kewajibannya itu? Ataukah mereka hanya belaga pilon demi berebut kekuasaan?”.

Bak memberi beasiswa kepada yang sudah akan purnabakti


Karena minyak bumi dan bahan bakar fosil lainnya tidak hanya kian langka dan mahal, tetapi juga berdampak buruk pada lingkungan, maka kecenderungan global di awal abad ke-21 ini adalah pergeseran pemanfaatan sumber primer energi, dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber terbarukan. Oleh karenanya, status BBM di dalam dunia perniagaan dan pemanfaatan energi sekarang ini adalah seperti status matahari di jam setengah satu siang : masih berjaya (alias bersinar terang dan kuat) tetapi sedang menggelincir pelahan ke arah terbenam (alias purna-bakti). Dengan demikian, tak kunjung henti mensubsidi BBM sambil tak memberi perhatian dan insentif layak kepada pengembangan industri bahan bakar nabati (BBN) serta energi terbarukan lain adalah ibarat memberi beasiswa pada warganegara berumur 50 tahun ke atas (yang hampir habis masa bakti) agar terus dapat bersaing di dunia kerja, tetapi tak memberi beasiswa apapun kepada mereka yang berusia 25 tahun ke bawah (yang akan menggantikan generasi tuanya). Ini tentu saja merupakan falsafah regenerasi dan pembangunan ekonomi yang keliru dari sebuah bangsa !.

Merujuk pada uraian di atas ini pertanyaan yang sama kembali muncul : “Betulkah para pemimpin kita, terutama para politisi, tidak tahu/sadar terhadap kekeliruan ini?. Ataukah mereka hanya belaga pilon demi berebut kekuasaan?”.

Melestarikan kekeliruan pemahaman dan tuntutan para kawula muda

Di negara ini, setiap kali tersiar kabar bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka di berbagai kota terjadi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan para pemuda yang menolak kenaikan tersebut dengan alasan rakyat masih miskin. Sesungguhnya, pernyataan “menolak kenaikan harga BBM bersubsidi” merepresentasikan mental pengemis : “nggak apa-apa kami dan rakyat tetap miskin, murahkan saja harga BBM-nya”. Ini adalah tuntutan sebuah kelompok masyarakat yang anti-kemajuan!. Kelompok masyarakat yang ingin maju dan bersikap positif terhadap kemajuan, sadar bahwa harga (minyak mentah dunia) terbentuk oleh keseimbangan antara pasokan dan permintaan!. Jangankan presiden Indonesia, presiden Amerika Serikat saja tak mampu mengatur harga internasional minyak bumi. Jadi, yang dituntut oleh para kawula muda (mahasiswa dan pemuda) yang pro-kemajuan bukanlah “jangan naikan harga BBM bersubsidi”, melainkan : “Pemerintah boleh menaikkan harga BBM, tetapi (1) naikkan gaji pegawai negeri, terutama golongan bawah; (2) sesuaikan upah buruh; dan (3) naikkan harga pembelian gabah dan produk-produk hortikultura para petani; agar kelompok-kelompok masyarakat tersebut tetap dapat membeli BBM.”

Semoga saja banyak kawula-kawula muda Indonesia berkesempatan membaca uraian di atas dan kemudian berubah sikap. Mereka harus sadar bahwa demonstrasi demi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya tidaklah merepresentasikan pembelaan terhadap rakyat kecil, malahan secara pelahan menghantar rakyat kita (dan mereka sendiri) ke jurang kenistaan. Kesadaran ini akan membuat mereka tak mudah dimanfaatkan demi kepentingan sesat para politisi maupun importir BBM.

Penutup

Uraian di atas kiranya cukup menegaskan bahwa subsidi BBM, yang sampai sekarang masih terus dijalankan pemerintah Indonesia, tidak hanya sudah salah kaprah dan merupakan penghamburan sia-sia anggaran negara (alias uang rakyat), melainkan juga berdampak buruk pada pembangunan karakter aneka kelompok bangsa Indonesia. Oleh karena ini, subsidi BBM harus dalam jangka waktu yang tak terlalu lama, secara terencana dihapuskan dan dampak buruknya yang sudah terlanjur melekat pada karakter manusia-manusia Indonesia harus kita tanggulangi.

Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Kimia ITB, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Komisi Ilmu Rekayasa), anggota Dewan Riset Nasional (Komisi Energi), Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan anggota Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI).

==============

Semoga dapat menjadi pembanding di tengah arus "populis" yang kurang dalam mengkaji penolakan kenaikan harga BBM.


Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater,

merdeka!

Kamis, 06 Juni 2013

Hidup Itu Hanya Sekali

Banyak yang bilang, hidup itu hanya sekali.

Banyak yang bilang, karena hidup hanya sekali, puaskanlah diri.

Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, tidak usah peduli apa yang orang lain katakan atau apa yang orang lain harapkan dari dirimu.

Pragmatisme abad postmodern ini bergema di segenap pelosok dunia dalam wujud-wujud yang paling halus dan manis. Be yourself. We cannot please everybody. Living life to the fullest. I have my way, you have yours, let's respect that. Yang mudah sekali dibengkokkan menjadi bersenang-senanglah dengan hidupmu, persetan dengan orang lain.

Namun ketika kita diberi anugerah Tuhan, baik itu bakat maupun kesempatan, untuk berbuat lebih, apakah pantas kita meninggalkannya? Anugerah yang diberikan agar kita dapat menjadi saluran berkat. Bermanfaat bagi orang lain, orang banyak, bagi dunia.Yang oleh filosofi pragmatisme kerap dicap sebagai "being somebody you don't want to be, living a life of someone else".

Ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain, seharusnya memang bukan hanya dari paksaan publik. "Jadilah diri sendiri", "lakukan apa yang kau senangi", tidak harus selalu berarti mengejar kebahagiaan material ataupun hura-hura yang egoistis. Orang tidak berbuat baik atau produktif bagi orang banyak hanya karena disuruh, dipaksa, ditekan, atau dibayar dengan uang seperti budaya saat ini.

Ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain, tumbuh dari kesadaran diri, rasa syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan sebagai kehormatan untuk berbuat lebih, dan rasa belas kasih pada sesama yang mendorong kita untuk bermanfaat bagi orang lain dan dunia.

------------

Adalah seorang Koesno Sosrodihardjo yang di kemudian hari terkenal dengan nama Soekarno. Keturunan bangsawan. Insinyur sipil pada umur 25 dari sekolah tinggi teknik pertama di negerinya, dan salah satu insinyur pertama yang dimiliki bangsanya. Dikenal sebagai pemuda yang dianugerahi otak jenius dan memori fotografik. Menguasai enam bahasa asing dan beberapa bahasa daerah. Pendeknya, jalan terbuka lebar baginya untuk mulai mengejar kesenangan dunia saat itu.

Pada umur 27 dia dijebloskan ke penjara oleh pemerintah.

Sejak itu hingga umurnya yang ke-40, 11 dari 13 tahun hidupnya dihabiskan dalam penjara dan pengasingan.

Apakah saat itu ia dicap sebagai orang gagal? Si jenius yang menghabiskan hampir seluruh masa-masa emasnya sebagai terpidana? Dianggap sebagai orang yang menyia-nyiakan hidupnya?

Orang ini, di kemudian hari, dengan perjuangannya, dengan pengorbanannya, telah berkontribusi pada kemerdekaan suatu bangsa yang besar, yang terbentang dari barat ke timur lima ribu kilometer lebarnya, dua juta kilometer persegi daratannya pada tujuh belas ribu pulaunya, dengan ratusan juta orang penduduknya.

Orang inilah satu dari sekian banyak orang yang 'mengorbankan'... tidak, mendayagunakan! Ya, mendayagunakan hidupnya bagi hidup orang lain, bukan satu dua orang lain, tapi satu bangsa, bangsanya yang kemudian merdeka. Dan setelah 11 tahun bangsanya itu merdeka, 11 tahun di mana akhirnya dia duduk di puncak sebagai pemimpin bangsanya, pada umurnya yang ke-55 dia berkata:




"Sungguh Tuhan hanya memberi hidup satu kepadaku,
tidak ada manusia mempunyai hidup dua atau hidup tiga.
Tetapi hidup satunya akan kuberikan,
insya Allah Subhanahuwata'ala, seratus persen
kepada pembangunan tanah air dan bangsa.
 

Dan... dan jikalau aku misalnya
diberikan dua hidup oleh Tuhan,
dua hidup ini pun akan aku persembahkan
kepada tanah air dan bangsa
.
"

Orang lain punya hidup hanya satu saja disayang-sayang, lah orang ini mau-maunya memberikan hidupnya satu-satunya kepada bangsanya, bahkan jika punya dua hidup, dua-duanya pun akan diberikan! Mengapa? Karena dia menjawab panggilan. Panggilan untuk mendayagunakan anugerah kelebihan yang diberikan, untuk bermanfaat bagi sesamanya, seluas-luasnya.

------------

Bung, dengan 69 tahun usiamu, engkau telah mengubah nasib hidup ratusan juta rakyat Indonesia; rakyat yang mungkin hingga saat ini berandai-andai atau bahkan berharap, bagaimana misalnya Bung Karno boleh memiliki dua hidup? Berikanlah ia hidup yang kedua saat ini, karena hidupnya yang kedua pun akan dipersembahkannya pada tanah air, dan tanah air ini masih butuh orang-orang sepertinya!

Tidak. Seperti diucapkannya, tidak ada orang diberi hidup dua atau tiga. Pembangunan hari ini bukan lagi tanggung jawab Soekarno. Pembangunan hari ini adalah tanggung jawab pemuda-pemuda hari ini, Soekarno-Soekarno zaman baru; pemuda-pemuda yang akan mendayagunakan umurnya, hidupnya, talenta dan kesempatan yang dimilikinya untuk orang-orang selain dirinya, untuk orang banyak, untuk kemajuan bangsanya.



Bogor, 6 Juni 2013
Selamat ulang tahun ke-112 wahai Putra Sang Fajar, Proklamator Tercinta, Presiden Pertama Republik Indonesia, Pahlawan Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.


Jumat, 03 Mei 2013

Biorefinery Series - Part 3 : A Repetition; Seminar Nasional Agro "Pengembangan Industri Hilir Unggulan Berbasis Kelapa Sawit"

"Jika negara kita mau mengguncangkan dunia, sawitlah salah satu moncong meriamnya, industri hilirnyalah pelurunya, dan insinyur-insinyur proseslah api pada sumbunya, yang harus memicu ledakannya!"


---------

Mungkin bagi saya (dan sebagian dari anda) yang sudah terlalu sering mendengar dan menyimpulkan, apa yang ada dalam tulisan ini merupakan repetisi. Perulangan. Perulangan yang jelas. Bahwa permasalahan bangsa yang lucu ini sebenarnya sudah jelas, dan solusinya pun sudah jelas. Setiap kajian permasalahan menghasilkan peta yang sama, yang menggambarkan jalan yang sama, untuk tujuan akhir yang sama-sama diharapkan. Dan negeri ini sudah cukup memiliki banyak pembuat peta; namun kekurangan orang yang berani menempuh jalan, dengan persiapan yang benar dan tujuan yang benar.

Demi menyingkat pendahuluan yang hendaknya tidak terlalu panjang, berikut inilah kesan (semoga) singkat yang saya dapatkan dari Seminar Nasional Agro tentang industri hilir sawit. Salam!

Pada hari Jumat pagi lalu, 26 April 2013, saya mengikuti Seminar Nasional Agro yang diselenggarakan di gedung Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Acara ini adalah salah satu bentuk dari acara tahunan yang digelar oleh Komunitas Agro, yaitu salah satu dari 12 komunitas keahlian dalam Badan Kejuruan Kimia - Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII) di mana Komunitas Agro ini mewadahi insinyur-insinyur kimia yang bergerak maupun menaruh minat pada bidang agroindustri (industri pengolahan sumber daya agro atau hasil pertanian, perkebunan, dan semacamnya). Tema kali ini adalah "Pengembangan Industri Hilir Unggulan Berbasis Kelapa Sawit". Dalam 3 tulisan saya terdahulu dengan tema Biorefinery, sedikit banyak terangkat masalah sawit sebagai potensi negara kita yang amat dahsyat, anugerah Tuhan bagi negara-negara tropis khususnya, ya, sangat khususnya, Indonesia; namun dirasakan ada baiknya diberikan ulasan pendahuluan sekilas terlebih dahulu mengenai sawit dan biorefinery ini untuk yang baru mempelajarinya.

Tanaman sawit ini merupakan aset besar bangsa Indonesia dalam menyongsong abad biorefinery, dengan dua alasan. Alasan pertama, secara potensi dari kandungan sawit itu sendiri, tanaman ini mengandung bahan-bahan yang baik secara jumlah maupun mutu sangat cocok untuk biorefinery (menggantikan sumber daya migas). Panen sawit berupa tandan buah segar (TBS) jika diolah di pabrik pengilangan sawit (PKS) akan menghasilkan 25% minyak (20% CPO dan 5% PKO atau minyak inti) dan 75% sisanya merupakan limbah biomassa yang bermanfaat (10% cangkang, 20% serabut, 20% tandan kosong, dan 25% menjadi limbah cair bersama-sama dengan air proses). CPO dan PKO merupakan minyak dari tanaman, dan berpotensi diolah menjadi bermacam-macam produk pengganti migas: bahan bakar baik pengganti yang konvensional maupun yang energi baru/terbarukan (diesel, avtur, hidrogen, dst), pelumas dan pelarut industri, senyawa-senyawa bahan bioplastik (pengganti plastik biasa); maupun produk-produk lain seperti sabun, deterjen, bahan kosmetik, pengemulsi pangan, untuk industri farmasi, dan lain-lain.

Sementara limbahnya (yang banyaknya 4 kali lipat minyaknya) pun tak kalah bermanfaat. Tandan kosong sawit (TKS) sebagaimana limbah tanaman sebangsa kayu dan sejenisnya adalah lignoselulosa, yang dapat digunakan entah dalam bentuk material (untuk tripleks, bahan bangunan, dst), barang habis (dibakar untuk energi panas atau listrik, pakan ternak, pupuk kebun), maupun diolah dengan diurai menjadi gula, yang dengan teknologi bioproses dapat diolah menjadi hampir semua jenis produk seperti bahan bakar cair (etanol), bahan bioplastik, produk farmasi dan pangan. Limbah cairnya atau palm oil mill effluent (POME) dapat menjadi bahan baku penghasil biogas maupun pupuk, hidrogen, bahan bioplastik, maupun bahan bakar cair (butanol).

Pendek katanya, hampir semua produk industri kimia di segala sektor baik untuk pengganti migas (petrokimia dan energi) maupun sektor pangan dan lain-lain, dapat dipenuhi oleh kelapa sawit! Tentunya seluruh dunia sudah tahu bahwa minyak tumbuhan adalah bahan baku utama biorefinery, maka dari itu negara-negara berteknologi maju (terutama Eropa dan Amerika) juga mengembangkan teknologi-teknologi tersebut berbahan baku minyak nabati dari negara mereka sendiri. Namun, kelapa sawit Indonesia memiliki keunggulan...

Alasan kedua, dari sisi potensi sawit yang dimiliki Indonesia, seperti kita tahu (atau tidak tahu) bersama, Indonesia dan Malaysia adalah produsen 87% sawit dunia. Tanaman ini hanya tumbuh di tanah yang cocok, dan Indonesia adalah negara terluas yang memiliki tanah yang cocok itu! Palm oil is God-given, specifically-designed, custom-made renewable phlebotinum for our country, Indonesia! No wonder Western world hates us (and our palm oil)!

Ini perusahaan dari salah satu negara yang paling gencar berkampanye "Say No To Palm Oil". Berita lengkap di http://www.mongabay.co.id/2013/03/25/korporasi-asing-terus-lakukan-ekspansi-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/

Sekian intro sekilas tentang sawit dan potensi industri hilirnya. Kembali ke acara seminar, acara ini dibuka oleh perwakilan badan penanggung jawab acara yaitu Ir. Michael Baskoro (Wakil Ketua BKKPII mewakili Ketua BKKPII Ir. Nanang Untung yang berhalangan) dan perwakilan tuan rumah yaitu Prof. Bambang Sugiarto (Dekan FT-UI) yang ternyata dulunya sesama teman kuliah di FT-UI. Prof. Bambang Sugi ini memang nampak sangat orang teknik mesin dan alumni Kanisius; blak-blakan sekaligus pede dan tak gentar untuk bragging. Tentunya dibuka dengan cerita promosi betapa kerennya FT-UI; dari segi luas, banyaknya mahasiswa, jumlah profesor, dana penelitian, dst dst. Sebagai manusia berjiwa ITB (baca: Institut Terkenal Belagu) tentunya saya punya banyak remarks yang tentunya tak kalah konyol tentang pidato beliau itu, tapi yasudahlah, hahaha. Yang jelas ada beberapa quote beliau yang saya garisbawahi. "Negeri ini negeri project-based" atau dalam bahasa saya, bangsa diskrit dan seremonial. "Acara seperti ini memberi solusi tapi kurang coverage. Insinyur itu harus banyak bicara agar didengar oleh orang lain. Harus bicara, bicara, bicara, dan berbuat!" ini kasus terutama yang saya lihat di perkumpulan-perkumpulan insinyur (problem solver) selama ini; banyak peta, banyak solusi, gak pernah diekspos dan gak pernah bisa ditembuskan ke masyarakat awam atau pembuat kebijakan! Dalam komunikasi itu ada pengirim, ada pesan, ada penerima. Dalam kasus ini, entah mana yang ngaco. Yang punya solusi, yang dikasihtau solusi, atau solusinya sendiri.

Setelah sambutan, acara seminar dimulai dengan keynote speech yang harusnya disampaikan oleh Dr. Firmansyah (Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan) namun karena beliau berhalangan hadir (sering sekali terjadi seperti ini terutama jika yang diundang adalah pejabat 'tinggi') maka digantilah beliau, dan tidak ada orang lagi yang lebih tepat di Indonesia ini untuk membuka suatu seminar tentang sawit dibanding Bapak Sawit Indonesia, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, tokoh utama dalam buku "Memoar Duta Besar Sawit Indonesia", alumnus TK ITB angkatan 60 yang sejak lulus hingga saat ini sudah hampir setengah abad karirnya dihabiskan untuk bergelut dengan industri dan perkebunan sawit... Ir. Derom Bangun.



"Berbeda dengan industri kimia yang lain (...) semuanya berbau kimia. pabrik kelapa sawit itu berbau jagung rebus, makanya saya kerja sampai malam pun tidak pernah merasa capek." kesaksian Derom Bangun untuk GBKP, selengkapnya di http://www.gbkp.net/kesaksian/kesaksian/170-kesaksian-ir-derom-bangun

Selama setengah jam Pak Derom berbicara "ngalor ngidul" (itu menurut istilahnya sendiri) dengan aksen Perancis sekaligus logat Sumatera yang kental.

Tentang produksi sawit Indonesia yang tadinya di dekade 90an masih kedua di bawah Malaysia (tahun 98 produksi sawit kita masih di bawah 10 juta ton, hanya sekitar lebih dari 70% Malaysia, namun di dekade ini kita sudah berada di atas Malaysia dengan 20an juta ton, sementara produksi Malaysia stagnan di angka 17 juta ton!) hingga kita sekarang menghasilkan 50% sawit dunia dan (dengan sawit saja) memasok hampir 15% kebutuhan minyak nabati dunia! And I will repeat: no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!Tentang perkembangan industri sawit Indonesia. Dari pertama kali hanya menghasilkan CPO dan PKO, hingga tahun 80 Pak Derom dan rekan-rekan mengembangkan adanya pabrik/kilang fraksionasi atau pemisahan CPO menjadi komponen-kompnen olein, stearin, dan distilat asam lemak bebas (PFAD). Tentang teknologi pemrosesan sawit yang tentunya sudah familiar bagi insinyur proses: penghancuran, pre-treatment, pemerahan minyak, penyaringan dan pemurnian.

Dan pada akhirnya, tentang pengaruh asing di sawit. Negara-negara empat musim yang mungkin sampai kiamat tidak akan pernah bisa punya kebun sawit, ternyata yang lebih serius ngurusin sawit! Teknologi pemrosesan sawit pun negara-negara itu yang mengembangkan. Begitu pula dengan standardisasi produk-produk sawit, termasuk emisinya! Nah loh. Repetisi ini, masalah bangsa kita, seperti yang sudah pernah saya bahas, potensi segudang, tapi malah negara asing yang tidak memilikinya yang lebih perhatian. Ini gawat, terutama jika dilihat dalam kasus berikut ini... emisi.

Jadi (singkatnya) ada kampanye hitam terhadap sawit di luar negeri, yang menurut saya hanyalah cara untuk memproteksi minyak-minyak nabati barat yang inferior. Celakanya, catatan emisi yang dihasilkan perkebunan sawit itu dibuat oleh asing (Jerman)! Sawit dianggap tidak memenuhi standar carbon saving jika memperhitungkan transportasi, penebangan hutan, pembukaan lahan, gambut dll, dengan parameter yang ditentukan sepihak. Belum lagi kampanye di Perancis soal gangguan kesehatan akibat minyak sawit, lengkap dengan label pada makanan: sans huile de palme (SHDP) alias "tanpa minyak sawit", yang mungkin di Indonesia bisa dianalogikan dengan label "halal"... otomatis produk yang tidak mengandung cap itu langsung turun daya tariknya. Ditambah dengan deforestasi dan isu lingkungan dan gambar-gambar orangutan yang lucu-lucu sebagai bentuk ampuh psikologi massa, pajak sawit di Perancis pun naik sampai empat kali lipat...


Kampanye efektif gratis via instant messenger LINE, untuk anak-anak muda Indonesia dan seluruh dunia.
Padahal argumen-argumen tersebut masih sangat dapat terbantahkan, salah satu contohnya dapat dilihat di link ini http://www.foodnavigator.com/Financial-Industry/Palm-oil-sustainability-A-sensitive-issue-due-for-exponential-growth soal isu lahan. Pendapat pribadi saya terkait isu orangutan, ya, kasus-kasus pembunuhan orangutan secara brutal itu biadab, salah, dan seharusnya bisa dihindari. Konservasi orangutan harusnya bisa berfokus pada menjaga populasi orangutan, bukan meniadakan sawit... saya percaya keduanya bukan hal yang identik.

I believe that oil palm plantations and orangutans can and must coexist.

Pak Derom dkk telah berusaha menjadi pembela dan mendatangkan para penilai itu langsung ke pabrik-pabrik dan kebun sawit Indonesia untuk melihat bahwa yang dituduhkan itu tidak benar, namun setelah itu jawabannya pun hanya "we'll study the results and inform you later". Semacam berkelit. Ditambah banyak pembelaan dari kita itu belum berbentuk "ilmiah banget" dan untuk mencegah lawan kita berkelit semacam itu, bukti-bukti ini harus dibakukan dalam bentuk jurnal penelitian atau apapun lah yang lebih ilmiah. Tantangan buat para peneliti, kalian pasti bisa!

Sesi utama seminar adalah diskusi panel yang melibatkan 4 orang narasumber yang, seperti budaya yang ada di BKKPII, diusahakan datang dari golongan akademisi, bisnis, dan pemerintah (ABG). Diskusi panel ini dimoderasi oleh Ketua Komunitas Agro BKKPII (penyelenggara acara) yaitu Ir. Memed Wiramihardja, MM. IPM., Direktur Litbang PTPN IV (Sumatera Utara), alumnus TK ITB angkatan 75. Dalam pembukaan diskusi, beliau mengemukakan bahwa potensi peningkatan nilai tambah dari SDA perkebunan kita yang unggulan perlu menjadi perhatian dan pengembangannya menjadi tanggung jawab insinyur-insinyur proses (yang diwadahi oleh BKKPII), terutama untuk sawit dan karet. Sawit ini produksinya berlimpah dan dampaknya langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat besar. Jika dapat diolah menjadi produk-produk bermanfaat, dampaknya akan lebih besar lagi, bahkan sangat besar. Jadi, dalam bahasa saya, jika negara kita mau mengguncangkan dunia, sawitlah salah satu moncong meriamnya, industri hilirnyalah pelurunya, dan insinyur-insinyur proseslah api pada sumbunya, yang harus memicu ledakannya!

Panelis pertama adalah Ir. Indra Budi Susetyo, MSc., alumnus TK ITB angkatan 76, peneliti madya dari BPPT, sebagai peneliti yang bekerja di instansi pemerintah, dengan presentasi berjudul Sinergi Kebijakan dan Perkembangan Teknologi untuk Pemenuhan Kebutuhan Strategis (Berbasis Kelapa Sawit). Presentasi dibuka dengan sedikit kimia organik dasar dari minyak lemak dan gula, dan dilanjutkan dengan potensi sawit Indonesia: bahwa Indonesia adalah pemasok sawit terbesar dunia (bahkan 50% lebih) dengan pertumbuhan yang sangat pesat! Di dunia pada abad 21, produksi minyak nabati lain seperti minyak biji bunga matahari, kedelai, dan biji perkosa (terjemahan rapeseed versi Pak Tatang) cenderung stagnan (pertumbuhan terbesar 20%), namun produksi minyak sawit pada tahun 2011 naik 100% dibanding pada tahun 2000! Pertumbuhan ini sebenarnya menempatkan Indonesia sebagai unrivaled player pada permainan minyak nabati dunia. I repeat, no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!

Evolusi produk turunan minyak sawit pun terlihat makin lama makin berkembang ke hilir. Dari produk tradisional CPO seperti minyak goreng, sabun dan margarin, kali ini berkembang industri lanjutannya untuk memasok bahan bagi industri deterjen, personal care, kosmetik, dan specialty food. Di masa depan (yang tak akan terlalu jauh, bahkan sebagian sudah ada) produk  minyak sawit adalah untuk pengganti produk-produk migas: pelumas, pelarut industri, bioplastik dan bahan bakar!

Bisa kita lihat sebenarnya secara kimia, tidak harus minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku; minyak-minyak nabati yang lain pun bisa, karena secara kimia serupa. Dan seperti biasa, ini berarti negara-negara lainlah yang sudah mengembangkan teknologi-teknologi tersebut, dengan minyak-minyak nabati yang tersedia di negaranya. Ya, menurut saya sih, itulah sebabnya mereka minder dengan sawit Indonesia... karena mereka bijinya kecil-kecil. Maksudnya ya biji bunga matahari, kedelai dan biji perkosa itu. Produktivitasnya pun kalah jauh. Produktivitas per hektar sawit itu rata-rata 10 kali lipat biji-biji yang tadi disebutkan, dan bahkan biji-biji kecil itu telah diperlengkapi rekayasa genetika yang canggih. Makjang! I repeat, no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!

Ada beberapa produk hilir yang bernilai tinggi dan sangat modern dari minyak sawit, namun di sini akan dibahas selintas saja untuk menghindari terlalu jauh ke ranah teknikal. Pelarut industri, di mana 12% pelarut di AS saat ini adalah metil ester, di mana minyak sawit dapat direaksikan dengan metanol membentuk senyawa ini. Epoksida, sebagai bahan baku plastik khususnya PVC, menghindari pemakaian pthalat yang terkandung pada plastik biasa (penyebab lupus, mandul, kanker dan feminisasi). Natural polyol (NOP), digunakan sebagai pengganti zat-zat berhalogen yang merupakan bahan perusak ozon (BPO) di furnitur dan sejenisnya. Propilen glikol, yang kegunaannya beragam mulai dari bahan poliester, deterjen, antifreeze dan lain-lain.

Kesemuanya itu akan menggantikan bahan serupa yang diproduksi dari bahan yang berbahaya bagi lingkungan atau sumber daya tak-terbarukan, terutama migas. Konsumsi minyak bumi akan terus naik, sementara produksinya terus menurun. Negara lain pun tidak buta akan keadaan ini. Dengan sumber daya yang tersedia saja, mereka telah buat kilang hidrokarbon dari minyak nabati! Mengolah sawit, untuk membuat produk-produk yang telah dijelaskan tadi, untuk menggantikan industri petrokimia. Ini telah dijelaskan Pak Tatang seperti yang saya kutip di tulisan sebelum ini (Biorefinery Series Part 2), negara-negara yang mengembangkan justru negara yang miskin sumber minyak nabati seperti Finlandia (iklim), Singapura dan Belanda (lahan). Tanya kenapa?

Dibahas pula keekonomian pembangunan kilang tersebut di Indonesia. Jika dibangun 60 kilang bahan bakar pengganti BBM dari sawit di Indonesia, CPO dari 10 juta hektar lahan sawit, atau 1000 pabrik PKS, akan dapat diolah menjadi bahan bakar setara 1 juta barel minyak per hari, menciptakan 4 juta lapangan kerja baru (sekitar 1-2% jumlah penduduk Indonesia atau setara jumlah seluruh penduduk provinsi Kalimantan Barat), dan menghemat devisa negara US$ 65 miliar, yang berasal dari pertambahan nilai CPO yang tidak lagi diekspor murah (sekarang dapat dijadikan BBM yang lebih mahal) dan penghentian impor solar. Investasi yang dibutuhkan berkisar ratusan miliar dolar, namun uang sebanyak itu tidak perlu disediakan pemerintah, cukup meregulasikannya saja. Nah, masalahnya ya terkait impor solar itu tadi; dengan demikian sekarang ditambah pula, yang benci kita dan kelapa sawit itu ada pula mafia minyak!

Dan, sebagaimana terus diulang-ulang di setiap pertemuan keinsinyuran yang saya ikuti setahun belakangan, kunci dari kesuksesan skema ini adalah integrasi perkebunan dan industri. Tren dunia saat ini adalah hilirisasi dan integrasi industri. Logikanya, jika pemilik kebun, pemilik pabrik CPO, dan pemilik pabrik hilir (pengolah CPO) terpisah-pisah, harga akan mahal karena ada ongkos transportasi. Padahal, tandan buah segar (TBS) produk kebun adalah bahan baku pabrik CPO. CPO adalah bahan baku pabrik biodiesel, deterjen, dan lain-lain. Biodiesel (FAME) adalah bahan baku produk-produk lainnya lagi (produk hilir). Jika yang kita targetkan adalah produksi produk-produk hilir (advanced) bernilai tinggi, inefisiensi ini harus dihindari! Kebun dan pabrik harus terintegrasi, kalau bisa dimiliki oleh satu pihak. Ini akan mempermurah harga, sehingga bahan bakar yang dihasilkan pun harganya dapat berkompetisi dengan BBM. Ilustrasinya (digambar ulang) sebagai berikut.

Jika industri terintegrasi atau pemilik kebun juga menjadi pemilik pabrik hingga ke hilir, ada 2 keuntungan: (1) harga akhir biodiesel/bahan bakar lebih murah sehingga bersaing dengan BBM, (2) keuntungan yang didapat lebih besar daripada sekadar menjual CPO.

Jadi, dari kompleks industri terintegrasi ini, produk antara seperti CPO tidak boleh lagi keluar. Kebun sawit harus menghasilkan produk hilir atau bahan bakar; tidak boleh jual TBS keluar, tidak boleh jual CPO keluar! Terakhir, untuk sumber daya lahan yang terbatas (tidak bertambah), harus dijaga benar untuk keperluan yang strategis. Saya sungguh ingin dapat menerapkan intensifikasi perkebunan sawit untuk meningkatkan produktivitas kebun berlipat-lipat, hasil buah pemikiran guru saya, sang maestro Teknik Kimia, Dr. Mubiar Purwasasmita.

Panelis kedua adalah Prof. Dr. Ing. Ir. Misri Gozan, M.Tech., dosen Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, alumnus TK UI angkatan 87, spesialis bidang biokimia dan bioteknologi, Wakil Sekretaris Umum BKKPII, dan penganut setia ilmu aliran Mpu Tatang. Sebagai salah satu perwakilan akademisi kampus, beliau membawakan presentasi berjudul Strategi Pengembangan Industri Biorefineri Indonesia.

Prof. Misri Gozan dengan penelitian antara lain seperti produksi biodiesel secara enzimatis, produksi bioetanol dari hemiselulosa dengan SSF, dan bioreaktor untuk WWT, yang selengkapnya dapat dilihat di http://staff.ui.ac.id/profil/detail_dosen.php?id=132091210

Seperti panelis sebelumnya, presentasi dibuka dengan penggebrakan melalui fakta potensi sawit Indonesia, yang ini dilihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia di mana industri pengolahan sumberdaya non-migas (industri turunan sawit termasuk di dalamnya) masih menyumbang porsi terbesar PDB, sebanyak 20%; namun jumlah ini adalah penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, sementara sektor hulu (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) malah meningkat. Apa artinya? Berarti makin banyak bahan mentah yang dijual dalam bentuk mentah, bukan bentuk olahan, sehingga mengurangi potensi penambahan nilai (added value), baik dari bahan mentah itu maupun dari limbah yang dapat dihasilkan oleh proses pengolahan! Lantas di mana posisi sawit? Jika Pak Indra Budi membandingkan dengan minyak-minyak nabati lain di dunia, Pak Misri membandingkan dengan hasil kebun lain di Indonesia. Sama! Yang lain: tebu, karet, teh, coklat, kopi, semua stagnan; sawit naik terus!

Menjabarkan penjelasan saya di bagian pendahuluan tadi, Pak Misri menjelaskan mengapa bisnis sawit di Indonesia potensial: ongkos produksi kita terendah di seluruh dunia (buruh dan lain-lain) sehingga margin keuntungan besar, permintaan internasional naik terus, produktivitas (seperti sudah dibahas) jauh unggul dibanding para saingannya, dan substitusi BBM pun (akan) menguntungkan karena harga BBM kita naik terus. Faktor penghambatnya? Perlu dicatat: 1. potensi sengketa lahan, 2. peraturan dan hukum lemah sehingga menimbulkan ketidakpastian jaminan keamanan, 3. infrastruktur lemah, dan yang paling bikin kesal adalah 4. serangan asing atas kelapa sawit. Wah, banyak juga.

Saat ini 50% kebun sawit Indonesia dikuasai swasta, 40% petani rakyat, dan 10% negara via PTPN. Terkait pengembangan kawasan industri hilir strategis seperti yang telah disampaikan, saat ini dicoba dibuat klaster industri untuk mengecek mana model penggerak yang terbaik: di Sumatera Utara (berbasis PTPN), di Riau (berbasis industri swasta), dan di Kalimantan Timur (berbasis Pemda).

Hingga sampailah kepada sawit sebagai bahan utama biorefinery (atau, sebagai 'murid' Mpu Tatang, di-Indonesiakan oleh Pak Misri menjadi 'pengilangan hayati'). Seperti apa saja detil pohon industri sawit selintas saja dibahas oleh Pak Misri, meskipun ada pohon industri detailnya (yang saya punya dalam bentuk hard copy), baik dari minyaknya maupun limbahnya, yang sama-sama mencakup rentang jenis produk yang sama banyaknya (seperti yang telah disinggung di pendahuluan). Dan seperti yang telah ditekankan oleh hampir semua pembicara, kunci keberhasilannya adalah di pembuatan suatu kompleks industri terintegrasi. Pak Misri memberi permisalan, apakah ada pabrik bensin? Tentu tidak, karena pasti tidak ekonomis. Yang ada itu kilang minyak! Jadi mengapa kita membuat pabrik bioetanol atau biodiesel? Adakanlah kilang singkong, kilang tebu, kilang sawit! Itulah yang dilakukan di negara-negara asing. Dengan sumber daya seadanya mereka telah membuat pengilangan hayati terpadu mulai dari produk kimia dasar hingga turunan hilirnya yang bernilai tinggi.

Pak Misri menutup presentasinya dengan membahas masalah yang ada pada penelitian di kampus-kampus kita. Ada dua masalah yang digarisbawahi. Pertama, penelitian di tiap kampus seringkali overlapping dan tidak terkoordinasi. Apa yang dibahas di ITB dibahas pula di UI, misalnya, dan apa yang tidak dibahas di ITB seringkali pula tidak terbahas di UI atau kampus manapun. Koordinasi dengan demikian mutlak perlu, bukan hanya dengan sesama universitas, tapi juga ke luar: dengan dunia industri, dan ke dalam: inilah masalah kedua, yaitu koordinasi antar bidang penelitian. Bahkan bidang keahlian di satu kampus pun masih belum bisa koordinasi. Seharusnya tidak hanya fokus di proses produksinya, misalnya; tapi orang pemisahan, orang material, dan lain-lain harus mulai meneliti juga, sehingga penelitian yang ada tidak diskrit, parsial, dan terserak; tapi bisa sinergis dan terintegrasi dan tujuannya membangun suatu pabrik, bukannya (ini tambahan dari saya) hanya untuk kesenangan si peneliti! Riset anda dibayari uang negara, uang rakyat, Pak, Bu...


Panelis ketiga adalah presenter dadakan dari PT. Musim Mas, salah satu raksasa sawit Indonesia dan dunia. Pembicara terjadwal adalah Huiniati, Kepala HRD Corporate, yang mewakilkannya ke orang yang dirasa lebih mampu berbicara banyak di bidang ini: Togar Sitanggang, Manajer Corporate Affairs PT. Musim Mas, pria berambut plontos alumnus Agribisnis USU yang telah 20 tahun malang melintang di berbagai perusahaan dalam dunia persawitan. Ayah beliau, menurut Pak Memed, adalah 'sesepuh' di PTPN (Jan Piter alias JP Sitanggang?). Saya bertemu beliau pertama kali di Kementerian Perdagangan pertengahan tahun lalu dalam rapat pertahanan kebijakan antidumping Uni Eropa atas ekspor biodiesel dari Indonesia.

Pak Togar ini juga pecinta fotografi. Photo credit: Togar Sitanggang.

Seperti biasa presentasinya (dengan slide yang berbeda dari yang dipersiapkan panitia) dibuka dengan potensi sawit: dalam hal sumbangannya terhadap devisa negara non-migas, sawit menduduki no.2 di bawah batubara. Saat ini sawit telah menyerap 6 juta tenaga kerja (sekitar 2% penduduk Indonesia atau jika jadi provinsi tersendiri akan menempati urutan 10 dari 33 provinsi).

Terkait (lagi-lagi) hilirisasi sawit, mengapa perlu? Ya, kita ini produsen terbesar sawit dunia dengan 28 juta ton per tahun produksi sawit (no. 2 Malaysia dengan 18 juta ton, no.3 Thailand dengan hanya sekitar 1,5 juta, kita jauh di atas 50% dunia), hanya 5 juta ton yang dipakai untuk keperluan pangan, sisanya sedikit non-pangan dan selebihnya ekspor. Sungguh sayang bukan?

Terkait ekspor, pada sejarahnya, sawit Indonesia mulai berkembang hingga mencapa titik swasembada (mencukupi kebutuhan dalam negeri). Musim Mas adalah perusahaan pertama yang mengekspor sawit pada tahun 90an sebagai tanda bahwa kebutuhan dalam negeri telah bisa tercukupi sehingga kelebihannya bisa diekspor. Perkembangan Musim Mas dari awal dibentuk sebagai perusahaan sabun (1932), kemudian membuat kilang/pabrik CPO (1970), lalu membeli kebun sendiri (1988), dan membuat inovasi pionir dengan mendirikan industri oleokimia (2003) hingga saat ini akan go international (2013). Musim Mas saat ini menguasai 10% pasar sawit dunia atau 20% Indonesia, hanya di bawah Wilmar, yang dideskripsikan Pak Togar sebagai "kawan sekaligus musuh". Dan sebagian besarnya diekspor.

Mengapa diekspor? Ya, karena pasar lokal tidak menyerap! Alokasi untuk produk bulk (minyak goreng) sudah penuh, sementara industri hilirnya tidak tumbuh. Industri hilir berbahan baku minyak sawit malah banyak dikuasai asing alias negara-negara maju yang tidak punya sawit. Aneh kan? Saya teringat salah satu presentasi di halalbihalal BKKPII tahun lalu: di era global ini, jangan pernah sombong jika anda kaya sumber daya alam. Negara yang menguasai hilir akan bilang "Oh, kamu kaya SDA? Tapi nggak bisa ngolahnya kan? Cuma bisa jual mentah murah kan? Kalau gak dijual, siapa juga yang mau nyimpan kan? Yaudah sini mana SDA-nya, saya beli dah!". Indonesia, simaklah!

Terkait dengan industri hilir di negara maju, karena desakan dari petani minyak nabati mereka yang bijinya kecil-kecil itu, maka diinisiasilah kampanye anti-sawit seperti yang telah disinggung sebelumnya. Argumen merusak hutan, mengambil tanah penduduk, global warming, dan merusak kesehatan didengungkan, dan untuk membantahnya secara komprehensif akan makan satu artikel sendiri. Singkatnya, tuduhan-tuduhan itu dilebih-lebihkan, dilontarkan dan dihakimi sepihak, dengan munafik pula, dan semuanya itu adalah semata untuk melindungi biji-biji kecil mereka!

Musim Mas, menurut Pak Togar, terus bertempur dalam jalur untuk mempertahankan sawit ini. Semua sertifikasi yang dikeluarkan asing terkait sawit, diikuti oleh Musim Mas. Sertifikasi RSPO dari Jerman diambil. WWF bahkan menjadikan kebun dan pabrik Musim Mas sebagai bintang iklan video, di mana perusahaan ini digambarkan sebagai perusahaan sawit yang sustainable. Inilah perjuangan secara legal untuk membela kepentingan nasional Indonesia. Meskipun begitu, serangan tetap tidak berhenti, mulai dari level halus seperti kampanye hitam tadi, hingga level kasar dan frontal, seperti trade barrier; contohnya saja adalah peningkatan pajak sawit hingga empat kali lipat di Perancis, atau politik antidumping (mengenakan denda penalti untuk) biodiesel ekspor kita ke sana. Terkait kasus ini yang saya pernah terlibat mengurus juga di Kementerian Perdagangan, meskipun mereka berkata antidumping ini dilakukan untuk melindung industri biodiesel lokal mereka (yang bijinya kecil), sebenarnya pun jika kita stop ekspor, mereka akan kelabakan untuk memenuhi permintaan sendiri. Ya, singkatnya menurut saya, sawit dianggap merusak lahan hutan tropis. Padahal permintaannya terus naik, dan itu untuk kebutuhan negara-negara maju itu. Jika mereka tidak mau ada sawit, tanamlah saja biji-biji kecil yang produktivitasnya 10x lebih rendah dari sawit itu, yang dengan demikian butuh lahan 10x lebih luas juga. Lebih menghancurkan hutan toh? Ya, mereka udah nggak punya hutan seluas itu buat dihancurkan, wong negerinya sempit! Adil nggak adil...

Kembali ke faktor pendukung hilirisasi industri, dari sisi perusahaan, harusnya kita optimis. Masalah teknologi, model usaha, pasar, dan SDM bisa diusahakan, bahkan mungkin sudah tersedia baik. Masalah eksternal seperti kekompakan antar usaha sawit pun telah terjaga (kalau istilah Pak Togar, dengan Wilmar mereka selalu kawan sekaligus selalu musuh). Yang kurang? Seperti bisa ditebak... dukungan pemerintah, seperti regulasi dan terutama infrastruktur. Dari info seorang kawan saya, kawasan Sei Mangkei yang digembar-gemborkan akan jadi ujung tombak hilirisasi sawit pun infrastrukturnya masih belum terurus. Bahayanya? Malaysia terus mengintai. Dengan potensi yang tak kecil juga, mereka lebih giat mengembangkan industri hilir sawit dan melipatgandakan nilai tambahnya. Jika kita lengah, mana bisa menang?

Panelis keempat dan terakhir adalah wajah yang paling familiar dengan saya: Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati, ST. MSc., dosen Program Studi Teknik Kimia ITB, alumnus TK ITB angkatan 95, mantan penguji seminar proposal tesis saya. Saat ini saya dengar beliau aktif sekali mengembangkan pemanfaatan limbah dari sawit (yang banyak jenis maupun jumlahnya), seperti dalam judul presentasinya Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Industri Kimia Hilir Berbasis Agro. Sungguh pemberian nilai tambah yang sangat dahsyat: dari bahan yang murah atau bahkan tidak ada harganya atau bahkan harus keluar biaya untuk mengolahnya, menjadi produk yang harganya mahal. Super sekali!

Namanya dikenal dunia karena teknologi bioreaktor untuk pengembangbiakan stem cells, tapi saat ini beliau fokus meneliti pemanfaatan limbah sawit, karena menurut beliau "lebih dibutuhkan di Indonesia". Selengkapnya di http://www.inspirasi-insinyur.com/2013/04/made-tri-ari-penia-kresnowati

Ini bahasan yang belum dikupas detail oleh ketiga panelis terdahulu. Jadi mengapa limbah? Ya, seperti yang telah dibahas di pendahuluan, dari panen tandan buah segar, hanya sekitar 25% yang menjadi minyak. 75% lagi, atau 3 kali lipat minyaknya, jadi ampas, limbah! 20% tandan kosong, 20% serabut, 10% cangkang, 25% limbah cair bersama dengan air proses (sehingga jumlah limbah cair adalah setengah dari jumlah panen TBS). Ini limbah-limbah, sudah jumlahnya banyak, harus diolah pula jika mau dibuang. Di sinilah hebatnya peran insinyur proses. Kita sulap yang tidak berguna menjadi barang berharga. Tentunya bukan dengan simsalabim, tapi dengan otak! Keuntungan ganda pula akan kita dapat: limbah bisa diolah sehingga tidak mencemari lingkungan, dan kita memperoleh produk mahal dengan bahan baku murah.

Mengikuti alur pemaparan Bu Penia, kita tinjau satu per satu limbah-limbah ini. Pertama mulai dari limbah cair sawit atau palm oil mill effluent (POME). Ini adalah air proses yang hangat, campur sisa-sisa minyak tak terambil dan bahan-bahan organik lainnya. Konsekuensinya, POME ini kaya akan nutrien dan memiliki COD tinggi, berisi mulai dari asam amino, mineral-mineral, asam-asam organik, gula-gula sederhana, dan karbohidrat... pokoknya kaya akan senyawa organik, medium yang sangat baik dan disukai sekali oleh mikroorganisme, dan seperti semua lulusan teknologi bioproses paham, mikroorganisme jika diberi nutrien yang baik akan dapat mengolahnya menjadi produk-produk berharga! Yeah! Hidup bioproses! *maafkan*

Jadi dengan pengolahan mikrobial ini, apa saja yang bisa dihasilkan? Yang pertama yang paling sederhana adalah digesti anaerobik POME menjadi biogas! Biogas dapat digunakan sebagai pengganti gas alam: untuk bahan bakar maupun untuk pembangkitan listrik. Meskipun saya baru saja gagal mendapatkan proyek pembangkit listrik bertenaga POME untuk masyarakat pedesaan di Riau, namun cita-cita saya tetap, suatu hari saya akan mewujudkan kemandirian energi untuk masyarakat terpencil via keilmuan saya yang mendasar ini, produk teknologi bioproses, yaitu biogas. Selain itu, dapat juga diproduksi gas hidrogen yang banyak gunanya. Yang lebih canggih, ada bahan bakar butanol (pengganti bensin berkualitas tinggi) dan bahan bioplastik (PHA). Keren! Bagian sedihnya, dari 156 jurnal tentang POME di Scopus, 110 berasal dari... Malaysia. 46 lainnya? Oh, tidak semua dari Indonesia. Ada beberapa negara di Afrika, negara bule... jurnal POME dari Indonesia kurang dari 10. Oh well...

Selanjutnya, tentang limbah padat sawit, yang terdiri dari serabut, cangkang buah sawit, dan tandan kosong (tandan buah yang buahnya sudah dilepaskan). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, namun sama-sama terdiri dari lignoselulosa. Secara umum pemanfaatannya akan dibagi 2: pertama, digunakan langsung; kedua, diolah untuk bahan baku industri lain. Untuk penggunaan langsung, tandan kosong dapat dijadikan bahan bakar padat (briket), bahan tripleks, dan pakan ternak; sementara serabut dan cangkang saat ini digunakan untuk pembangkit listrik dalam pabrik. Untuk yang belum tahu, saat ini seluruh pabrik sawit tidak menggunakan listrik atau bahan bakar dari luar karena semua kebutuhannya sudah disuplai dari limbah pabrik yaitu cangkang dan serabut. Prinsipnya pun bukan teknologi baru, tapi sama dengan PLTU batubara biasa, hanya bahan bakar batubaranya diganti dengan limbah-limbah padat sawit itu. Selain itu, TKS pun juga dapat digunakan untuk membangkitkan listrik dengan cara serupa, begitu pula POME dengan pembangkit listrik gas engine tenaga biogas. Jika digabung, potensi listrik yang dapat dihasilkan dari limbah 1 pabrik sawit berkapasitas tipikal 45 ton TBS/jam adalah sekitar 9 MW atau setelah dipotong kebutuhan internal pabrik, sekitar 5-6 MW! Bisa dibayangkan ribuan pabrik sawit di Indonesia bisa diusahakan untuk menerangi minimal sekitar daerah tempatnya berada, bahkan lebih. Makanya ada orang-orang Jepang geleng-geleng kepala melihat rasio kelistrikan di Indonesia yang rendah, apalagi di daerah-daerah kaya sawit seperti Riau dan Kalimantan...

Untuk bahan baku industri, tandan kosong sawit merupakan sumber lignoselulosa yang belum dimanfaatkan. Seperti sudah sering dibahas, lignoselulosa ini merupakan bahan baku biorefinery: dapat diolah menjadi bermacam-macam bahan karena dapat dipecah menjadi gula, di mana gula adalah makanan favorit mikroba, mesin pabrik modern yang dapat menghasilkan nyaris apa saja. Saat ini Bu Penia sedang mengembangkan industri bioetanol dari TKS, dikombinasikan dengan produksi xylitol (selengkapnya di Biorefinery Series: Part 2). Selain itu, dari gula yang dihasilkan oleh TKS, dapat pula diproduksi enzim, asam-asam amino, asam-asam organik, bioplastik dan biomaterial, hingga antibiotik. Buat yang gak ngerti, intinya itu barang-barang mahal, dicari orang, dan ramah lingkungan lah.

Selain limbah pabrik pengolahan sawitnya, sebenarnya jika kita mengolah sawit menjadi biodiesel, limbah biodieselnya pun tak kalah bergunanya. Limbah biodiesel mengandung banyak gliserol, yang jika dimurnikan akan menjadi bahan baku fermentasi mikrobial dengan rentang jenis produk yang tidak kalah banyak dan bergunanya: bahan bakar (hidrogen, bioetanol, biobutanol), asam format, asam asetat, asam laktat, asam propionat, asam suksinat... kesemuanya adalah bahan-bahan baku berbagai industri kimia dan industri-industri strategis lainnya. Dan Bu Penia memberi penutup dengan mengingatkan bahwa potensi limbah agro selain sawit pun masih banyak. Kita masih ada kakao, karet, dll yang potensinya juga besar... Alangkah beruntungnya (dan bodohnya) negeri ini.

Setelah sesi tanya jawab, para panelis dipersilakan memberi pernyataan penutup.

Dari Pak Misri... Negeri ini, negeri autopilot, kata beliau. Tidak ada yang bisa dan mau mengontrol skema pembangunan yang baik. Maka, untuk merealisasikan potensi dari sawit ini, kita via BKKPII sebagai wadah perkumpulan insinyur proses harus mau menginisiasi ke pemerintah! Gunakan power yang ada untuk menawarkan skema-skema kepada pemerintah dan membuatnya terlaksana.

Dari Pak Indra... Kontribusi sawit sangat besar ke APBN, namun dana yang dialokasikan kembali untuk riset sawit sangat minim! Padahal dengan riset, kontribusi yang digali dapat ditingkatkan lagi.

Dari Pak Togar... Masalah riset adalah kurangnya koordinasi. Saat ini wajar bahwa perusahaan memiliki anggaran riset sendiri, tapi tentunya tidak bisa dibagi bersama yang lain karena dari riset diharapkan ada balik modal ke perusahaan, bukan dibagi cuma-cuma. Jika ingin penelitian maju bersama, memang harus dilakukan koordinasi bersama-sama ABG (akademisi, bisnis, dan pemerintahan). Bagaimana bisa, jika antar instansi pemerintah saja tidak satu suara (atau tidak punya suara) soal riset ini, dan sering bentrok? Padahal industri sudah siap. Akademisi apalagi.

Dari Bu Penia... Jika kita tidak mulai riset terkoordinasi di bidang ini dari sekarang, kita akan tertinggal dan tidak akan pernah punya kesempatan lagi untuk mengejarnya. Harus ada yang bergerak. Harus ada yang menggerakkan.

Dari saya? Tentunya bukan pernyataan penutup, tapi perenungan yang timbul. Hanya satu kata: repetisi! Ya, perulangan. Ini topik tentang potensi sawit, seperti saya nyatakan di awal, mungkin bukan informasi baru bagi saya. Repetisi. Dan ada pula hal-hal yang repetitif, yang saya temui bukan hanya di bidang sawit, tapi juga di hampir semua, atau mungkin semua potensi yang ada di Indonesia:

Sumber daya kita yang segudang, berlimpah dan termasuk yang terbaik di dunia.

Manusia-manusia kita yang pintar dan lebih dari kompeten untuk membuat skema dan inovasi.

Pengembangannya lamban dan tersendat.

Bahkan negara lain yang lebih tidak memiliki sumber daya, lebih giat mengembangkan dan akhirnya menguasai, memimpin jauh di depan kita.

Seperti itu terus. Di segala lini. Unggul kualitas dan kuantitas. Biodiversitas. Lahan hutan dan tanah subur. Tebu, coklat, dan karet yang menguasai dunia di sektornya, dan jarang dimiliki negara lain. Laut yang luas dan banyak ikan karena iklim yang baik. Pantai terpanjang dan iklim panas terik untuk berladang garam. Sumber energi geotermal dari gunung-gunung api yang tersebar. Produksi timah, nikel, tembaga, aluminium yang termasuk jajaran tertinggi di dunia. Pariwisata dengan alam yang katanya indah tiada tara. 300 juta manusia dengan beragam budaya. Para pemenang lomba-lomba sains tingkat dunia. Seperti itu terus.

Pangkal masalahnya sudah jelas sebenarnya. Sumber daya sangat siap. Kaum cendekiawan sangat siap. Seperti umum dikatakan di forum-forum keinsinyuran yang saya ikuti; negara ini tidak kekurangan orang hebat, tapi kekurangan orang yang bisa memimpin orang-orang hebat itu dalam sebuah gerakan sinergis yang berdampak dahsyat! Peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah.

Sayangnya, seperti kata Pak Misri, negeri ini negeri autopilot. Mengapa? Karena orang yang kompeten untuk jadi pilotnya beramai-ramai menghindar, sementara yang tidak becus jadi pilotnya beramai-ramai mendaftar. Kalau seperti ini, menurut ilmu teknik kimia, akan terjadi prinsip distilasi. Kondisi di dalam yang panas dan kotor, akan membuat gerah orang-orang benar dan pada akhirnya mereka akan keluar, menguap dari dalamnya. Dengan semakin berkurangnya orang-orang benar, orang-orang benar yang tersisa pun akan semakin merasa gerah dan orang-orang benar yang ingin masuk pun akan makin merasa enggan. Hal ini akan terus berulang sehingga dicapai kemurnian 100%: fraksi ringan keluar semua, menyisakan 100% residu di dalam. Dosa siapa?

Inilah simpul dari Gordium yang harus kita potong. Inilah sungai Rubicon yang harus kita lewati. Setelahnya, ada jalan panjang dengan banyak hambatan dan godaan. Hingga titik ini, semua adalah repetisi dari sekian banyak diskusi, seminar, forum dan makan-makan. Dari titik ini, tinggallah pilihan. Siapa yang mau mengambil jalan ini? Jika tidak ada, semua yang kita bahas, kerinduan kita untuk mewujudkan potensi Indonesia, hanya akan jadi repetisi.

Makin teranglah jalan ke depan. Bagi kita semua, yang mau melihat.

No, it will not come; we should get there.




Jakarta, 29 April - 3 Mei 2013
ditulis dalam rangka mengosongkan beban dari otak



Terimakasih kepada semua narasumber
dan mohon maaf bila ada kesalahan