Jumat, 03 Mei 2013

Biorefinery Series - Part 3 : A Repetition; Seminar Nasional Agro "Pengembangan Industri Hilir Unggulan Berbasis Kelapa Sawit"

"Jika negara kita mau mengguncangkan dunia, sawitlah salah satu moncong meriamnya, industri hilirnyalah pelurunya, dan insinyur-insinyur proseslah api pada sumbunya, yang harus memicu ledakannya!"


---------

Mungkin bagi saya (dan sebagian dari anda) yang sudah terlalu sering mendengar dan menyimpulkan, apa yang ada dalam tulisan ini merupakan repetisi. Perulangan. Perulangan yang jelas. Bahwa permasalahan bangsa yang lucu ini sebenarnya sudah jelas, dan solusinya pun sudah jelas. Setiap kajian permasalahan menghasilkan peta yang sama, yang menggambarkan jalan yang sama, untuk tujuan akhir yang sama-sama diharapkan. Dan negeri ini sudah cukup memiliki banyak pembuat peta; namun kekurangan orang yang berani menempuh jalan, dengan persiapan yang benar dan tujuan yang benar.

Demi menyingkat pendahuluan yang hendaknya tidak terlalu panjang, berikut inilah kesan (semoga) singkat yang saya dapatkan dari Seminar Nasional Agro tentang industri hilir sawit. Salam!

Pada hari Jumat pagi lalu, 26 April 2013, saya mengikuti Seminar Nasional Agro yang diselenggarakan di gedung Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Acara ini adalah salah satu bentuk dari acara tahunan yang digelar oleh Komunitas Agro, yaitu salah satu dari 12 komunitas keahlian dalam Badan Kejuruan Kimia - Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII) di mana Komunitas Agro ini mewadahi insinyur-insinyur kimia yang bergerak maupun menaruh minat pada bidang agroindustri (industri pengolahan sumber daya agro atau hasil pertanian, perkebunan, dan semacamnya). Tema kali ini adalah "Pengembangan Industri Hilir Unggulan Berbasis Kelapa Sawit". Dalam 3 tulisan saya terdahulu dengan tema Biorefinery, sedikit banyak terangkat masalah sawit sebagai potensi negara kita yang amat dahsyat, anugerah Tuhan bagi negara-negara tropis khususnya, ya, sangat khususnya, Indonesia; namun dirasakan ada baiknya diberikan ulasan pendahuluan sekilas terlebih dahulu mengenai sawit dan biorefinery ini untuk yang baru mempelajarinya.

Tanaman sawit ini merupakan aset besar bangsa Indonesia dalam menyongsong abad biorefinery, dengan dua alasan. Alasan pertama, secara potensi dari kandungan sawit itu sendiri, tanaman ini mengandung bahan-bahan yang baik secara jumlah maupun mutu sangat cocok untuk biorefinery (menggantikan sumber daya migas). Panen sawit berupa tandan buah segar (TBS) jika diolah di pabrik pengilangan sawit (PKS) akan menghasilkan 25% minyak (20% CPO dan 5% PKO atau minyak inti) dan 75% sisanya merupakan limbah biomassa yang bermanfaat (10% cangkang, 20% serabut, 20% tandan kosong, dan 25% menjadi limbah cair bersama-sama dengan air proses). CPO dan PKO merupakan minyak dari tanaman, dan berpotensi diolah menjadi bermacam-macam produk pengganti migas: bahan bakar baik pengganti yang konvensional maupun yang energi baru/terbarukan (diesel, avtur, hidrogen, dst), pelumas dan pelarut industri, senyawa-senyawa bahan bioplastik (pengganti plastik biasa); maupun produk-produk lain seperti sabun, deterjen, bahan kosmetik, pengemulsi pangan, untuk industri farmasi, dan lain-lain.

Sementara limbahnya (yang banyaknya 4 kali lipat minyaknya) pun tak kalah bermanfaat. Tandan kosong sawit (TKS) sebagaimana limbah tanaman sebangsa kayu dan sejenisnya adalah lignoselulosa, yang dapat digunakan entah dalam bentuk material (untuk tripleks, bahan bangunan, dst), barang habis (dibakar untuk energi panas atau listrik, pakan ternak, pupuk kebun), maupun diolah dengan diurai menjadi gula, yang dengan teknologi bioproses dapat diolah menjadi hampir semua jenis produk seperti bahan bakar cair (etanol), bahan bioplastik, produk farmasi dan pangan. Limbah cairnya atau palm oil mill effluent (POME) dapat menjadi bahan baku penghasil biogas maupun pupuk, hidrogen, bahan bioplastik, maupun bahan bakar cair (butanol).

Pendek katanya, hampir semua produk industri kimia di segala sektor baik untuk pengganti migas (petrokimia dan energi) maupun sektor pangan dan lain-lain, dapat dipenuhi oleh kelapa sawit! Tentunya seluruh dunia sudah tahu bahwa minyak tumbuhan adalah bahan baku utama biorefinery, maka dari itu negara-negara berteknologi maju (terutama Eropa dan Amerika) juga mengembangkan teknologi-teknologi tersebut berbahan baku minyak nabati dari negara mereka sendiri. Namun, kelapa sawit Indonesia memiliki keunggulan...

Alasan kedua, dari sisi potensi sawit yang dimiliki Indonesia, seperti kita tahu (atau tidak tahu) bersama, Indonesia dan Malaysia adalah produsen 87% sawit dunia. Tanaman ini hanya tumbuh di tanah yang cocok, dan Indonesia adalah negara terluas yang memiliki tanah yang cocok itu! Palm oil is God-given, specifically-designed, custom-made renewable phlebotinum for our country, Indonesia! No wonder Western world hates us (and our palm oil)!

Ini perusahaan dari salah satu negara yang paling gencar berkampanye "Say No To Palm Oil". Berita lengkap di http://www.mongabay.co.id/2013/03/25/korporasi-asing-terus-lakukan-ekspansi-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/

Sekian intro sekilas tentang sawit dan potensi industri hilirnya. Kembali ke acara seminar, acara ini dibuka oleh perwakilan badan penanggung jawab acara yaitu Ir. Michael Baskoro (Wakil Ketua BKKPII mewakili Ketua BKKPII Ir. Nanang Untung yang berhalangan) dan perwakilan tuan rumah yaitu Prof. Bambang Sugiarto (Dekan FT-UI) yang ternyata dulunya sesama teman kuliah di FT-UI. Prof. Bambang Sugi ini memang nampak sangat orang teknik mesin dan alumni Kanisius; blak-blakan sekaligus pede dan tak gentar untuk bragging. Tentunya dibuka dengan cerita promosi betapa kerennya FT-UI; dari segi luas, banyaknya mahasiswa, jumlah profesor, dana penelitian, dst dst. Sebagai manusia berjiwa ITB (baca: Institut Terkenal Belagu) tentunya saya punya banyak remarks yang tentunya tak kalah konyol tentang pidato beliau itu, tapi yasudahlah, hahaha. Yang jelas ada beberapa quote beliau yang saya garisbawahi. "Negeri ini negeri project-based" atau dalam bahasa saya, bangsa diskrit dan seremonial. "Acara seperti ini memberi solusi tapi kurang coverage. Insinyur itu harus banyak bicara agar didengar oleh orang lain. Harus bicara, bicara, bicara, dan berbuat!" ini kasus terutama yang saya lihat di perkumpulan-perkumpulan insinyur (problem solver) selama ini; banyak peta, banyak solusi, gak pernah diekspos dan gak pernah bisa ditembuskan ke masyarakat awam atau pembuat kebijakan! Dalam komunikasi itu ada pengirim, ada pesan, ada penerima. Dalam kasus ini, entah mana yang ngaco. Yang punya solusi, yang dikasihtau solusi, atau solusinya sendiri.

Setelah sambutan, acara seminar dimulai dengan keynote speech yang harusnya disampaikan oleh Dr. Firmansyah (Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan) namun karena beliau berhalangan hadir (sering sekali terjadi seperti ini terutama jika yang diundang adalah pejabat 'tinggi') maka digantilah beliau, dan tidak ada orang lagi yang lebih tepat di Indonesia ini untuk membuka suatu seminar tentang sawit dibanding Bapak Sawit Indonesia, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, tokoh utama dalam buku "Memoar Duta Besar Sawit Indonesia", alumnus TK ITB angkatan 60 yang sejak lulus hingga saat ini sudah hampir setengah abad karirnya dihabiskan untuk bergelut dengan industri dan perkebunan sawit... Ir. Derom Bangun.



"Berbeda dengan industri kimia yang lain (...) semuanya berbau kimia. pabrik kelapa sawit itu berbau jagung rebus, makanya saya kerja sampai malam pun tidak pernah merasa capek." kesaksian Derom Bangun untuk GBKP, selengkapnya di http://www.gbkp.net/kesaksian/kesaksian/170-kesaksian-ir-derom-bangun

Selama setengah jam Pak Derom berbicara "ngalor ngidul" (itu menurut istilahnya sendiri) dengan aksen Perancis sekaligus logat Sumatera yang kental.

Tentang produksi sawit Indonesia yang tadinya di dekade 90an masih kedua di bawah Malaysia (tahun 98 produksi sawit kita masih di bawah 10 juta ton, hanya sekitar lebih dari 70% Malaysia, namun di dekade ini kita sudah berada di atas Malaysia dengan 20an juta ton, sementara produksi Malaysia stagnan di angka 17 juta ton!) hingga kita sekarang menghasilkan 50% sawit dunia dan (dengan sawit saja) memasok hampir 15% kebutuhan minyak nabati dunia! And I will repeat: no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!Tentang perkembangan industri sawit Indonesia. Dari pertama kali hanya menghasilkan CPO dan PKO, hingga tahun 80 Pak Derom dan rekan-rekan mengembangkan adanya pabrik/kilang fraksionasi atau pemisahan CPO menjadi komponen-kompnen olein, stearin, dan distilat asam lemak bebas (PFAD). Tentang teknologi pemrosesan sawit yang tentunya sudah familiar bagi insinyur proses: penghancuran, pre-treatment, pemerahan minyak, penyaringan dan pemurnian.

Dan pada akhirnya, tentang pengaruh asing di sawit. Negara-negara empat musim yang mungkin sampai kiamat tidak akan pernah bisa punya kebun sawit, ternyata yang lebih serius ngurusin sawit! Teknologi pemrosesan sawit pun negara-negara itu yang mengembangkan. Begitu pula dengan standardisasi produk-produk sawit, termasuk emisinya! Nah loh. Repetisi ini, masalah bangsa kita, seperti yang sudah pernah saya bahas, potensi segudang, tapi malah negara asing yang tidak memilikinya yang lebih perhatian. Ini gawat, terutama jika dilihat dalam kasus berikut ini... emisi.

Jadi (singkatnya) ada kampanye hitam terhadap sawit di luar negeri, yang menurut saya hanyalah cara untuk memproteksi minyak-minyak nabati barat yang inferior. Celakanya, catatan emisi yang dihasilkan perkebunan sawit itu dibuat oleh asing (Jerman)! Sawit dianggap tidak memenuhi standar carbon saving jika memperhitungkan transportasi, penebangan hutan, pembukaan lahan, gambut dll, dengan parameter yang ditentukan sepihak. Belum lagi kampanye di Perancis soal gangguan kesehatan akibat minyak sawit, lengkap dengan label pada makanan: sans huile de palme (SHDP) alias "tanpa minyak sawit", yang mungkin di Indonesia bisa dianalogikan dengan label "halal"... otomatis produk yang tidak mengandung cap itu langsung turun daya tariknya. Ditambah dengan deforestasi dan isu lingkungan dan gambar-gambar orangutan yang lucu-lucu sebagai bentuk ampuh psikologi massa, pajak sawit di Perancis pun naik sampai empat kali lipat...


Kampanye efektif gratis via instant messenger LINE, untuk anak-anak muda Indonesia dan seluruh dunia.
Padahal argumen-argumen tersebut masih sangat dapat terbantahkan, salah satu contohnya dapat dilihat di link ini http://www.foodnavigator.com/Financial-Industry/Palm-oil-sustainability-A-sensitive-issue-due-for-exponential-growth soal isu lahan. Pendapat pribadi saya terkait isu orangutan, ya, kasus-kasus pembunuhan orangutan secara brutal itu biadab, salah, dan seharusnya bisa dihindari. Konservasi orangutan harusnya bisa berfokus pada menjaga populasi orangutan, bukan meniadakan sawit... saya percaya keduanya bukan hal yang identik.

I believe that oil palm plantations and orangutans can and must coexist.

Pak Derom dkk telah berusaha menjadi pembela dan mendatangkan para penilai itu langsung ke pabrik-pabrik dan kebun sawit Indonesia untuk melihat bahwa yang dituduhkan itu tidak benar, namun setelah itu jawabannya pun hanya "we'll study the results and inform you later". Semacam berkelit. Ditambah banyak pembelaan dari kita itu belum berbentuk "ilmiah banget" dan untuk mencegah lawan kita berkelit semacam itu, bukti-bukti ini harus dibakukan dalam bentuk jurnal penelitian atau apapun lah yang lebih ilmiah. Tantangan buat para peneliti, kalian pasti bisa!

Sesi utama seminar adalah diskusi panel yang melibatkan 4 orang narasumber yang, seperti budaya yang ada di BKKPII, diusahakan datang dari golongan akademisi, bisnis, dan pemerintah (ABG). Diskusi panel ini dimoderasi oleh Ketua Komunitas Agro BKKPII (penyelenggara acara) yaitu Ir. Memed Wiramihardja, MM. IPM., Direktur Litbang PTPN IV (Sumatera Utara), alumnus TK ITB angkatan 75. Dalam pembukaan diskusi, beliau mengemukakan bahwa potensi peningkatan nilai tambah dari SDA perkebunan kita yang unggulan perlu menjadi perhatian dan pengembangannya menjadi tanggung jawab insinyur-insinyur proses (yang diwadahi oleh BKKPII), terutama untuk sawit dan karet. Sawit ini produksinya berlimpah dan dampaknya langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat besar. Jika dapat diolah menjadi produk-produk bermanfaat, dampaknya akan lebih besar lagi, bahkan sangat besar. Jadi, dalam bahasa saya, jika negara kita mau mengguncangkan dunia, sawitlah salah satu moncong meriamnya, industri hilirnyalah pelurunya, dan insinyur-insinyur proseslah api pada sumbunya, yang harus memicu ledakannya!

Panelis pertama adalah Ir. Indra Budi Susetyo, MSc., alumnus TK ITB angkatan 76, peneliti madya dari BPPT, sebagai peneliti yang bekerja di instansi pemerintah, dengan presentasi berjudul Sinergi Kebijakan dan Perkembangan Teknologi untuk Pemenuhan Kebutuhan Strategis (Berbasis Kelapa Sawit). Presentasi dibuka dengan sedikit kimia organik dasar dari minyak lemak dan gula, dan dilanjutkan dengan potensi sawit Indonesia: bahwa Indonesia adalah pemasok sawit terbesar dunia (bahkan 50% lebih) dengan pertumbuhan yang sangat pesat! Di dunia pada abad 21, produksi minyak nabati lain seperti minyak biji bunga matahari, kedelai, dan biji perkosa (terjemahan rapeseed versi Pak Tatang) cenderung stagnan (pertumbuhan terbesar 20%), namun produksi minyak sawit pada tahun 2011 naik 100% dibanding pada tahun 2000! Pertumbuhan ini sebenarnya menempatkan Indonesia sebagai unrivaled player pada permainan minyak nabati dunia. I repeat, no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!

Evolusi produk turunan minyak sawit pun terlihat makin lama makin berkembang ke hilir. Dari produk tradisional CPO seperti minyak goreng, sabun dan margarin, kali ini berkembang industri lanjutannya untuk memasok bahan bagi industri deterjen, personal care, kosmetik, dan specialty food. Di masa depan (yang tak akan terlalu jauh, bahkan sebagian sudah ada) produk  minyak sawit adalah untuk pengganti produk-produk migas: pelumas, pelarut industri, bioplastik dan bahan bakar!

Bisa kita lihat sebenarnya secara kimia, tidak harus minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku; minyak-minyak nabati yang lain pun bisa, karena secara kimia serupa. Dan seperti biasa, ini berarti negara-negara lainlah yang sudah mengembangkan teknologi-teknologi tersebut, dengan minyak-minyak nabati yang tersedia di negaranya. Ya, menurut saya sih, itulah sebabnya mereka minder dengan sawit Indonesia... karena mereka bijinya kecil-kecil. Maksudnya ya biji bunga matahari, kedelai dan biji perkosa itu. Produktivitasnya pun kalah jauh. Produktivitas per hektar sawit itu rata-rata 10 kali lipat biji-biji yang tadi disebutkan, dan bahkan biji-biji kecil itu telah diperlengkapi rekayasa genetika yang canggih. Makjang! I repeat, no wonder Westerners hate us (and our palm oil)!

Ada beberapa produk hilir yang bernilai tinggi dan sangat modern dari minyak sawit, namun di sini akan dibahas selintas saja untuk menghindari terlalu jauh ke ranah teknikal. Pelarut industri, di mana 12% pelarut di AS saat ini adalah metil ester, di mana minyak sawit dapat direaksikan dengan metanol membentuk senyawa ini. Epoksida, sebagai bahan baku plastik khususnya PVC, menghindari pemakaian pthalat yang terkandung pada plastik biasa (penyebab lupus, mandul, kanker dan feminisasi). Natural polyol (NOP), digunakan sebagai pengganti zat-zat berhalogen yang merupakan bahan perusak ozon (BPO) di furnitur dan sejenisnya. Propilen glikol, yang kegunaannya beragam mulai dari bahan poliester, deterjen, antifreeze dan lain-lain.

Kesemuanya itu akan menggantikan bahan serupa yang diproduksi dari bahan yang berbahaya bagi lingkungan atau sumber daya tak-terbarukan, terutama migas. Konsumsi minyak bumi akan terus naik, sementara produksinya terus menurun. Negara lain pun tidak buta akan keadaan ini. Dengan sumber daya yang tersedia saja, mereka telah buat kilang hidrokarbon dari minyak nabati! Mengolah sawit, untuk membuat produk-produk yang telah dijelaskan tadi, untuk menggantikan industri petrokimia. Ini telah dijelaskan Pak Tatang seperti yang saya kutip di tulisan sebelum ini (Biorefinery Series Part 2), negara-negara yang mengembangkan justru negara yang miskin sumber minyak nabati seperti Finlandia (iklim), Singapura dan Belanda (lahan). Tanya kenapa?

Dibahas pula keekonomian pembangunan kilang tersebut di Indonesia. Jika dibangun 60 kilang bahan bakar pengganti BBM dari sawit di Indonesia, CPO dari 10 juta hektar lahan sawit, atau 1000 pabrik PKS, akan dapat diolah menjadi bahan bakar setara 1 juta barel minyak per hari, menciptakan 4 juta lapangan kerja baru (sekitar 1-2% jumlah penduduk Indonesia atau setara jumlah seluruh penduduk provinsi Kalimantan Barat), dan menghemat devisa negara US$ 65 miliar, yang berasal dari pertambahan nilai CPO yang tidak lagi diekspor murah (sekarang dapat dijadikan BBM yang lebih mahal) dan penghentian impor solar. Investasi yang dibutuhkan berkisar ratusan miliar dolar, namun uang sebanyak itu tidak perlu disediakan pemerintah, cukup meregulasikannya saja. Nah, masalahnya ya terkait impor solar itu tadi; dengan demikian sekarang ditambah pula, yang benci kita dan kelapa sawit itu ada pula mafia minyak!

Dan, sebagaimana terus diulang-ulang di setiap pertemuan keinsinyuran yang saya ikuti setahun belakangan, kunci dari kesuksesan skema ini adalah integrasi perkebunan dan industri. Tren dunia saat ini adalah hilirisasi dan integrasi industri. Logikanya, jika pemilik kebun, pemilik pabrik CPO, dan pemilik pabrik hilir (pengolah CPO) terpisah-pisah, harga akan mahal karena ada ongkos transportasi. Padahal, tandan buah segar (TBS) produk kebun adalah bahan baku pabrik CPO. CPO adalah bahan baku pabrik biodiesel, deterjen, dan lain-lain. Biodiesel (FAME) adalah bahan baku produk-produk lainnya lagi (produk hilir). Jika yang kita targetkan adalah produksi produk-produk hilir (advanced) bernilai tinggi, inefisiensi ini harus dihindari! Kebun dan pabrik harus terintegrasi, kalau bisa dimiliki oleh satu pihak. Ini akan mempermurah harga, sehingga bahan bakar yang dihasilkan pun harganya dapat berkompetisi dengan BBM. Ilustrasinya (digambar ulang) sebagai berikut.

Jika industri terintegrasi atau pemilik kebun juga menjadi pemilik pabrik hingga ke hilir, ada 2 keuntungan: (1) harga akhir biodiesel/bahan bakar lebih murah sehingga bersaing dengan BBM, (2) keuntungan yang didapat lebih besar daripada sekadar menjual CPO.

Jadi, dari kompleks industri terintegrasi ini, produk antara seperti CPO tidak boleh lagi keluar. Kebun sawit harus menghasilkan produk hilir atau bahan bakar; tidak boleh jual TBS keluar, tidak boleh jual CPO keluar! Terakhir, untuk sumber daya lahan yang terbatas (tidak bertambah), harus dijaga benar untuk keperluan yang strategis. Saya sungguh ingin dapat menerapkan intensifikasi perkebunan sawit untuk meningkatkan produktivitas kebun berlipat-lipat, hasil buah pemikiran guru saya, sang maestro Teknik Kimia, Dr. Mubiar Purwasasmita.

Panelis kedua adalah Prof. Dr. Ing. Ir. Misri Gozan, M.Tech., dosen Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, alumnus TK UI angkatan 87, spesialis bidang biokimia dan bioteknologi, Wakil Sekretaris Umum BKKPII, dan penganut setia ilmu aliran Mpu Tatang. Sebagai salah satu perwakilan akademisi kampus, beliau membawakan presentasi berjudul Strategi Pengembangan Industri Biorefineri Indonesia.

Prof. Misri Gozan dengan penelitian antara lain seperti produksi biodiesel secara enzimatis, produksi bioetanol dari hemiselulosa dengan SSF, dan bioreaktor untuk WWT, yang selengkapnya dapat dilihat di http://staff.ui.ac.id/profil/detail_dosen.php?id=132091210

Seperti panelis sebelumnya, presentasi dibuka dengan penggebrakan melalui fakta potensi sawit Indonesia, yang ini dilihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia di mana industri pengolahan sumberdaya non-migas (industri turunan sawit termasuk di dalamnya) masih menyumbang porsi terbesar PDB, sebanyak 20%; namun jumlah ini adalah penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, sementara sektor hulu (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) malah meningkat. Apa artinya? Berarti makin banyak bahan mentah yang dijual dalam bentuk mentah, bukan bentuk olahan, sehingga mengurangi potensi penambahan nilai (added value), baik dari bahan mentah itu maupun dari limbah yang dapat dihasilkan oleh proses pengolahan! Lantas di mana posisi sawit? Jika Pak Indra Budi membandingkan dengan minyak-minyak nabati lain di dunia, Pak Misri membandingkan dengan hasil kebun lain di Indonesia. Sama! Yang lain: tebu, karet, teh, coklat, kopi, semua stagnan; sawit naik terus!

Menjabarkan penjelasan saya di bagian pendahuluan tadi, Pak Misri menjelaskan mengapa bisnis sawit di Indonesia potensial: ongkos produksi kita terendah di seluruh dunia (buruh dan lain-lain) sehingga margin keuntungan besar, permintaan internasional naik terus, produktivitas (seperti sudah dibahas) jauh unggul dibanding para saingannya, dan substitusi BBM pun (akan) menguntungkan karena harga BBM kita naik terus. Faktor penghambatnya? Perlu dicatat: 1. potensi sengketa lahan, 2. peraturan dan hukum lemah sehingga menimbulkan ketidakpastian jaminan keamanan, 3. infrastruktur lemah, dan yang paling bikin kesal adalah 4. serangan asing atas kelapa sawit. Wah, banyak juga.

Saat ini 50% kebun sawit Indonesia dikuasai swasta, 40% petani rakyat, dan 10% negara via PTPN. Terkait pengembangan kawasan industri hilir strategis seperti yang telah disampaikan, saat ini dicoba dibuat klaster industri untuk mengecek mana model penggerak yang terbaik: di Sumatera Utara (berbasis PTPN), di Riau (berbasis industri swasta), dan di Kalimantan Timur (berbasis Pemda).

Hingga sampailah kepada sawit sebagai bahan utama biorefinery (atau, sebagai 'murid' Mpu Tatang, di-Indonesiakan oleh Pak Misri menjadi 'pengilangan hayati'). Seperti apa saja detil pohon industri sawit selintas saja dibahas oleh Pak Misri, meskipun ada pohon industri detailnya (yang saya punya dalam bentuk hard copy), baik dari minyaknya maupun limbahnya, yang sama-sama mencakup rentang jenis produk yang sama banyaknya (seperti yang telah disinggung di pendahuluan). Dan seperti yang telah ditekankan oleh hampir semua pembicara, kunci keberhasilannya adalah di pembuatan suatu kompleks industri terintegrasi. Pak Misri memberi permisalan, apakah ada pabrik bensin? Tentu tidak, karena pasti tidak ekonomis. Yang ada itu kilang minyak! Jadi mengapa kita membuat pabrik bioetanol atau biodiesel? Adakanlah kilang singkong, kilang tebu, kilang sawit! Itulah yang dilakukan di negara-negara asing. Dengan sumber daya seadanya mereka telah membuat pengilangan hayati terpadu mulai dari produk kimia dasar hingga turunan hilirnya yang bernilai tinggi.

Pak Misri menutup presentasinya dengan membahas masalah yang ada pada penelitian di kampus-kampus kita. Ada dua masalah yang digarisbawahi. Pertama, penelitian di tiap kampus seringkali overlapping dan tidak terkoordinasi. Apa yang dibahas di ITB dibahas pula di UI, misalnya, dan apa yang tidak dibahas di ITB seringkali pula tidak terbahas di UI atau kampus manapun. Koordinasi dengan demikian mutlak perlu, bukan hanya dengan sesama universitas, tapi juga ke luar: dengan dunia industri, dan ke dalam: inilah masalah kedua, yaitu koordinasi antar bidang penelitian. Bahkan bidang keahlian di satu kampus pun masih belum bisa koordinasi. Seharusnya tidak hanya fokus di proses produksinya, misalnya; tapi orang pemisahan, orang material, dan lain-lain harus mulai meneliti juga, sehingga penelitian yang ada tidak diskrit, parsial, dan terserak; tapi bisa sinergis dan terintegrasi dan tujuannya membangun suatu pabrik, bukannya (ini tambahan dari saya) hanya untuk kesenangan si peneliti! Riset anda dibayari uang negara, uang rakyat, Pak, Bu...


Panelis ketiga adalah presenter dadakan dari PT. Musim Mas, salah satu raksasa sawit Indonesia dan dunia. Pembicara terjadwal adalah Huiniati, Kepala HRD Corporate, yang mewakilkannya ke orang yang dirasa lebih mampu berbicara banyak di bidang ini: Togar Sitanggang, Manajer Corporate Affairs PT. Musim Mas, pria berambut plontos alumnus Agribisnis USU yang telah 20 tahun malang melintang di berbagai perusahaan dalam dunia persawitan. Ayah beliau, menurut Pak Memed, adalah 'sesepuh' di PTPN (Jan Piter alias JP Sitanggang?). Saya bertemu beliau pertama kali di Kementerian Perdagangan pertengahan tahun lalu dalam rapat pertahanan kebijakan antidumping Uni Eropa atas ekspor biodiesel dari Indonesia.

Pak Togar ini juga pecinta fotografi. Photo credit: Togar Sitanggang.

Seperti biasa presentasinya (dengan slide yang berbeda dari yang dipersiapkan panitia) dibuka dengan potensi sawit: dalam hal sumbangannya terhadap devisa negara non-migas, sawit menduduki no.2 di bawah batubara. Saat ini sawit telah menyerap 6 juta tenaga kerja (sekitar 2% penduduk Indonesia atau jika jadi provinsi tersendiri akan menempati urutan 10 dari 33 provinsi).

Terkait (lagi-lagi) hilirisasi sawit, mengapa perlu? Ya, kita ini produsen terbesar sawit dunia dengan 28 juta ton per tahun produksi sawit (no. 2 Malaysia dengan 18 juta ton, no.3 Thailand dengan hanya sekitar 1,5 juta, kita jauh di atas 50% dunia), hanya 5 juta ton yang dipakai untuk keperluan pangan, sisanya sedikit non-pangan dan selebihnya ekspor. Sungguh sayang bukan?

Terkait ekspor, pada sejarahnya, sawit Indonesia mulai berkembang hingga mencapa titik swasembada (mencukupi kebutuhan dalam negeri). Musim Mas adalah perusahaan pertama yang mengekspor sawit pada tahun 90an sebagai tanda bahwa kebutuhan dalam negeri telah bisa tercukupi sehingga kelebihannya bisa diekspor. Perkembangan Musim Mas dari awal dibentuk sebagai perusahaan sabun (1932), kemudian membuat kilang/pabrik CPO (1970), lalu membeli kebun sendiri (1988), dan membuat inovasi pionir dengan mendirikan industri oleokimia (2003) hingga saat ini akan go international (2013). Musim Mas saat ini menguasai 10% pasar sawit dunia atau 20% Indonesia, hanya di bawah Wilmar, yang dideskripsikan Pak Togar sebagai "kawan sekaligus musuh". Dan sebagian besarnya diekspor.

Mengapa diekspor? Ya, karena pasar lokal tidak menyerap! Alokasi untuk produk bulk (minyak goreng) sudah penuh, sementara industri hilirnya tidak tumbuh. Industri hilir berbahan baku minyak sawit malah banyak dikuasai asing alias negara-negara maju yang tidak punya sawit. Aneh kan? Saya teringat salah satu presentasi di halalbihalal BKKPII tahun lalu: di era global ini, jangan pernah sombong jika anda kaya sumber daya alam. Negara yang menguasai hilir akan bilang "Oh, kamu kaya SDA? Tapi nggak bisa ngolahnya kan? Cuma bisa jual mentah murah kan? Kalau gak dijual, siapa juga yang mau nyimpan kan? Yaudah sini mana SDA-nya, saya beli dah!". Indonesia, simaklah!

Terkait dengan industri hilir di negara maju, karena desakan dari petani minyak nabati mereka yang bijinya kecil-kecil itu, maka diinisiasilah kampanye anti-sawit seperti yang telah disinggung sebelumnya. Argumen merusak hutan, mengambil tanah penduduk, global warming, dan merusak kesehatan didengungkan, dan untuk membantahnya secara komprehensif akan makan satu artikel sendiri. Singkatnya, tuduhan-tuduhan itu dilebih-lebihkan, dilontarkan dan dihakimi sepihak, dengan munafik pula, dan semuanya itu adalah semata untuk melindungi biji-biji kecil mereka!

Musim Mas, menurut Pak Togar, terus bertempur dalam jalur untuk mempertahankan sawit ini. Semua sertifikasi yang dikeluarkan asing terkait sawit, diikuti oleh Musim Mas. Sertifikasi RSPO dari Jerman diambil. WWF bahkan menjadikan kebun dan pabrik Musim Mas sebagai bintang iklan video, di mana perusahaan ini digambarkan sebagai perusahaan sawit yang sustainable. Inilah perjuangan secara legal untuk membela kepentingan nasional Indonesia. Meskipun begitu, serangan tetap tidak berhenti, mulai dari level halus seperti kampanye hitam tadi, hingga level kasar dan frontal, seperti trade barrier; contohnya saja adalah peningkatan pajak sawit hingga empat kali lipat di Perancis, atau politik antidumping (mengenakan denda penalti untuk) biodiesel ekspor kita ke sana. Terkait kasus ini yang saya pernah terlibat mengurus juga di Kementerian Perdagangan, meskipun mereka berkata antidumping ini dilakukan untuk melindung industri biodiesel lokal mereka (yang bijinya kecil), sebenarnya pun jika kita stop ekspor, mereka akan kelabakan untuk memenuhi permintaan sendiri. Ya, singkatnya menurut saya, sawit dianggap merusak lahan hutan tropis. Padahal permintaannya terus naik, dan itu untuk kebutuhan negara-negara maju itu. Jika mereka tidak mau ada sawit, tanamlah saja biji-biji kecil yang produktivitasnya 10x lebih rendah dari sawit itu, yang dengan demikian butuh lahan 10x lebih luas juga. Lebih menghancurkan hutan toh? Ya, mereka udah nggak punya hutan seluas itu buat dihancurkan, wong negerinya sempit! Adil nggak adil...

Kembali ke faktor pendukung hilirisasi industri, dari sisi perusahaan, harusnya kita optimis. Masalah teknologi, model usaha, pasar, dan SDM bisa diusahakan, bahkan mungkin sudah tersedia baik. Masalah eksternal seperti kekompakan antar usaha sawit pun telah terjaga (kalau istilah Pak Togar, dengan Wilmar mereka selalu kawan sekaligus selalu musuh). Yang kurang? Seperti bisa ditebak... dukungan pemerintah, seperti regulasi dan terutama infrastruktur. Dari info seorang kawan saya, kawasan Sei Mangkei yang digembar-gemborkan akan jadi ujung tombak hilirisasi sawit pun infrastrukturnya masih belum terurus. Bahayanya? Malaysia terus mengintai. Dengan potensi yang tak kecil juga, mereka lebih giat mengembangkan industri hilir sawit dan melipatgandakan nilai tambahnya. Jika kita lengah, mana bisa menang?

Panelis keempat dan terakhir adalah wajah yang paling familiar dengan saya: Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati, ST. MSc., dosen Program Studi Teknik Kimia ITB, alumnus TK ITB angkatan 95, mantan penguji seminar proposal tesis saya. Saat ini saya dengar beliau aktif sekali mengembangkan pemanfaatan limbah dari sawit (yang banyak jenis maupun jumlahnya), seperti dalam judul presentasinya Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Industri Kimia Hilir Berbasis Agro. Sungguh pemberian nilai tambah yang sangat dahsyat: dari bahan yang murah atau bahkan tidak ada harganya atau bahkan harus keluar biaya untuk mengolahnya, menjadi produk yang harganya mahal. Super sekali!

Namanya dikenal dunia karena teknologi bioreaktor untuk pengembangbiakan stem cells, tapi saat ini beliau fokus meneliti pemanfaatan limbah sawit, karena menurut beliau "lebih dibutuhkan di Indonesia". Selengkapnya di http://www.inspirasi-insinyur.com/2013/04/made-tri-ari-penia-kresnowati

Ini bahasan yang belum dikupas detail oleh ketiga panelis terdahulu. Jadi mengapa limbah? Ya, seperti yang telah dibahas di pendahuluan, dari panen tandan buah segar, hanya sekitar 25% yang menjadi minyak. 75% lagi, atau 3 kali lipat minyaknya, jadi ampas, limbah! 20% tandan kosong, 20% serabut, 10% cangkang, 25% limbah cair bersama dengan air proses (sehingga jumlah limbah cair adalah setengah dari jumlah panen TBS). Ini limbah-limbah, sudah jumlahnya banyak, harus diolah pula jika mau dibuang. Di sinilah hebatnya peran insinyur proses. Kita sulap yang tidak berguna menjadi barang berharga. Tentunya bukan dengan simsalabim, tapi dengan otak! Keuntungan ganda pula akan kita dapat: limbah bisa diolah sehingga tidak mencemari lingkungan, dan kita memperoleh produk mahal dengan bahan baku murah.

Mengikuti alur pemaparan Bu Penia, kita tinjau satu per satu limbah-limbah ini. Pertama mulai dari limbah cair sawit atau palm oil mill effluent (POME). Ini adalah air proses yang hangat, campur sisa-sisa minyak tak terambil dan bahan-bahan organik lainnya. Konsekuensinya, POME ini kaya akan nutrien dan memiliki COD tinggi, berisi mulai dari asam amino, mineral-mineral, asam-asam organik, gula-gula sederhana, dan karbohidrat... pokoknya kaya akan senyawa organik, medium yang sangat baik dan disukai sekali oleh mikroorganisme, dan seperti semua lulusan teknologi bioproses paham, mikroorganisme jika diberi nutrien yang baik akan dapat mengolahnya menjadi produk-produk berharga! Yeah! Hidup bioproses! *maafkan*

Jadi dengan pengolahan mikrobial ini, apa saja yang bisa dihasilkan? Yang pertama yang paling sederhana adalah digesti anaerobik POME menjadi biogas! Biogas dapat digunakan sebagai pengganti gas alam: untuk bahan bakar maupun untuk pembangkitan listrik. Meskipun saya baru saja gagal mendapatkan proyek pembangkit listrik bertenaga POME untuk masyarakat pedesaan di Riau, namun cita-cita saya tetap, suatu hari saya akan mewujudkan kemandirian energi untuk masyarakat terpencil via keilmuan saya yang mendasar ini, produk teknologi bioproses, yaitu biogas. Selain itu, dapat juga diproduksi gas hidrogen yang banyak gunanya. Yang lebih canggih, ada bahan bakar butanol (pengganti bensin berkualitas tinggi) dan bahan bioplastik (PHA). Keren! Bagian sedihnya, dari 156 jurnal tentang POME di Scopus, 110 berasal dari... Malaysia. 46 lainnya? Oh, tidak semua dari Indonesia. Ada beberapa negara di Afrika, negara bule... jurnal POME dari Indonesia kurang dari 10. Oh well...

Selanjutnya, tentang limbah padat sawit, yang terdiri dari serabut, cangkang buah sawit, dan tandan kosong (tandan buah yang buahnya sudah dilepaskan). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, namun sama-sama terdiri dari lignoselulosa. Secara umum pemanfaatannya akan dibagi 2: pertama, digunakan langsung; kedua, diolah untuk bahan baku industri lain. Untuk penggunaan langsung, tandan kosong dapat dijadikan bahan bakar padat (briket), bahan tripleks, dan pakan ternak; sementara serabut dan cangkang saat ini digunakan untuk pembangkit listrik dalam pabrik. Untuk yang belum tahu, saat ini seluruh pabrik sawit tidak menggunakan listrik atau bahan bakar dari luar karena semua kebutuhannya sudah disuplai dari limbah pabrik yaitu cangkang dan serabut. Prinsipnya pun bukan teknologi baru, tapi sama dengan PLTU batubara biasa, hanya bahan bakar batubaranya diganti dengan limbah-limbah padat sawit itu. Selain itu, TKS pun juga dapat digunakan untuk membangkitkan listrik dengan cara serupa, begitu pula POME dengan pembangkit listrik gas engine tenaga biogas. Jika digabung, potensi listrik yang dapat dihasilkan dari limbah 1 pabrik sawit berkapasitas tipikal 45 ton TBS/jam adalah sekitar 9 MW atau setelah dipotong kebutuhan internal pabrik, sekitar 5-6 MW! Bisa dibayangkan ribuan pabrik sawit di Indonesia bisa diusahakan untuk menerangi minimal sekitar daerah tempatnya berada, bahkan lebih. Makanya ada orang-orang Jepang geleng-geleng kepala melihat rasio kelistrikan di Indonesia yang rendah, apalagi di daerah-daerah kaya sawit seperti Riau dan Kalimantan...

Untuk bahan baku industri, tandan kosong sawit merupakan sumber lignoselulosa yang belum dimanfaatkan. Seperti sudah sering dibahas, lignoselulosa ini merupakan bahan baku biorefinery: dapat diolah menjadi bermacam-macam bahan karena dapat dipecah menjadi gula, di mana gula adalah makanan favorit mikroba, mesin pabrik modern yang dapat menghasilkan nyaris apa saja. Saat ini Bu Penia sedang mengembangkan industri bioetanol dari TKS, dikombinasikan dengan produksi xylitol (selengkapnya di Biorefinery Series: Part 2). Selain itu, dari gula yang dihasilkan oleh TKS, dapat pula diproduksi enzim, asam-asam amino, asam-asam organik, bioplastik dan biomaterial, hingga antibiotik. Buat yang gak ngerti, intinya itu barang-barang mahal, dicari orang, dan ramah lingkungan lah.

Selain limbah pabrik pengolahan sawitnya, sebenarnya jika kita mengolah sawit menjadi biodiesel, limbah biodieselnya pun tak kalah bergunanya. Limbah biodiesel mengandung banyak gliserol, yang jika dimurnikan akan menjadi bahan baku fermentasi mikrobial dengan rentang jenis produk yang tidak kalah banyak dan bergunanya: bahan bakar (hidrogen, bioetanol, biobutanol), asam format, asam asetat, asam laktat, asam propionat, asam suksinat... kesemuanya adalah bahan-bahan baku berbagai industri kimia dan industri-industri strategis lainnya. Dan Bu Penia memberi penutup dengan mengingatkan bahwa potensi limbah agro selain sawit pun masih banyak. Kita masih ada kakao, karet, dll yang potensinya juga besar... Alangkah beruntungnya (dan bodohnya) negeri ini.

Setelah sesi tanya jawab, para panelis dipersilakan memberi pernyataan penutup.

Dari Pak Misri... Negeri ini, negeri autopilot, kata beliau. Tidak ada yang bisa dan mau mengontrol skema pembangunan yang baik. Maka, untuk merealisasikan potensi dari sawit ini, kita via BKKPII sebagai wadah perkumpulan insinyur proses harus mau menginisiasi ke pemerintah! Gunakan power yang ada untuk menawarkan skema-skema kepada pemerintah dan membuatnya terlaksana.

Dari Pak Indra... Kontribusi sawit sangat besar ke APBN, namun dana yang dialokasikan kembali untuk riset sawit sangat minim! Padahal dengan riset, kontribusi yang digali dapat ditingkatkan lagi.

Dari Pak Togar... Masalah riset adalah kurangnya koordinasi. Saat ini wajar bahwa perusahaan memiliki anggaran riset sendiri, tapi tentunya tidak bisa dibagi bersama yang lain karena dari riset diharapkan ada balik modal ke perusahaan, bukan dibagi cuma-cuma. Jika ingin penelitian maju bersama, memang harus dilakukan koordinasi bersama-sama ABG (akademisi, bisnis, dan pemerintahan). Bagaimana bisa, jika antar instansi pemerintah saja tidak satu suara (atau tidak punya suara) soal riset ini, dan sering bentrok? Padahal industri sudah siap. Akademisi apalagi.

Dari Bu Penia... Jika kita tidak mulai riset terkoordinasi di bidang ini dari sekarang, kita akan tertinggal dan tidak akan pernah punya kesempatan lagi untuk mengejarnya. Harus ada yang bergerak. Harus ada yang menggerakkan.

Dari saya? Tentunya bukan pernyataan penutup, tapi perenungan yang timbul. Hanya satu kata: repetisi! Ya, perulangan. Ini topik tentang potensi sawit, seperti saya nyatakan di awal, mungkin bukan informasi baru bagi saya. Repetisi. Dan ada pula hal-hal yang repetitif, yang saya temui bukan hanya di bidang sawit, tapi juga di hampir semua, atau mungkin semua potensi yang ada di Indonesia:

Sumber daya kita yang segudang, berlimpah dan termasuk yang terbaik di dunia.

Manusia-manusia kita yang pintar dan lebih dari kompeten untuk membuat skema dan inovasi.

Pengembangannya lamban dan tersendat.

Bahkan negara lain yang lebih tidak memiliki sumber daya, lebih giat mengembangkan dan akhirnya menguasai, memimpin jauh di depan kita.

Seperti itu terus. Di segala lini. Unggul kualitas dan kuantitas. Biodiversitas. Lahan hutan dan tanah subur. Tebu, coklat, dan karet yang menguasai dunia di sektornya, dan jarang dimiliki negara lain. Laut yang luas dan banyak ikan karena iklim yang baik. Pantai terpanjang dan iklim panas terik untuk berladang garam. Sumber energi geotermal dari gunung-gunung api yang tersebar. Produksi timah, nikel, tembaga, aluminium yang termasuk jajaran tertinggi di dunia. Pariwisata dengan alam yang katanya indah tiada tara. 300 juta manusia dengan beragam budaya. Para pemenang lomba-lomba sains tingkat dunia. Seperti itu terus.

Pangkal masalahnya sudah jelas sebenarnya. Sumber daya sangat siap. Kaum cendekiawan sangat siap. Seperti umum dikatakan di forum-forum keinsinyuran yang saya ikuti; negara ini tidak kekurangan orang hebat, tapi kekurangan orang yang bisa memimpin orang-orang hebat itu dalam sebuah gerakan sinergis yang berdampak dahsyat! Peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah.

Sayangnya, seperti kata Pak Misri, negeri ini negeri autopilot. Mengapa? Karena orang yang kompeten untuk jadi pilotnya beramai-ramai menghindar, sementara yang tidak becus jadi pilotnya beramai-ramai mendaftar. Kalau seperti ini, menurut ilmu teknik kimia, akan terjadi prinsip distilasi. Kondisi di dalam yang panas dan kotor, akan membuat gerah orang-orang benar dan pada akhirnya mereka akan keluar, menguap dari dalamnya. Dengan semakin berkurangnya orang-orang benar, orang-orang benar yang tersisa pun akan semakin merasa gerah dan orang-orang benar yang ingin masuk pun akan makin merasa enggan. Hal ini akan terus berulang sehingga dicapai kemurnian 100%: fraksi ringan keluar semua, menyisakan 100% residu di dalam. Dosa siapa?

Inilah simpul dari Gordium yang harus kita potong. Inilah sungai Rubicon yang harus kita lewati. Setelahnya, ada jalan panjang dengan banyak hambatan dan godaan. Hingga titik ini, semua adalah repetisi dari sekian banyak diskusi, seminar, forum dan makan-makan. Dari titik ini, tinggallah pilihan. Siapa yang mau mengambil jalan ini? Jika tidak ada, semua yang kita bahas, kerinduan kita untuk mewujudkan potensi Indonesia, hanya akan jadi repetisi.

Makin teranglah jalan ke depan. Bagi kita semua, yang mau melihat.

No, it will not come; we should get there.




Jakarta, 29 April - 3 Mei 2013
ditulis dalam rangka mengosongkan beban dari otak



Terimakasih kepada semua narasumber
dan mohon maaf bila ada kesalahan