Rabu, 27 Februari 2013

Biorefinery Series - Part 2 : A Resurgence; 5th Regional Conference on Biotechnology

"Dan betapa berdosanya kepada negara ini, kami-kami yang diberi bakat dan kesempatan ini, jika harapan-harapan yang jalannya telah ditunjukkan terbentang ini tidak dipenuhi, ketika nanti kami berdiri di tempat tinggi, sebagai generasi yang mengendalikan nasib tiga ratus lima puluh juta orang yang terus menanti hidup sentosa di atas bumi Tuhan nan permai, tanah surga di atas dunia, zamrud khatulistiwa ini!"

Langsung saja tanpa basa-basi (kalau mau baca basa-basinya dapat dibaca di dua artikel terdahulu dari Biorefinery Series ini, yaitu Intro dan Part 1), berikut adalah laporan saya dari 5th Regional Conference on Biotechnology dengan tema "Biotechnology for Biorefinery" yang berlangsung tanggal 23-24 Januari 2013 di Hotel Aston Tropicana, Cihampelas, Bandung, yang seperti biasa juga, mencakup materi yang dipresentasikan ditambah dengan pengalaman dan pemikiran pribadi yang saya anggap relevan.

Berangkat dari rumah jam lima pagi, karena langsung menuju lokasi konferensi maka saya memutuskan untuk naik travel MPX biar rada keren dikit lah. Sampai di tempat pukul delapan, registrasi sebagai wakil perusahaan bersama tiga orang rekan, sambil sejenak beramah-tamah dengan para panitia yang kebetulan semuanya adik kelas maupun teman seangkatan saat kuliah. Tema umum konferensi ini adalah biorefinery, dengan beberapa sub-topik yaitu 1. teknologi bioproses (BPE), 2. biomassa dan bioenergi (BMB), 3. bioproduk dan biomaterial (BPB), 4. pengolahan limbah secara biologis (WT), dan 5. teknologi pangan (FT).

Pukul setengah sembilan konferensi dimulai. Pembukaan dilakukan oleh Prof. Hermawan Kresno Dipojono, Dekan FTI-ITB yang masih saya ingat sebagai Kaprodi Teknik Fisika di hari penyambutan mahasiswa baru oleh fakultas ketika saya baru masuk ITB 7 tahun lalu. Sepotong kalimat dari beliau yang cukup menyemangati: "Fossil-based should be replaced not only because it's non-renewable, but also because it damages environment". Tampak hadir beberapa dosen seperti 2 orang keynote speaker, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja dan Prof. Tjandra Setiadi; juga beberapa dosen lain yang menjadi panitia maupun pembicara. Terlihat juga delegasi dari Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Laos, dan Kamboja; begitu pula 2 orang keynote speaker dari Jepang (Prof. Shiro Saka dan Prof. Yasunori Tanji) dan 1 orang keynote speaker dari Jerman (Dr. Detlef Männig dari Evonik). Hadirin di luar komunitas akademik hanya terlihat beberapa orang. Dari kalangan industri selain saya dan rekan-rekan sepintas saya melihat Pak Djatnika S. Puradinata, salah seorang alumni senior Teknik Kimia ITB dan pemerhati energi yang juga merupakan salah satu petinggi Medco; terlihat juga antara lain perwakilan Evonik sebagai sponsor utama (Pak Hubert Widiastono dan rekan-rekan), serta perwakilan dari PTPN IV (diwakili antara lain oleh Direktur Litbang Pak Memed Wiramihardja dan rekan-rekan) yang nampak sekali tertarik dengan teknologi-teknologi yang potensial untuk mendayagunakan secara maksimal hasil-hasil dan limbah-limbah dari kelapa sawit. Hadir pula perwakilan PT. Pupuk Indonesia, Pak Surahmad W. Widodo (Manajer Ristek) yang ternyata satu mobil travel dengan saya tadi pagi.

Keynote speaker pertama adalah, tak mengejutkan dan tak asing lagi, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja. Persis sehari sebelumnya (22 Januari 2013) pukul 3 sore di kantor, saya dan Pak Tatang sudah berdiskusi tentang topik yang akan dibawakan pada keynote speech beliau, bahkan beliau mempresentasikan slide-nya di depan saya. Syukurlah saya sempat mendengarkan presentasi yang dibawakannya dalam bahasa Indonesia itu, karena ternyata keynote speech yang dibawakan Pak Tatang dalam bahasa Inggris kurang "nendang", tidak seperti biasanya beliau menyampaikan dalam bahasa Indonesia, walaupun materinya sama. Tidak, bukan karena bahasa Inggris Pak Tatang jelek; justru sebaliknya, karena bahasa Indonesia yang biasa digunakan Pak Tatang saat mengajar saya dulu sangat bagus!

Mpu Tatang, begawan bioenergi Indonesia

Anyway, topik yang dipilih untuk dibawakan Pak Tatang kali ini adalah "Tropical Oil-Crop Based Biorefinery". Pada intinya Pak Tatang membahas tentang apa itu biorefinery seperti yang telah saya bahas pada dua tulisan terdahulu. Biorefinery yang mengolah bahan-bahan alam berbasis bio yang terbarukan (feedstock) akan menyediakan pangan, ditambah bahan bakar, listrik, dan material yang selama ini dipasok oleh industri berbasis fosil tak-terbarukan (migas). Dengan demikian, biomassa dapat menyediakan semua hal yang saat ini disediakan migas, sehingga benarlah bahwa biomassa dapat, akan, dan harus menggantikan migas!

Lantas mengapa "oilcrop"? Kata oilcrop adalah istilah Pak Tatang untuk menyebut minyak-minyak nabati (istilah lain: vegetable oil/minyak sayur) yang dapat dipanen dari tanaman-tanaman yang menghasilkan minyak tersebut. Jadi, minyak ini (contoh: minyak sawit, kelapa, kedelai, apapunlah minyak-minyak tanaman) secara kimia adalah senyawa-senyawa trigliserida, yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. 85-90% berat minyak/trigliserida ini adalah asam lemak atau kalau orang kimia menyebutnya termasuk golongan asam karboksilat, dengan rumus CxHy-COOH, dengan y = 2x-1. Jika direaksikan dengan hidrogen, maka asam lemak ini akan kehilangan oksigennya (hidrodeoksigenasi) sehingga menjadi hidrokarbon (hanya terdiri dari C dan H) berantai 10-22 atom karbon, alias sama persis dengan fraksi minyak bumi yang menjadi produk utama kilang, terutama bahan bakar bensin, avtur, dan solar! Sementara, gliserol (10-15% berat minyak) dengan rumus kimia C3H8O3 dapat dikonversi dengan cara serupa (hidrodeoksigenasi) sehingga menghasilkan C3H8 (propan), yang juga merupakan salah satu fraksi umum minyak bumi keluaran kilang! Dengan kata lain, minyak nabati / oilcrop / minyak sayur = hidrokarbon terbarukan = minyak bumi non-fosil = minyak bumi terbarukan = pengganti minyak bumi, petroleum hijau!

Oilcrop ini merupakan bahan baku biorefinery yang sangat lengkap, dapat diproses untuk memenuhi kebutuhan energi, material, dan pangan. Minyak nabati dapat langsung dijadikan bahan bakar untuk Lister engine (mesin diesel rpm rendah), atau dengan proses hidrodeoksigenasi seperti telah dijelaskan, dikonversi menjadi avtur dan solar, dan juga bensin. Sementara, minyak nabati juga menjadi bahan baku untuk industri oleokimia yang menghasilkan banyak turunan: deterjen, sabun, softener, kosmetik, obat-obatan (farmasi), pelumas, plastik, cat (pewarna), pernis, tinta, karet sintetis, tekstil, pengemulsi pangan, coating (pelapis), dan masih banyak lagi yang tentunya tidak akan tertulis semua di sini, tapi mencakup sebagian besar hal yang dibutuhkan oleh manusia modern!
Bernie Tao, profesor yang rajin berkata ke para petani:
kalianlah cukong-cukong minyak masa depan!

Sekarang kembali ke topik favorit, yaitu bagaimana ilmu ini menggambarkan keunggulan kita, para penghuni bagian bumi Tuhan nan permai, tanah surga di tengah dunia, zamrud khatulistiwa yang dinamakan orang kepulauan Nusantara. Ya. Bagaimana? Seperti biasanya, negeri kita ini unggul dalam kepemilikan anugerah Tuhan yang telah ada sejak dulu kala: tanaman. Jadi, telah banyak bangsa-bangsa di dunia ini yang bergerak meneliti konsep oilcrop ini. Banyak pula tanaman di dunia yang dikategorikan sebagai tanaman oilcrop. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara oilcrop yang ditemukan di negeri beriklim temperate (daerahnya para bule) dan tropis (seperti Indonesia). Dibanding tanaman oilcrop temperate seperti kanola/rapeseed, tanaman oilcrop tropis seperti sawit dan kelapa (atau yang baru diteliti seperti mabai, nimba, dan nyamplung) memiliki banyak keunggulan: produksi minyak jauh lebih banyak, pohonnya besar-besar, dan tumbuhnya cepat... hal ini berarti perolehan minyak nabati jauh lebih besar, dan biomassa sisa (kayu) dapat diperoleh dalam jumlah banyak juga dan dapat dimanfaatkan dengan luas juga (multiguna)!

Hayo tebak, banyakan mana panennya?

Soal sawit saja saya tidak akan bercerita banyak, hampir semua orang tahu hebatnya tanaman ini. Begitu banyak minyaknya, begitu luas penggunaannya, begitu besar potensinya. Pada presentasinya, Pak Tatang membahas tentang tanaman-tanaman asli Indonesia yang berpotensi lebih hebat dari sawit (!!!) yaitu mabai, nimba, dan nyamplung. Apa hebatnya mereka? Menurut Pak Tatang, mereka ini "pohon bioenergi yang komplit"! Dapat tumbuh di tanah tidak subur (karena akar dapat mengikat nitrogen), tahan air asin (dapat tumbuh di kawasan payau), kandungan minyak banyak dan non-pangan sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan pangan, minyaknya mengandung banyak senyawa lain yang dapat diekstrak untuk obat, kosmetik, pembasmi hama dan lain-lain, serta merupakan pohon tumbuh cepat (short rotation coppice) yang kayunya dapat terus-menerus diambil.... untuk? Ya, kayu (lignoselulosa) di abad modern, awal abad biorefinery ini, juga sangat potensial (karena jumlahnya yang banyak dan mudah diperoleh) untuk membuat 2 golongan senyawa penting: hidrokarbon sintetis atau biohidrokarbon dengan gasifikasi dan sintesis Fischer-Tropsch (pengganti minyak bumi!) dan gula glukosa-xylosa dari hidrolisis lignoselulosa (bahan utama reaksi-reaksi fermentasi, reaksi modern untuk menghasilkan banyak produk berbasis bio!).

Setelah berbicara soal potensi, beralihlah kita ke bagian yang juga sudah umum dalam tiap presentasi Pak Tatang... soal "keadilan Yang Maha Pencipta". Jika tanahnya subur dan kaya luar biasa, maka penghuninya pasti... ah ya sudahlah, simak saja fakta-fakta bahwa sebelum akhir tahun lalu Wilmar membangunnya di Gresik, pabrik (atau kilang = refinery) minyak nabati (oilcrop) menjadi (bio)hidrokarbon telah jauh lebih dulu dibuat antara lain oleh Neste Oil, perusahaan asal Finlandia, negara putih nan dingin di ujung utara bumi ini, di tempat-tempat yang sama sekali bukan penghasil tanaman-tanaman oilcrop seperti Porvoo (Finlandia), Singapura (pulau yang lebih kecil dari Jakarta dan nyaris tak memiliki lahan pertanian maupun perkebunan), dan Rotterdam (Belanda, negeri kecil yang selama 350 tahun mengambang di atas pelampung bernama sumber daya alam rampasan dari tanah surga 11 ribu kilometer di selatannya). Atau fakta bahwa sebagian besar orang Indonesia yang membaca tulisan ini tidak mengenal tanaman-tanaman "asli" Indonesia itu, dan malah kaum bule yang miskin (secara perbandingan) sumber oilcrop itulah yang mengerti dan mau mempelajarinya... atau, seperti mungkin 20 tahun lagi akan kita ucapkan, "menjajah dan menguasai" sumber daya alam, yang sebelum direbut asing mana pernah kita pedulikan, tak ubahnya batik, reog atau tor-tor.

Mabai atau Pongamia pinnata lebih banyak dipedulikan di negeri bule

Jika banyak anak muda yang mengeluh saat ini, apa salah para petinggi negeri Indonesia, sampai-sampai negeri yang (katanya) kaya minyak ini, impor bensin dan solar... saya hanya berharap jangan sampai ketika mereka jadi orang-orang yang ada di jajaran teratas negara ini, anak-anak mudanya mengutuki mereka, apa salah keparat-keparat yang memegang negara ini, sampai-sampai negeri yang subur dan biodiversitasnya tinggi ini, impor biodiesel dan bioetanol? Dan menurut Pak Tatang, bangsa ini sudah goblok, ketika kita saat ini mengimpor minyak bumi mentah namun mengekspor minyak sawit, yang sebenarnya dapat menggantikan fungsi minyak bumi! Goblok! (kutipan langsung dari Pak Tatang, tentunya bukan saat presentasi di konferensi, melainkan sore sebelumnya di kantor saya)

Pada penutupnya, sang begawan bioenergi ini menyimpulkan... bahwa biorefinery oilcrop sangatlah penting dan akan menggantikan migas, bahwa oilcrop kita (tropis) jauh lebih baik dari oilcrop bule dan maka dari itu kita haruslah mengembangkan potensi luar biasa ini, terutama nimba dan mabai... Dan saat itu pula keluar tanggapan-tanggapan dari otak saya: nimba dan mabai ini belum ada yang meneliti intensif, bahkan belum ada kebunnya, kapan kita bisa mengembangkannya? Tanaman bisa tumbuh, tapi belum tentu bisa tumbuh pesat massal dalam perkebunan, siapa yang mampu dan mau menelitinya? Penelitian dari awal, siapa yang mau menanggung biayanya? Adakah perusahaan yang mau berinvestasi meneliti kebun selama bertahun-tahun tanpa hasil, karena penelitian kebun pasti memakan waktu yang lama, minimal sampai panen beberapa kali? Apakah sudah ada roadmap atau skema besar pemanfaatan nimba dan mabai, dan jika sudah, ke perusahaan atau badan pemerintah mana pelaksanaannya ditawarkan, seperti apa pengemasannya, atau malah belum? Mengapa Pak Tatang tidak memfokuskan ke pengolahan sawit saja, yang sudah jelas mudah, potensinya sudah ada dan besar, serta terlihat lebih cepat menjawab tantangan zaman? Kembali lagi ke masalah yang berkali-kali saya keluhkan di tulisan terdahulu: perbedaan jalur pikir, sinergisasi...

Setelah Pak Tatang, konferensi beralih ke keynote speaker kedua dari Kyoto, Prof. Shiro Saka. Meskipun wujudnya terlihat seperti botak-botak tua yang agak rapuh, Saka-sensei tampil dengan pembawaan khas orang Jepang: tenang, santun, dan percaya diri... terlihat jelas ketika profesor ini untuk menunjukkan posisinya memilih untuk tidak menampilkan prestasi-prestasinya (yang, dari hasil browsing sejenak, segudang), namun hanya menunjukkan foto beliau bersama Presiden SBY... seakan ingin menunjukkan (dengan tepat sasaran) ke hadirin lokal, seakan tahu apa hal yang penting bagi mereka. Pada presentasinya, sebagai ahli peneliti kayu (ya... nyaris satu-satunya sumber daya potensial bioenergi yang dimiliki negara-negara utara), Saka-sensei memaparkan terobosannya dalam topik yang sangat menggelitik saya maupun (sepertinya) pihak-pihak akademisi, teknokrat, dan pemerintah: biofuel dari lignoselulosa atau generasi lanjut, dengan judul "Advanced Bioethanol Production from Lignocellulose by Acetic Acid Fermentation".

Ya kira-kira begini tampilannya si tua botak jenius dari Jepang

Secara singkat, menurut Saka-sensei, produksi biofuel dunia terus meningkat, terutama bioetanol, namun kebanyakan masih biofuel generasi 1. Di Jepang, ada kebijakan yang mentargetkan 90% biofuel terdiri dari bioetanol generasi 2 pada tahun 2020 (sekitar 610.000 kL/tahun atau 10 kali lipat pada 2011). Kesulitan dari bioetanol generasi 1 sudah jelas menurut saya, yaitu kompetisi dengan pangan, yang berujung pada mahalnya (dan akhirnya tidak layaknya) harga bahan baku. Menurut Saka-sensei, bioetanol generasi 2 pun memiliki kesulitan, yaitu operasional. Hampir semua tahapan dari awal sulit (sehingga tidak layak): penghilangan lignin sulit, pemutusan selulosa sulit, fermentasi sulit.

Sebelum lanjut, sekilas info untuk yang masih baru di bidang ini. Bioetanol (biofuel pengganti bensin) diproduksi dengan fermentasi gula (dari tanaman berpati/bergula) menjadi alkohol. Inilah bioetanol generasi 1. Karena kebanyakan tanaman berpati/bergula digunakan untuk pangan, dicarilah bahan baku yang lebih murah, yaitu bagian tubuh tanaman/limbah perkebunan (batang, daun, kayu dll) yang merupakan lignoselulosa. Lignoselulosa adalah senyawa yang terdiri dari selulosa dan hemiselulosa (polimer gula) yang diikat oleh lignin. Ketika lignin disingkirkan dan selulosa-hemiselulosa dapat diputus-putus menjadi gula, hasilnya dapat digunakan untuk fermentasi yang menghasilkan etanol. Itulah bioetanol generasi 2

Kembali ke topik, menurut Saka-sensei, selain prosesnya sulit, perolehan produknya pun kurang baik, disebabkan terciptanya karbon dioksida. Ini ilustrasi mudah yang beliau berikan via stoikiometri:
Glukosa (C6H12O6) => 2 Etanol (C2H5OH) + 2 Karbon Dioksida (CO2)
Berat molekul glukosa adalah 180, etanol 46, dan karbon dioksida 44. 2 etanol memiliki berat molekul total 92, sehingga perolehan etanol dari glukosa adalah 92/180 = 51,4% berat. Ini berarti misalnya kita menggunakan 1 kg glukosa, kita akan mendapatkan 514 gram etanol. Asumsikanlah seperti kaidah fermentasi, tidak semua glukosa diubah si mikroba menjadi etanol, namun sebagian dipakai untuk pertumbuhannya (building block) sebesar 5% saja, maka jika dimasukkan 1 kg glukosa, hanya akan terkonversi 950 gram glukosa ke etanol, dengan perolehan 51,4% hanya didapat 485 gram (48,5% glukosa awal yang diumpankan). Jika dihitung basis kayu (lignoselulosa), lignin harus disingkirkan dulu sehingga selulosa bisa dipotong-potong menjadi glukosa, ditambah tidak semua gula yang dihasilkan dari pemecahan itu adalah glukosa, sehingga perolehan glukosa maksimum dari 1 kg kayu hanya 65% (650 gram), yang akan terkonversi menjadi etanol sebesar 48,5%nya saja, yaitu 315 kg, atau hanya 31,5% dari kayu yang diumpankan! Kayu dikonversi menjadi bioetanol generasi 2, hanya 1/3 saja yang diperoleh...

Enter Saka-sensei. Detail teknologinya tidak akan saya jelaskan terlalu dalam di sini, namun pada prinsipnya beliau menawarkan proses alternatif yang intinya adalah fermentasi asam asetat. Tahapan prosesnya kurang lebih:
- kayu (lignoselulosa) dipecah-pecah atau dihancurkan dengan air panas (hingga di atas 500 K atau sekitar 230 derajat Celsius).
- hasil rusakannya diharapkan berbentuk gula-gula, difermentasi oleh bakteri Clostridium thermocellum atau Clostridium thermoaceticum, yang dapat mengkonversi segala gula atau pecahan lignoselulosa yang terbentuk (bukan hanya glukosa saja) menjadi asam asetat.
- asam asetat dihidrogenasi (ditambahkan gas hidrogen) menjadi etanol.

Secara sederhana reaksinya akan menjadi begini:
Glukosa (C6H12O6) => 3 Asam Asetat (C2H4O2)
3 Asam Asetat + 6 H2 => 3 Etanol (C2H6O) + 3 Air (H2O)
Ini hanya glukosa saja. Perolehannya (3x46)/180 = 77%. Belum lagi sebagian dari 35% bagian kayu yang terkonversi bukan menjadi glukosa, dapat juga dikonversi menjadi etanol, sehingga menurut Saka-sensei etanol yang dihasilkan dapat mencapai 82% berat kayu yang diumpankan! Hebat kan? Lebih hebat lagi, dalam rentang 5 tahun setelah penelitian ini dimulai, dengan full support dari pihak-pihak terkait di Jepang sana, pilot plant sudah terbangun dan dapat secara rutin dioperasikan, produknya pun dapat dijual! Langsung saya tandai 2 hal dari paparan Saka-sensei ini...

Pertama, super niat sekali Jepang ini. Kalau kata Pak Rauf Purnama (TK'62, mantan Dirut Petrogres), nggak punya minyak bumi aja dia bikin kilang besar-besaran. Kalau bahasa zaman sekarang, nggak punya sumberdaya tanaman melimpah macam pati atau gula, dia tetap mau bikin bioetanol, gimanapun caranya. Ya itu tadi hasil ngototnya, dibikinlah bioetanol dari apa yang dia punya aja: kayu! Kayu yang dipakai Saka-sensei adalah Japanese cedar alias pohon sugi, ya tanaman khas asli Jepang lah. Kayu doang, tidak multiguna, perolehan kurang, yaaa... pokoknya dibanding tanaman bioenergi tropis yang dibahas Pak Tatang, tidak ada apa-apanya lah! Memang dasar Jepang itu, kagak ada unggul-unggulnya dari negara kita, cuma menang sumber daya manusia doang! Hahahaha! Eh, saya malah sempat bertanya kepada Saka-sensei dalam sesi tanya jawab, bisa nggak teknologi ini dipakai dengan bahan baku lain? Ternyata bisa, untuk pati, gula, maupun kayu. Untuk gula, pengolahan akan lebih bagus dan mudah, hasilnya pun pasti lebih banyak. Hei bangsa yang dianugerahi Tuhan dengan tanaman bernama "tongkat gula" (sugarcane), tunggu apa lagi?

Inilah bentuk pohon sugi itu... mungkin ada yang familiar dengan kanji "sugi" yang saya tambahkan?
Kedua, soal kelemahan yang saya amati. Proses ini memiliki dua titik yang saya pertanyakan. Pertama, seberapa mahal pengolahan dengan air bertemperatur dan bertekanan tinggi (bahkan disarankan dan sedang diteliti untuk air superkritik) di awal proses? Bagaimana neraca energinya, apakah bahan bakar yang dihasilkan nilai bakarnya melebihi energi yang dikeluarkan untuk memprosesnya? Kedua, bagaimana memperoleh hidrogen murah untuk hidrogenasi asetat di akhir proses? Apakah harga bioetanol cukup untuk menutupi harga hidrogen yang (saat ini) mahal? Soal keekonomian ternyata ditanyakan oleh salah seorang hadirin lain. Jawab Saka-sensei: karena saat ini yang penting prosesnya berjalan (dan memang berjalan baik), sebenarnya kami optimis bahwa itu tidak akan menjadi masalah, kemungkinan besar tidak akan boros, namun memang, at this stage we haven't consider it... ditambahkan dengan singkat oleh si penanya: ...yet. Alamak, memang penelitian itu harus terintegrasi, kawan, teknologi itu harus berguna!

Sang penanya tadi ternyata adalah keynote speaker ketiga dan terakhir untuk hari ini: Dr. Detlef Männig dari Evonik Industries, grup raksasa perusahaan industri kimia yang berpusat di Jerman, tepatnya di Provinsi Nordrhein-Westfalen, yang bagi para penggemar fussball tentunya familiar dan langsung paham mengapa perusahaan ini menjadi sponsor utama klub bola Borussia Dortmund.

Yang mana Herr Detlef dari Evonik?

Tema yang diusung oleh Herr Detlef adalah "Serving Bioeconomy Markets" yang oleh panitia (?) sempat salah dituliskan sebagai "Surfing Bioeconomy Markets", yang kemudian oleh Herr Detlef dikatakan sama saja artinya... karena jika Evonik ingin melayani pasar bioekonomi, mereka harus menyelaminya. Presentasi Herr Detlef bercerita tentang langkah dan strategi Evonik menyambut pasar bioekonomi, dan sekaligus menjadi model bagi saya bagaimana seharusnya sebuah perusahaan (industri) bergerak di zaman biorefinery ini.

Terlihat jelas bahwa untuk perusahaan industri raksasa seperti Evonik, riset sangat dianggap penting. Pada tahun 2011 saja, total anggaran R&D Evonik adalah sebesar 3% sales, yaitu 365 juta euro, atau Rp 15 miliar sehari, atau 10% APBD DKI Jakarta, atau setara 4 orang Cristiano Ronaldo. Hanya satu perusahaan. Dan bayangkan berapa banyak perusahaan sebesar Evonik. Menurut keterangan rekan saya, total anggaran R&D Unilever adalah 2% sales, atau 500 juta euro. Ada yang tahu berapa besar anggaran riset Pemerintah RI? Ada yang masih belum bisa jawab kenapa negara kita potensinya sumber dayanya segudang tapi masih banyak nggak bisa mengolahnya?

Dalam teknologi, kita ini negara tertinggal. Kalau tertinggal itu harusnya mengejar. Mengejar itu artinya, posisi di belakang, tapi kecepatan berlari harus lebih kencang daripada yang di depan. Kalau posisi sudah di belakang, kecepatan masih lebih lambat, itu sih namanya bukan mengejar, tapi makin tertinggal!

Terlebih untuk sektor yang masih berkembang seperti biorefinery, tentu harus disediakan usaha dan dana lebih untuk riset di sana agar sektor tersebut berkembang! Menurut Herr Detlef, "Biotechnology is a technology of the future and, as such, an integral part of our growth strategy in Evonik". Evonik dideskripsikan sebagai "creative industrial group". Saat ini Evonik banyak bergerak dalam bioekonomi terutama di sektor primer (perkebunan, peternakan, dll), industri, dan kesehatan. Tentunya semua ditunjang dengan R&D komprehensif, bahkan sampai kepada rekayasa genetik.

Yang menarik adalah pembahasan tentang "megatrends". Strategi perusahaan yang mengikuti megatrends dunia, yang menurut Evonik sekarang mereka mengambil tiga megatrends: consumer, health, and nutrition; resource efficiency; dan specialty materials. Ekspansi dan inovasi dalam ketiga trend ini dalam perkembangan zaman ini ternyata menuntut aplikasi bioteknologi. Berikut daftar penemuan-penemuan yang dikembangkan R&D Evonik dalam bidang-bidang tersebut, yang jujur saja, sangat bikin saya ngiler karena penemuan-penemuan ini dapat diwujudkan oleh sebuah perusahaan. Potensi negara kita jika mau meneliti sebesar apa? Ya, balik lagi, manajemen negara ini... ah, sudahlah. Anyway, ini beberapa dari sekian banyak produk yang dikembangkan Evonik terkait bioekonomi:
- Asam amino untuk pakan ternak, tentunya dibuat via biosintesis dengan mikroba. Konsep resource efficiency sangat menarik di sini: asam amino akan memenuhi kebutuhan nutrisi ternak, tanpa perlu menyediakan lahan sangat luas untuk perkebunan tanaman pakan ternak. Lahan untuk tanaman pakan ternak dapat dihemat hingga 50%. Di saat bumi ini bertambah manusianya namun tidak tanahnya, tentunya yang namanya penghematan lahan, apalagi yang tadinya sekadar untuk kebun pakan ternak, sangat tinggi nilai strategisnya bagi umat manusia!
 - Bioresorbable material. Kegunaannya banyak, mulai dari popok sampai irigasi. Intinya, senyawa ini bahkan dapat diinjeksikan di tanah untuk meningkatkan laju serapan air oleh tanah, sehingga tanah yang kering dapat menjadi lahan pertanian tanpa perlu irigasi yang terlalu banyak. Ini akan menjadi strategi pemenuhan kebutuhan pangan di daerah-daerah tandus, bahkan dalam jangka panjangnya direncanakan akan dapat mendorong reklamasi gurun pasir!
- Aditif biofuel (macam-macam seperti stabilisator dll), katalis biodiesel, dll.
- Membran untuk pemurnian biogas (dapat menghasilkan gas sebaik gas alam atau CH4 hampir murni).
- Dan lain-lain.

Intinya sih saya geregetan, satu perusahaan saja bisa berinovasi sekian banyak, harusnya satu negara bisa jauh lebih banyak. Bayangkan, Evonik itu punya lebih dari 25000 paten dan 7700 trademark. Wah, wah, wah! Kejar bro kejar!

Setelah sesi keynote speech dan makan siang, acara dibagi menjadi presentasi-presentasi singkat sepanjang total 15 menit per sesi (sudah termasuk tanya jawab), dibagi dalam 5 ruangan berbeda. Saya memutuskan berpindah-pindah ruangan, mencari topik yang saya minati. Sialnya karena banyak perubahan jadwal, saya jadi melewatkan beberapa topik yang sudah saya incar, seperti misalnya saja tentang membran untuk biorefinery dari Dr. I Gede Wenten si jago membran, atau tentang produksi bioplastik oleh timnya Prof. Tjandra Setiadi (old targets never die, they say). Secara singkat inilah topik-topik yang sempat saya datangi. Judul asli dalam bahasa Inggris, saya Indonesiakan dan saya persingkat agar tajam dan mudah dimengerti. Tidak semua topik yang saya datangi dituliskan di sini; saya meninggalkan topik yang terlalu ilmiah sehingga belum aplikatif, atau topik yang saya hanya sempat datang sebentar sehingga tidak mengerti benar.

BPB 01 - "Biorefinery TKS: Produksi Mikrobial Xylitol" oleh Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati. Salah satu topik favorit saya, karena sejuta alasan. Pertama, oleh perusahaan saya ditugaskan mendalami apapun tentang biorefinery sawit, segala bagiannya pokoknya! Terutama, penelitian ini menyangkut teknologi hidrolisis lignoselulosa yang amat krusial bagi pengembangan biorefinery. Terlebih lagi, riset ini menurut Bu Penia telah masuk ke riset strategis nasional. Dan memang segera sekembalinya Bu Penia ke ITB pada tahun saya lulus S2 (2011), riset ini langsung dikembangkan di lab untuk penelitian S1. Kemudian, yang terakhir tapi tentunya (bukan) yang paling penting, produknya itu salah satu zat yang bikin saya kecanduan.

Enak loh, 2 butir bisa buat dikunyah dari matahari terbit sampai terbenam
Jadi nih ya, kembali menyambung ulasan tentang lignoselulosa tadi, dan sedikit pelajaran ilmu alam untuk yang baru mendalami, lignoselulosa alias bagian tubuh tanaman itu kan terdiri dari lignin, plus selulosa dan hemiselulosa. Lignin dihilangkan, dapatlah selulosa-hemiselulosa yang sama-sama polimer gula. Bedanya, selulosa itu seperti pati, dia polimer gula glukosa (beratom karbon 6 / C-6). Ketika diputus rantainya, selulosa akan menghasilkan glukosa, yang lazim dimanfaatkan untuk bahan baku fermentasi. Sementara hemiselulosa, dia polimer antara gula C-6 dan C-5 (atau xylosa). Nah, xylitol ini diproduksi dari gula xylosa, yang didapatkan dari pemutusan rantai di hemiselulosa. Intinya sama dengan proses pembuatan bioetanol dari gula (difermentasi) hanya bedanya gula xylosa ini tidak difermentasi jadi etanol, melainkan dikonversi menjadi xylitol, yaitu pemanis buatan yang sehat dan bagus lah pokoknya.

Lah? Kan kita butuh bioenergi? Kok malah bikin xylitol, bukan bioetanol? Ya, ini skema yang akan umum dijumpai di biorefinery-bioenergi. Selagi harga biofuel belum dapat bersaing dengan harga BBM, pengembangan industri biofuel tidak boleh berhenti, harus tetap jalan; agar tetap ekonomis, kita pikirkan produk sampingan bernilai jual tinggi untuk mensubsidi silang biofuel! Bioetanol dari TKS (lignoselulosa) tetap dapat dibuat dari selulosa yang dihidrolisis menjadi glukosa dan difermentasi menjadi etanol. Produksi xylitol dari hemiselulosa yang dihidrolisis menjadi xylosa, adalah untuk menaikkan nilai tambah industrinya. Soal mengapa TKS, nanti juga akan terbahas, bahwa TKS ini sumber lignoselulosa yang banyak jumlahnya dan sudah terfokus tempatnya (dihasilkan di pabrik CPO, jadi sudah terkumpul tanpa perlu susah-susah pungut dari kebun yang luas), sangat ideal untuk basis bahan baku bioindustri, apalagi kurang termanfaatkan.

Beberapa kendala teknis, seperti biasa masalah pretreatment harus diperdalam lagi karena seperti kata Saka-sensei, sulit! Dari Bu Penia sendiri menandai bahwa ke depannya yang harus diteliti adalah integrasi prosesnya... jadi imobilisasi enzim sebagai katalisnya (agar hemat dan murah), kemudian proses pemurnian (hilirnya), dan yang terpenting upscale prosesnya. Salah satu riset pendukung terintegrasi yang sedang dijalankan adalah BPB 14 - "Optimasi Produksi Xylanase oleh Aspergillus niger dari TKS" oleh Bu Penia dkk, bekerjasama dengan Unpad. Buat saya sih menarik, sedikit kangen lah dengan jamur hitam super yang menjadi teman akrab saya selama 2 tahun lebih. Memang si jamur ini adalah produsen segala rupa enzim yang mantap.

Dalam penelitian, anak-anak bioproses dituntut kerja steril agar mikroorganismenya tidak terkontaminasi. Saya dituntut kerja steril, agar mikroorganisme saya tidak mengkontaminasi!

Sementara kembali ke topik awal, Pak Munir dari PTPN IV mengajukan pertanyaan yang lazim untuk orang industri (lihat bagian akhir Biorefinery Series Part 1): kapan selesainya dan kapan bisa dimanfaatkan untuk industri? Bu Penia menjawab 5 tahun. Dan kaum peneliti diingatkan oleh Pak Munir mengapa industri butuh pengembangan penelitian yang cepat: dalam tahun-tahun terakhir ini, pihak Jepang ibarat kata sudah nongkrong di depan PTPN IV, minta dikirimkan TKS. Sayang TKS anda dibuang-buang padahal negeri anda begitu kaya, kata Jepang. Sini kami manfaatkan kalau anda tidak mampu! Sementara PTPN IV ingin sekali menjadi pihak dalam negeri yang mampu memanfaatkan TKS tersebut, sebelum terpaksa mengirimnya (dan termasuk nutrisi-nutrisi kesuburan tanah yang terbawa di dalamnya, kata Pak Tatang) ke negeri seberang. Good, sudah ada minat dari pihak industri sebagai pengguna teknologinya. Selanjutnya, tinggal sinergi.

BMB 02 - "Sistem Terintegrasi Gas H2 dari Gliserol untuk Sel Tunam" oleh Bapak Prasetyo Joni dari BPPT (kerjasama BPPT dan Universiti Teknologi Malaysia). Hanya sempat datang saat sesi tanya jawab, saya menyimpulkan intinya penelitian ini adalah produksi gas hidrogen dari gliserol (limbah pabrik biodiesel dari minyak sawit). "Fun" fact teknik kimia lagi: biodiesel diproduksi dari minyak nabati (oilcrop) + metanol, menghasilkan biodiesel (ester antara metanol dan asam lemak dari minyak nabati) dan gliserol (dari minyak nabati yang kehilangan asam lemaknya), sehingga industri biodiesel generasi 1 ini pastilah menghasilkan limbah gliserol tak termanfaatkan. Spirit biorefinery adalah memanfaatkan setiap komponen keluaran bioindustri tanpa sisa... sehingga pemanfaatan gliserol harus dipikirkan. Salah satunya ya ini: dengan teknologi bioproses, menggunakan mutan ganda (note: gak ada hubungan saudara dengan X-Men) Enterobacter aerogenes AD-H43 untuk "memakan" gliserol dan menghasilkan gas H2.

Seperti saya sudah katakan, sebagai orang yang ditugaskan mengamati segala bentuk industri persawitan, tentunya skema ini menarik buat saya. Penanganan limbah gliserol itu sulit, sehingga jika ada mikroorganisme yang dapat mengurai gliserol dengan baik, tentunya luar biasa sekali. Selain itu, gas H2 yang dihasilkan ini memiliki banyak kegunaan. Pertama, seperti telah disiratkan dalam judulnya, gas H2 dapat digunakan untuk membangkitkan listrik, sekitar 3 watt selama 4 jam untuk fermentor 3 L. Jika saya kalkulasi, jumlah itu akan setara dengan 4 Wh/L atau 4 kWh/ton gliserol. Memang kecil, tapi lumayan untuk tahap penelitian. Namun, sebenarnya kegunaan kedua yang menarik perhatian saya: gas H2 dapat digunakan secara ekstensif dalam industri pengolahan turunan-turunan CPO. Contoh paling sederhananya: hidrodeoksigenasi seperti yang tadi dijelaskan Pak Tatang... dari situ dihasilkan biohidrokarbon yang dapat menjadi satu kompleks industri sendiri. Sangat sempurna untuk industri sawit terintegrasi bukan? Jika H2 dapat disediakan on-site dengan teknologi ini, dalam kebun kelapa sawit dapat dibuat kompleks biorefinery sawit terintegrasi!

Ide itu dilontarkan oleh Pak Hubert Widiastono dari Evonik, ditambah lagi Pak Munir dari PTPN IV mengajukan pertanyaan yang sama lagi yaitu terkait tentang ada tidaknya roadmap atau target besar dari penelitian ini, dan ini menunjukkan jelas bahwa sebenarnya industri peduli dan tertarik terhadap roadmap dan perkembangan penelitian untuk teknologi baru, asal diberi jaminan bahwa teknologi itu dapat digunakan, karena memang begitulah seharusnya hakikat teknologi: mempermudah bukan mempersulit! Ya, menurut saya, pemerintah harus memusatkan riset di bidang ini: ITB, UI, USU, BATAN (untuk handling H2), BPPT, PPKS (di Sumatera Utara), semuanya lah! Apalagi setelah itu di ruangan lain ada penelitian yang nampak mirip, yaitu...

WT 09 - "Perbandingan Elektroda Al/Fe dalam Elektrokoagulasi POME untuk Produksi Hidrogen" oleh Vita Dhian Lelyana dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Mirip dengan penelitian di atas, bedanya yang digunakan bukan gliserol (limbah cair biodiesel) tetapi POME (limbah cair pabrik kelapa sawit), dan metodenya bukan mikrobial tapi menggunakan listrik (elektrokoagulasi). Tujuan utamanya sebenarnya lebih ke penghilangan limbah dengan listrik (koagulasi), seperti diangkat oleh seorang penanya, Prof. Tjandra Setiadi. Soal hidrogen yang dihasilkan sebenarnya bukan dari POME, melainkan dari air yang ter-elektrolisis, jadi H2 yang diperoleh ya sebenarnya bonus saja. Jadi, tidak masalah untuk debit/COD limbah yang beraneka ragam, perolehan H2 akan tetap saja dan hanya tergantung pada voltase yang dipakai. Menarik juga bahwa Prof. Tjandra mengangkat bahwa sebenarnya tidak perlu diteliti elektroda mana yang cocok (Al atau Fe?) karena sudah jelas dengan pH POME yang asam, unjuk kerja elektroda aluminium-lah yang akan tinggi! Ya, sekali lagi ini menunjukkan riset harus terintegrasi; entah dengan sesama peneliti, atau dengan industri, seperti yang diangkat oleh Pak Hubert lagi seperti pada topik sebelumnya (dua kali beliau meng-highlight isu ini): memang produksi H2 ini penting bagi kompleks industri oleokimia terintegrasi (biorefinery), tapi bagaimana neraca energinya? Apakah listriknya tidak boros? Ya, itu wajib dipikirkan.

BMB 05 - "Bioaktif dari Rosela untuk Antioksidan Biodiesel" oleh Zul Ilham dari Universiti Malaya dan FT 05 - "Pengaruh Monopalmitin terhadap Penyimpanan Jangka Panjang Minyak Sawit" oleh Rany Agustina Susanti, penelitian ITB (Pak Tatang). Kedua judul ini sebenarnya berkutat pada produksi aditif untuk sawit dan turunannya. Menarik juga, untuk sentuhan akhir menjaga kualitas produk, hal-hal yang sering dilupakan padahal krusial. Jadi bahan bioaktif diperlukan untuk antioksidan (mencegah oksidasi) pada biodiesel. Biodiesel merupakan senyawa organik yang akan rusak atau putus rantainya jika teroksidasi, sehingga tidak dapat digunakan. Sementara penambahan stabilizer seperti monopalmitin pada CPO dibutuhkan untuk menahan bentuk struktur CPO pada kondisi tertentu, yang akan berakibat pada penggunaan CPO untuk pangan (agar tekstur makanan yang dihasilkan halus). Jika produk cepat rusak, maka nilai produk akan turun jauh dan segala usaha yang dikeluarkan pada proses produksi akan sia-sia.

BMB 10 - "Biomassa Sawit untuk Alternatif Bioenergi" oleh Pak Erwinsyah dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Ini bukan penelitian, tapi lebih sebagai overview dan karena itu, terlihat sangat tepat guna dan telah memikirkan keadaan pada penerapannya. Diceritakan bahwa pohon sawit ini hebat sekali lah perolehannya. Minyaknya banyak, biomassa pun banyak. Sebenarnya penerapan biomassa sawit untuk bioenergi ini sudah saya dalami ketika survey ke beberapa perkebunan sawit tahun lalu di Sumatera dan Kalimantan. Mau bukti? Berikut ada gambar skema yang saya ambil dari slide laporan hasil survey.

Khusus mantan-mantan murid Pak Tatang, dipahami saja cangkang, serabut, atau TKS itu bentuknya seperti apa dan ada di mananya pohon sawit... kalau nggak nanti beliau nangis loh

Yang dibahas dalam presentasi ini adalah pemanfaatan saat ini, mana yang belum termanfaatkan, dan bagaimana pemanfaatannya. Pemanfaatan yang dipaparkan memang cocok dengan apa yang saya jumpai di lapangan, yaitu secara umum:
- Serabut: 100% menjadi bahan bakar boiler. Energi yang dihasilkan menyuplai 100% listrik pabrik!
- Cangkang: 30-40% bahan bakar boiler untuk membantu sabut. Bentuk dan nilai bakarnya yang baik membuat cangkang, tidak seperti serabut, laku dijual kembali untuk bahan bakar di tempat lain. Saya sempat bertanya, bagaimana jika digasifikasi (itu ide yang pertama terpikirkan oleh saya)? Ya, ternyata masalahnya klasik: hasil memang lebih baik (listriknya lebih banyak), tapi pengoperasian sulit dan belum efisien. PR untuk tim Prof. Herri Susanto mungkin? Dari segi teknologi maupun edukasi? Hmm...
- TKS: selama ini kebanyakan dibuang saja ke kebun untuk dibusukkan kembali (pupuk), karena bentuknya yang keras, tajam, dan basah sehingga sulit untuk diolah.
- POME/limbah cair: beberapa ada yang diolah dan dikembalikan ke kebun juga.
- Pelepah (dari kebun): tidak digunakan untuk apa-apa, namun terkendala pengumpulan yang sulit karena tersebar di kebun yang luas.

Jadi, memang, kita harus mencari cara untuk memanfaatkan TKS, bahan yang banyak (20% TBS) namun belum termanfaatkan... bagaimana caranya? Beberapa penelitian dalam konferensi ini berfokus untuk menjawabnya, seperti penelitian pertama yang saya bahas tadi, atau penelitian-penelitian berikut ini...

WT 11 - "Produk Turunan Menjanjikan dari TKS" lagi-lagi dari PPKS. Memang saya fokus mengamati topik-topik sawit! Lagi-lagi intinya adalah TKS merupakan sumber lignoselulosa yang sangat potensial... pokoknya calon pendorong utama biorefinery di Indonesia. Dan kuncinya lagi-lagi adalah penguasaan teknologi pemecahan lignoselulosa. Pokoknya kalau TKS-nya sudah dapat dipecah-pecah menjadi glukosa dan gula-gula pereduksi lainnya, gampang deh! Gula-gula tersebut adalah makanan hampir tiap jenis bakteri yang dapat mengubahnya menjadi berbagai macam bioproduk. Ya, dan lagipula, jika tidak diolah TKS itu malah menjadi limbah yang harus ditangani. Secara konsep biorefinery yang memasok energi, materi, dan bahan kimia bagi masyarakat, inilah contoh-contoh pemanfaatan TKS:
- chemical: dari gula pereduksi dapat dibuat macam-macam fermentasi seperti etanol dan asam laktat, yang nantinya pun masih banyak sekali kemungkinan diolah menjadi turunan-turunannya lagi yang sangat beragam dan luas.
- energi: obvious; bioetanol dari fermentasi gula, atau dibakar langsung saja untuk menghasilkan panas dan listrik.
- material: nah, selulosa dari TKS dapat langsung dipakai... karena selulosa sendiri sudah merupakan polimer, maka dapat dijadikan material sintetis untuk menggantikan plastik, atau mungkin dicampur, seperti selulosa-asetat yang digunakan sebagai komposit untuk plastik LDPE; ya pokoknya makin mengurangi pemakaian fosil (migas) untuk plastik/material lah!

Tapi lagi-lagi ya, lagi-lagi, masalahnya itu keekonomian. Harus dipilih produk mana yang proses pembuatannya ekonomis dan mampu meningkatkan nilai TKS tersebut. Ya, ilmu pengetahuan tidak cukup menyatakan mana yang mungkin, tetapi harus juga dapat menyatakan lebih: mana yang layak.

BMB 11 - "Efek Surfaktan pada Sakarifikasi Enzimatik TKS dalam Produksi Bioetanol" oleh LIPI. Ini merupakan salah satu topik pendukung juga, untuk teknologi pengolahan TKS - pemecahan lignoselulosa - produksi bioetanol generasi 2. Intinya mencari cara bagaimana mempermudah proses yang dikatakan "sulit" itu: penambahan surfaktan saat reaksi akan meningkatkan kualitas enzim sehingga mempermurah biaya untuk enzim yang mahal itu. Mengapa bisa? Ternyata, enzim selulase yang selama ini digunakan untuk memecah selulosa, seringkali teradsorpsi ke permukaan selulosa (menempel) sehingga mengurangi keaktifannya. Penambahan surfaktan akan mencegah atau mengurangi kemungkinan penempelan tersebut sehingga enzim dapat bekerja dengan kapasitas penuh. Ah, mekanisme-mekanisme reaksi biomolekular ini membuat saya kangen bangku kuliah, apalagi setelah tahu kegunaan riilnya dalam industri.

WT 05 - "Pengolahan Limbah Cair Batik dengan Jamur-Lapuk Putih" oleh Prof. Tjandra Setiadi. Salah satu topik favorit Pak Tjandra nampaknya, sampai-sampai (mungkin mumpung giliran terakhir pula) nabrak jatah waktu yang disediakan cukup lama. Nostalgia pengingat betapa powerfulnya ilmu teknik kimia khususnya bioproses: mengolah segala macam limbah yang mengganggu, tepat guna dan aplikatif untuk industri rakyat. Intinya, industri batik ini terancam justru karena proses pembatikan yang unik menggunakan malam (lilin) untuk pewarnaannya, yang harus berkali-kali dicuci dan sebagai akibatnya menghasilkan limbah cair dengan kadar (BOD/COD) pekat! Ditambah pula tiap mencuci ada zat warna yang terbawa, sehingga dobel lah pengolahan limbahnya: penurunan kadar BOD/COD dan warna. Untuk industri batik lokal yang tergolong UKM, jelas beban finansial, terutama untuk bagian yang selama ini agak terpinggirkan oleh mindset lokal: pengolahan limbah. Ditawarkanlah oleh Pak Tjandra, jamur lapuk putih Marasmius sp. yang dapat menghilangkan warna, menurunkan BOD/COD, dan murah pemakaiannya... dengan bioreaktor unggun percik (trickling bed bioreactor atau TBBR), jamur lapuk putih ini ditumbuhkan di medium berpori Luffa sp. (sejenis tanaman yang banyak digunakan saat ini di salon?) dan air limbah dilewatkan dengan dipercikkan. Hasilnya secara ilmiah mantap: penghilangan BOD/COD hampir 95% dan warna pun hampir sepenuhnya dibersihkan.

Tanaman Luffa ini masih keluarga ketimun, ketika dikeringkan menjadi berpori dan dapat digunakan untuk packing media pertumbuhan jamur lapuk putih

Aplikatif kah? Sepengamatan saya, belum. Ternyata, permintaan Luffa di sektor lain malah meningkat sehingga harganya naik dan tidak murah lagi. Ya para peneliti janganlah menyerah! Entah cari cara agar prosesnya bisa lebih murah lagi (harus lebih efisien), atau teliti bahan baru yang lebih murah. Selalu ingat, teknologi hanya berarti jika aplikatif dan menguntungkan. Selain itu, pengoperasian TBBR ini masih terlalu rumit untuk skala UKM; perlu edukasi dan pelatihan dengan effort sangat besar, serta yang lebih penting lagi adalah penyadaran akan pentingnya limbah untuk diolah, penyadaran akan tanggung jawab kita untuk lingkungan, siapapun kita, termasuk pengusaha kecil. Barulah sistem ini bisa dijalankan. Dan yang memiliki kewajiban untuk edukasi itu, tak lain adalah penemu-penemu yang memahami sistem yang diciptakan ini. Sistemnya sendiri kan terbukti unjuk kerjanya baik, tapi itu jika dapat dijalankan dan diaplikasikan.

Sesi presentasi hari pertama ditutup, sore dan malam saya habiskan untuk "refreshing": mengobrol dengan rekan-rekan mahasiswa tentang berbagai topik mulai dari kebodohan-kebodohan terkini di kampus sampai kepada peran kita bersama untuk masa depan negara ini, sambil menikmati makan malam dan tontonan kesenian-kesenian khas Indonesia di acara gala dinner. Keesokan paginya saya tidak sempat melihat sesi presentasi karena salah membaca jadwal, sehingga hanya 2 keynote speaker di hari terakhirlah yang saya sempat tonton. Jujur saja untuk keynote speech dari Prof. Yasunori Tanji topiknya kurang menarik perhatian saya, seingat saya sekitar tentang mekanisme virus untuk membunuh bakteri penyebab penyakit ternak atau semacamnya. Terlalu jauh topiknya buat saya pribadi. Namun, saya sangat menghargai upaya Tanji-sensei membuka presentasinya dengan menyamakan bangsa Jepang dan bangsa Indonesia: sama-sama negara kepulauan, berusaha bangkit kembali setelah perang dunia, sering dilanda bencana alam (dia mengambil contoh tsunami Aceh dan gempa bumi Tohoku), bahkan membandingkan Fuji-san dan Gunung Bromo (yang keduanya pernah ia daki). Ya, seolah mengisyaratkan "negara kami bisa maju, anda juga!".

Ketika acara kuis tebak gambar di gala dinner, Tanji-sensei ditunjukkan gambar Gunung Fuji, dan ia menjawab dengan bersemangat (setengah bercanda): "Buromo! Buromo!"

Keynote speech terakhir adalah dari Prof. Tjandra Setiadi yang berjudul "Research and Applications of Membrane Bioreactor for Treating Various Wastewater", dengan isinya tentu saja pengulangan kuliah-kuliah yang pernah saya terima dari sang guru besar pengolahan limbah cair ini. Air, ya, air, sumberdaya vital yang seringkali diabaikan orang, dianggap taken for granted. Sumberdaya yang secara global dalam puluhan tahun ke depan diramalkan akan makin sulit diperoleh karena tantangan zaman. Kualitas dan kuantitas air bersih yang terus menurun, malah penggunaan air bersih yang meningkat, dan otomatis air bersih yang telah digunakan menjadi... air limbah. Maka wajiblah air limbah itu diolah dengan dua tujuan: menyediakan air bersih (lagi) dari air yang kotor, sekaligus membersihkan air yang kotor itu agar tidak mencemari (sisa/simpanan) air bersih ketika dibuang. Sisa ceritanya? Ya, teknologi terbaru untuk membersihkan air kotor itu: membran bioreaktor. Singkatnya: lebih efisien, lebih bersih, lebih baik lah. Pokoknya, jangan sampai Indonesia, yang memiliki cadangan air minum 6% dunia dan 21% Asia Pasifik, kekurangan air bersih di masa depan gara-gara telat atau malah tidak menguasai teknologi penyediaan air bersih yang mutakhir!

Kurang lebih begini tujuannya...


=====================================


Dari sekian banyak topik, sekian banyak pemateri, saya semakin yakin atas apa yang saya renungkan di hari-hari terakhir ini. Tiap kata yang didengar, yang dibaca, yang diserap, seolah makin menggemakan berulang-ulang di otak saya: Potensi! Riset! Lignoselulosa! Sinergi!

Potensi negara kita yang begitu kaya alamnya. Migas dan tambang, sumber daya alam nyaris tak-terbarukan, yang disia-siakan, terancam habis tanpa jejak. Tak berhenti kebaikan Tuhan, sumber daya alam terbarukan pun kita amatlah kaya. Jahat benar yang semestinya bertanggung jawab untuk mendayagunakan pemberianNya ini, namun ingkar karena malas... apalagi jika justru kaum yang tak diberi anugerah-lah yang lebih berikhtiar untuk menggali pemanfaatannya. Ya, mungkin justru karena itu; karena mereka yang lebih membutuhkan.

Riset, kunci mutlak kemajuan suatu negara. Kembali mengutip Pak Rauf Purnama "haram hukumnya suatu negara maju jika tanpa teknologi". Dan teknologi itu, didapatkan dan dikuasai bukan dengan mengharap wahyu jatuh dari langit, tapi dengan riset! Penelitian adalah sayap tersembunyi yang mengangkat martabat bangsa-bangsa sejak dahulu kala, dan sikap bangsa kita terhadap penelitian-lah yang akan menentukan nasib bangsa ini ke depan: apakah akan mengejar, atau makin tertinggal.

Lignoselulosa - "phlebotinum" dunia post-modern. Emas coklat, emas hijau. Barangsiapa menguasai teknologi pemecahan lignoselulosa, akan mendapatkan material dasar, basis untuk membangun sebagian besar senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi umat manusia. Dengan potensi biomassa kita yang begitu besar, alangkah malu; ya, alangkah malu jika kita menjadi salah satu negara yang terbelakang dalam memperoleh teknologi vital ini!

Sinergi, sinergi, sinergi! Bersatulah kaum akademisi, praktisi, dan pemerintahan. Kembangkan penelitian-penelitian dengan orientasi teknologi yang tepat guna, itulah yang rakyat butuhkan. Kembangkan industri-industri dengan perancangan yang akurat dan berkualitas tinggi untuk menghasilkan nilai tambah yang sebesar-besarnya untuk memicu pemerataan ekonomi, itulah yang rakyat butuhkan. Rancang dan eksekusilah skema dan strategi pembangunan negara, pergunakanlah bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat, itulah yang rakyat butuhkan!

Potensi! Riset! Lignoselulosa! Sinergi! Dan betapa berdosanya kepada negara ini, kami-kami yang diberi bakat dan kesempatan ini, jika harapan-harapan yang jalannya telah ditunjukkan terbentang ini tidak dipenuhi, ketika nanti kami berdiri di tempat tinggi, sebagai generasi yang mengendalikan nasib tiga ratus lima puluh juta orang yang terus menanti hidup sentosa di atas bumi Tuhan nan permai, tanah surga di atas dunia, zamrud khatulistiwa ini!

Penekanan-penekanan tersebut nampak sekali menjadi napas dari setiap topik yang tertulis. Memang begitulah tujuannya, siram, siram, siram berulang-ulang, hingga meresap; ke akal pikir, ke hati nurani, ke alam bawah sadar. Semoga tujuan indoktrinasi repetitif yang saya tampilkan dalam tulisan ini, yang sekaligus mengakhiri Biorefinery Series untuk sementara, dapat tertanamkan pada benak rekan-rekan tangguh yang kuat membaca sampai akhir. Selamat bagi kita semua. Semoga Indonesia menjadi lebih baik, dan semoga dalam pergerakan majunya bangsa Indonesia ini, bukan sekedar menjadi penonton, tapi kita menjadi aktor-aktornya. Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater, merdeka!

Segera eksekusi perjuangan!


Setiabudi, akhir Februari 2013
seperti pada catatan sebelumya,
selamat bagi rekan-rekan yang telah bersedia membaca

catatan sepanjang belasan halaman MS Word
yang baru sempat ditulis sebulan setelah kejadian

Terima kasih untuk semua sumber ilmu dan inspirasi, baik yang namanya sempat maupun tidak sempat saya tulis dalam catatan ini


Minggu, 10 Februari 2013

Biorefinery Series - Part 1 : A Reidentification; Obrolan Ringan dengan Sang Profesor

"Saya akan menjalani karir dengan berorientasi pada pengembangan ilmu dan skill untuk menjadi integrator antara elemen-elemen ABG; mempersatukan dan menjembatani pihak akademisi, bisnis, dan pemerintah untuk bersinergi."

Janji pribadi, diucapkan dalam batin di tengah jalan tol Cipularang, 4 Januari 2013

Jadi... menyambung bagian sebelumnya dari cerita Biorefinery Series (Intro), akhir tahun lalu itu saya begitu penasarannya untuk mencari tahu: mengapa sepertinya industri bioproses di Indonesia tidak berkembang?

Ketika kuliah dulu saya mengambil sub-program studi Teknologi Bioproses mulai dari semester 4, tentunya pilihan itu dijatuhkan bukan tanpa alasan, meskipun tidak semua alasannya cerdas (seperti misalnya karena terkenal sebagai pilihan yang paling sulit, atau karena pilihan yang umum-umum saja terkesan kurang keren, atau hal-hal lainnya yang pastinya tidak sehat untuk dibahas sekarang), namun yang pasti alasan-alasan itu timbul setelah tahap mencari informasi secara langsung maupun tidak langsung terutama dari senior-senior di program studi Teknik Kimia ITB.

Dari periode pencarian alasan tersebut, ditambah dengan 2,5 tahun belajar teknologi bioproses, plus 1 tahun lebih memperdalamnya lewat penelitian di jenjang S2, maka yakinlah saya bahwa ini memang ilmu yang tepat dipelajari. Singkatnya: prospektif dan bermanfaat. Penjabarannya?

Secara umum industri bioproses itu seperti industri kimia biasa saja, perbedaannya adalah saat prosesnya dia memakai biokatalis (katalis makhluk hidup seperti mikroba, enzim, dll). Konsekuensinya, banyak bahan baku (kebanyakan biomassa atau lebih umum dikenal dengan SDA mentah) yang tidak terolah dengan proses kimia biasa, dapat diolah dengan teknologi bioproses, menghasilkan produk-produk yang kebanyakan juga sulit/tidak bisa diproduksi lewat proses kimia biasa. Sehingga ke depannya, industri bioproses akan maju pesat karena perkembangan dunia saat ini mengarah ke sana. Mengapa?

Pertama, seiring dengan perkembangan industri dan lingkungan hidup saat ini, orang akan beralih ke bahan-bahan yang dianggap "dari alam". Itulah biorefinery! Berhenti menggunakan SDA tak terbarukan dan kotor (migas) namun tetap mendapatkan produk yang diinginkan, dengan mengganti bahan baku menjadi biomassa. Kedua, bahan baku dari alam, bahkan kebanyakan dapat berupa limbah, merupakan bahan baku murah yang jelas lebih menguntungkan secara ekonomi untuk membuat produk-produk yang sudah ada, dibanding dengan bahan baku saat ini yang lebih mahal karena semakin langka. Ketiga, orientasi manusia modern yang makin peduli pada kesehatan dan kehidupan menyebabkan industri bioproses berpotensi menjadi pemasok tunggal untuk banyak produk-produk dari biomassa yang bernilai mahal (antibiotik, enzim, asam amino, senyawa-senyawa berjumlah sedikit namun berharga tinggi) yang kebanyakan dibutuhkan untuk peningkatan standar kesehatan dan kehidupan.

Maka dari itu... industri bioproses terintegrasi adalah sinonim dengan biorefinery! Biorefinery yang adalah masa depan negara ini, negara yang begitu kaya alamnya, melebihi hampir semua negara manapun yang ada di atas bumi Tuhan nan permai ini!

Saat kuliah, saya diajarkan tentang apa saja yang dapat dilakukan industri bioproses. Tumbuhan, kayu, umbi, gula, rumput, buah, biji, limbah! Semua dapat diolah menjadi produk berharga. Saya belajar tentang bagaimana mikroba, atau mikroorganisme, dapat diarahkan untuk membuat produk apa saja. Saya belajar tentang industri bioproses yang hemat energi, kondisi operasi normal, dan produknya beragam. Saya belajar tentang produk-produk bernilai tinggi dan bernama aneh berbahasa dewa seperti asam metil isosianat, phenyl alanine, alkohol dehidrogenase, riboflavin, Clostridium tyrobutyricum, cephalosporin, dan lain-lain. Saya belajar perancangan reaktornya yang serba rumit dan kontrolnya yang ketat demi menjaga sterilisasi, saya belajar proses pemisahan senyawa-senyawa berjumlah sangat kecil itu hingga dapat dipekatkan jutaan kali sampai pada taraf dapat dijual, dan saya belajar tentang prospek industrinya di Indonesia yang (katanya akan sangat) cerah.

Nama "koenzim pyridoxal phosphate", intinya suatu senyawa protein/enzim lah, selebihnya jangan tanya.

Yang ini bahkan abaikanlah nama-namanya, lihat struktur-struktur molekulnya saja; lihat saja, jangan tanya.

Sedikit contoh rumus untuk... inhibisi enzim? Again, jangan tanya buat apaan.
Ketika lulus, dan mencari kerja... barulah saya bertanya-tanya; di mana ini tempat mengaplikasikan ilmu-ilmu canggih semacam itu? Intinya, bagaimana membangun dan mengembangkan potensi negara saya dengan ilmu itu? Apa ada industri di Indonesia yang membuat senyawa-senyawa canggih dengan nama-nama njelimet dan proses-proses super steril dengan bakteri-bakteri super aneh macam yang dipelajari di kuliahan dulu ya? Kok tampak seperti tidak ada ya?

Singkat cerita saja, skip dari sejak saya berpikir tentang hal itu (karena sebenarnya intro lebih detil sudah dituliskan dalam tulisan sebelumnya "Intro") hingga ke hari Jumat tanggal 4 Januari, di saat saya kembali menempuh rute Bogor-Puncak-Bandung dengan travel DEWA, berangkat dari rumah pukul lima pagi, pokoknya nostalgia jaman kuliah lah... hanya untuk meluangkan waktu selama 1,5 jam berdiskusi tentang kegelisahan saya itu, dengan seorang profesor di laboratorium mikrobiologi dan teknologi bioproses, program studi Teknik Kimia ITB. Beliau adalah mantan pembimbing tugas akhir rancang pabrik saya, dan salah satu orang yang saya anggap mengerti jawaban dari kegelisahan-kegelisahan saya.

Pokoknya cutiiii... back to campus bentar.
Pukul 13:30 hari itu saya memasuki ruangan beliau. Setelah sebentar beramah-tamah, kami kemudian memulai diskusi. Saya langsung membuka diskusi dengan melontarkan semua pertanyaan yang saya ingin temukan jawabannya. Sepolos-polosnya, senaif-naifnya.

Industri bioproses di Indonesia ini sudah berkembang hingga sejauh mana? Prospek ke depannya bagaimana? Jika kurang berkembang, apa saja hambatannya dan bagaimana cara mengatasinya?

Saya ingin mengembangkan industri bioproses di Indonesia. Langkah-langkah apa yang harus saya ambil? Harus mulai dari mana?

Tanpa terduga, Profesor menunjukkan senyum pahit. Agak getir, sepenangkapan saya saat itu. Dan ternyata memang tercermin dari paparan yang kemudian beliau berikan. Begini ceritanya, yang merupakan campuran 50:50 antara ringkasan percakapan saya dengan Profesor, dan pemikiran-pemikiran saya pribadi yang timbul baik sebelum, saat, dan setelah diskusi dengan Profesor.


=============================


Harus diakui, perkembangan industri bioproses di Indonesia memang tidak sepesat yang saya bayangkan waktu kuliah.

Kalimat di atas sebenarnya adalah understatement.

Lebih tegasnya lagi, perkembangan bio-based industry atau juga dikenal dengan istilah biorefinery secara umum (bukan hanya industri bioproses) di seluruh dunia (bahkan bukan hanya di Indonesia) secara keseluruhan memang melambat, tidak seperti yang (bukan hanya saya, tapi juga) Profesor bayangkan 15-20 tahun lalu! Prediksi 10 tahun yang lalu bahwa industri berbasis biomassa akan maju pesat didasari dengan asumsi-asumsi seperti yang sudah saya bahas di atas maupun di artikel sebelumnya, yang pada intinya adalah bioindustri digadang-gadang menjadi substituen yang ekonomis, ramah lingkungan, dan lebih baik daripada industri fosil/migas/petrokimia tak-terbarukan. Pada perkembangannya, ada hal-hal yang menghambat itikad tersebut. Bagaimana?

Pertama, premis awal bahwa "bioindustri adalah pengganti migas" sangat berdasar pada anggapan bahwa migas sudah tidak akan menarik lagi karena sumber-sumber migas akan habis dan sumber-sumber yang ada sulit untuk dieksplorasi. Pada kenyataannya, sumber-sumber migas baru masih terus ditemukan, dan teknologi untuk eksplorasi shale oil (minyak terperangkap dalam batu, yang merupakan cadangan minyak terbesar yang tidak dapat dieksplorasi karena sulit) ternyata dapat dikembangkan dan sekarang sedang giat-giatnya dilaksanakan.

Faktor ini diperparah dengan kondisi kedua, yaitu melemahnya perekonomian dunia. Saat ini, negara-negara maju yang menjadi pemain terdepan dalam perkembangan teknologi, banyak dilanda permasalahan ekonomi. Secara otomatis, hal ini menyebabkan terpotongnya dana untuk riset dan pengembangan, yang sangat memukul sektor bioindustri yang merupakan hal baru secara teknologi (dan dengan demikian sangat membutuhkan pengembangan lanjutan). Konsekuensinya, sektor baru ini, yang sangat tergantung pada riset, yang sangat tergantung pada dana, terhambat perkembangannya. Ditambah lagi, di saat perekonomian melemah, negara-negara tersebut lebih memilih untuk tidak mengambil resiko untuk riset hal-hal baru dan mengutamakan sumber energi yang aman, yaitu dengan fokus di eksplorasi migas. Perekonomian lemah menjadi alasan untuk mengesampingkan isu lingkungan (yang menjadi salah satu poin kampanye bioindustri), ditambah lagi masa berlaku Protokol Kyoto yang habis pada tahun 2012.

Secara singkat... dana tidak ada, insentif hijau tidak lagi penting, migas yang ingin digantikan tak kunjung mati, praktis tidak ada advantage lagi untuk sektor bioindustri. Itu kejadian di negara-negara maju. Apalagi di negara kita, yang di keadaan normal pun dana dan perhatian terhadap risetnya memang sudah terbatas? Dan sejujurnya banyak orang yang berkecimpung di bidang bioindustri, termasuk Profesor, sedih dan prihatin atas fakta ini.

Menurut saya?

Menurut saya justru saat ini adalah saatnya negara kita menggebrak dan menyalip negara-negara lain! Situasi ini justru harus dimanfaatkan. Di saat negara-negara lain yang biasa di depan sudah mulai melambat, bola ada di pihak kita. Saat ini kita punya potensi ke depan untuk mengejar. Pertama, seperti yang baru dijelaskan, di saat kompetitor melemah, memang sudah saatnya kita yang mengejar, selagi mereka dapat dikejar.

Kedua, sebenarnya dari segi sumber daya alam, kita ini berlimpah dan memiliki keunggulan! Tanah yang subur, menghasilkan tanaman-tanaman yang baik untuk bahan baku industri. Tebu dan singkong kita memiliki kandungan pati/gula dan produktivitas per hektar jauh lebih baik daripada mapel dan jagung orang bule. Kelapa sawit kita, jangan ditanya, menang mutlak daripada minyak kedelai dan kanola mereka. Kita punya short-coppice rotation plant (tanaman tumbuh cepat) yang punya banyak kegunaan lain seperti nimba dan mabai, yang pastinya tidak akan ditemui di kayu manapun milik mereka. Dan potensi SDA ini adalah faktor tak tergantikan, anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah yang akan sulit sekali untuk dapat dimiliki negara-negara lain. Faktor pembedanya hanyalah SDM; sesuatu yang kita, meskipun sekarang masih tertinggal, dapat terus asah dan perbaiki ke depannya.

Ketiga, tingkat kebutuhan negara kita terhadap teknologi hijau atau bioindustri lebih tinggi daripada yang lain. Jika pada poin kedua telah jelas bahwa negara kita unggul di potensi, di poin ketiga ini yang ingin ditekankan adalah negara kita butuh! Saat ini negara lain telah dapat memiliki standar hidup yang baik dan maju dengan teknologi canggih di segala lini, sehingga urgensi atau kebutuhan untuk berganti ke bioindustri tidak terlalu besar. Namun, negara kita pun belum banyak memiliki industri-industri dan teknologi canggih atau maju. Di sinilah, seperti yang pernah dikatakan salah seorang dosen saya yang lain, bangsa yang baru berkembang seperti kita perlu melaksanakan "loncat katak". Daripada terus-menerus mengadaptasi teknologi canggih dari negara orang (yang tentunya transfer teknologinya mahal dan sulit), terkadang juga hanya mendapatkan teknologi bekas yang ketinggalan zaman (seperti KRL yang merupakan kereta yang dianggap tercanggih di Indonesia, semuanya bekas Jepang tahun 1960-70an), lebih baik "loncat" ke teknologi yang belum dirambah negara-negara maju (namun pasti semua kelak akan mengarah ke sana) yaitu bioindustri! Justru ini kesempatan kita untuk mem-bypass teknologi-teknologi yang ada di negara-negara maju, dan menjadi peluang kita untuk setara dengan mereka.

Nah, telah jelaslah bagi saya bahwa sebuah kondisi ancaman harus kita ubah jadi peluang. Saatnya kita mengejar! Namun, kembali ke salah satu pertanyaan awal saya, mulai dari mana? Dan saya pun dapat menyimpulkannya, tentunya dengan petunjuk dari Profesor secara tidak langsung.

Sektor yang paling penting di dunia modern, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, dan mencakup sebagian besar porsi sektor turunan migas adalah: ENERGI. Pengembangan bioindustri secara mendasar di Indonesia harus dimulai dengan pemenuhan kebutuhan energi via biomassa... alias BIOENERGI! Bioenergi seperti apakah? Bioetanol dari singkong/tebu? Biodiesel dari sawit? Biogas? Jika terkait dengan pemenuhuan kebutuhan secepat-cepatnya, jawabannya: BIOLISTRIK dari biomassa, terutama limbah perkebunan. Langsung gunakan biomassa sebagai bahan bakar pengganti fosil (batubara/minyak) untuk membangkitkan listrik menggunakan turbin kukus di PLTU. Surplus biomassa dari perkebunan-perkebunan besar (sawit, tebu) khususnya di pulau-pulau besar luar Jawa dengan rasio kelistrikan masih rendah dan konsentrasi penduduk tersebar tidak merata (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi) berpotensi untuk membangkitkan listrik yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat hingga surplus, dan bahkan dapat merangsang pertumbuhan industri-industri yang akan memicu pemerataan kemakmuran nasional. Namun, jika terkait dengan pengembangan industri bioproses, bentuk bioenergi yang perlu ditinjau adalah....

Bioetanol generasi kedua dari lignoselulosa.

Mengapa? Pertama, dari segi potensi, lignoselulosa kita khususnya dari perkebunan-perkebunan besar, sangat banyak. Kedua dan yang terpenting, lignoselulosa itu merupakan basis teknologi bioproses. Apa?

Ya, secara umum, teknologi bioproses menciptakan produk-produk dengan bantuan mikroba. Dan makanan sebagian besar mikroba adalah gula, terutama glukosa. Lignoselulosa mengandung selulosa dan hemiselulosa, yaitu polimer gula (rantai panjang yang terdiri dari molekul-molekul gula), yang jika rantai itu dapat diputuskan, maka kita akan mendapatkan gula. Lignoselulosa adalah komponen terbesar tumbuhan sehingga limbah kayu, limbah rumput, limbah daun, dan sebagian besar badan tanaman kebun dapat menjadi sumber gula, yang tentunya murah (karena merupakan limbah yang tak termanfaatkan); lebih murah dari gula/pati yang merupakan bahan pangan!

Jadi, jika kita dapat menguasai bagaimana cara memecah selulosa menjadi gula, perkembangan teknologi bioproses di Indonesia pasti akan mengalami lonjakan besar. Dan untuk tahap awal, pengembangan pemecahan lignoselulosa ini dapat dipacu dengan iming-iming pemenuhan kebutuhan energi via pemecahan lignoselulosa... yaitu dengan memanfaatkan gula yang dihasilkan untuk menghasilkan bioetanol via fermentasi. Kebutuhan bensin Indonesia bisa terpenuhi dari limbah biomassa perkebunan saja! Jika perlu, sambil menunggu, bangkitkan listrik dengan biomassa via pembakaran langsung (PLTU) atau biogas. Ketika bidang energi ini tercover, maka selanjutnya, pemanfaatan gula yang dihasilkan dapat menyebar luas ke segala aplikasi bioproses... dan produk-produk mahal bernama njelimet yang saya sebutkan tadi dapat diproduksi... tentunya demi kemajuan negara.

Nih, emas coklat negara kita. Jaga, jangan sampai dicolong cuma-cuma oleh asing.
Sumber foto: wordpress Kesuburan Tanah.
Potensi biomassa limbah perkebunan kita luar biasa banyaknya. Pada pabrik CPO, limbah tandan kosong sawit (TKS) dihasilkan sebanyak CPO (TKS 20%, CPO 20% dari tandan buah segar). Cukup untuk membuat iri negara maju yang bertanah sempit dan tidak sesubur kita, seperti Jepang misalnya... yang menurut cerita dosen saya yang lain, ilmuwan mereka pergi mengamati tanah kita, dan berkata "Dengan tanah sesubur ini, kamu belum jadi negara maju? Berikan SDA kamu kepada kami, biar kami olah!". Ketika mereka melihat perkebunan sawit di Sumatera, mereka berkata "Ini TKS segini banyak, dan masih ada daerah sekitarnya yang listriknya kekurangan?" TKS merupakan sumber lignoselulosa instan; langsung dihasilkan dari pabrik tanpa perlu ada pengumpulan lagi, dalam jumlah masif. Tinggal diolah saja. Di mana masalahnya?

Ya, Profesor pun mengungkapkan masalahnya. Teknologi pemecahan lignoselulosa ini pun sebenarnya bukan teknologi lama; negara-negara maju pun baru mendalami bagaimana memecahkan lignoselulosa menjadi gula-gula dengan murah dan mudah. Selama ini, pemanfaatan lignoselulosa terhalang oleh biaya pengolahan; harga bahan baku sangat murah, tapi bagaimana mengolahnya, itu yang mahal. Pihak yang dapat menguasai teknologi pengolahan lignoselulosa yang murah, akan mendapatkan bahan baku yang murah untuk industri masa depan! Dan kemarin, presiden direktur di perusahaan tempat saya bekerja menginformasikan bahwa ada pihak di negeri jiran yang sudah menguasai teknologinya. Ya! Mendidih! Mendidih darah saya! Jika mereka bisa, mengapa kita tidak?

Sebenarnya kita bisa... semua pun bisa. Asalkan didedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran (juga, secara tersirat, biaya) untuk penelitiannya. Dan itulah permasalahan yang cukup sulit dihilangkan pada bangsa ini, menurut Profesor, yaitu kurangnya perhatian untuk riset. Mentalitas bangsa kita, bukan bangsa yang dapat tertarik dengan riset, yang dapat dianalogikan dengan investasi jangka panjang. Tambahan dari saya, menurut saya bangsa ini adalah bangsa diskrit dan seremonial, terlalu terpaku dengan hasil instan dan milestone terpencar-pencar berupa perayaan-perayaan (eventual), bukan suatu proses yang konsisten dijalankan dan konsisten pula menghasilkan buah.

Menurut Profesor, mentalitas ini diturunkan karena Indonesia terlalu banyak menerima pengaruh dari budaya Amerika (tidak, saya berani jamin Profesor bukan penganut paham konstipasi wahyudi). Contohnya? Yang paling mengena adalah konsumerisme. Bangsa Amerika sebenarnya bukan tipe yang suka riset. Mereka lebih suka memanfaatkan apa yang ada di depan mereka, daripada mencoba membuatnya. Bedanya, kekuatan sumber daya mereka lebih besar sehingga biarpun kekuatan untuk riset yang dianggarkan kecil secara persentase, namun secara kuantitatif tetap besar. Dan bangsa Amerika pun terkenal berkelakuan cuek. They don't give a shit easily. Sementara negara kita? Negara kita yang masih berkembang ini tidak bisa mengadopsi mentah-mentah mentalitas itu, secara kemampuan kita saat ini belum memadai untuk itu. Sumber daya kita harus difokuskan untuk riset, dengan serius. Poor men should spend wisely. Yah, pengaruh Amerika yang terpaksa kita terima demi mengamankan posisi regional, lengkap dengan manajemen negara yang buruk di masa Perang Dingin, ternyata harus kita bayar mahal di kemudian hari. Loh?

Ya... dibandingkan mencontoh Amerika, ternyata banyak contoh lain yang seharusnya dapat kita ambil. Mencontoh negara-negara lain ini dapat mencegah kesalahan yang dilakukan Indonesia: eksplorasi SDA mentah secara besar-besaran hingga SDA tak terbarukan habis (migas, mineral tambang) dan SDA tak terbarukan menurun kualitasnya (perkebunan turun produktivitas karena mineral tanah banyak terangkut keluar negeri di ekspor SDA mentah dan lingkungan rusak karena eksplorasi berlebihan), tidak memikirkan skema dan strategi jangka panjang untuk pertambahan nilai sumber daya (hilirisasi industri SDA), pokoknya mengesampingkan teknik kimia lah, ilmu yang sekolahnya di Bandung dibangun oleh Belanda di urutan kedua setelah teknik sipil, karena Belanda paham bahwa ahli-ahli teknik kimia akan sangat dibutuhkan di Hindia Belanda untuk pengolahan sumber daya alamnya yang mahakaya.

Padahal, menurut Profesor, di masa saat ini, negara yang dapat bertahan dan maju adalah negara yang pendapatannya stabil. Jika mengandalkan penjualan SDA tanpa nilai tambah (yang memang mendatangkan keuntungan tunai besar), namun keuntungannya tidak diputar lagi untuk mengembangkan industri lanjutnya, yang terjadi akhirnya adalah penumpukan kekayaan yang membuat pendapatan masyarakat naik, namun negaranya tidak berkembang. Hal ini akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut middle income trap, yaitu mentoknya pendapatan per kapita suatu negara di taraf menengah akibat tidak berkembangnya sektor mutakhir yang dapat menaikkan derajat negara dari berkembang menjadi maju. Contoh nyatanya dapat kita lihat di daerah-daerah kaya SDA yang penduduknya kaya namun tidak memiliki sarana untuk memutar uangnya. Akhirnya yang terjadi adalah gaya hidup konsumtif, sementara infrastruktur pun tidak terbangun dan akhirnya ketika SDA habis, daerah penghasil SDA selamanya akan tetap miskin dan tidak memiliki apa-apa karena uangnya tidak digunakan untuk mengembangkan sesuatu yang lebih sustainable.

Contoh pertama yang sebenarnya dapat kita tiru adalah golongan negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, dan Taiwan. Mereka mirip dengan Indonesia pada periode awal-awal kemerdekaan kita; baru diterjang perang yang menghabiskan tenaga dan infrastruktur, baru mau membangun negaranya. Yang negara-negara ini lakukan adalah menggenjot industri dasar yang saat itu diperlukan secara masif: tekstil, besi baja, semen, dll; yaitu industri-industri besar yang kotor dan kontrol lingkungannya kurang. Mereka kemudian terpandang sebagai negara industri yang kuat, dengan profit yang maksimal karena memang kekuatan industrinya termasuk yang unggul di dunia. Dengan profit itu, mereka berinvestasi di riset untuk mengembangkan usaha teknologi-teknologi canggih yang belum ada pemainnya di dunia, seperti elektronik, semikonduktor, teknologi informasi, dan lain-lain. Menyadari negaranya yang sempit dan penduduknya yang terbatas, mereka secepatnya menggunakan profit dari industri-industri basis tadi ke industri-industri canggih yang padat modal, serta membutuhkan hanya sedikit lahan dan tenaga ahli (secara kuantitas, namun tinggi secara kualitas). Dengan demikian sekarang mereka merajai sektor tersebut di dunia. Industri-industri dasarnya, karena masih dibutuhkan, kemudian dipindah ke negara-negara berkembang dengan harga tanah dan upah buruh murah... seperti Indonesia.

Contoh kedua adalah golongan negara-negara Skandinavia/Nordik seperti Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia. Negara-negara ini mungkin memilki handicap paling tinggi sedunia. Terletak nun jauh di utara dengan iklim dingin yang menyebabkan sulit bercocok tanam dan beraktivitas, jauh dari jalur perdagangan dunia, tentunya luas wilayah tidak seberapa dan penduduknya pun sedikit. Benar-benar kebalikan dari Indonesia yang nampak dihujani dengan segala berkat yang mungkin diturunkan langit. Namun, keadaan itu justru yang menyebabkan mereka mencari cara untuk bertahan hidup. Saat ini, dengan riset yang berkepanjangan, fokus, dan serius, negara-negara yang miskin sumber daya tersebut terkenal dengan industri-industri high-tech yang merajai dunia, bahkan khususnya bioindustri atau bioteknologi! Entah bagaimana caranya. Yang jelas, itu menunjukkan bahwa negara dengan modal alam yang inferior pun dapat memaksimalkan sumber dayanya untuk memajukan negara sepesat-pesatnya. Negara kita?

Dari kedua contoh tersebut, terlihat mirislah bahwa negara kita yang diberikan anugerah melebihi sebagian besar negara lain di bumi Tuhan ini, belum dapat mengelola anugerah tersebut dengan baik. Menurut Profesor, riset adalah kunci pembangunan negara maju, namun para pengelola negara kita belum melihat hal itu sebagai hal penting, padahal riset untuk penguasaan teknologi hilir pengolahan sumber daya alam (tanggung jawab insinyur kimia!) mutlak diperlukan untuk pembangunan ke depannya. Selamanya kita akan terus tertinggal jika pola pikir semacam ini masih terus bertahan pada para pembuat kebijakan nasional. Saat ini, kebijakan nasional tentang riset, menurut Profesor, masih tidak terarah. Pihak-pihak yang berkepentingan yaitu akademisi, bisnis dan pemerintahan (poros ABG) di Indonesia tidak terarah dalam suatu gerakan sinergis, namun saling sibuk dengan kepentingan sendiri, terkadang destruktif dan melambatkan laju gerak pembangunan. Dan Profesor pun mengkonfirmasi masalah klasik yang sebelumnya hanya saya pikirkan secara sepintas-sepintas saja: sebenarnya sulit menghubungkan antara dunia industri dan akademisi, yang pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang berbeda.

Bagi kaum akademisi, menemukan hal-hal baru, mempelajari hal-hal baru dan rumit sangatlah mengasyikkan. Membuktikan suatu teori juga mengasyikkan. Belasan bahkan puluhan tahun menekuni suatu bidang ilmu secara terfokus dengan susah payah, ilmu tersebut pun menjadi meresap ke dalam darah dan daging. Penelitian itu tidak mudah dan tidak bisa dilakukan sembarangan; harus paham benar tentang apa yang ditelitinya. Oleh karena itu, kaum akademisi seringkali tersinggung jika mendapatkan permintaan dari industri untuk "cepat-cepat membikin X agar bisa diproduksi", apalagi dengan bahasa yang ngasal dan tidak exactly scientific. Bagi orang yang telah puluhan tahun menggeluti suatu ilmu secara spesifik, tentunya jika ada orang lain yang tiba-tiba datang menyuruh-nyuruh dengan mudahnya seakan-akan hal yang disuruhkan itu sederhana dan gampang tanpa tahu sebenarnya seberapa sulit hal itu untuk dilakukan; orang-orang yang tidak mendalami bidang itu tapi asal ngomong saja, dikiranya membuat teknologi itu semudah membalikkan telapak tangan? Apa mereka nggak tahu bagaimana sulitnya mempelajari ilmu-ilmu ini, memangnya sembarangan orang bisa membuatnya?

Sebaliknya bagi para pegiat industri yang bergulat dengan keadaan sehari-hari di lapangan, atau seperti mereka suka menyebutnya (tak jarang dengan nada menyindir bagi para akademisi) "dunia nyata"; terlihat benar dinamika dunia yang terus bergerak tanpa henti. Bisnis harus terus berjalan, uang harus terus berputar. Sedikit investasi untuk inovasi yang tak (tentu) terbayar, bisa berarti puluhan miliar uang terbuang, yang sebenarnya dapat digunakan untuk keperluan lain yang dapat mendatangkan puluhan miliar lagi... ini uang nyata, yang dapat menghidupi puluhan ribu orang per tahunnya. Itulah sebabnya para praktisi industri atau pebisnis yang ingin menerapkan inovasi teknologi seringkali skeptis dengan perkataan bahwa teknologi ini "bisa" atau "mungkin". "Bisa" atau "mungkin" itu tidak akan berdampak "nyata"! Industri butuh teknologi yang siap diterapkan langsung, yang memberi dampak, dalam waktu cepat, karena uang berputar, dunia bergerak terus. Teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. Jika teknologi terbukti tidak menguntungkan, mengapa harus diterapkan?

Sikap saling curiga ini, menurut pengamatan saya pribadi, tertanam pada masing-masing pihak khususnya di Indonesia, secara sadar maupun tidak. Di luar negeri, menurut Profesor, hubungan antara akademisi dan industri/bisnis difasilitasi oleh pemerintah, atau sudah tercakup dalam sistem yang telah terbentuk. Di Indonesia, tidak disediakan sarana pertemuan atau penghubung antara para akademisi atau peneliti yang pada dasarnya memang tidak berminat mengemas atau memasarkan teknologinya sehingga terlihat aplikatif dan menarik, dengan para praktisi industri atau pebisnis yang pada dasarnya tidak paham teknologi secara mendalam dan memilih menjalani bisnisnya dengan aman saja. Pemerintah, yang harusnya dapat menjembatani keduanya lewat kebijakan-kebijakan, saat ini hanya menjadi sarang penyamun dengan semangat "maju tak gentar, membela yang mbayar" di atas kepentingan memajukan negara. Instansi-instansi dan departemen-departemen yang seharusnya ditugaskan menangani penjembatanan praktisi dan akademisi, hanya sekadar menjadi lokalisasi preman untuk penarikan upeti dari kedua pihak tersebut. Miris!

Jadi secara singkatnya keadaan di republik ini, sistem belum terbentuk, ketidakpercayaan antar lini masih tinggi, dan mediatornya yaitu pemerintah pun tidak berfungsi dengan baik. Gawatlah.

Secara alami timbul pertanyaan, lantas dengan pemerintah seperti itu, apakah ada cara lain untuk mengkolaborasikan dunia praktek dan teori? Saya melontarkan usul apakah tidak sebaiknya industri di Indonesia mulai mengembangkan divisi R&D sendiri yang kuat, atau kampus-kampus dan lembaga-lembaga penelitian diperlengkapi dengan tim perencanaan untuk 'memasarkan' produk-produk teknologi yang dikembangkan agar aplikatif? Alternatif pertama terhalang kondisi ekonomi seperti yang dijelaskan di awal diskusi tadi; solusinya memang harus intervensi pemerintah, antara lain dengan mendanai riset dan 'memaksa' penerapannya oleh perusahaan-perusahaan khususnya BUMN, karena pemerintah-lah yang memiliki anggaran paling besar di Indonesia. Alternatif kedua terhalang oleh... well, menurut Profesor, iklim universitas.

Jadi, menurut Profesor, tren universitas-universitas saat ini di dunia (bukan hanya di Indonesia) adalah kompetisi untuk mendapatkan predikat "world class" atau untuk memudahkan biasa saya singkat WC. Biasanya yang dilihat adalah jumlah jurnal atau penelitian yang dihasilkan. Semakin rumit dan baru dan semakin sering dijadikan referensi, semakin baik "impact factor"-nya. Dan, judul-judul sederhana yang sebenarnya aplikatif dan dapat menyelesaikan masalah di industri, seringkali dianggap kurang menarik untuk dikembangkan sebagai judul penelitian. Wah... entah ya untuk universitas lain, tapi demi kepentingan bangsa sendiri dulu (egois memang), menurut saya, apalah gunanya ITB jadi universitas WC, tapi tidak sanggup menyejahterakan rakyat Indonesia yang sudah banyak dihutanginya.

Topik tentang "WC University" itu menjadi penutup diskusi selama 1,5 jam dengan Profesor. Setelah itu, beliau harus buru-buru menghadiri rapat (yang membuat saya makin merasa berterimakasih beliau telah mau meluangkan waktunya hanya untuk diskusi dengan saya). Meskipun singkat, namun mencengangkan sekaligus mencerahkan. Intinya sebenarnya sama dengan kebanyakan diskusi yang telah dijalankan: potensi bangsa kita segudang, SDA maupun SDM, tinggal bagaimana kita giat-giat bersinergi untuk mengolahnya. Semangat!

Memang, ada salah satu pertanyaan saya yaitu "bagaimana saya dapat memulai mengembangkan industri bioproses di Indonesia" belum sempat terjawab secara eksplisit. Namun sudah cukup bagi saya untuk menjawab sendiri pertanyaan itu: saya akan menjalani karir dengan berorientasi pada pengembangan ilmu dan skill untuk menjadi integrator antara elemen-elemen ABG; mempersatukan dan menjembatani pihak akademisi, bisnis, dan pemerintah untuk bersinergi. Caranya? Perusahaan tempat saya bekerja sekarang ini nampak telah menjadi pilihan yang tepat, sebagai refleksi dari jalan kehidupan saya yang nampak tak pernah salah pilih. Terimakasih Tuhan atas bimbinganMu.

Ya, kira-kira beginilah cita-citanya.
Bagi yang masih mahasiswa khususnya di Teknik Kimia ITB, jangan lupa bahwa dosen-dosen kalian adalah orang-orang terbaik pada bidangnya masing-masing di Indonesia. Banyak lembaga dan perusahaan yang berani bayar mahal untuk menggunakan jasa mereka, bahkan hanya untuk sekedar datang dan memberi ceramah. Bersyukurlah bahwa kalian tidak dikenakan biaya tambahan selain uang kuliah (yang besarnya silakan dibandingkan dengan bayaran dosen-dosen kalian jika beraktivitas di luar kampus) untuk mendengarkan mereka membawakan ilmu-ilmu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Galilah sebanyak-banyaknya sebelum kalian lulus dan menjadi seperti saya yang harus buang uang 200 ribu rupiah untuk ongkos bolak-balik, hanya untuk mendengar selama 1,5 jam jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa saya tanyakan sewaktu masa kuliah dulu secara cuma-cuma. Bagi rekan-rekan sesama lulusan Teknik Kimia ITB maupun kawan-kawan se-Indonesia yang sama-sama menyandang gelar sarjana, tetap semangat di bidangnya masing-masing, sungguh saya menanti saat di mana kita bisa berkolaborasi bersama-sama demi negeri kita tercinta ini.

Dengan mengidentifikasi kembali masalah dan memperjelasnya, belajar pun menjadi lebih semangat dan terarah. Kebetulan pula, datang undangan untuk konferensi regional bioteknologi dengan tema "Biotechnoloy for Biorefinery" di Bandung 3 minggu kemudian, di mana sang Profesor menjadi salah satu pembicara, dan di mana saya ditugaskan mewakili perusahaan untuk menghadirinya.... Catatan tentang konferensi tersebut dapat ditunggu kehadirannya dalam Part 2 dari Biorefinery Series ini.



Jabodetabek, awal Februari 2013
selamat bagi rekan-rekan yang telah bersedia membaca
catatan sepanjang belasan halaman MS Word
yang baru sempat ditulis sebulan setelah kejadian


PS: terima kasih ditujukan kepada Joseph Christian Utomo dan Eliezer Justinus Kurnia atas sumbangan kertas untuk menulis catatan diskusi.