Jumat, 10 Februari 2012

Mobil Tanpa Bahan Bakar

Seperti cerita humor fiksi ngawur atau satir pada umumnya, cerita ini tidak dimaksudkan untuk masuk akal, cuma buat sekadar ngelawak, ngegaring, atau nyepet. Kemiripan nama dan peristiwa dengan hal-hal lain yang benar-benar ada, silakan Anda asumsikan hanyalah kebetulan.

===========================================

Suatu hari, si Jero anak ITB membaca di sebuah web (ya di web lah, anak jaman sekarang yang baca koran siapa sih, kuno) bahwa ada sekumpulan pemuda Karang Taruna di pinggiran Jakarta yang menemukan mobil tanpa bahan bakar. Pertama membacanya, pikiran Jero beradu antara bangga, malu, dan tidak percaya. Karena penasaran, Jero kemudian memutuskan untuk melihat sendiri seperti apa wujud mobilnya.


Si Jero

Ternyata tempat penyimpanan mobil tersebut sudah ramai sekali oleh orang yang menonton. Jero duduk sebentar di pinggir jalan, di luar kerumunan orang-orang, dan di situ dia berkenalan dengan seorang bapak-bapak yang ternyata adalah carik (sekretaris) kelurahan sebelah. Setelah basa-basi sebentar dan Jero memperkenalkan diri seperlunya sebagai mahasiswa ITB, mulailah mereka mengobrol seru, tentang mobil yang jadi bahan perhatian itu. Pak Carik sibuk dengan serunya memuji-muji mobil karya anak Karang Taruna tersebut, terkadang dengan antusiasme sangat tinggi. Hingga tibalah mereka ke suatu kalimat yang menyentil keras saraf Jero.

"... ini luar biasa ya Dik. Adik yakin kampus ITB belum pernah kepikiran bikin yang beginian?"

Jero hanya bisa terdiam dan menjawab sekadarnya. "Mungkin sudah Pak, kita bergerak sedikit ke arah riset kendaraan alternatif dan bahan bakar alternatif, cuma baru kali ini saya dengar ada mobil tanpa bahan bakar."

"Wah, kalau begitu hebat ya anak-anak ini!" sahut Pak Carik antusias. "ITB aja kalah, nggak kepikiran sampe sini."

Jero merasa diserang dan sebagaimana anak ITB yang se-pasaran-nya, ia dengan refleks menjawab secara halus "Saya penasaran ya, soalnya sepengalaman saya sebagai mahasiswa sih, nggak bisa tuh Pak kalo mesin mobil nyala nggak pake bahan bakar. Soalnya kan energi yang diperlukan itu harus datang dari pembakaran..."

"Teorinya mungkin begitu Dik." sahut Pak Carik dengan cepat. "Cuma bangsa Indonesia ini udah nggak terlalu butuh teori Dik. Kita butuh bukti bukan janji, kita udah capek makan janji politikus! Hebatnya anak-anak ini buktinya nggak banyak ngomong kayak pejabat, kerja kerja kerja, langsung jadi!"

'Cuma bisa berteori' adalah salah satu hinaan potensial yang sensitif bagi anak ITB se-pasaran Jero. Dia langsung menyahut "Begini Pak, bukannya saya skeptis, tapi emang sudah umum diketahui di dunia engineering bahwa kendaraan itu butuh sumber energi, dan sumber energi itu datang dari bahan bakar yang..."

"Saya sih nggak terlalu ngerti yang begituan Dik. Saya tahunya ini bikinan lokal, bisa jalan, bagus! Kemarin saya baca, ini mobil canggih! Dibuat dari bahan-bahan yang tidak mahal, kecepatan sampai bisa 800 km/jam..."

Jero langsung memotong "Secara teknik itu nggak mungkin Pak! Nggak ada di dunia ini mobil yang kecepatannya lebih dari 600 km/jam! Tanpa pengamanan yang cukup, ini penumpang bisa..."

"Lah malah justru hebat toh, kita bisa membuat yang lain belum bisa buat? Adik ini seharusnya bangga atas penemuan mereka, bukannya malah sakit hati gara-gara ITB justru keduluan mbikinnya daripada mereka, dan menyalah-nyalahkan hal-hal sampingan seperti itu. Mereka anak Karang Taruna loh Dik, nggak sekolah tinggi, penemuan macam inipun sudah hebat toh!"

"@*#^&;$^%!?"

"Pokoknya ini penemuan hebat, jadi bukti kalau bangsa Indonesia nggak kalah sama asing. Saya bangga jadi orang Indonesia!"

Jero mengangguk, setengah terpaksa karena malas berdebat lebih jauh, dan setengah segan menanggapi Pak Carik yang begitu bersemangat.

Kerumunan penonton perlahan-lahan mulai berkurang, sehingga Jero dan Pak Carik mendapat kesempatan untuk melihat mobil yang dibicarakan itu dari dekat. Ketika melihatnya, Jero melotot. Dia melihat wajah Pak Carik... masih bersemangat, dan kemudian Jero dengan hati-hati bertanya.

"Pak, barang seperti ini mana boleh turun ke jalan raya?"

"Ah, Adik ini asal main klaim saja. Nggak baik itu, memandang rendah sama penemuan karya anak bangsa sendiri!"

"Bukan begitu maksudnya Pak..." ucap Jero dengan agak sabar. "Maksud saya, coba lihat ini-ini... Mobil biasanya roda empat Pak. Lah ini, rodanya...?"

"Ah, Adik ini terlalu banyak memikirkan hal yang begitu-begitu. Jadi tukang insinyur harus kreatif Dik. Siapa bilang mobil rodanya harus selalu empat? Yang penting ini penemuan baru Dik, penemuan baru! Karya anak bangsa!"

"Tapi ini bukan barang baru, Pak! Sudah banyak yang memakai!"

"Tapi kan tidak ada yang mempublikasikan sampai seperti ini? Paling tidak nyali mereka perlu kita acungi jempol, mental perintis!"

"...???? Tapi lihat Pak, ini bahkan tidak mempunyai kaca spion. Setirnya juga nggak ada. Kursi penumpangnya juga mana? ..."

"Nah, sekarang ini Adik mulai mencari-cari kesalahan di hal-hal yang kurang penting. Kalau harus nunggu ada semua itu, rumit Dik! Penelitian seperti ini sayang jika harus digagalkan oleh prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit!"

"PAAAK, ini bahkan BUKAN MOBIL PAK! Ini GEROBAK RODA DUA lho, Pak! Yang biasa dipake ngangkut sampah, ban bekas, barang loakan! Jelas murah Pak, bahannya dari kayu dan triplek bekas! Nggak ada mesin, apalagi spion, setir, dan jok! Jalan aja nggak bakal Pak kalo nggak ada yang narik, apalagi di jalan raya, boro-boro 800 km/jam! Kalo 800 m/jam sih masih mungkin Pak, asal yang narik kuat aja!"

"Ah, Adik ini hanya iri! Ini karya anak bangsa, hargailah! Lebih baik daripada tidak ada sama sekali!"

Jero, antara geli, bingung, dan kesal, tidak tahu harus menanggapi seperti apa lagi, dia hanya menambahkan "Saya mau menghargai karya orang lain, tapi tidak dengan misinformasi yang dilebih-lebihkan!" dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Di perjalanan pulang, Jero melihat seorang anak kecil, sekitar umur 5-6 tahun lah, sedang duduk di dekat tumpukan sampah (yang nggak jelas apakah itu tong sampah, bak sampah, atau memang sudut jalan yang sudah diketahui bersama sebagai tempat sampah), sedang mengunyah sesuatu yang sepintas terlihat seperti pizza, tapi yang jelas sepertinya baru diambil dari tumpukan sampah di sebelahnya. Dia berteriak "Bapak! Bapak! Rotinya enak banget Pak!"

Seorang pemulung mendekati anak tersebut dan berkata "Udin, sudah Bapak bilang, jangan sering-sering mungutin makanan dari tempat sampah! Nanti kapan-kapan Bapak belikan makanan enak."

"Ah, Bapak bohong!" ucap si Udin ringan. "Bapak mah nggak pernah beliin Udin makanan enak. Mending nyari di sampahan Pak, ini enak lho!"

Bapaknya hanya tersenyum hambar. Tidak berkata apa-apa lagi. Tidak mengambil roti bekas itu dari tangan anaknya. Hanya melanjutkan kerjanya memulung sampah.

Jero tersentak.

Enam tahun sudah dia di kampus. Belum lulus-lulus. Udah ngapain aja dia?

Jadi "aktivis", ikut kepanitiaan jadi kroco-kroco, sekali dua kali jadi ketua, buat nambah panjang CV?

Ngorok di kelas, belajar H-1 sebelum ujian, dan dapet nilai bagus karena emang dasar otaknya jenius, tapi setelah ujian lupa semuanya?

Nunda lulus, mejeng terus di kampus, ngincer mahasiswi-mahasiswi baru buat digebet?

Ngerjain TA, yang sebenernya proyek dosennya yang bakal dipake buat bantu sebuah perusahaan asing?

Dia, kawan-kawannya, dan dosen-dosennya... yang harusnya ambil bagian memasok teknologi-teknologi canggih yang rakyat idam-idamkan untuk dipunyai sendiri oleh Indonesia, yang mereka impikan sampai mabuk dan berbusa. Ngapain aja mereka?

Rakyat Indonesia pantas mendapatkan yang lebih dari ini, keluh Jero sambil menatap kolong jembatan di pinggir kali yang kotor, di mana di jalan layang di atasnya melintas mobil-mobil berharga miliaran, dikendarai dan ditumpangi oleh om-tante dan pemuda-pemudi keren berpakaian mahal, berpendidikan tinggi, dan ber-gadget canggih... yang semuanya buatan luar negeri.



Sudirman, Jakarta
10 Februari 2012
diketik pada waktu istirahat siang dan seterusnya
dilatarbelakangi menara-menara etalase ibukota
dan lagu-lagu Iwan Fals




.

Tidak ada komentar: