Senin, 27 April 2009

Seorang Nabi Tidak Pernah Dihargai di Negerinya Sendiri

Ini adalah cerita tentang seorang Yesus Kristus, yang ditolak di tempat kelahirannya. Menurut Injil Markus pasal 6 ayat 1-6a...

1 Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia.
2 Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: "Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?
3 Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?" Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.
4 Maka Yesus berkata kepada mereka: "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya."
5 Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka.
6a Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.


Dari kutipan Alkitab di atas, kita dapat melihat bahwa Yesus sendiri mengalami dan membenarkan bahwa seorang nabi tidak dihargai di tempat asalnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal bukannya seseorang seharusnya dapat lebih mudah mengharapkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, orang-orang yang dia sudah kenal? Dan seorang nabi, seorang penghubung antara Allah dan manusia, tentunya akan lebih didengar dengan audiens yang dia sudah kenal terlebih dahulu?

Ternyata salah besar.

Penyebab utamanya justru karena hal yang telah diuraikan di atas. Seorang nabi tentunya telah sangat dikenal di tempat asalnya sendiri. Orang sudah tahu bagaimana latar belakangnya, bagaimana kelakuannya, bagaimana baik buruknya, sehingga orang di tempat asalnya cenderung menganggap rendah sang nabi tersebut. Contohnya seperti di atas pada kasus Yesus, di mana Yesus mengajar dan menarik pengikut-pengikut sampai ribuan jumlahnya di seluruh Israel. Untuk sebagian besar rakyat Israel, mungkin Yesus tampak seperti seorang bijak dan penuh kuasa Ilahi. Namun bagi orang-orang Nazaret, Yesus yang mereka kenal adalah seorang Yesus yang mereka kenal sejak Dia masih kecil, yang hanya anak seorang tukang kayu miskin bernama Yusuf, dan yang saudara-saudaranya pun mereka kenal. Injil Yohanes pasal 6 ayat 41-42 mencatat bahwa:

41 Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: "Akulah roti yang telah turun dari sorga."
42 Kata mereka: "Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapa-Nya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?"


Kasarnya, ketika Yesus berbicara selangit tentang Kerajaan Sorga, respons orang-orang adalah: "Lu pikir lu siapa? Nggak usah ngomong tinggi-tinggi lah, kita-kita juga tau lu benernya cuma anak tukang kayu, ngapain nyebut-nyebut Kerajaan Sorga segala!"

Menyedihkan? Jelas. Sakit? Jelas.

Dampaknya negatif? Jelas. Tahu dari mana?

Sebuah ayat dari kutipan di atas (Markus 6:5) memperlihatkan betapa Yesus, manusia yang paling penuh kuasa Ilahi di muka bumi ini, bahkan 'tidak mampu' mengadakan satu pun mujizat di Nazaret, tanah kelahirannya, kecuali beberapa pekerjaan kecil-kecilan. Seorang Yesus yang kemampuannya berguna untuk membuat mujizat, tidak dapat menggunakan kemampuannya untuk menghasilkan dampak yang baik.

Siapa yang rugi? Yesus? Selain sakit hati dan kecewa, nampaknya tidak ada kerugian lain yang dialami Yesus.

Penduduk Nazaret? Jelas. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengalami mujizat yang dibawa oleh Yesus. Jelas sebuah kerugian.

Ataukah mereka sebenarnya tidak membutuhkan mujizat tersebut? Apakah mereka merasa bahwa hidup sehari-hari mereka sudah cukup bisa diusahakan tanpa perlu adanya mujizat yang dibawa Yesus?

Apa memang sudah takdir seorang nabi? Versi lain dari kisah di atas dapat dilihat pada Injil Lukas 4:16-30. Yang menarik, Yesus di sini memaparkan:

24 Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.
25 Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.
26 Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.
27 Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu."


Apakah memang untuk orang-orang yang mengenalnya, seorang nabi tak lebih dari manusia biasa sehingga dianggap tidak cocok untuk menjadi penghubung Allah dan manusia?

Saya kembalikan kepada diri kita masing-masing untuk menjawabnya.

Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater - merdeka!



.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ckckck...
wew..
yg sabar dri..
kmarin gw ud ngobrol2 sama bebet..
kurang lbi kan kmrn lo ud curhat sama dia.. wkwk..
kurang lebih si sperti itu..
kykna gw gbs berkomentar lbi bnyk lg..

Alfonso Rodriguez mengatakan...

being a messenger is really hard... *sigh*, right?