Minggu, 05 April 2009

Perang Dingin: Amerika Serikat vs Uni Soviet

Setelah lama nggak ngepost sebuah tulisan orisinil dari pemikiran gw, akhirnya gw persembahkan sebuah tulisan mengenai 'sejarah' dunia. Tentang dua negara superpower, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang selama 40 tahun lebih bertempur memperebutkan supremasi atas planet ini. Dan tentang negara kita tercinta, Indonesia. Tentang dunia ini.


Mari kita mulai.

Pada awalnya Amerika Serikat dan Uni Soviet bukanlah negara superpower. Mereka hanyalah negara biasa yang baru berkembang sedari terbentuk. Amerika Serikat memerdekakan diri dari jajahan Inggris dan kemudian berkembang sebagai sebuah negara yang mengandalkan industri, bisnis, dan ekonomi; namun menerapkan politik isolasi alias menutup diri dari luar. Sementara Uni Soviet dikuasai kaum komunis Bolshevik yang baru merebut pemerintahan dari keluarga Tsar Rusia, dan kaum Bolshevik yang belum pernah berkuasa itu lantas terfokus untuk menikmati kekuasaan yang sekarang mereka raih setelah sebelumnya tak berdaya di bawah pemerintahan Tsar.

Begitulah kedua negara ini tak pernah benar-benar berinteraksi satu sama lain, apalagi punya pikiran saling membenci, sampai ketika zaman modern datang.

Kedua negara ini bersama-sama memasuki zaman modern menghadapi musuh baru, musuh seluruh dunia: Nazi Jerman dan kelompok Axisnya. Adanya musuh bersama ini membuat keduanya 'terpaksa' bersatu, atau bisa-bisa keduanya tidak dapat melewati zaman modern ini (dengan kata lain hancur total oleh Nazi Jerman). Memang keduanya bertempur di front yang berbeda (Amerika di front barat dan Pasifik, Soviet di front timur) dan punya motivasi yang bebeda pula, namun musuh yang satu ini tidak dapat dikalahkan sendirian. Amerika Serikat dan Uni Soviet, bersama seluruh negara dunia, bahu-membahu mengalahkan Nazi Jerman dan antek-anteknya, dan akhirnya pada musim panas 1945 setelah hampir 5 tahun berperang bersama, tentara Amerika Serikat dan Uni Soviet memenangkan perang.

Sekarang kita beralih ke negara kita tercinta, Indonesia. Di manakah dia saat Amerika Serikat dan Uni Soviet bertempur melawan Nazi Jerman dan antek-anteknya?

Ternyata Indonesia pun tak beda dari negara-negara lain di dunia: ia menderita di bawah antek-antek Nazi Jerman, dan ikut pula angkat senjata menentangnya. Mungkin motifnya tidak se'wah' dan se'visioner' Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menganggap perang ini sebagai Perang Dunia II, dan dengan demikian setiap tindakan mereka dalam perang ini ditujukan berdasarkan visi untuk posisi mereka ke depannya di peta politik dunia setelah perang usai.

Tidak. Motivasi Indonesia dalam perang ini hanyalah sebatas merdeka, seperti wajarnya sebuah negara, yang harusnya merdeka. Hanya itu. Sama seperti negara-negara lain di seluruh dunia yang juga ingin merdeka: Austria, Ceko, Ukraina, Serbia, Albania, Filipina, India, Mesir, Irak...

Singkat cerita, perang pun usai; Nazi Jerman kalah, Indonesia merdeka, dan runtuhlah persekutuan yang dibangun Amerika Serikat dan Uni Soviet. Memang mereka memiliki kesamaan: negara dengan latar belakang kebudayaan Barat-Kristen, ras Kaukasoid, secara ekonomi termasuk negara industri maju, secara ilmu pengetahuan merupakan gudangnya ilmuwan di dunia... tapi karena ideologi yang berbeda, mereka tidak dapat disatukan dan tanpa terelakkan lagi terjadilah perseteruan. Dan dimulailah masa-masa yang dinamakan Perang Dingin.

Sekarang mari kita tinjau arti frase Perang Dingin. Perang, artinya kedua belah pihak bermusuhan. Dingin, karena tidak menyatakannya secara terus terang. Kalau dikonfirmasi, apakah kalian sedang perang? Tentu pihak-pihak terkait akan menjawab: tidak.

Masa Perang Dingin adalah masa mencari aliansi. Kedua belah pihak mulai mencari negara-negara lain untuk dijadikan sekutu atau bawahan. Mulailah Amerika Serikat dengan NATOnya, pakta pertahanan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Uni Soviet pun membentuk Pakta Warsawa dengan anggotanya negara-negara Eropa Timur.

Pada mulanya, Amerika Serikat berhasil membentuk jaringan luas. Sekutu-sekutunya ada mulai dari seluruh Eropa Barat, Kanada, negara-negara Amerika Latin, Afrika, Israel di Timur Tengah, Jepang di Asia, Australia, dan lain-lain. Sementara Uni Soviet hanya bisa menjaring negara-negara tetangga yang dekat dengan dia di Eropa Timur. Pengecualian untuk beberapa negara macam Kuba di Karibia dan Kongo di Afrika, tapi itu pun baru menjadi sekutu setelah Perang Dingin lama berlangsung.

Amerika Serikat pun lebih menarik bagi negara-negara netral karena sifatnya yang lebih liberal, bebas, dan terbuka. Sementara Uni Soviet lebih eksklusif dengan paham komunismenya, dan lebih subjektif.

Sementara Indonesia dengan gagah beraninya memproklamirkan lewat kata-kata Bung Hatta: mendayung di antara dua karang. Diterjemahkan oleh Bang Alex dengan POLITIK BEBAS AKTIF. Bebas bergaul dengan Blok Barat (Amerika Serikat cs) dan Blok Timur (Uni Soviet cs); namun aktif dalam artian tidak disetir oleh keduanya dalam mengambil keputusan, malahan seharusnya mengambil inisiatif dalam memperjuangkan kepentingannya agar nggak diinjak-injak kedua kubu.

Namun dalam kenyataannya, rakyat Indonesia lebih enak bergaul dengan Blok Barat karena bebas dan secara budaya lebih terbuka, jadi enak diajak bergaul. Apalagi paham komunisme Blok Timur tergolong aneh bagi rakyat Indonesia yang Pancasilais. Demikianlah Indonesia berusaha untuk bebas aktif, namun kesehariannya lebih banyak berinteraksi dengan Barat. Contoh nyatanya: ekspor-impor sebagian besar dengan Blok Barat, menerapkan sistem ekonomi pasar seperti Blok Barat, rakyatnya lebih gemar budaya populer Blok Barat, dan militernya pun disuplai Blok Barat. Jadilah Indonesia negara yang ngomongnya saja nonblok, tapi pada kenyataannya menjadi anggota tak resmi Blok Barat.

Waktu pun berlalu...

Uni Soviet dan Blok Timurnya tak dapat bertahan lama menghadapi perkembangan zaman. Mereka pun akhirnya sadar bahwa paham komunisme tidak bisa lagi mereka pegang lebih lama, dan mulai mengadopsi cara-cara Blok Barat: membuka diri terhadap dunia luar dan mengikuti sistemnya Blok Barat: liberalisme en kapitalisme en tentunya budaya populer.

Nah, yang terjadi pada Amerika Serikat justru sebaliknya. Makin lama dia makin arogan dan kelihatan tidak memikirkan kepentingan dunia, tapi malah mengutamakan kepentingan diri sendiri. Pamer bala tentara dan sekutu di mana-mana, bertindak seolah-olah merekalah balatentara penguasa dunia, membuat negara-negara netral menjadi malas mendukung Amerika Serikat. Apalagi perilakunya yang tidak bersahabat membuat musuh-musuh bermunculan di mana-mana. Negara-negara Islam mengecam invasi Irak dan Afghanistan. Di Amerika Latin, Venezuela dipimpin Hugo Chavez menantang dan mempertanyakan arogansi Amerika. Iran dan Mahmoud Ahmadinejad menjadi contoh bagus sebuah negara yang berani berdiri sendiri tanpa tergantung Amerika Serikat. India, sekutu dekat Amerika, mulai menunjukkan perkembangan pesat ke arah kemandirian. RRC bahkan berkembang menjadi superpower baru yang siap menantang.

Amerika Serikat bahkan melakukan salah satu hal yang membuat Uni Soviet tidak disukai dulu: pembatasan hak berkomunikasi, dan eksklusivitas. PATRIOT ACT yang mengekang kebebasan sipil diterapkan di Amerika. Eksklusivitas Amerika ditegaskan lagi oleh statement George W. Bush yang tidak menghargai keberagaman dan perbedaan: "Either you're with us, or against us". Intinya, sekarang Amerika Serikat dan sekutu-sekutunyalah yang jadi eksklusif dan arogan!

Melihat hal ini, sekutu-sekutu lama Amerika Serikat mulai menjauhkan diri. Mereka mulai bisa berkomunikasi dengan Rusia, suksesor Uni Soviet, yang sekarang mulai terbuka dan tidak lagi membatasi pergaulan dengan sesama penganut komunisme. Perancis dan Jerman, anggota NATO, beraliansi dengan Rusia menentang Amerika dalam kasus invasi Irak. Hugo Chavez dan Rusia mulai bekerjasama. Ahmadinejad bahkan memperoleh bantuan Rusia untuk pengembangan teknologi nuklirnya; sesuatu yang pasti bikin gerah Amerika. Venezuela dan Iran jelas meminta bantuan Rusia karena Amerika Serikat sekarang sudah lagi tak nyaman diajak bergaul. Hanya negara-negara miskinlah yang tidak berani angkat suara karena masih mengharap bantuan ekonomi Amerika Serikat.

Salah satu keunggulan Amerika Serikat adalah pada kebebasan persnya, yang membuatnya menjadi media propaganda yang tangguh. Selama bertahun-tahun tersebar informasi ke seluruh dunia bahwa Blok Timur adalah tempatnya diktator-diktator komunis yang kejam, di mana kebebasan dibelenggu, bla bla bla semua yang jelek-jelek. Apakah itu benar? Entahlah. Yang pasti Uni Soviet nggak pernah melempar balik tentang kejelekan Blok Barat kepada dunia netral. Namun sejak Rusia mulai membuka diri dan arogansi Amerika naik, propaganda ini mulai kehilangan artinya sebab orang sudah mulai tidak percaya dan berani mempertanyakan Amerika yang arogan.

Indonesia? 'Anggota tak resmi' Blok Barat ini mendapatkan embargo senjata dari Blok Barat karena kasus Timor Timur. Tak tahan dengan sikap Blok Barat yang sok kepo, preman, dan seakan menggerecoki urusan internal negeri orang, negara kita tercinta pun beralih pada Rusia, yang sekarang sudah tidak lagi disebut sebagai Blok Timur. Tak hanya itu, Indonesia pun bergaul dengan negara-negara mantan Blok Timur lainnya, ataupun negara-negara netral. Cina adalah salah satu negara dengan siapa kita paling sering berinteraksi sekarang. Volume ekspor-impor kita dengan Jepang masih tinggi. Dengan sekutu-sekutu Amerika ataupun Amerika Serikat sendiri, kita masih sering bergaul untuk urusan-urusan yang kita rasa perlu.

Negara kita benar-benar menerapkan politik bebas aktif; bergaul dengan siapa saja tergantung kepentingannya, dan diam-diam menyimpan visi untuk menjadi pemain besar dunia. Terlepas dari kekurangan-kekurangan internal seperti masih buruknya mental rakyatnya, Indonesia sedang membangun dan bersiap untuk masa depan.

Ada statement: jadi setelah sekarang Indonesia memusuhi Blok Barat, kita menjadi anggota Blok Timur di bawah Rusia?

Ini sebuah statement yang 100% salah total. Pertama, Indonesia tidak pernah memusuhi negara-negara Blok Barat, bahkan masih berinteraksi dengan baik; bisa dilihat dalam budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Kedua, Blok Timur sudah tidak ada lagi; dikotomi Blok Barat-Timur hanyalah sisa masa lalu sekarang. Ketiga, Indonesia bukan anak buah Rusia, karena yang ada sekarang bukanlah Blok Amerika vs Blok Rusia, tapi Blok Amerika vs sisa dunia: negara-negara lain yang tak mau lagi terjebak blok-blokan. Sisa dunia ini berinteraksi satu sama lain layaknya negara sederajat, bukan atas dasar aliansi atau dasar bos-anakbuah.

Itulah keadaannya sekarang...

Ke depannya, Indonesia akan berusaha untuk tidak tergantung kepada negara apapun. Indonesia akan berinteraksi dengan negara manapun tanpa syarat. Tidak ada lagi "boleh beli senjata asal jauhi negara X". No way saudara, basi. Globalisasi sudah menyebar sekarang. Udah nggak jaman main blok-blokan. Tidak ada lagi "dapat pinjaman lunak asal Presidennya si XYZ". Cuih. Presidennya siapa, itu urusan dalam negeri. Lagian, siapa butuh pinjaman klo udah mapan?

Indonesia akan berusaha untuk jadi negara superpower juga, tanpa kekerasan, betul-betul bermodalkan kemampuan. Indonesia tidak akan punya anak buah; semua negara akan diperlakukan setara. Indonesia tidak akan punya musuh; Indonesia akan berinteraksi dengan semua negara sesuai kepentingan. Indonesia akan punya banyak sekutu, yang tidak eksklusif, yang bergerak untuk kepentingan dunia dan bukan untuk kepentingan golongan.

Ada amin saudara? Amin!

Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater - merdeka!


.

Tidak ada komentar: