Rabu, 17 September 2008

Kepalsuan: Renungan Agama

Ini adalah tugas yang gw bikin dalam rangka mengkritik ujian akhir mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik di SMA gw, yaitu sebuah kunjungan ke panti asuhan.

Kunjungan yang gw nilai hanya sebuah pemenuhan tugas dan hanya menempatkan anak-anak panti asuhan sebagai objek dan bukan subjek; hanya sebagai alat untuk mencari nilai Agama.

Artikel ini udah pernah gw post di blog gw di Friendster, jadi yang ada di bawah ini adalah kutipan dari intro yang gw tulis buat blog tersebut.


Kepalsuan: Sebuah Permenungan dari Jiwa yang Kesepian

 Kemaren gw iseng2 bongkar file2 d komputer gw ttg tugas2 waktu SMA dulu (kangen nih...) & gw nemu sebuah renungan yang bagus banget, yang gw bikin waktu UAS Agama dulu.

11 halaman dan gw cuma dapet 7,0 lebih dikit lah... soalnya kyknya gw ngeritik guru & sistem pendidikan agama di sekolah.

Bandingin ama temen2 gw yg bikin laporan cuma 3-4 halaman ga jelas & pake bahasa garing pula (sori ya temen2...) yg dapet 7,5 minimal lah.

Tapi yg pasti gw bikin renungan ini jujur & menceritakan mental diri gw apa adanya...

Gw yang pinter, intelek, jenius (^^)...

egois, sombong, tukang iri, pesimis, pengen terkenal...

Both good and bad side.

Gw rasa perlu di post di sini biar dibaca orang2.


Perhatian: ada bagian (3-4 baris) gw sensor karena gw ngejelek2in temen gw di situ. Dan buat adegan sehari sebelomnya di Ekalokasari... hey temen2, gw bukannya benci ama lu2 pada... gak, sampe kapan juga lu2 semua adalah temen2 gw yg terbaek yg pernah gw temuin (jujur lo...). Gw cuma sedikit kesel aja waktu itu.

Special Thanks buat tokoh2 yang muncul di sini (biarpun ga ada namanya):

1. Drs. Daniel Dan, guru agama gw yang di suatu kesempatan bisa kelihatan moderat & baek banget tapi di kesempatan laen bisa jadi kaku & terikat peraturan;

2. Temen2 gw yang minjemin duit: Acoy, Jandi, Budi, Jongky, CK bin Jaya (yg ini gw lupa2 inget), BonC, Pete dll... & yg kagak minjemin duit: Lebo, Bapin, Wita, Wawad, Keke dll... ga ada bedanya lah... u semua tetep temen2 gw yg paling bae... (hehehe... baca aja blog gw yg pertama...!)

3. Temen2 sekelas gw di 3 IPA 2.

4. Faustino alias Didi khususnya, dan penghuni panti asuhan Candranaya pada umumnya.

5. Nyokap, yg udah ngasih gw duit 30 rebu & yg hari ini ulang tahun (cat: gw ngepost ini pertama waktu tanggal 5 Desember 2006).

dan yang terakhir, tapi Yang Paling Penting dan Paling Berkuasa:
Tuhan Yesus Kristus, Sumber segala sumber Kasih, dan Kasih itu sendiri.
So... read & enjoy this!


================================

KEPALSUAN:
Sebuah Permenungan dari Jiwa yang Kesepian

“Suatu hal yang jika dibagi-bagikan akan semakin bertambah, namun jika disimpan sendiri akan semakin berkurang; itulah kasih” demikian kata sebuah ungkapan bijak.

Membagi kasih kepada sesama adalah sebuah hal yang sangat baik dan dianjurkan. Berbagi kasih dengan orang yang kekurangan kasih, sehingga orang-orang itu memiliki kasih yang dapat dibagi-bagikan lagi, akan membuat dunia menjadi penuh kasih.

Namun jelas, untuk berbagi kasih dengan orang lain, seseorang harus memiliki juga kasih itu dahulu.

Jika kita tidak memiliki kasih, namun mau berbagi kasih, apa yang bisa kita bagikan? Ingat, berbagi kasih tidak sama dengan beramal atau menyumbang atau berbagi harta. Tidak.

Memang, memberi sebagian harta kita dapat menjadi ungkapan kasih kepada orang lain. Namun, hal-hal itu tidak sama dengan berbagi kasih.

Kasih jika dibagikan tidak akan habis, malah bertambah; sementara harta dan hal-hal lainnya jika dibagi dengan tidak disertai kasih, hanya akan berkurang. Sama sekali tidak ada manfaatnya bagi yang memberi.

Namanya: kepalsuan.

Semua yang palsu itu mutunya tidak bisa sebagus aslinya, bahkan seringkali jauh di bawah aslinya. Uang palsu, gelar palsu, kasih palsu.

Yang bermanfaat mungkin cuma gigi palsu dan kumis palsu.


Terlebih lagi, dalam agama Kristen, kasih menduduki tempat khusus. Yesus Kristus Sang Penebus menyatakan bahwa inti ajaranNya adalah kasih (Matius 22: 37-39). Umat Kristen mempercayai bahwa Tuhan Yesus sendiri adalah sumber kasih sejati, bahkan Dia sendirilah kasih sejati itu (I Yohanes 4: 8). Dengan begitu, semua kasih di luar Kristus adalah tidak sempurna atau malah palsu.

Makanya, mustahil orang yang sedang di luar Kristus dapat membagi kasih dengan sempurna.

Itu namanya kepalsuan.

Pendapat itu bukannya fanatik, tetapi dalam beragama itu harus tegas. Tidak ada kepalsuan, setengah hati, abu-abu. Hitam sekalian, atau putih sekalian.

“Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan Engkau dari mulutKu.” (Wahyu 3: 16)

Ayat ini patut dibaca oleh orang yang mengaku Kristen dan yakin bahwa Alkitab adalah Firman dari Allah yang hidup, namun masih memandang ungkapan yang tegas di atas sebagai bentuk fanatisme.

Waktu saya membacanya, saya berpikir: ngeri sekali jika Tuhan sampai memuntahkan saya dari mulutNya. Mau ke mana lagi saya?

PART 2

Beberapa waktu yang lalu saya beserta wali kelas dan 41 orang rekan sekelas dari kelas III IPA 2 SMA Regina Pacis Bogor mengadakan kunjungan ke sebuah panti asuhan. Kunjungan ke Panti Asuhan Candranaya di daerah Jalan Kantor Batu pada hari Jumat, 7 April 2006 itu memang dimaksudkan sebagai pelaksanaan ujian akhir praktek pelajaran Agama.

Pertama-tama saya bingung.

Kalau ujian, pasti ada sesuatu yang dinilai. Apa yang mau dinilai?

Guru pembimbing saya, Bapak Daniel Dan, sekali waktu pernah mengatakan tentang tujuan acara ini, yang sekilas saya tangkap antara lain untuk “berbagi kasih dengan sesama”.

Jadi itu yang mau dinilai?

Bagaimana caranya menilai orang yang berbagi kasih?

Mengukur seberapa besar kasih yang dibagikan?

Saya baru tahu kalau alat pengukur kasih sudah bisa diciptakan. Setahu saya, yang sudah jelas kasih sejati hanyalah Tuhan Yesus yang menyerahkan nyawaNya di kayu salib demi sahabat-sahabatNya yaitu kita (Yohanes 15: 13).

Sampai sekarang bagaimana penilaian tepatnya saya tidak tahu. Yang saya tahu, Pak Daniel sudah menyuruh setiap anak membuat renungan pribadi. Selain itu, diminta juga laporan kunjungan dan majalah dinding per kelas.

Jadilah saya merenung dan mulai membuat tulisan ini.

Saya lanjutkan perenungan saya, yang saya buat di tengah deras hujan sore dan juga alunan lagu The Beatles, Let It Be, yang saya dan teman-teman nyanyikan di Candranaya kemarin dulu.

Oh, jadi ini salah satu cara penilaian.

Sebuah nilai akhir pelajaran Agama saya di SMA tergantung pada kepintaran saya membuat refleksi pribadi (yang bisa saja menurut saya bagus luar biasa, tetapi menurut tim penilai tidak jelas isinya) dan laporan kelas.

Saya ulangi, nilai pelajaran AGAMA.

Sebenarnya, bukan sekali ini saja saya penasaran dengan cara penilaian pelajaran Agama. Ya, memang susah, bahkan mustahil untuk menunjukkan ‘derajat keagamaan’ suatu orang hanya dengan satu angka dalam rapot.

Itulah juga sebabnya, saya pikir, mengapa beberapa di antara teman saya yang saya lihat sebagai ‘bergajulan’, ‘kurang beres’, dan ‘hancur’, bisa mendapat nilai 8 atau 9 di rapot. Saya lihat lagi; oh, mereka beragama Katolik, atau kalau tidak, nilai-nilai pelajaran mereka yang lain bagus-bagus.

Memang, saya tidak tahu bagaimana sebenarnya hubungan mereka dengan Tuhannya; tidak saya, tidak orang lain, tidak pula guru agama.

Hanya Tuhan yang tahu. Hanya Tuhan yang berhak memberi nilai agama di rapot. Kalau tidak, ya namanya kepalsuan.

Lalu saya ingat, nilai di rapot itu nilai pelajaran Agama, bukan nilai Agama.

Oh ya, memang di sekolah kita hanya belajar agama. Tetap pakai otak, belum hati.

Kalau ada yang berteori bahwa pelajaran Agama bisa juga membentuk hati seorang siswa, berdasarkan pengalaman sebagai siswa yang sudah sekolah selama 12 tahun saya mau beritahu: itu bohong besar. Kepalsuan lagi.


Kembali ke masalah kunjungan kelas. Saya dapat melihat bayangan kunjungan ideal yang katanya khas SMA Regina Pacis ini:

Anak-anak kelas 3 pergi ke sebuah tempat di mana ada orang-orang kekurangan yang membutuhkan uluran tangan kasih dari orang yang memilikinya. Mereka akan sangat senang dan menyambut baik kedatangan sekelompok anak muda yang asalnya mereka kurang tahu; yang mereka tahu, anak-anak muda ini mengasihi dan memperhatikan mereka. Lalu terjalin suasana akrab antara mereka dan siswa-siswi kelas 3. Banyak terjadi adegan menyenangkan dan mengharukan, mungkin ditambahi sedikit pemberian harta benda sebagai tanda kasih. Dan setelah perpisahan, selanjutnya adalah kenangan yang tak terlupakan oleh kedua pihak.


.... itu yang saya lihat dari foto-foto di mading yang dibuat oleh kakak-kakak kelas saya dulu, yang pernah saya lihat-lihat saat tergantung di selasar.

Berbekal bayangan ideal tersebut, saya mengusulkan dalam rapat kelas agar tempat tujuan sengaja dicari yang jauh, jelek, dan terpencil sekalian, pastinya jarang dikunjungi orang. Kalau sudah sering mendapat kunjungan dan bantuan sih, apa artinya kunjungan kita nanti. Menurut saya, tidak banyak kenangan yang bisa kita dan mereka.

Ya, apa boleh buat, usul-usul saya seperti banyak usul lainnya, menguap seiring waktu karena hanya selintas dibicarakan, dan akhirnya tamat diputus voting.

Tempat tujuan kami akhirnya adalah Panti Asuhan Candranaya dekat Gereja Katedral. Sebagian besar dari mereka adalah pengungsi dari Timor Timur dan Nias, mayoritas Katolik dan semua laki-laki. Mereka diasuh secara Katolik, dan menurut saya mendapat perhatian material dan spiritual yang cukup.

Ketika ke sana, saya bahkan melihat dua orang dari mereka (kira-kira umur 15-17) sedang bermain PlayStation2. Wah, saya saja di rumah nggak punya. Secara main-main saya jadi berpikir: yang perlu dikasihani saya atau mereka?

Ketua kelas saya, Mikael Dimas, berkata “...mereka sudah tidak kekurangan apa-apa. Makan cukup... yang kurang mungkin obat-obatan. Mereka jarang dikunjungi...”.

Waduh.

Buat apa kita ke sana? Mungkin tidak apa-apa, kita masih dapat memberi untuk mereka dalam kekurangan-kekurangan mereka, namun saya jadi ragu: seserius apakah teman-teman saya dalam melaksanakan acara ini? Motivasinya serius berbagi kasih, atau cuma sekadar pemenuhan tugas Agama?

Lagi-lagi kepalsuan.

Sudah jelas kenapa tempat itu dipilih: menghemat ongkos perjalanan. Boro-boro berbagi kasih suci, berbagi duit yang barang duniawi saja masih perhitungan.

Percuma saja saya protes, paling-paling yang saya dapat cuma ejekan: saya yang biasanya dikenal ‘hemat’ (padahal tidak juga) bisa-bisanya meminta hal yang berakibat pada kenaikan pengeluaran. Sudah cukup; saya lelah dengan semua itu.

Lebih jauh lagi, saya melihat sketsa ‘format acara’. Ternyata, di sana nanti, kita ‘diberi’ semacam ‘adik asuh’. Satu adik asuh untuk satu siswa. Melalui acara-acara bersama, dan sebagainya.

Yang bekerja di badan saya saat itu langsung otak bagian pikiran negatif.

Bagaimana kalau salah satu anak-anak itu sulit diatur? ‘Kakak asuh’nya pasti bakal kewalahan setengah mati (itu terjadi pada saya, tetapi untung saya bisa mengatasinya).

Atau jika salah satu teman saya memang tidak suka anak-anak, pasti suasananya menjadi dingin, kaku, dan...

Atau, lucu juga kalau ternyata ada teman saya yang memang tidak punya kasih, duduk-duduk murung lalu dihibur oleh ‘adik’nya. Niat berbagi kasih, malah dibagi kasih.

Setidaknya yang terakhir ini lebih baik daripada dua yang lebih dulu.

Namun, berhubung saya kurang berpartisipasi dalam kepanitiaan acara ini, saya memotong hak saya mengemukakan pendapat dengan menahan diri untuk tidak mengkritik dan berpikiran negatif terhadap hasil kerja teman-teman sekelas saya.

Meskipun begitu, keraguan di hati saya tetap tak bisa ditahan: seriuskah kami berbagi kasih?

Malah, punyakah kami kasih itu?

Saya pikir lagi, jika kita di sana hanya berpura-pura baik dan gembira, tetapi tidak menyentuh masalah dasar mereka yang perlu dibereskan, itu tidak baik bagi mereka dan kami juga.

Memangnya mereka makhluk bodoh yang tidak bisa membedakan orang yang tulus dengan orang setengah hati? Mereka bisa juga sedikit tidak enak karena tempat mereka dan masalah mereka hanya dijadikan bahan eksploitasi untuk tugas sekolah.

Sebaliknya, saya dan teman-teman pun bisa juga tidak enak jika mereka memiliki prasangka itu terhadap kami.

Pastilah, yang namanya kepalsuan itu tidak pernah enak. Kalau tidak percaya, tanya kepada orang yang baru pakai gigi palsu.


Ditambah lagi, dalam beberapa hari menjelang kunjungan, saya ditimpa masalah yang sangat pribadi yang mungkin tidak semua orang bisa mengerti mengapa saya harus keberatan dengan masalah-masalah itu. Masalah-masalah itu seperti didesain khusus sehingga hanya saya saja yang kesulitan bila mengalaminya. Saya lapar penghargaan, haus perhatian, dan saya tidak mendapatkannya. Bukan hanya itu, komplikasinya menyebar ke seluruh aspek kehidupan.

Hanya Tuhan yang membuat saya tidak jatuh lebih dalam lagi. Namun, terlepas dari itu, saya akui saya bukan orang yang benar-benar mengandalkan Tuhan (dan saya malu), sehingga rasanya kasih saya habis untuk mengasihani diri sendiri.

Wah, tapi Jumat nanti saya harus ‘berbagi kasih’ di Candranaya, pikir saya waktu itu.

Gila, orang miskin dimintai sumbangan.

Mungkin saja nanti saya yang ‘disumbang’ kasih di sana, pikir saya. Tidak ada salahnya juga.


Dan pada pagi harinya, tanggal 7 April 2006, rasanya saya hampir tidak punya kasih lagi. Saya mau menyerah sajalah di kunjungan nanti, pikir saya.

Jalani tanpa roh saja, asal lewat, asal tugas selesai. Tidak apalah, asal 41 orang rekan saya nanti bisa berbagi kasih dengan sempurna. Semangat saya pasti tumbuh dengan sendirinya, dan saya nanti juga akan ‘kebagian’ kasih yang bisa saya bagi-bagi lagi. Asyik.

Semangat itu langsung drop mengingat kelakuan teman-teman saya yang saya ingat. Saya saja yang hampir setahun ketemu mereka terus, cuma sedikit menerima kasih dari mereka.

Namun suara hati saya mengingatkan: sombong kamu! Apa hakmu menghakimi orang lain yang tidak kamu tahu perkaranya?

Saya mencoba tenang.

Dan kami berkumpul di sekolah.

Dan kami mempersiapkan peralatan serta sumbangan.

Dan kami berlatih bernyanyi.

Dan kami berangkat ke sana.

Dan kami menyiapkan tempat sekaligus dekorasi.

Dan ada makanan yang tumpah.

Dan ada yang marah-marah.

Insiden kecil terjadi, memang. Makanan yang dibawa tumpah karena terlalu berat bagi dua orang yang mengangkatnya. Tidak ada yang membantu secepatnya.

Yang lain semua asyik di lantai atas. Ada yang mempersiapkan dekorasi, ada yang berlatih musik; tapi ada juga yang tidak berbuat apa-apa.

Sebuah refleksi lagi. Jiwa saya yang datang ke tempat itu, sebenarnya buat apa? Juga yang lain.

Rasanya tumpukan masalah yang saya pikul dari beberapa hari sebelumnya, terakumulasi semua saat itu juga. Depresi.

Saya yang butuh itu kasih! Saya minta! Berikan pada saya!!!

Dengan mencoba tenang dan menyibukkan diri membantu teman-teman, saya tidak sampai ‘meledak’.

Acara pun dimulai. Saya mendapat ‘adik asuh’ bernama Faustino... (nama lengkapnya lupa), dipanggil Didi, pengungsi Timor Timur. Umurnya kira-kira 8 tahun. Gemar main bola. Tim favoritnya AC Milan, terutama Shevchenko, sama seperti saya.

Bisa jadi teman baik...? Nanti dulu.

Anak ini betul-betul ‘tuyul’, pikir saya. Susah diatur. Yang lain bisa diam tenang dekat ‘kakak’nya, dia malah lari ke mana-mana, mengobrol dan bermain. Saya biarkan saja, kelihatannya dia anak pemberani dan ceria.

Ada juga rasa kesal; apa tampang saya kurang simpatik atau bagaimana, sampai-sampai dia tidak mau ‘mendekati’ saya?

Padahal teman-teman saya yang kurang antusias saja, ‘adik’nya tetap ada di dekat mereka. Bisa senyum lagi. Nggak tahu sih, tulus atau terpaksa.

Suara hati saya bilang: makanya jangan sombong!

Tapi ada sisi baiknya juga; dengan kondisi hati saya yang babak belur, saya merasa diberi ‘kebebasan’ oleh si Didi untuk merenung sendirian di tengah kepalsuan.

Aduh, teman-teman mungkin berpikir acaranya lancar saja. Menurut saya, tetap ada beberapa ganjalan.

Acara yang dimaksudkan berpusat pada anak-anak panti asuhan (atau tidak?) malah bergeser menjadi acara anak-anak III IPA 2 (?). Contohnya: ketika saya melihat wajah para hadirin saat MC melontarkan joke, semua anak III IPA 2 tertawa namun hanya sebagian kecil anak panti yang tertawa.

Pada saat perlombaan juga, peserta diperkenalkan sebagai misalnya “Adri dan ‘adik’nya” bukan misalnya “Didi dan ‘kakak’nya”. Anak-anak panti juga terasa kurang aktif dalam acara tersebut.

Tetapi sudahlah, saya memang kurang diaktifkan dalam penyelenggaraan acara tersebut. Seandainya diaktifkan pun saya tidak tahu apakah saya mampu mengubah suasana menjadi sedikit ‘ideal’ (menurut saya).

Saya juga diingatkan oleh suara hati: kamu tukang mengkritik orang.

Ya, saya terkadang sering merasa diri paling sempurna. Bukan apa-apa, karena saya juga adalah ciptaan Dia Yang Maha Sempurna.

PART 3

Dalam susunan acara, ada saat untuk memberi kenang-kenangan. Si Didi saya beri papan catur. ‘Perjuangan’ saya membeli papan catur pada satu hari sebelumnya, seakan-akan merefleksikan secara utuh semua masalah yang sedang menghantam saya saat itu. Inilah masalah-masalah tersebut.

Saya mencari hadiah bersama beberapa orang rekan di Plaza Ekalokasari. Mereka semua sudah mendapatkan hadiah: topi, celengan, dll.

Saya belum, karena saya memikirkan hadiah apa yang disukai dan bisa diterima oleh semua anak lelaki dari rentang usia 7-15 tahun, di atas Rp 10.000,- tapi juga tidak terlalu mahal.

Bukan saya yang keluar duit; orang tua saya. Sebagai anak, saya juga kasihan melihat orang tua saya menyumbangkan uangnya untuk membeli sebuah hadiah yang anaknya saja tidak punya barang sebagus itu. Mestinya saya yang patut disumbang...

Tapi saya memaksakan diri membeli hadiah yang ‘agak bagus’ karena saya memandang penting dan serius tujuan kunjungan ke panti asuhan itu, yaitu untuk berbagi kasih. Karena itu, hadiahnya harus berkesan, dalam artian berguna.

Dan inilah masalah pertama: saya selalu berpendapat kalau rencana dan pemikiran saya paling benar dan orang lain tidak bisa berpikir sejauh saya.

Ini tidak salah; saya sering mengingatkan diri saya sendiri: belum tentu saya paling benar, lihatlah teman-temanmu lebih berpengalaman. Tetapi dalam perkembangannya, rencana dan pemikiran teman-teman saya yang ‘lebih berpengalaman’ itu ternyata terbukti ‘kalah’ efektif dan ‘kalah’ benarnya dibanding saya.

IQ turut berpengaruh dalam hal ini, saya kira; tanpa bermaksud sombong, saya menyadari bahwa orang dengan IQ 148 pikirannya lebih lancar daripada orang kebanyakan. IQ itu talenta dari Tuhan, dan harus saya pergunakan sebaik-baiknya, bukan menutup-nutupinya. Kalau ditutup-tutupi, itu namanya kepalsuan.

Akhirnya saya ketemu papan catur portabel seharga Rp 28.500,-. Bagus sekali, saya saja tidak punya. Saya tidak membawa uang sebanyak itu; rencananya saya hanya melihat-lihat.

Berhubung waktu mendesak, saya mencoba meminjam uang kepada teman-teman saya (ada sekitar 10 orang) namun ditolak dengan alasan tidak ada uang sebanyak itu. Saya mencoba berkompromi dengan hanya meminjam Rp 5.000,- per orang, itupun dengan susah payah.

Sejenak saya termenung: ini pasti gara-gara stigma saya sebagai orang yang pelit dan otomatis susah ditagih hutang.

Masalah kedua: saya benci dicap sebagai orang pelit.

Di tengah siswa-siswi RP yang sebagian besar keluarganya bahkan lebih dari kaya, saya tidak termasuk. Ayah saya belum memiliki pekerjaan tetap, ibu saya cuma pegawai swasta biasa.

Salahkah bila saya sedikit meringankan beban keluarga dengan berhemat?

Rupanya, teman-teman saya yang kaya itu menurut saya kurang dapat memahaminya.

Padahal, saya juga sama seperti mereka. Jika ada rejeki lebih sedikit, saya juga sering kelepasan boros.

Bukan mau saya untuk hidup pelit. Mereka tak mau tahu.


Dapat dibayangkan, betapa memalukannya jika saya selama satu jam berputar-putar sebuah toko buku untuk membujuki teman-teman saya satu per satu agar mau meminjamkan uangnya sebesar Rp 5.000,-?

Itu yang saya lakukan.

Padahal mereka tahu saya sudah menelepon ibu saya dan dia berjanji akan mengganti uang saya sebesar Rp 30.000,-. Meskipun saya meminta dengan gaya bercanda sambil cengengesan, dalam hati saya kesal dan ingin meninju mereka satu per satu saat mereka menolak.

Masalah ketiga: orang-orang selama ini melihat saya senang bercanda, sehingga mereka terkadang sering kelewatan.

Ya, saya senang bercanda untuk menggembirakan suasana. Hati yang gembira adalah obat yang manjur (Amsal 17: 22).

Saya paling tidak tega mengatai orang lain ‘garing’, biarpun dia benar-benar ‘garing’.

Saya paling tidak suka merusak suasana.

Daripada suasana rusak, lebih baik diri saya saja yang saya rusak sendiri agar suasana tetap terjaga.

Biarlah saya juga menjadi kepalsuan.

Namun, tidak bisakah sesekali teman-teman saya melihat hal itu? Masalah keempat: saya butuh perhatian lebih.

Akhirnya, saya berhasil mengumpulkan uang tersebut dari enam orang, dengan susah payah. .........(SENSOR).........

Masalah kelima: saya terlalu mudah iri hati dan berpikir negatif, yang sering menjerumuskan saya ke masalah yang lebih besar. Padahal, iri hati dan sakit hati dapat membunuh orang bebal (Ayub 5: 2).

Saya juga sering merasa tertekan karena teman-teman saya belakangan ini sudah, atau setidaknya sedang gencar-gencarnya ingin memiliki pacar. Sementara saya berprinsip tidak ingin pacaran jika tidak untuk serius seumur hidup dan tidak memenuhi kriteria saya, yang kebetulan lumayan tinggi.

Namun, lingkungan saya seakan terus menuntut saya untuk mencari pacar (meskipun asal comot), apalagi bagi teman-teman saya, memiliki pacar adalah salah satu cara ‘menaikkan derajat’. Saya tidak setuju.

Buat saya, perempuan bukan barang, yang bisa dipamerkan seperti perhiasan. Lagipula saya dan mereka baru akan lulus SMA; belum ada jaminan bahwa pacaran gaya ini akan berlangsung secara serius.

Pacar juga manusia, bukan kelinci percobaan!

Begitulah, semua masalah itu tertumpuk pada tanggal 6 April 2006 di Plaza Ekalokasari.

Maka keesokan harinya, saya sempat merasa waswas. Jika hadiah yang saya peroleh dengan keringat, air mata, dan urat saraf itu sampai tidak disukai oleh si penerima, wah bisa ‘meledak’ saya.

Apalagi waktu si Didi saya tanya “Suka catur kau, Di?”

Dia hanya menjawab “Tidak bisa saya...”

Syukurlah, akhirnya dia tetap berterima kasih. Melihat tingkah lakunya yang lepas mau tak mau saya berpikir, mana mungkin dia bohong. Biarpun kayak ‘tuyul’ sekalipun, dia itu polos, tak punya yang namanya kepalsuan.

Saya hanya bisa bilang sambil tertawa “Pakailah main sama teman-teman kau yang bisa. Minta ajari. Ini bisa bikin kau pintar....” untuk menutupi sedikit rasa kecewa.

PART 4

Bagaimanapun, perjumpaan saya dengan Faustino alias Didi yang lugu itu menjadi secercah sinar yang menembus hujan gerimis di sore hari tanggal 7 April itu, saat saya dan rekan-rekan berjalan meninggalkan Panti Asuhan Candranaya. Menurut saya, niat kami untuk ‘berbagi kasih’ kurang tercapai dalam acara tadi.

Namun, saya tidak melihat guratan yang menunjukkan perasaan seperti itu di wajah rekan-rekan saya.

Apakah mereka memang sedari awal tidak peduli?

Apakah mereka tidak merasa ada yang kurang?

Kepalsuan telah saya lihat setiap hari. Lihatlah betapa kepalsuan erat sekali dengan hidup saya khususnya, dan kita umumnya.

Kepalsuan dalam memberi kasih.

Kepalsuan dari kasih itu sendiri.

Kepalsuan dalam memberi nilai rapot Agama.

Kepalsuan bahwa pelajaran Agama bisa menolong perbaikan moral seseorang.

Kepalsuan motivasi dalam kunjungan ke panti asuhan.

Kepalsuan bahwa orang tidak boleh bangga akan talenta pemberian Tuhan.

Kepalsuan ekspresi gembira di tengah kegetiran hati.

Kepalsuan yang tidak ada dalam anak kecil selugu Didi.

Saya tidak tahu apakah teman-teman saya merasa penting untuk berbagi kasih.

Saya bahkan tidak tahu apakah mereka memiliki motivasi untuk itu dalam kunjungan tersebut.

Yang saya tahu, mereka tidak menunjukkannya.

Yang saya tahu lagi, saya juga tidak menunjukkan dan tidak mendapatkannya.

Ataukah mereka ternyata telah dapat merasakan indahnya berbagi kasih sejati, yang saya sendiri tidak alami?

Apakah mereka dapat merasakan bahagianya memiliki kasih yang berlipatganda setelah dibagikan itu, sementara saya tidak?

Mereka, yang tampaknya....

Mungkinkah aku hidup dalam dunia yang kubuat sendiri? Apakah aku paranoid? Terlalu iri hati? Terlalu memandang rendah orang lain? Sombong?

Ya Tuhan, seandainya itu benar, dan itu merugikan diriku dan sesamaku, aku percaya Engkau sanggup mengubah hatiku.

Jadikan aku indah, yang Kau pandang mulia, seturut karyaMu di dalam hidupku. Ajar ku berharap hanya kepadaMu, taat dan setia kepadaMu, Tuhan.

...

Saya teringat sebuah lagu yang dibawakan paduan suara anak-anak panti asuhan tersebut. Liriknya diambil dari Matius 6: 13-16 (garam dan terang dunia).

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Maka, sekarang saya dapat berkata “Aku, yang mengklaim diri sebagai pengikut Kristus, harus menjadi garam dan terang dunia. Aku tidak ingin menjadi garam tawar yang berakhir di tempat sampah. Jika selama ini aku telah menjadi barang yang diletakkan di atas kaki dian sehingga dilihat semua orang, aku tidak ingin menjadi pelita yang padam dan menunjukkan kegelapan, tetapi aku ingin menjadi pelita yang menerangi teman-temanku supaya Bapaku di sorga dimuliakan.”
==============================================

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hahaha... Emang kadang2 pelajaran Agama tidak benar2 mengajarkan kita untuk berbuat kasih yang benar. Namun saat menyadari hal tersebutlah yang justru bermakna bagi kita.