Jumat, 02 Maret 2012

Fenomena Hukum Jalanan

Salah satu perbedaan paling mendasar antara Orde Baru dan Orde Paling Baru (ini nama julukan saya sendiri terhadap kenaikan entropi yang terjadi pasca jatuhnya Presiden Soeharto), adalah kebebasan pers.

Berkat kebebasan pers, rakyat Indonesia tiap harinya disodori apa yang oleh media dinamakan ketimpangan hukum. Berkali-kali media menggambarkan koruptor-koruptor elit lolos dari jerat hukum, sehingga masyarakat makin lama makin apatis kepada aparat penegak hukum khususnya, dan negara pada umumnya.

Dan rakyat pun geram, apalagi karena jerat yang terlalu lemah ini kemudian diklaim hanya kuat menangkap ikan-ikan kecil. Contohnya?

Nenek pencuri biji kakao dituntut perusahaan perkebunan. http://news.detik.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari

Remaja maling sendal diancam penjara? http://forum.kompas.com/nasional/58148-maling-sandal-jepit-butut-%3D-5-tahun-penjara.html

Bocah maling ayam dituntut penjara juga? http://www.indosiar.com/fokus/dua-bocah-maling-ayam-diseret-ke-meja-hijau_91281.html

Dan bahkan ada rangkumannya! http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/01/prestasi-atau-ironi-kasus-kasus-sepele.html

Bahkan terakhir yang lagi ngetop di jejaring sosial, yaitu kisah nenek pencuri singkong dan hakim yang 'cerdik', yang diklaim sebagai "KISAH NYATA" yang terjadi somewhere di Sumatera bagian selatan (ada yang bilang Prabumulih, Sumsel; ada yang bilang Lampung): http://hajingfai.blogspot.com/2012/02/kisah-nenek-pencuri-singkong.html

yang sejujurnya saya kurang sukai dengan beberapa alasan:

1. Cerita yang diklaim sungguhan terjadi ini, saya berani jamin sebenarnya cerita rekaan yang dibuat berdasarkan cerita di Amerika Serikat ini, dengan tokoh hakim digantikan walikota New York zaman Perang Dunia II, Fiorello LaGuardia: http://www.snopes.com/glurge/laguardia.asp. Kemiripannya luar biasa, hingga saya yakin cerita 'sungguhan' tentang nenek pencuri singkong itu hanya jiplakan dari cerita Walikota LaGuardia ini. Dengan demikian cerita nenek pencari singkong itu tidak benar-benar terjadi, dan bahkan mungkin saja cerita sumbernya (yang di Amerika Serikat) juga hanya rekaan, sejenis cerita rakyat yang bagus untuk mengajar nilai moral, tapi tidak benar-benar terjadi.

2. Bahkan terlepas dari keotentikannya, kita dapat bayangkan implikasinya jika benar ada kejadian seperti itu. Keesokan harinya akan muncul pencuri-pencuri singkong yang (bisa jadi) beneran miskin semua. Lalu pengadilan-pengadilan sejenis akan dilakukan, denda-denda atas penduduk kota karena "membuat kemiskinan yang memungkinkan pencurian terjadi" dan dalam waktu singkat para pencuri akan kaya dengan uang denda pengadilan. Orang miskin akan malas bekerja, karena pencurian dijustifikasi oleh hukum. Hukum memberikan alasan bagi orang untuk mencuri: karena mereka miskin.

Anyway, membahas artikel tersebut akan makan satu postingan tersendiri. Intinya, mulai dari maling sendal sampai maling jemuran, ketika sudah masuk pers dan menyebar di dunia informasi, rakyat pun marah. Dengan satu argumen yang sama:

"Kalau penjahat dan koruptor kelas berat yang merampok uang negara aja nggak dihukum, kenapa maling kecil yang nggak seberapa merugikannya harus dihukum?"

Buat yang mengikuti pergerakan saya di kampus dulu, pasti sudah familiar dengan argumen yang sering dilontarkan oleh sebagian mahasiswa ITB "Diri lo sendiri udah bener belom, kok mau-maunya ngurusin orang lain?"

Dan ini mengarah ke gerakan pragmatisme! Di mana kita harus sempurna dulu baru boleh menggerakkan orang lain ke arah kebaikan. Di mana kita mustahil menjadi sempurna, dan maka dari itu kita selamanya tidak dapat menyebarkan kebaikan. Di mana kebenaran adalah relativisme individual, di mana setiap orang bisa benar, dan di mana interaksi antarmanusia sebagai homo socius dipertanyakan. Perhatikan komen-komen di link yang saya berikan. Sengaja saya berikan link-link yang penuh dengan komen-komen yang naif dan tanpa sadar terbungkus pragmatisme.

Efek teknisnya adalah suatu gerakan yang, meminjam istilah salah seorang rekan saya, dinamakan integritas pecundang. Ketika hukum aproksimasi integritas diterapkan, yaitu bahwa perkataan harus sebanding dengan tindakan, maka rute bawah yang termudah diambil untuk memenuhinya adalah bungkam saat tak bisa bertindak.

Filosofi inilah yang sekarang menjadi mainstream, termasuk bagi rakyat Indonesia, apalagi yang melek media. Turunan dari gerakan ini adalah apa yang saya istilahkan sebagai kecenderungan penihilan, alias gerakan pembuangan susu sebelanga karena nila (yang mungkin saja lebih dari) setitik, yaitu ketika pragmatisme tadi diterapkan dalam suatu sistem. Ketika suatu sistem dinilai impoten untuk menyelesaikan satu masalah besar, maka sistem itu divonis impoten dan tidak boleh digunakan. Contohnya ya itu tadi, ketika hukum hanya dapat digunakan untuk menjaring maling-maling kecil sementara yang besar lolos, maka hukum itu cacat dan tak layak digunakan bahkan untuk menjaring maling-maling kecil itu. Bebaskanlah mereka.

Hal ini akan semakin menyebar jika dikatalisis oleh memang lemahnya sistem tersebut. Dalam hal ini, ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah memang sudah hampir naik mencapai puncaknya sehingga sistem hukum diabaikan, dan rakyat lebih memilih hukum jalanan yang fleksibel, tepat untuk beberapa kasus, namun justru meninggalkan celah yang jauh lebih besar yang dapat dengan lebih mudah dieksploitasi untuk hal-hal yang baik.

Attitude seperti ini tidak hanya berlaku untuk hukum saja. Coba kita lihat beberapa contoh lainnya yang telah menjadi mainstream, khususnya di Masyarakat INdonesia Golongan KElas Menengah Menuju atAS (MINGKEM MAS):

- Ketika polisi memberlakukan tilang atas pelanggaran 'ringan' seperti melanggar lampu merah, tidak memakai helm/seatbelt, ada argumen pengendara "Polisi mah beraninya cuma sama pengguna jalanan yang kecil-kecil kayak kita ini". So? Apa dengan kegagalan polisi mengungkap kasus-kasus kriminal besar, pelanggaran-pelanggaran lalulintas anda jadi boleh ditoleransi? Itu melanggar hukum juga toh?

- Ketika pemerintah mengadakan program ini itu, reaksinya adalah "Ah, ngapain ngurusin begituan? Ada masalah lain yang lebih besar buat negara ini!. Ya ya ya, Indonesia gak boleh punya atlet berprestasi, Indonesia gak boleh mempercanggih alutsista yang udah bobrok ini, sampe semua rakyat Indonesia gak ada lagi yang miskin! Oke, oke. Keren.

- Ketika banyak LSM yang mengurusi moral (seperti FPI, terlepas dari teknis aksinya), banyak yang berteriak "Ngapain ngurusin moral yang kecil-kecil? Urusin tuh persoalan yang lebih 'besar'!". Right. Selama Edi Tanzil dan kawan-kawannya belom ketangkep dan dihukum penjara seberat-beratnya maka perjudian, pelacuran, dan kebejatan-kebejatan lainnya legal di Indonesia. Logika yang sangat brilian.

Dan belum lagi jika saya membahas serangan masyarakat postmodern ini terhadap agama. Bisa satu post tersendiri lagi. Yah, intinya, hanya yang terburuknya sajalah yang dilihat masyarakat. Hal-hal baik lain yang ditawarkan, tak digubris lagi.

Inilah yang dinamakan penurunan standar. Di mana jika keadaan berada di bawah standar, bukan keadaan yang kita manipulasi agar naik memenuhi standar, namun standarlah yang kita turunkan agar memenuhi keadaan. Bisa dilihat contohnya seperti yang saya alami selama belasan tahun terakhir ini:

- Kalau memang nilainya jelek waktu kuliah, bukannya meningkatkan kuantitas dan kualitas belajar, malah mengusahakan penurunan standar nilai sehingga bisa dapat A.
- Kalau sudah sekali salah dalam berpendapat, lebih baik diam saja, daripada disalahkan terus.

Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Penurunan yang konstan ini lama-lama akan mendekati nol. Dan selesailah sudah semua. Bangsa ini akan terus hidup dalam penjaranya yang kecil, yang didirikan oleh pemikiran rakyatnya sendiri.

Harusnya yang dilakukan itu, usahakan peningkatan standar! Usahakan sistem-sistem tersebut dapat pula membereskan masalah-masalah yang besar! Ingat, kita boleh menuntut para pelaku sistem untuk mengarahkan fokus mereka ke arah hal-hal yang besar, kita boleh menekan para pelaku sistem untuk terus mengejar penyelesaian masalah yang besar itu (dan jika kita dapat ambil bagian, terlibatlah semaksimal mungkin!), tapi jangan, JANGAN kita mematikan seluruh sistemnya hanya karena dia hanya bisa menyelesaikan masalah-masalah kecil! Masalah kecil tetaplah masalah, dan harus diselesaikan. Mulai dari yang kecil dulu, bukan? Betul, kita tidak boleh tinggal diam dalam keadaan kecil terus-menerus, tapi bergeraklah menuju besar, jangan hanya diam tinggal menunggu besar. Pergerakan ke arah yang besar dimulai dengan melangkah dari hal kecil, bukan dengan melewatinya.

Akar dari semuanya itu adalah pragmatisme, budaya instan, filsafat individualis, dan egosentrisme manusia, yang berujung pada minimnya spiritualitas dan budi luhur, di mana semuanya itu adalah nyata bertentangan dengan Pancasila, dasar negara kita yang berTuhan, berkemanusiaan, berkebangsaan, dan berpegang pada masyarakat yang sosial.

Makanya pake timbangan elektronik aja, biar gak berat sebelah...

PS: Saya sadar sepenuhnya kalau ini tulisan isinya emang kebanyakan kata-kata njelimet yang bahkan saya juga bingung abis baca lagi. Tapi apa daya, saya tetap mempost ini tulisan sebagai bentuk penghargaan saya terhadap fungsi blog ini sebagai tempat curhat saya kepada umum. Harap maklum setulus-tulusnya. Terimakasih. Dan sebagai penutupnya, ini ada quote favorit saya, dari Bung Karno.

"Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dahulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Soviet-Rusia merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Soviet-Rusia satu per satu."


Sudirman, 2 Maret 2012
diketik pada jam shalat Jumat di dalam kantor yang kosong
di tengah hujan badai yang menerpa ibukota



.

Tidak ada komentar: