Sabtu, 03 Maret 2012

Belajar dari Transjakarta

Sudah sebulan lebih saya menjadi pengguna rutin berbagai jalur busway. Tentang kelelahan saya menghadapi berbagai jenis dan variasi transportasi ibukota yang lebih kejam dari ibu ****** ini mungkin bisa diuraikan dalam satu post tersendiri kelak. Namun, yang ingin saya tuliskan di sini adalah pelajaran yang saya dapat di atas balok-balok bergerak tersebut, balok-balok beroda yang meluncur (dan kadang tersendat) di jalurnya (yang kadang diserobot) untuk memindahkan saya dari satu tempat ke tempat lain di ibukota.

Bagi yang mungkin kurang familiar dengan Jakarta, di ibukota kita ini ada satu jalur busway yang merupakan rute busway pertama di Jakarta. Jalur ini dikenal dengan nama Koridor I atau Blok M - Kota, melintasi beberapa jalan protokol dan kawasan tersibuk Jakarta. Ini peta lengkap jalurnya, sebagai ilustrasi. Klik untuk memperbesar jika dirasa perlu (dan mungkin memang perlu, untuk memahami poin yang saya sampaikan di bawah).


Di jalur ini terdapat sebuah halte yang cukup spesial, yaitu Halte Harmoni Central Busway. Jika dilihat dari namanya saja, dan apalagi jika anda mencocokkan dengan peta di atas, akan terlihat apa istimewanya halte ini: dia adalah titik pertemuan dari 4 rute jalur busway, 3 di antaranya berakhir di ujung barat, timur, dan selatan Jakarta, dan 1 sisanya di stasiun pusat (Kota) yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota satelitnya. Intinya, halte ini adalah penghubung antara seluruh penjuru Jakarta dan antara Jakarta dengan sekitarnya. Segitu pentingnya.

Konsekuensinya, akan banyak orang yang naik busway di Koridor 1 hanya untuk turun di Harmoni, yaitu untuk transit ke tujuan selanjutnya di belahan Jakarta yang lain. Jika kita telusuri koridor 1 dari Blok M, Senayan, Sudirman, Thamrin, Medan Merdeka hingga Harmoni, kita akan melihat suatu fenomena di mana bus Transjakarta yang penuh sesak, tiba-tiba kosong dari Harmoni menuju Kota, karena sekitar 2/3 penumpangnya turun di Harmoni!

Fenomena ini merugikan bagi jasa Transjakarta, mengapa? Karena dari Harmoni ke Kota, bus dijalankan dalam keadaan sepi penumpang, sedangkan di halte-halte sebelumnya banyak penumpang dengan tujuan Kota tidak terangkut karena bus penuh dengan penumpang yang akan turun di Harmoni! Sederhananya: penumpang tujuan Kota tidak terangkut, padahal bus tujuan Kota kosong. Entah apa istilah ilmu lalu lintas untuk fenomena ini, namun sepemahaman saya, keadaan seperti ini serba tidak enak. Mubazir bagi bis Harmoni-Kota yang kosong, sengsara bagi penumpang di halte-halte Blok M-Harmoni yang berdesak-desakan baik saat antri maupun saat di bus.

Sepengamatan saya, pada jam-jam sibuk (padat penumpang), ada solusi yang dicoba diterapkan oleh pihak Transjakarta. Biasanya jika dua bus datang di waktu yang berdekatan di satu halte, petugas Transjakarta di salah satu bus akan mengumumkan bahwa busnya hanya akan sampai Harmoni.

Tujuannya? Tujuannya adalah untuk memisahkan antara penumpang tujuan Kota dengan penumpang yang hanya sampai Harmoni. Jadi kasarnya ada dua jenis bus untuk satu rute: yang sampai Kota, dan yang sampai Harmoni saja.

Untuk apa? Untuk menguntungkan semua pihak. Penumpang yang akan ke Kota tidak usah berebut bus dengan penumpang yang akan ke Harmoni saja, mereka mendapat antrian dan bus terpisah, dan di bus pun akan sedikit lebih lega. Bus yang akan ke Kota tidak lagi mubazir (kosong) di tengah jalan. Sementara bus yang ke Harmoni, setelah mengantarkan penumpang dalam kondisi penuh (efisien), bisa langsung berbalik arah kembali menuju Blok M untuk mengangkut penumpang-penumpang lain (memperpendek rute) sehingga laju pengangkutan lebih cepat.

Sistem ini hanya bisa berhasil jika tidak ada yang melanggar aturan (tak tertulis). Dan sebagaimana Indonesia, selalu saja ada celah pelanggaran peraturan. Pembagian tujuan bus tadi bisa saja tidak dipatuhi penumpang. Karena bus tujuan Kota pasti melewati Harmoni, penumpang yang akan ke Harmoni bisa saja naik bus tujuan Kota, lalu turun di Harmoni. Ini bikin penuh antrian dan bus, sehingga tujuan awal pemisahan bus tidak tercapai. Sebaliknya, penumpang tujuan Kota pun bisa saja naik bus yang ke Harmoni (karena bus tujuan Harmoni biasanya tiba di depan/sebelum bus tujuan Kota, jadi penumpang dapat naik dengan alasan ingin lebih cepat) kemudian dia turun di Harmoni dan mengantri lagi untuk ke arah Kota. Ini membuat penuh antrian penumpang di Harmoni, dan membuat bus penuh juga.

Ketika saya menemukan fakta ini tadi sore, saya teringat sesuatu.

Jalur busway ini sama seperti jalur hidup. Ketika anda sudah membayar tiga ribu lima ratus rupiah untuk beli tiket, anda bebas untuk ke mana saja sepanjang jalur busway yang membentang di seluruh Jakarta itu. Seperti banyak yang bilang, "Life is your own choice". Ya, begitulah. Dengan 3500 rupiah anda bisa naik di Kalideres, turun di Kampung Rambutan, terserah. Mau ganti jalur sampe 5 kali juga silakan. Hidup pun begitu. Hidup ini pilihan anda sendiri yang menjalaninya. Jalan mana yang anda pilih, itu bebas. Jalani hidupmu sendiri.

Namun, seperti jalur busway pula, ketika kita menjalani hidup kita, janganlah kita mengambil jalan hidup orang lain! Ketika tujuan kita ke Kota, janganlah naik bus ke Harmoni, karena itu akan bikin penuh jatah orang lain yang mengambil jalan tersebut! Apalagi, setiap jalan hidup memiliki beban dan keringanan, di mana biasanya keringanan diberikan atas kompensasi dari beban. Kerjaan gaji tinggi, karena kerjanya berat. Fasilitas kerja diberikan, karena kerja menuntut adanya fasilitas tersebut. Ada hak, ada kewajiban. Seperti di busway. Kenapa yang dapat tempat duduk biasanya orang yang naik di halte pertama? Karena dia yang akan menempuh perjalanan paling jauh! Semua sudah ditetapkan secara adil.

Ilustrasi yang lebih tepat juga dapat dijumpai di jalur busway itu sendiri secara umum. Jalur busway adalah jalur yang terpisah dari jalanan, dan dipisahkan oleh separator berupa pembatas jalan. Jalur ini eksklusif untuk bus Transjakarta dan tidak boleh dimasuki kendaraan lain. Namun, ketika macet, banyak kendaraan yang masuk ke dalam jalur ini. Untuk menghindari macet, karena jalurnya sepi.

Ini dia yang tidak boleh! Jalur busway dibuat khusus karena busway melayani kepentingan umum. Bus Transjakarta yang melaluinya, harus melakukan kewajiban bus Transjakarta, yaitu berhenti di setiap halte untuk mengangkut penumpang! Karena dia menjalankan kewajiban itu, dia mendapatkan keringanan yaitu diberikan jalur khusus yang cepat dan bebas macet. Kendaraan pribadi yang masuk jalur busway, sama halnya dengan merampok! Mereka masuk jalur cepat tanpa mau menjalankan kewajiban bus Transjakarta, dan bukan hanya itu saja, mereka menghambat bus Transjakarta yang sedang melakukan bebannya! Jalur busway yang seharusnya lancar (untuk bus Transjakarta yang melakukan kewajiban sebagai alat transportasi umum) menjadi macet, dan pelayanannya pun terhambat, semua karena pihak yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa harus melakukan beban.

==================================

Manusia bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Dan jalan hidup orang berbeda-beda.

Ketika kita memilih jalan hidup yang rendah, janganlah kita berjalan di jalur hidup orang yang tinggi. Jangan berharap untuk mendapatkan keringanan bagi beban yang tidak kita tanggung! Berikan kesempatan itu pada orang lain yang memang siap! Dan ketika kita memilih jalan hidup yang tinggi itu, hendaknya janganlah kita mengeluh ketika mengerjakan bebannya. Jika kita merasa jalan ini bukan jalan milik kita, tinggalkan jalan ini beserta seluruh beban dan keringanannya, bukan hanya ingin melepas bebannya saja. Sesungguhnya adil pulalah seluruh jalan yang ditunjukkan oleh Dia Yang Maha Adil.

Janganlah kita jadi pegawai bergaji besar dengan harapan untuk bisa makmur, jika kita tidak juga siap untuk bekerja sangat keras. Pegawai pemalas tapi digaji besar adalah beban untuk perusahaan, pegawai dengan kualitas kerja buruk tapi banyak makan uang perusahaan!
Jika kita tidak sanggup bekerja keras, berhentilah, cari pekerjaan lain. Jika kita merasa pekerjaan berat ini tidak cocok untuk kita, berarti gaji besar ini juga tidak cocok untuk kita, karena gaji besar adalah penghargaan perusahaan bagi orang-orang yang telah bekerja keras untuknya.

Janganlah kita jadi tentara dengan harapan ingin terlihat gagah dan sangar memegang senjata, jika kita tidak juga siap untuk mati di medan perang. Tentara pengecut adalah beban untuk rekan-rekannya ketika bertempur, tidak menambah kekuatan, bahkan menambah resiko kecelakaan!
Jika kita merasa takut mati, berhentilah, atau bagi yang belum jadi, hendaknya kita urungkan niat menjadi tentara. Jika kita merasa engkau bukan orang yang takut mati, mungkin memang kita tidak layak memegang senjata, karena senjata adalah alat untuk melindungi rakyat negeri kita, sebagaimana juga raga kita sendiri jika kondisi menuntut.

Janganlah kita jadi tokoh masyarakat dengan harapan ingin mendapat gengsi dan dihormati, jika kita tidak siap untuk selalu memberi contoh dan teladan dalam perkataan dan perbuatan. Tokoh masyarakat yang tidak bisa jadi panutan adalah beban untuk masyarakat, dengan merusak standar perilaku masyarakat!
Jika kita secuilpun tidak ada niatan untuk menjadi teladan, hendaknya kita renungkan kembali dan pikirkan betul arti integritas itu. Jika kita merasa memang kita tidak pantas diteladani, mungkin memang diri kita juga tidak pantas untuk dihormati, karena hormat datang seiring dengan perbuatan yang memang patut untuk mendapatkannya.

Janganlah kita jadi pemimpin dengan harapan ingin memegang kendali dan berkuasa atas orang-orang, jika kita tidak mau tulus mengabdi. Pemimpin yang tidak tulus bukan hanya beban, ia adalah BENCANA bagi rakyatnya ketika ia memimpin!
Jika kita merasa tidak ingin tulus untuk memimpin, jangan menjadi pemimpin. Jika kita merasa memang tidak memiliki niat yang baik untuk menjadi pemimpin, mungkin memang kita juga tidak boleh memegang kendali atas rakyat, karena tunduknya rakyat adalah bentuk kepercayaan rakyat terhadap ketulusan niat pemimpinnya untuk membuat rakyatnya menjadi lebih baik.

Janganlah kita menjadi mahasiswa ITB dengan harapan ingin memperoleh ilmu, pengalaman, dan pekerjaan, jika kita tidak mau mengamalkan semuanya itu untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, seperti janji dan ikrar mahasiswa yang harusnya kita ucapkan dengan lantang dalam sidang penerimaan mahasiswa baru di Gedung Sabuga! Mahasiswa ITB yang abai mengembalikan ilmunya kepada kesejahteraan rakyat Indonesia, adalah beban bagi negara dan rakyat yang membiayai kuliahnya, adalah inhibitor bagi rekan-rekannya yang lebih berniat tapi tak mampu masuk ITB, adalah duri di mata rakyat Indonesia yang tak berdaya dan tiap harinya merindukan pembebas!

Jika kita tidak kuat dengan semua itu, menepilah. Ilmu yang kita pelajari di kampus, pengalaman yang kita alami sebagai mahasiswa ITB di lingkungan yang disusun ITB (kerja praktek, kuliah bersama dosen-dosen terbaik Indonesia, tugas-tugas kuliah yang menempa diri, aktivitas kemahasiswaan yang beragam), dan pekerjaan yang akan kita jalani, itu adalah sarana yang diberikan ITB kepada kita agar kita bisa membangun dan memajukan negara ini! Jika kita tak mau menjalankan kewajiban kita, ada baiknya jika kita menepi, memberi tempat kita pada yang lebih berniat! Jika sudah terlanjur kita mengambil semua keringanan itu, lakukanlah kewajiban kita!

Manusia bebas memilih jalan hidupnya. Bukan orang lain yang menentukan. Kita sendiri. Maka dari itu, hendaknya kita bijak sebelum memilih jalur. Mudah-mudahan kita tidak memakan jalur orang lain dalam menjalani hidup kita. Pilihan antara beban dan keringanan adalah satu paket. Jangan ambil secara terpisah.

Ada yang bilang, be yourself, not what people expects from you. Sepintas bijak. Tapi ini adalah ajaran postmodernisme yang pragmatis! Orang memiliki ekspektasi ke kita karena kita telah terlebih dahulu menjalankan peran kita sebagai orang yang menanggung ekspektasi orang lain! Silakan bayangkan jika presiden kita berbicara "Rakyat boleh menuntut apa saja dari diri saya, tapi saya tidak akan berubah." Bisa digantung nggak presiden kayak gitu? Well, kalau presiden tidak mau jadi seperti yang rakyat harapkan, presiden bisa turun. Tugas presiden, seperti halnya tugas tentara, tokoh masyarakat, mahasiswa ITB, dan bus Transjakarta, adalah menanggung beban dan harapan dari rakyat. Tidak mau menanggung ekspektasi orang? Step down please.

Tapi kembali lagi, itu adalah hidup kita. Kita boleh melanggar jalur semaunya. Tak ada sanksi, hanya kepatutan di pikiran kita sendirilah yang menjadi marka jalan yang membatasinya.


Jalur mana yang kita pilih?


Bogor, 3-4 Maret 2012
ditulis oleh seorang sarjana Teknik Kimia ITB
yang berharap semoga ia telah ada di jalan
untuk mencapai cita-cita besarnya;
seseorang yang mudah sekali terinspirasi
oleh hal kecil yang ada di sekelilingnya;
dan seorang pengguna rutin bus Transjakarta
.





.

Tidak ada komentar: