Sabtu, 27 Agustus 2016

Tabib dan Tukang Bangunan

Alkisah di suatu zaman susah, hiduplah seorang ahli tukang bangunan bernama Hap Seng, yang baru saja menjadi pengangguran karena sepinya pekerjaan. Suatu hari, sepulangnya luntang-lantung mencari kerja, ia mengeluh pada istrinya, Lien Hua, betapa sulitnya mendapat pekerjaan. Istrinya hanya menimpali:

"Yah memang masa sekarang lagi susah, sedikit orang yang butuh tukang bangunan, lagi nggak ada yang mau bikin bangunan. Andaikan lu tabib kayak tetangga sebelah kita si Peng San; coba itu liat, tiap hari orang sakit ngantri terus berobat ke dia, kagak putus-putus!"

Mendengar perkataan istrinya tersebut, Hap Seng mendapat ide.

Keesokan harinya, Hap Seng memasang papan di depan rumahnya. Tulisannya: "TABIB HAP SENG. MENANGANI SEGALA MACAM PENYAKIT. SEKALI BEROBAT Rp 20.000. TIDAK SEMBUH UANG KEMBALI 5x LIPAT."
 
 
Peng San yang melihat papan yang dipasang Hap Seng, terheran-heran. Ia bertanya "Hap Seng, setau gua, lu kagak pernah belajar ilmu pengobatan. Kok lu berani-beraninya buka praktek tabib di sini?"

Hap Seng menjawab enteng "Namanya juga hidup nyari nafkah, Peng San. Pembangunan boleh berhenti, tapi yang namanya orang sakit kan bakal ada terus. Lagian jadi tabib kayaknya nggak susah-susah amat, jadi bisa aja lah gua."

Merasa diremehkan sebagai tabib senior yang sudah lama berpraktek, Peng San diam-diam tersinggung. Ia memutuskan untuk memberi pelajaran pada Hap Seng.

Keesokan harinya tabib Peng San datang berobat ke tempat praktek Hap Seng. Ia berpura-pura mengidap penyakit aneh yang sudah ia karang sebelumnya: lidah mati rasa. Kalau makan, gula tidak terasa manis, garam tidak terasa asin, begitu kata Peng San.

"Bentar..." kata Hap Seng setelah mendengar keluhan Peng San. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata : "Lien Hua...! Coba ambil obat nomor 27."

Lien Hua mengambil obat nomor 27 dari rak dan menyerahkannya ke Hap Seng. Kemudian Hap Seng menyuruh Peng San buka mulut, dan meneteskan obat tersebut ke lidah Peng San.

"Aseeeemm...!!!" jerit Peng San. "Ini sih bukan obat, ini cuka!!!"

"Nah, selamat, lidah lu udah sembuh. Udah bisa merasakan cuka." kata Hap Seng datar. "Tarifnya 20 ribu perak."

Peng San membayar dengan menggerutu. Sesampainya di rumah, ia memikirkan lagi bagaimana cara membalas dendam ke Hap Seng. Keesokan harinya, Peng San kembali mendatangi tempat praktek Hap Seng, dengan menyiapkan penyakit karangan yang baru: penyakit pikun. Akhir-akhir ini, kata Peng San, dirinya cepat lupa. Diajak ngomong hari ini, besoknya sudah lupa semua.

"Hmmm...." gumam Hap Seng. "Ada obat yang cocok. Lien Hua...! Coba ambil obat nomor 27."

"Eh! Enak aja!" protes Peng San. "Obat nomor 27 kemarin itu, kan isinya cuka! Jangan macem-macem lu!"

"Nah, selamat, ingatan lu udah balik. Udah bisa ingat kejadian hari kemarin." kata Hap Seng datar. "Tarifnya 20 ribu perak."

Dengan terpaksa Peng San kembali membayar. Sesampainya di rumah, dirinya makin panas dan makin bertekad untuk mengalahkan Hap Seng. Keesokan harinya, dirinya kembali datang ke tempat praktek Hap Seng, mengaku bahwa matanya buta!

"Hmmmm...." gumam Hap Seng. "Hmmmm......." ia berpikir selama lima menit, kemudian terdiam sambil memandangi Peng San.

"Gua nyerah." akhirnya Hap Seng berkata. "Penyakit lu yang ini, kagak bisa gua obatin. Ini, sesuai janji, gua balikin duit lu 5x lipat. 100 rebu perak."

Peng San tersenyum puas sekali dan tertawa ngakak keras sekali dalam hatinya sambil menerima selembar uang yang disodorkan Hap Seng. Namun sejenak kemudian dahinya berkerut.

"Heh, Hap Seng, yang lu kasih ini bukan uang 100 ribu. Ini uang 10 ribu!" protes Peng San.

"Nah, selamat, mata lu udah melek. Udah bisa ngebedain duit 10 ribu dan 100 ribu." kata Hap Seng datar, kemudian mengambil lembaran 10 ribu dari tangan Peng San. "Tarifnya 20 ribu perak."





.

Tidak ada komentar: