Senin, 16 September 2013

Rupiah Melemah, Dosanya Insinyur

Hari-hari terakhir ini masyarakat Indonesia dipusingkan dengan anjloknya nilai rupiah. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika. Rupiah dan dollar adalah dua dari berbagai mata uang yang ada di dunia ini. Mata uang adalah alat bantu tak langsung yang digunakan untuk menilai barang, jasa, dan nyaris segala macam apapun yang ada di dunia modern ini. Jika mata uang diposisikan sebagai komoditas juga, maka penurunan nilai rupiah disebabkan oleh suatu 'tangan tak terlihat', konsep abstrak yang dipakai beberapa ekonom untuk menggambarkan mekanisme pasar.

Akibatnya tidak se-abstrak penjelasannya, tapi langsung terasa ke kehidupan: karena sedikit melemahnya mata uang nasional, kehidupan kita berantakan; harga-harga naik, orang makin susah hidup, orang makin tidak bahagia. Waktu saya kecil dulu, populer sekali istilah 'krisis moneter' yang mengubah arah gerak negara kita, hingga menggulingkan seorang presiden yang saking lamanya berkuasa, saya sampai mengira nama depan beliau "Presiden" dan nama belakang beliau "Soeharto". Jangan terlalu dipikirkanlah, otak anak kelas 4 SD...

Lantas mungkin ada yang berpikir, masalah ekonomi yang begitu pelik dan mengancam hajat hidup orang banyak ini, apa kaitannya dengan ilmu keteknikan, dan apa ada yang bisa dilakukan dari sisi keteknikan? Tentunya jawabannya ada dan bisa, karena kalau sudah bicara kondisi negara, semua disiplin ilmu itu saling terkait; dan ternyata bukan sekedar ada, tapi sangat erat kaitannya; bukan juga sekedar bisa, tapi juga bisa menjadi kuncinya. Bagaimana pula maksudnya? Kita cut aja intronya biar nggak lebih panjang daripada isi tulisannya (karena isi tulisannya sendiri singkat kok, orang cuma pendapat sepintas amatiran aja); begini ceritanya.

Sewaktu mahasiswa saya pernah menulis sebuah cerita semi-fiksi yang sebagian besar isinya adalah Author Filibuster dari hasil kontemplasi saya terhadap peran para insinyur dan ilmuwan-ilmuwan alam terhadap dunia ini, yaitu segalanya. Tergolong radikal dan provokatif serta keras campur narsis, karena memang saat itu ditulis untuk kalangan sendiri alias internal himpunan mahasiswa teknik kimia. Tetapi percayalah bahwa seperti spanduk "selamat datang putra-putri terbaik bangsa", tulisan itu dibuat bukan untuk bahan jadi sombong, tetapi justru untuk menyadarkan betapa berat jadi orang yang dikaruniai kemudahan untuk bisa (dan harus) menjadi manfaat bagi orang lain, masyarakat luas, bahkan bangsa dan dunia.

Oke maafkan saya jadi melantur lagi. Itu tadi masih masuk intro. Sekarang kita masuk ke dalam poin yang mau disampaikan.

Logika sederhana saya, yang pendidikan ekonominya hanya sebatas sampai kurikulum SMA dan sisanya empiris saja dari pengalaman hidup, adalah begini.

Nilai rupiah melemah adalah karena permintaan-penawaran, di mana dollar semakin jarang, sehingga untuk memperoleh sekian dollar dibutuhkan makin banyak rupiah.

Dollar semakin jarang, karena menurut prinsip neraca, jumlah dollar yang keluar dari Indonesia lebih sedikit dari jumlah dollar yang masuk. Ini berkaitan dengan fungsi dollar sebagai devisa, yaitu alat tukar yang umum diakui dalam perdagangan internasional.

Dollar yang masuk ke Indonesia adalah dollar yang didapat dari pihak luar negeri, dengan cara berdagang produk yang kita buat di dalam negeri yang dijual keluar dan dibayar dengan dollar, alias ekspor. Sementara dollar yang keluar dari Indonesia adalah dollar yang kita berikan kepada pihak luar negeri ketika kita membeli produk yang dibuat di luar negeri dan dibayar dengan dollar, alias impor.

Neraca dollar Indonesia secara sederhana adalah Akumulasi (jumlah dollar di Indonesia) = In -Out + Generasi. Karena Indonesia tidak mungkin membuat dollar (=Generasi), maka jumlah dollar di Indonesia berkurang, kata orang, karena jumlah dollar yang keluar makin banyak, alias impor makin banyak. Kalau kata orang lagi, dalam "Out" itu selain impor, ada lagi dollar keluar dalam jumlah besar yaitu untuk bayar utang luar negeri kita. Ya intinya yang "Out" itu makin besar kalau kata orang.

Nah. Ini dia. Kalau balik membahas masalah intinya yaitu kekurangan dollar, logika sederhana saya mengatakan bahwa masalahnya ya dua. Yang pertama seperti dikatakan orang: "Out"-nya membengkak, yang kedua yang orang sering lupa, "In"-nya tidak bertambah mengimbangi pertambahan "Out"!

Itu dari rumusnya. Nah kalau terjemahannya bagaimana? Terjemahannya, bangsa kita ini kebanyakan mengimpor dan terlalu sedikit mengekspor. Kalau mau diringkas lagi, kedua poin tersebut berarti: kurangnya kemandirian bangsa! Maksudnya bagaimana? Begini pemikiran sederhana saya.

Dari sisi kebanyakan impor, maksudnya adalah kita tidak bisa membuat barang-barang yang kita butuhkan sendiri. Sederhananya, tinjau saja kebutuhan dasar kita: pangan. Makanan pokok: nasi. Beras: impor. Kita sangat gemar makan roti dan mie, bahkan Indomie menjadi trademark kita di mata dunia, tetapi bahan bakunya yaitu gandum: 100% impor. Tahu tempe makanan nasional, bahkan identik dengan makanan semua rakyat termasuk rakyat kecil, tetapi bahan bakunya yaitu kedelai: 100% impor.

Sebagian besar bahan pangan yang sudah jadi bahan makanan lokal tak terpisahkan dari bangsa ini pun impor: bawang, cabe, sayuran, daging sapi plus pakan sapinya. Berarti bahan baku rendang, makanan khas Indonesia yang katanya juara 1 makanan terenak dunia, itu sebagian besar sudah impor! Padahal katanya negeri kita ini tanahnya subur makmur dan kaya, tapi untuk mengisi perut sendiri saja harus impor semua. Itu baru daratnya. Di laut, kita sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, terkenal pula sebagai salah satu importir garam terbesar.

Kebutuhan dasar lainnya: pakaian. Material baju yang kebanyakan adalah bahan sintetis, produk petrokimia, impor. Kemudian plastik, material dari sebagian besar bahan-bahan rumah tangga saat ini, impor. Sangat tidak respectable bangsa sebesar ini hanya punya pabrik plastik beberapa gelintir dengan kapasitas belum mencukupi kebutuhan. Itupun bahan baku pabrik plastiknya impor. Ya, minyak bumi, impor! Minyak bumi yang adalah darah peradaban modern! Belum cukup impor minyak bumi, bahkan untuk produk utamanya, bahan bakar, kita pun masih mengimpor sebagian. Perlu dijelaskan lagi arti vital bahan bakar cair (bensin, solar dst) alias saat ini BBM, di dunia modern ini? Rasanya sudah terlalu jelas.

Lalu beralih ke kebutuhan vital masyarakat modern lainnya. Bangunan, konstruksi, infrastruktur. Struktur dan alat berat. Baja 30% lebih impor, mesin-mesin impor semua mulai dari pompa air sampai turbin uap, padahal Indonesia kaya akan bijih besi, bijih nikel, dan insinyur mesin. Aspal untuk jalanan 50% lebih impor. Kendaraan semua merk asing, biarpun dimanufaktur di Indonesia tapi materialnya sebagian besar impor, termasuk mesin-mesinnya yang mahal.

Kemudian satu lagi nadi dari kehidupan modern: listrik dan telekomunikasi. Kabel listrik materialnya 40% impor padahal Indonesia salah satu produsen tembaga dan bauksit terbesar dunia. Apalagi yang namanya barang-barang mahal atau teknologi tinggi, wah hampir semua impor! HP, komputer, serta segala gadget dan alat elektronik lainnya. Di abad elektronik dan internet ini. Padahal Indonesia penghasil timah terbesar, dan dengan demikian berpotensi juga sebagai produsen rare earth element/LRE atau logam tanah jarang/LTJ terbesar.

Belum lagi jika kita bicara produk kimia. Untuk pengolahan bahan-bahan yang kita tidak impor, ternyata bahan-bahan kimianya impor! Katalis-katalis, enzim, pelarut, aditif, water treatment, koagulan, dan sebagainya. Bahan-bahan berharga selangit macam produk-produk farmasi termasuk obat-obatan pun sebagian besar impor. Termasuk kebutuhan pertahanan saja sebagian besar impor: senjata, amunisi, kendaraan tempur. Mau membangun industri pemroduksinya? Bah, alat-alat dan teknologinya pun impor semua.

Itu semua contoh bahwa kita sebagai bangsa yang besar (wilayah dan jumlah penduduknya, juga katanya sumberdayanya) malah tidak mampu memenuhi kebutuhan kita sebagai bangsa yang besar itu, sehingga hampir semua kebutuhan kita harus impor. Memang di era perdagangan bebas ini jual beli antarnegara adalah hal yang wajar, tetapi yang tidak wajar adalah kita membuang uang untuk membeli barang yang harusnya lebih murah kalau kita buat sendiri, dan juga membuang uang (opportunity loss) ketika kita menjual barang yang seharusnya bisa kita jual lebih mahal! Dan di sinilah masuk poin kedua: dari sisi kekurangan ekspor.

Jika tadi dilihat dari pembahasan soal kebanyakan impor, maka impor kita yang tidak perlu sebenarnya secara kasar dibagi menjadi impor bahan mentah yang kita tidak sanggup sediakan karena bobroknya sektor hulu, dan impor bahan turunan yang sebenarnya kita punya bahan mentahnya. Di sinilah, impor-impor yang tidak perlu ini sebenarnya bisa kita tutup dengan cara membetulkan sektor hulu (pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan dst) dan dengan mendirikan pengolahan bahan baku menjadi bahan turunan yang lebih mahal. Bahkan, kita pun bisa dan harus berubah dari importir menjadi eksportir untuk beberapa komoditas tersebut.

Kemarin, saya mengikuti diskusi kamisan yang diadakan di rumah alumni IA-ITB di Jakarta. Topiknya kebetulan menyinggung masalah industrialisasi ini, dibawakan oleh salah satu alumni TK ITB yang cukup ternama di dunia perindustrian Indonesia: Ir. Rauf Purnama (TK'62) yang track recordnya bisa dicari di google. Tema acaranya adalah "SDA, UUD 1945 Pasal 33, dan Kemakmuran/Kesejahteraan", materinya bisa dibaca di sini. Apa yang saya dapat?

Bahwa negara ini belum dalam menghayati pasal 33 UUD 1945 yang dicetuskan para pendiri negara sebagai dasar ekonomi nasional. Saya tidak akan bahas ayat per ayat karena menumpuknya penyelewengan di sana, tetapi kita tinjau ayat 3 seperti disorot Pak Rauf: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Jika "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" kita artikan sebagai SDA (sumber daya alam, bukan menteri agama), maka menurut saya tafsiran dari "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" adalah dengan diolah secanggih mungkin menjadi barang yang semahal mungkin alias diberikan nilai tambah, bukan hanya diekspor begitu saja. Bingung? Begini.

Waktu saya SD, pemerintahan via pendidikan dan berita TV seolah-olah mendoktrin saya bahwa ekspor itu baik dan impor itu buruk. Ada benarnya juga, namun ternyata tidak semua ekspor baik. Seperti sudah saya jelaskan, ada 'opportunity lost' ketika kita mengekspor suatu barang dengan harga sangat murah, padahal hanya dengan diproses beberapa langkah, barang itu sudah jadi barang lain yang lebih mahal dan bisa kita jual dengan harga mahal pula. Lebih bodohnya lagi, ketika kita mengekspor/menjual barang mentah yang murah itu, tapi kita justru membeli produk mahal hasil olahan barang kita yang murah itu dari negara lain, alias mengimpor! Bodohnya makin pol ketika yang terjadi adalah negara lain membeli barang mentah dari kita dengan harga murah, membikinnya jadi barang mahal di negara mereka, dan menjualnya kembali ke negara kita dengan harga mahal!

Inilah maksudnya; negara kita yang sebenarnya dari potensinya bisa jadi pengekspor, malah hanya jadi pengimpor. Seharusnya bisa memiliki daya saing tinggi, tapi malahan terpuruk. Seharusnya bisa memenuhi semua kebutuhan rakyatnya, bahkan sampai rakyat negara lain juga, namun kenyataannya harus bergantung pada produk luar negeri dari mulai kebutuhan dasar hingga barang mahal. Seharusnya bisa mengeruk devisa sebesar-besarnya, tapi malahan terpaksa ngutang demi menjaga nilai tawar mata uang.

Sebagian besar presentasi Pak Rauf di hari kamis malam kemarin berkisar pada penjabaran soal contoh-contoh SDA yang selama ini kita sia-siakan dengan mengekspor bahan mentah terlalu murah dan tidak mengolahnya lebih lanjut. Dari satu bahan mentah saja, bisa dihasilkan ratusan macam produk yang bisa dijual dengan harga ratusan kali lipat (!!!) dan membuka lapangan kerja ribuan kali lipat dibandingkan jika diekspor begitu saja dengan harga murah. Selengkapnya bisa didownload di link yang saya berikan, namun berikut saya berbaik hati membagikan beberapa tampilan slide beliau mengenai contoh-contoh berapa jumlah dollar yang bisa kita keruk jika kita membangun industri pengolahan bahan mentah ketimbang menjualnya begitu saja (semua screenshot yang saya tampilkan adalah berasal dari slide presentasi karya Ir. Rauf Purnama).


1. Industri berbasis gas alam.

 
Gas alam yang selama ini dijual dalam bentuk LNG ternyata dapat menjadi berbagai macam produk yang dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan. Kalau diperhatikan lagi, coba deh, kira-kira LNG kita diekspor untuk diapakan sama negara pembelinya? Yak, betul, untuk diolah menjadi produk-produk turunan yang ada di kanan itu, yang akhirnya kita beli lagi dari mereka karena kita butuh dan kita 'nggak punya industrinya' (padahal kalau ada bahan baku ya harusnya kita juga bisa bikin dong): plastik, tekstil, ban, pembungkus, obat, dll...


Ini contoh untuk gas kita dari Blok Natuna yang dijual via pipa gas ke Singapura, tentunya dengan harga jauh lebih rendah dari LNG. Bandingkan jika kita hanya menjual gas sebanyak 700 MMSCFD itu begitu saja, harganya hanya US$ 1,04 miliar. Tapi jika kita olah gas alam itu dalam bentuk industri, misalnya bikin kompleks industri di Batam (jarak Natuna-Batam tidak jauh berbeda daripada Natuna-Singapura sehingga pipa gas kurang lebih panjangnya sama), menjadi produk yang tidak terlalu rumit, cukup menjadi amonia dan metanol, di mana amonia dapat diolah lebih lanjut di sebuah pabrik pupuk besar menghasilkan pupuk urea dan produk-produk sampingnya diolah lagi menjadi asam formiat dan hidrogen peroksida (contohnya persis pabrik Pupuk Kujang sekarang, yang dulunya Pak Rauf juga ada andil mengembangkannya) serta sebagian lagi dibuat amonium nitrat (bahan peledak) dan akrilonitril (bahan baku karet sintetis)... maka nilainya naik jadi 5 kali lipat!

Belum lagi jika kita mengolah produk-produk ini lebih lanjut. Metanol sendiri sebenarnya dapat diolah menjadi puluhan jenis produk mulai dari bahan bakar, plastik, hingga obat dan bahan aditif makanan. Akrilonitril dapat diolah menjadi material seperti plastik, karet sintetis, maupun komponen elektronik. Datanya saya tidak ada, tapi silakan perkirakan sendiri pertambahan nilai yang didapat.

2. Industri berbasis nikel.


Ini dia salah satu barang tambang yang sedang jadi dilema. Industri hilirnya coba dipacu oleh pemerintah via larangan ekspor bijih mentahnya dengan UU Minerba, namun para penambangnya malah menjual sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya sebelum UU tersebut jatuh tanggal pelaksanaannya pada tahun 2014. Para penambangnya lebih suka ia dijual murah begitu saja dalam bentuk bijih mentah, padahal nikel adalah bahan baku stainless steel (dialah yang membuat steel menjadi stainless), komponen mesin-mesin canggih, magnet, dan beberapa komponen baterai dan elektronik. Dan lain-lain.

Belum ngomong industri elektronik atau besi baja yang bisa dikembangkan dari nikel, cukup ke produk yang sekadar meningkatkan kemurnian nikel dari bijihnya seperti ferronickel, nickel matte, dan nikel murni... kita sudah dapat peningkatan nilai tambah sebesar lebih dari 13x lipat.

3. Industri berbasis tembaga.


Ingat tembaga jadi ingat tambang Grasberg, simbol imperialisme modern di mana rakyat Irian ditindas, perut buminya dikeruk habis oleh kawan bule kita. Bijih yang diangkut ke luar negeri itu jika diolah di tempat dalam sebuah smelter mungkin dapat mengembangkan industri mekanikal dan elektrikal nasional. Namun saat ini bijihnya hanya diekspor begitu saja, meninggalkan uang di kantong-kantong pejabat Jakarta dan limbah penghancur lingkungan di pulau berkeragaman hayati tertinggi di dunia.


Dan mungkin kawan-kawan praktisi pertambangan dapat menjelaskan bahwa bijih tembaga itu selalu diikuti oleh emas dan sedikit perak. What? Asal anda tahu, tambang Grasberg itu bukan 'hanya' tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Namun, ia juga adalah tambang emas terbesar di dunia! Sementara emas sendiri adalah juga devisa negara. Ya, kita pemilik tambang emas terbesar dunia hanya memiliki cadangan emas terbesar ke-40 dunia sebanyak 73,1 ton, sementara hasil emas dari tambang Grasberg pada tahun 2006 saja adalah 58,5 ton/tahun! Anda tahu siapa pemilik cadangan emas terbesar dunia? Yak, betul, mbahnya Freeport, negara Oom Sam, dengan cadangan emas 8311 ton. Tambang Grasberg beroperasi sejak 40 tahun lalu, jadi silakan hitung kira-kira berapa persen cadangan emas negerinya Barack Obama itu yang berasal dari bumi kita. Sudah ketemu kira-kiranya? Silakan tepuk tangan.

4. Industri berbasis minyak bumi.


Minyak bumi ini, seperti sudah saya katakan, darahnya abad modern. Semua produk utama abad ini memerlukan minyak bumi: transportasi, komunikasi, industri (via BBM) dan material-material seperti tekstil, plastik, dll (via petrokimia). Dahulu kala, ketika kita masih dianggap negara kaya minyak, ada rencana untuk menjadikan industri petrokimia (pengolahan minyak bumi) menjadi kickstart untuk urat nadi perekonomian nasional. Maksudnya, itulah industri yang cepat menghasilkan uang, kemudian uangnya digunakan untuk mengembangkan industri-industri lainnya; contoh industri kickstart ini adalah industri otomotif Jepang dan industri besi baja Korea Selatan. Melihat negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang tak memiliki minyak bumi namun bisa mengembangkan industri petrokimianya, rasanya sebenarnya dahulu kita, yang memiliki bahan bakunya, pasti mampu. Mengapa tidak jadi? Kurang niat atau kurang kapasitas atau kurang ajarnya negara lain? Tidak penting, yang penting adalah sekarang tidak jadi. A missed opportunity.

Skema di atas menunjukkan perbandingan antara pengolahan minyak bumi menjadi BBM dengan pengolahan minyak bumi menjadi salah satu alternatif jalur saja, yaitu paraxylene, bahan baku polimer yang menjadi bahan baku tekstil sintetis. Pertambahan nilainya? Bisa mencapai 170x lipat! Kita belum bicara produk-produk lain yang daftarnya saja akan menghabiskan berhalaman-halaman.

5. Industri berbasis minyak sawit.


Minyak sawit. Minyak zaman modern yang penuh kontroversi (selengkapnya bisa dilihat di salah satu tulisan saya di sini). Negara kita adalah penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, menyuplai lebih dari 50% minyak sawit dan 20% minyak tanaman dunia. Terlepas dari kemunafikan dengan mencacimaki minyak ini sebagai minyak tak ramah lingkungan, toh negara-negara maju tetap mengekspor berjuta-juta ton CPO untuk mereka olah menjadi produk-produk mahal di negara mereka. Mereka tidak mau lagi beli CPO Indonesia? Baik, silakan saja kita embargo diri sendiri; tutup ekspor CPO, buat beribu-ribu pabrik biodiesel (dan dengan demikian menghapus impor solar serta subsidi solar dan listrik PLTD), pelumas, polimer, kosmetik, sabun, dan lain-lain. Oleochemical, pengganti petrochemical; bahan kimia zaman baru.

----------------

Semua contoh tersebut hanya baru membahas dari sisi keuntungan yang didapat berkat pertambahan nilai produk dibanding bahan mentahnya. Belum lagi jika disebutkan multiplier effect yang tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting: meningkatnya kemakmuran rakyat berkat akses ke barang-barang murah untuk kebutuhan sehari-hari, pembukaan lapangan kerja untuk jutaan rakyat Indonesia. dan berlipatnya pendapatan negara dari pajak!

Itulah kunci dari presentasi beliau: peningkatan statusisasi rakyat labil ekonomi dan penghapusan konspirasi kemakmuran melalui harmonisisasi industrialisasi via integrasi dan hilirisasi. Nah, yang ngerti itu siapa? Gimana caranya?

Jawabnya jelas: seharusnya para insinyur yang paling tahu. Seharusnya tanggung jawab para insinyur terutama untuk menjalankannya. Agar bangsa ini tidak lagi menjadi enigma terbesar di dunia. Bangsa yang kaya tapi miskin. Ayam mati di lumbung padi. Tergilas oleh bangsa-bangsa miskin semacam Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tidak punya SDA tapi menjadikan industri sebagai pilar ekonominya. Modal mereka bukan SDA, tapi SDM. Bahan baku bisa dibeli, tapi teknologi dan eksekusinya direncanakan oleh SDM yang berkualitas dan visioner, serta berjiwa nasionalis, memperjuangkan kepentingan negaranya.

Kompleks raksasa Jurong Petrochemical Island di Singapura, negeri pulau yang tak lebih luas dari ibukota negara kita, dibangun dengan sengaja di atas tanah reklamasi yang pasirnya so pasti dari Indonesia, dengan investasi total mencapai US$ 31 miliar, untuk memproses 1,3 juta barel per hari minyak bumi yang setetes pun tak ada yang digali dari tanah mereka, menjadi produk-produk mahal bernilai US$ 66 miliar per tahun, yang dijual antara lain ke negara kita yang ngakunya kaya minyak, membuat Singapura menjadi negara pengolah minyak ketiga terbesar di dunia... dengan jumlah lifting crude oil nasionalnya sebesar 0 barel per hari!

Dan mereka yang miskin itu, akhirnya bisa kaya, bermodalkan skema dan keinginan kuat. Apalagi kita, yang katanya kaya. Niat, kemauan, dan ketegaran hati. Apakah menteri energi dan sumber daya mineral kita bukan insinyur? Apakah menteri perindustrian kita bukan insinyur? Apakah menko perekonomian kita bukan insinyur yang mantan ketua ikatan alumni kampus unggulan penghasil insinyur? Jelas ini bukan ketidaktahuan, karena informasi di atas semuanya hanya ditulis bermodalkan logika dan internet.

Jadi sederhananya begini:

1. Rupiah melemah karena devisa negara dalam hal ini dollar berkurang.

2. Dollar didapat dari ekspor dan dibuang via impor.

3. Beberapa cara untuk menambah dollar adalah mengurangi impor dan menambah ekspor.

4. Cara mengurangi impor adalah dengan memproduksi sendiri barang-barang yang biasanya diimpor, sementara cara menambah ekspor adalah mengolah lebih lanjut barang-barang yang biasanya langsung diekspor mentah-mentah.

5. Kunci dari kedua hal tersebut (cara mengurangi impor dan menambah ekspor) adalah membangun kemandirian industri yang memberi nilai tambah.

6. Yang dibekali ilmu dan bertanggung jawab untuk membangun kemandirian industri pemberi nilai tambah adalah para teknokrat, insinyur-insinyur, khususnya insinyur proses dan insinyur-insinyur lainnya.

7. Dengan demikian, dosa insinyurlah rupiah melemah, dan tanggung jawab insinyurlah menguatkan rupiah.

Mohon maaf kesimpulan ini masih mentah, hanya dibekali sedikit fakta dan berbekal logika sederhana, serta dibungkus penyampaian unek-unek selaku calon insinyur.

Sebenarnya nggak ada yang baru sih dengan tulisan saya. Semua ada di internet atau berita. Pengetahuan umum yang dirangkum doang. Makanya namanya juga pemikiran sederhana. Semoga saja bisa dibaca secara sederhana dan dimaknai secara sederhana juga: bangun pemudi pemuda Indonesia, lengan bajumu singsingkan untuk negara, masa yang akan datang kewajibanmulah, menjadi tanggunganmu terhadap nusa; kita adalah pejuang yang membela harga diri negeri ini, cita-cita satu negara kita yang harus menjawabnya!


Bandung, 14 September 2013
ditulis di sekre HIMATEK,
di tengah keributan ospek;
dilanjutkan di
Bogor, 15 September 2013
dengan kepala pusing
dan perut mulas;
diselesaikan di
Jakarta, 16 September 2013
pagi-pagi terburu-buru
setelah mandi keringat di KRL;
jadi maafkanlah jika ada salah.