Minggu, 10 Februari 2013

Biorefinery Series - Part 1 : A Reidentification; Obrolan Ringan dengan Sang Profesor

"Saya akan menjalani karir dengan berorientasi pada pengembangan ilmu dan skill untuk menjadi integrator antara elemen-elemen ABG; mempersatukan dan menjembatani pihak akademisi, bisnis, dan pemerintah untuk bersinergi."

Janji pribadi, diucapkan dalam batin di tengah jalan tol Cipularang, 4 Januari 2013

Jadi... menyambung bagian sebelumnya dari cerita Biorefinery Series (Intro), akhir tahun lalu itu saya begitu penasarannya untuk mencari tahu: mengapa sepertinya industri bioproses di Indonesia tidak berkembang?

Ketika kuliah dulu saya mengambil sub-program studi Teknologi Bioproses mulai dari semester 4, tentunya pilihan itu dijatuhkan bukan tanpa alasan, meskipun tidak semua alasannya cerdas (seperti misalnya karena terkenal sebagai pilihan yang paling sulit, atau karena pilihan yang umum-umum saja terkesan kurang keren, atau hal-hal lainnya yang pastinya tidak sehat untuk dibahas sekarang), namun yang pasti alasan-alasan itu timbul setelah tahap mencari informasi secara langsung maupun tidak langsung terutama dari senior-senior di program studi Teknik Kimia ITB.

Dari periode pencarian alasan tersebut, ditambah dengan 2,5 tahun belajar teknologi bioproses, plus 1 tahun lebih memperdalamnya lewat penelitian di jenjang S2, maka yakinlah saya bahwa ini memang ilmu yang tepat dipelajari. Singkatnya: prospektif dan bermanfaat. Penjabarannya?

Secara umum industri bioproses itu seperti industri kimia biasa saja, perbedaannya adalah saat prosesnya dia memakai biokatalis (katalis makhluk hidup seperti mikroba, enzim, dll). Konsekuensinya, banyak bahan baku (kebanyakan biomassa atau lebih umum dikenal dengan SDA mentah) yang tidak terolah dengan proses kimia biasa, dapat diolah dengan teknologi bioproses, menghasilkan produk-produk yang kebanyakan juga sulit/tidak bisa diproduksi lewat proses kimia biasa. Sehingga ke depannya, industri bioproses akan maju pesat karena perkembangan dunia saat ini mengarah ke sana. Mengapa?

Pertama, seiring dengan perkembangan industri dan lingkungan hidup saat ini, orang akan beralih ke bahan-bahan yang dianggap "dari alam". Itulah biorefinery! Berhenti menggunakan SDA tak terbarukan dan kotor (migas) namun tetap mendapatkan produk yang diinginkan, dengan mengganti bahan baku menjadi biomassa. Kedua, bahan baku dari alam, bahkan kebanyakan dapat berupa limbah, merupakan bahan baku murah yang jelas lebih menguntungkan secara ekonomi untuk membuat produk-produk yang sudah ada, dibanding dengan bahan baku saat ini yang lebih mahal karena semakin langka. Ketiga, orientasi manusia modern yang makin peduli pada kesehatan dan kehidupan menyebabkan industri bioproses berpotensi menjadi pemasok tunggal untuk banyak produk-produk dari biomassa yang bernilai mahal (antibiotik, enzim, asam amino, senyawa-senyawa berjumlah sedikit namun berharga tinggi) yang kebanyakan dibutuhkan untuk peningkatan standar kesehatan dan kehidupan.

Maka dari itu... industri bioproses terintegrasi adalah sinonim dengan biorefinery! Biorefinery yang adalah masa depan negara ini, negara yang begitu kaya alamnya, melebihi hampir semua negara manapun yang ada di atas bumi Tuhan nan permai ini!

Saat kuliah, saya diajarkan tentang apa saja yang dapat dilakukan industri bioproses. Tumbuhan, kayu, umbi, gula, rumput, buah, biji, limbah! Semua dapat diolah menjadi produk berharga. Saya belajar tentang bagaimana mikroba, atau mikroorganisme, dapat diarahkan untuk membuat produk apa saja. Saya belajar tentang industri bioproses yang hemat energi, kondisi operasi normal, dan produknya beragam. Saya belajar tentang produk-produk bernilai tinggi dan bernama aneh berbahasa dewa seperti asam metil isosianat, phenyl alanine, alkohol dehidrogenase, riboflavin, Clostridium tyrobutyricum, cephalosporin, dan lain-lain. Saya belajar perancangan reaktornya yang serba rumit dan kontrolnya yang ketat demi menjaga sterilisasi, saya belajar proses pemisahan senyawa-senyawa berjumlah sangat kecil itu hingga dapat dipekatkan jutaan kali sampai pada taraf dapat dijual, dan saya belajar tentang prospek industrinya di Indonesia yang (katanya akan sangat) cerah.

Nama "koenzim pyridoxal phosphate", intinya suatu senyawa protein/enzim lah, selebihnya jangan tanya.

Yang ini bahkan abaikanlah nama-namanya, lihat struktur-struktur molekulnya saja; lihat saja, jangan tanya.

Sedikit contoh rumus untuk... inhibisi enzim? Again, jangan tanya buat apaan.
Ketika lulus, dan mencari kerja... barulah saya bertanya-tanya; di mana ini tempat mengaplikasikan ilmu-ilmu canggih semacam itu? Intinya, bagaimana membangun dan mengembangkan potensi negara saya dengan ilmu itu? Apa ada industri di Indonesia yang membuat senyawa-senyawa canggih dengan nama-nama njelimet dan proses-proses super steril dengan bakteri-bakteri super aneh macam yang dipelajari di kuliahan dulu ya? Kok tampak seperti tidak ada ya?

Singkat cerita saja, skip dari sejak saya berpikir tentang hal itu (karena sebenarnya intro lebih detil sudah dituliskan dalam tulisan sebelumnya "Intro") hingga ke hari Jumat tanggal 4 Januari, di saat saya kembali menempuh rute Bogor-Puncak-Bandung dengan travel DEWA, berangkat dari rumah pukul lima pagi, pokoknya nostalgia jaman kuliah lah... hanya untuk meluangkan waktu selama 1,5 jam berdiskusi tentang kegelisahan saya itu, dengan seorang profesor di laboratorium mikrobiologi dan teknologi bioproses, program studi Teknik Kimia ITB. Beliau adalah mantan pembimbing tugas akhir rancang pabrik saya, dan salah satu orang yang saya anggap mengerti jawaban dari kegelisahan-kegelisahan saya.

Pokoknya cutiiii... back to campus bentar.
Pukul 13:30 hari itu saya memasuki ruangan beliau. Setelah sebentar beramah-tamah, kami kemudian memulai diskusi. Saya langsung membuka diskusi dengan melontarkan semua pertanyaan yang saya ingin temukan jawabannya. Sepolos-polosnya, senaif-naifnya.

Industri bioproses di Indonesia ini sudah berkembang hingga sejauh mana? Prospek ke depannya bagaimana? Jika kurang berkembang, apa saja hambatannya dan bagaimana cara mengatasinya?

Saya ingin mengembangkan industri bioproses di Indonesia. Langkah-langkah apa yang harus saya ambil? Harus mulai dari mana?

Tanpa terduga, Profesor menunjukkan senyum pahit. Agak getir, sepenangkapan saya saat itu. Dan ternyata memang tercermin dari paparan yang kemudian beliau berikan. Begini ceritanya, yang merupakan campuran 50:50 antara ringkasan percakapan saya dengan Profesor, dan pemikiran-pemikiran saya pribadi yang timbul baik sebelum, saat, dan setelah diskusi dengan Profesor.


=============================


Harus diakui, perkembangan industri bioproses di Indonesia memang tidak sepesat yang saya bayangkan waktu kuliah.

Kalimat di atas sebenarnya adalah understatement.

Lebih tegasnya lagi, perkembangan bio-based industry atau juga dikenal dengan istilah biorefinery secara umum (bukan hanya industri bioproses) di seluruh dunia (bahkan bukan hanya di Indonesia) secara keseluruhan memang melambat, tidak seperti yang (bukan hanya saya, tapi juga) Profesor bayangkan 15-20 tahun lalu! Prediksi 10 tahun yang lalu bahwa industri berbasis biomassa akan maju pesat didasari dengan asumsi-asumsi seperti yang sudah saya bahas di atas maupun di artikel sebelumnya, yang pada intinya adalah bioindustri digadang-gadang menjadi substituen yang ekonomis, ramah lingkungan, dan lebih baik daripada industri fosil/migas/petrokimia tak-terbarukan. Pada perkembangannya, ada hal-hal yang menghambat itikad tersebut. Bagaimana?

Pertama, premis awal bahwa "bioindustri adalah pengganti migas" sangat berdasar pada anggapan bahwa migas sudah tidak akan menarik lagi karena sumber-sumber migas akan habis dan sumber-sumber yang ada sulit untuk dieksplorasi. Pada kenyataannya, sumber-sumber migas baru masih terus ditemukan, dan teknologi untuk eksplorasi shale oil (minyak terperangkap dalam batu, yang merupakan cadangan minyak terbesar yang tidak dapat dieksplorasi karena sulit) ternyata dapat dikembangkan dan sekarang sedang giat-giatnya dilaksanakan.

Faktor ini diperparah dengan kondisi kedua, yaitu melemahnya perekonomian dunia. Saat ini, negara-negara maju yang menjadi pemain terdepan dalam perkembangan teknologi, banyak dilanda permasalahan ekonomi. Secara otomatis, hal ini menyebabkan terpotongnya dana untuk riset dan pengembangan, yang sangat memukul sektor bioindustri yang merupakan hal baru secara teknologi (dan dengan demikian sangat membutuhkan pengembangan lanjutan). Konsekuensinya, sektor baru ini, yang sangat tergantung pada riset, yang sangat tergantung pada dana, terhambat perkembangannya. Ditambah lagi, di saat perekonomian melemah, negara-negara tersebut lebih memilih untuk tidak mengambil resiko untuk riset hal-hal baru dan mengutamakan sumber energi yang aman, yaitu dengan fokus di eksplorasi migas. Perekonomian lemah menjadi alasan untuk mengesampingkan isu lingkungan (yang menjadi salah satu poin kampanye bioindustri), ditambah lagi masa berlaku Protokol Kyoto yang habis pada tahun 2012.

Secara singkat... dana tidak ada, insentif hijau tidak lagi penting, migas yang ingin digantikan tak kunjung mati, praktis tidak ada advantage lagi untuk sektor bioindustri. Itu kejadian di negara-negara maju. Apalagi di negara kita, yang di keadaan normal pun dana dan perhatian terhadap risetnya memang sudah terbatas? Dan sejujurnya banyak orang yang berkecimpung di bidang bioindustri, termasuk Profesor, sedih dan prihatin atas fakta ini.

Menurut saya?

Menurut saya justru saat ini adalah saatnya negara kita menggebrak dan menyalip negara-negara lain! Situasi ini justru harus dimanfaatkan. Di saat negara-negara lain yang biasa di depan sudah mulai melambat, bola ada di pihak kita. Saat ini kita punya potensi ke depan untuk mengejar. Pertama, seperti yang baru dijelaskan, di saat kompetitor melemah, memang sudah saatnya kita yang mengejar, selagi mereka dapat dikejar.

Kedua, sebenarnya dari segi sumber daya alam, kita ini berlimpah dan memiliki keunggulan! Tanah yang subur, menghasilkan tanaman-tanaman yang baik untuk bahan baku industri. Tebu dan singkong kita memiliki kandungan pati/gula dan produktivitas per hektar jauh lebih baik daripada mapel dan jagung orang bule. Kelapa sawit kita, jangan ditanya, menang mutlak daripada minyak kedelai dan kanola mereka. Kita punya short-coppice rotation plant (tanaman tumbuh cepat) yang punya banyak kegunaan lain seperti nimba dan mabai, yang pastinya tidak akan ditemui di kayu manapun milik mereka. Dan potensi SDA ini adalah faktor tak tergantikan, anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah yang akan sulit sekali untuk dapat dimiliki negara-negara lain. Faktor pembedanya hanyalah SDM; sesuatu yang kita, meskipun sekarang masih tertinggal, dapat terus asah dan perbaiki ke depannya.

Ketiga, tingkat kebutuhan negara kita terhadap teknologi hijau atau bioindustri lebih tinggi daripada yang lain. Jika pada poin kedua telah jelas bahwa negara kita unggul di potensi, di poin ketiga ini yang ingin ditekankan adalah negara kita butuh! Saat ini negara lain telah dapat memiliki standar hidup yang baik dan maju dengan teknologi canggih di segala lini, sehingga urgensi atau kebutuhan untuk berganti ke bioindustri tidak terlalu besar. Namun, negara kita pun belum banyak memiliki industri-industri dan teknologi canggih atau maju. Di sinilah, seperti yang pernah dikatakan salah seorang dosen saya yang lain, bangsa yang baru berkembang seperti kita perlu melaksanakan "loncat katak". Daripada terus-menerus mengadaptasi teknologi canggih dari negara orang (yang tentunya transfer teknologinya mahal dan sulit), terkadang juga hanya mendapatkan teknologi bekas yang ketinggalan zaman (seperti KRL yang merupakan kereta yang dianggap tercanggih di Indonesia, semuanya bekas Jepang tahun 1960-70an), lebih baik "loncat" ke teknologi yang belum dirambah negara-negara maju (namun pasti semua kelak akan mengarah ke sana) yaitu bioindustri! Justru ini kesempatan kita untuk mem-bypass teknologi-teknologi yang ada di negara-negara maju, dan menjadi peluang kita untuk setara dengan mereka.

Nah, telah jelaslah bagi saya bahwa sebuah kondisi ancaman harus kita ubah jadi peluang. Saatnya kita mengejar! Namun, kembali ke salah satu pertanyaan awal saya, mulai dari mana? Dan saya pun dapat menyimpulkannya, tentunya dengan petunjuk dari Profesor secara tidak langsung.

Sektor yang paling penting di dunia modern, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, dan mencakup sebagian besar porsi sektor turunan migas adalah: ENERGI. Pengembangan bioindustri secara mendasar di Indonesia harus dimulai dengan pemenuhan kebutuhan energi via biomassa... alias BIOENERGI! Bioenergi seperti apakah? Bioetanol dari singkong/tebu? Biodiesel dari sawit? Biogas? Jika terkait dengan pemenuhuan kebutuhan secepat-cepatnya, jawabannya: BIOLISTRIK dari biomassa, terutama limbah perkebunan. Langsung gunakan biomassa sebagai bahan bakar pengganti fosil (batubara/minyak) untuk membangkitkan listrik menggunakan turbin kukus di PLTU. Surplus biomassa dari perkebunan-perkebunan besar (sawit, tebu) khususnya di pulau-pulau besar luar Jawa dengan rasio kelistrikan masih rendah dan konsentrasi penduduk tersebar tidak merata (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi) berpotensi untuk membangkitkan listrik yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat hingga surplus, dan bahkan dapat merangsang pertumbuhan industri-industri yang akan memicu pemerataan kemakmuran nasional. Namun, jika terkait dengan pengembangan industri bioproses, bentuk bioenergi yang perlu ditinjau adalah....

Bioetanol generasi kedua dari lignoselulosa.

Mengapa? Pertama, dari segi potensi, lignoselulosa kita khususnya dari perkebunan-perkebunan besar, sangat banyak. Kedua dan yang terpenting, lignoselulosa itu merupakan basis teknologi bioproses. Apa?

Ya, secara umum, teknologi bioproses menciptakan produk-produk dengan bantuan mikroba. Dan makanan sebagian besar mikroba adalah gula, terutama glukosa. Lignoselulosa mengandung selulosa dan hemiselulosa, yaitu polimer gula (rantai panjang yang terdiri dari molekul-molekul gula), yang jika rantai itu dapat diputuskan, maka kita akan mendapatkan gula. Lignoselulosa adalah komponen terbesar tumbuhan sehingga limbah kayu, limbah rumput, limbah daun, dan sebagian besar badan tanaman kebun dapat menjadi sumber gula, yang tentunya murah (karena merupakan limbah yang tak termanfaatkan); lebih murah dari gula/pati yang merupakan bahan pangan!

Jadi, jika kita dapat menguasai bagaimana cara memecah selulosa menjadi gula, perkembangan teknologi bioproses di Indonesia pasti akan mengalami lonjakan besar. Dan untuk tahap awal, pengembangan pemecahan lignoselulosa ini dapat dipacu dengan iming-iming pemenuhan kebutuhan energi via pemecahan lignoselulosa... yaitu dengan memanfaatkan gula yang dihasilkan untuk menghasilkan bioetanol via fermentasi. Kebutuhan bensin Indonesia bisa terpenuhi dari limbah biomassa perkebunan saja! Jika perlu, sambil menunggu, bangkitkan listrik dengan biomassa via pembakaran langsung (PLTU) atau biogas. Ketika bidang energi ini tercover, maka selanjutnya, pemanfaatan gula yang dihasilkan dapat menyebar luas ke segala aplikasi bioproses... dan produk-produk mahal bernama njelimet yang saya sebutkan tadi dapat diproduksi... tentunya demi kemajuan negara.

Nih, emas coklat negara kita. Jaga, jangan sampai dicolong cuma-cuma oleh asing.
Sumber foto: wordpress Kesuburan Tanah.
Potensi biomassa limbah perkebunan kita luar biasa banyaknya. Pada pabrik CPO, limbah tandan kosong sawit (TKS) dihasilkan sebanyak CPO (TKS 20%, CPO 20% dari tandan buah segar). Cukup untuk membuat iri negara maju yang bertanah sempit dan tidak sesubur kita, seperti Jepang misalnya... yang menurut cerita dosen saya yang lain, ilmuwan mereka pergi mengamati tanah kita, dan berkata "Dengan tanah sesubur ini, kamu belum jadi negara maju? Berikan SDA kamu kepada kami, biar kami olah!". Ketika mereka melihat perkebunan sawit di Sumatera, mereka berkata "Ini TKS segini banyak, dan masih ada daerah sekitarnya yang listriknya kekurangan?" TKS merupakan sumber lignoselulosa instan; langsung dihasilkan dari pabrik tanpa perlu ada pengumpulan lagi, dalam jumlah masif. Tinggal diolah saja. Di mana masalahnya?

Ya, Profesor pun mengungkapkan masalahnya. Teknologi pemecahan lignoselulosa ini pun sebenarnya bukan teknologi lama; negara-negara maju pun baru mendalami bagaimana memecahkan lignoselulosa menjadi gula-gula dengan murah dan mudah. Selama ini, pemanfaatan lignoselulosa terhalang oleh biaya pengolahan; harga bahan baku sangat murah, tapi bagaimana mengolahnya, itu yang mahal. Pihak yang dapat menguasai teknologi pengolahan lignoselulosa yang murah, akan mendapatkan bahan baku yang murah untuk industri masa depan! Dan kemarin, presiden direktur di perusahaan tempat saya bekerja menginformasikan bahwa ada pihak di negeri jiran yang sudah menguasai teknologinya. Ya! Mendidih! Mendidih darah saya! Jika mereka bisa, mengapa kita tidak?

Sebenarnya kita bisa... semua pun bisa. Asalkan didedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran (juga, secara tersirat, biaya) untuk penelitiannya. Dan itulah permasalahan yang cukup sulit dihilangkan pada bangsa ini, menurut Profesor, yaitu kurangnya perhatian untuk riset. Mentalitas bangsa kita, bukan bangsa yang dapat tertarik dengan riset, yang dapat dianalogikan dengan investasi jangka panjang. Tambahan dari saya, menurut saya bangsa ini adalah bangsa diskrit dan seremonial, terlalu terpaku dengan hasil instan dan milestone terpencar-pencar berupa perayaan-perayaan (eventual), bukan suatu proses yang konsisten dijalankan dan konsisten pula menghasilkan buah.

Menurut Profesor, mentalitas ini diturunkan karena Indonesia terlalu banyak menerima pengaruh dari budaya Amerika (tidak, saya berani jamin Profesor bukan penganut paham konstipasi wahyudi). Contohnya? Yang paling mengena adalah konsumerisme. Bangsa Amerika sebenarnya bukan tipe yang suka riset. Mereka lebih suka memanfaatkan apa yang ada di depan mereka, daripada mencoba membuatnya. Bedanya, kekuatan sumber daya mereka lebih besar sehingga biarpun kekuatan untuk riset yang dianggarkan kecil secara persentase, namun secara kuantitatif tetap besar. Dan bangsa Amerika pun terkenal berkelakuan cuek. They don't give a shit easily. Sementara negara kita? Negara kita yang masih berkembang ini tidak bisa mengadopsi mentah-mentah mentalitas itu, secara kemampuan kita saat ini belum memadai untuk itu. Sumber daya kita harus difokuskan untuk riset, dengan serius. Poor men should spend wisely. Yah, pengaruh Amerika yang terpaksa kita terima demi mengamankan posisi regional, lengkap dengan manajemen negara yang buruk di masa Perang Dingin, ternyata harus kita bayar mahal di kemudian hari. Loh?

Ya... dibandingkan mencontoh Amerika, ternyata banyak contoh lain yang seharusnya dapat kita ambil. Mencontoh negara-negara lain ini dapat mencegah kesalahan yang dilakukan Indonesia: eksplorasi SDA mentah secara besar-besaran hingga SDA tak terbarukan habis (migas, mineral tambang) dan SDA tak terbarukan menurun kualitasnya (perkebunan turun produktivitas karena mineral tanah banyak terangkut keluar negeri di ekspor SDA mentah dan lingkungan rusak karena eksplorasi berlebihan), tidak memikirkan skema dan strategi jangka panjang untuk pertambahan nilai sumber daya (hilirisasi industri SDA), pokoknya mengesampingkan teknik kimia lah, ilmu yang sekolahnya di Bandung dibangun oleh Belanda di urutan kedua setelah teknik sipil, karena Belanda paham bahwa ahli-ahli teknik kimia akan sangat dibutuhkan di Hindia Belanda untuk pengolahan sumber daya alamnya yang mahakaya.

Padahal, menurut Profesor, di masa saat ini, negara yang dapat bertahan dan maju adalah negara yang pendapatannya stabil. Jika mengandalkan penjualan SDA tanpa nilai tambah (yang memang mendatangkan keuntungan tunai besar), namun keuntungannya tidak diputar lagi untuk mengembangkan industri lanjutnya, yang terjadi akhirnya adalah penumpukan kekayaan yang membuat pendapatan masyarakat naik, namun negaranya tidak berkembang. Hal ini akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut middle income trap, yaitu mentoknya pendapatan per kapita suatu negara di taraf menengah akibat tidak berkembangnya sektor mutakhir yang dapat menaikkan derajat negara dari berkembang menjadi maju. Contoh nyatanya dapat kita lihat di daerah-daerah kaya SDA yang penduduknya kaya namun tidak memiliki sarana untuk memutar uangnya. Akhirnya yang terjadi adalah gaya hidup konsumtif, sementara infrastruktur pun tidak terbangun dan akhirnya ketika SDA habis, daerah penghasil SDA selamanya akan tetap miskin dan tidak memiliki apa-apa karena uangnya tidak digunakan untuk mengembangkan sesuatu yang lebih sustainable.

Contoh pertama yang sebenarnya dapat kita tiru adalah golongan negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, dan Taiwan. Mereka mirip dengan Indonesia pada periode awal-awal kemerdekaan kita; baru diterjang perang yang menghabiskan tenaga dan infrastruktur, baru mau membangun negaranya. Yang negara-negara ini lakukan adalah menggenjot industri dasar yang saat itu diperlukan secara masif: tekstil, besi baja, semen, dll; yaitu industri-industri besar yang kotor dan kontrol lingkungannya kurang. Mereka kemudian terpandang sebagai negara industri yang kuat, dengan profit yang maksimal karena memang kekuatan industrinya termasuk yang unggul di dunia. Dengan profit itu, mereka berinvestasi di riset untuk mengembangkan usaha teknologi-teknologi canggih yang belum ada pemainnya di dunia, seperti elektronik, semikonduktor, teknologi informasi, dan lain-lain. Menyadari negaranya yang sempit dan penduduknya yang terbatas, mereka secepatnya menggunakan profit dari industri-industri basis tadi ke industri-industri canggih yang padat modal, serta membutuhkan hanya sedikit lahan dan tenaga ahli (secara kuantitas, namun tinggi secara kualitas). Dengan demikian sekarang mereka merajai sektor tersebut di dunia. Industri-industri dasarnya, karena masih dibutuhkan, kemudian dipindah ke negara-negara berkembang dengan harga tanah dan upah buruh murah... seperti Indonesia.

Contoh kedua adalah golongan negara-negara Skandinavia/Nordik seperti Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia. Negara-negara ini mungkin memilki handicap paling tinggi sedunia. Terletak nun jauh di utara dengan iklim dingin yang menyebabkan sulit bercocok tanam dan beraktivitas, jauh dari jalur perdagangan dunia, tentunya luas wilayah tidak seberapa dan penduduknya pun sedikit. Benar-benar kebalikan dari Indonesia yang nampak dihujani dengan segala berkat yang mungkin diturunkan langit. Namun, keadaan itu justru yang menyebabkan mereka mencari cara untuk bertahan hidup. Saat ini, dengan riset yang berkepanjangan, fokus, dan serius, negara-negara yang miskin sumber daya tersebut terkenal dengan industri-industri high-tech yang merajai dunia, bahkan khususnya bioindustri atau bioteknologi! Entah bagaimana caranya. Yang jelas, itu menunjukkan bahwa negara dengan modal alam yang inferior pun dapat memaksimalkan sumber dayanya untuk memajukan negara sepesat-pesatnya. Negara kita?

Dari kedua contoh tersebut, terlihat mirislah bahwa negara kita yang diberikan anugerah melebihi sebagian besar negara lain di bumi Tuhan ini, belum dapat mengelola anugerah tersebut dengan baik. Menurut Profesor, riset adalah kunci pembangunan negara maju, namun para pengelola negara kita belum melihat hal itu sebagai hal penting, padahal riset untuk penguasaan teknologi hilir pengolahan sumber daya alam (tanggung jawab insinyur kimia!) mutlak diperlukan untuk pembangunan ke depannya. Selamanya kita akan terus tertinggal jika pola pikir semacam ini masih terus bertahan pada para pembuat kebijakan nasional. Saat ini, kebijakan nasional tentang riset, menurut Profesor, masih tidak terarah. Pihak-pihak yang berkepentingan yaitu akademisi, bisnis dan pemerintahan (poros ABG) di Indonesia tidak terarah dalam suatu gerakan sinergis, namun saling sibuk dengan kepentingan sendiri, terkadang destruktif dan melambatkan laju gerak pembangunan. Dan Profesor pun mengkonfirmasi masalah klasik yang sebelumnya hanya saya pikirkan secara sepintas-sepintas saja: sebenarnya sulit menghubungkan antara dunia industri dan akademisi, yang pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang berbeda.

Bagi kaum akademisi, menemukan hal-hal baru, mempelajari hal-hal baru dan rumit sangatlah mengasyikkan. Membuktikan suatu teori juga mengasyikkan. Belasan bahkan puluhan tahun menekuni suatu bidang ilmu secara terfokus dengan susah payah, ilmu tersebut pun menjadi meresap ke dalam darah dan daging. Penelitian itu tidak mudah dan tidak bisa dilakukan sembarangan; harus paham benar tentang apa yang ditelitinya. Oleh karena itu, kaum akademisi seringkali tersinggung jika mendapatkan permintaan dari industri untuk "cepat-cepat membikin X agar bisa diproduksi", apalagi dengan bahasa yang ngasal dan tidak exactly scientific. Bagi orang yang telah puluhan tahun menggeluti suatu ilmu secara spesifik, tentunya jika ada orang lain yang tiba-tiba datang menyuruh-nyuruh dengan mudahnya seakan-akan hal yang disuruhkan itu sederhana dan gampang tanpa tahu sebenarnya seberapa sulit hal itu untuk dilakukan; orang-orang yang tidak mendalami bidang itu tapi asal ngomong saja, dikiranya membuat teknologi itu semudah membalikkan telapak tangan? Apa mereka nggak tahu bagaimana sulitnya mempelajari ilmu-ilmu ini, memangnya sembarangan orang bisa membuatnya?

Sebaliknya bagi para pegiat industri yang bergulat dengan keadaan sehari-hari di lapangan, atau seperti mereka suka menyebutnya (tak jarang dengan nada menyindir bagi para akademisi) "dunia nyata"; terlihat benar dinamika dunia yang terus bergerak tanpa henti. Bisnis harus terus berjalan, uang harus terus berputar. Sedikit investasi untuk inovasi yang tak (tentu) terbayar, bisa berarti puluhan miliar uang terbuang, yang sebenarnya dapat digunakan untuk keperluan lain yang dapat mendatangkan puluhan miliar lagi... ini uang nyata, yang dapat menghidupi puluhan ribu orang per tahunnya. Itulah sebabnya para praktisi industri atau pebisnis yang ingin menerapkan inovasi teknologi seringkali skeptis dengan perkataan bahwa teknologi ini "bisa" atau "mungkin". "Bisa" atau "mungkin" itu tidak akan berdampak "nyata"! Industri butuh teknologi yang siap diterapkan langsung, yang memberi dampak, dalam waktu cepat, karena uang berputar, dunia bergerak terus. Teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. Jika teknologi terbukti tidak menguntungkan, mengapa harus diterapkan?

Sikap saling curiga ini, menurut pengamatan saya pribadi, tertanam pada masing-masing pihak khususnya di Indonesia, secara sadar maupun tidak. Di luar negeri, menurut Profesor, hubungan antara akademisi dan industri/bisnis difasilitasi oleh pemerintah, atau sudah tercakup dalam sistem yang telah terbentuk. Di Indonesia, tidak disediakan sarana pertemuan atau penghubung antara para akademisi atau peneliti yang pada dasarnya memang tidak berminat mengemas atau memasarkan teknologinya sehingga terlihat aplikatif dan menarik, dengan para praktisi industri atau pebisnis yang pada dasarnya tidak paham teknologi secara mendalam dan memilih menjalani bisnisnya dengan aman saja. Pemerintah, yang harusnya dapat menjembatani keduanya lewat kebijakan-kebijakan, saat ini hanya menjadi sarang penyamun dengan semangat "maju tak gentar, membela yang mbayar" di atas kepentingan memajukan negara. Instansi-instansi dan departemen-departemen yang seharusnya ditugaskan menangani penjembatanan praktisi dan akademisi, hanya sekadar menjadi lokalisasi preman untuk penarikan upeti dari kedua pihak tersebut. Miris!

Jadi secara singkatnya keadaan di republik ini, sistem belum terbentuk, ketidakpercayaan antar lini masih tinggi, dan mediatornya yaitu pemerintah pun tidak berfungsi dengan baik. Gawatlah.

Secara alami timbul pertanyaan, lantas dengan pemerintah seperti itu, apakah ada cara lain untuk mengkolaborasikan dunia praktek dan teori? Saya melontarkan usul apakah tidak sebaiknya industri di Indonesia mulai mengembangkan divisi R&D sendiri yang kuat, atau kampus-kampus dan lembaga-lembaga penelitian diperlengkapi dengan tim perencanaan untuk 'memasarkan' produk-produk teknologi yang dikembangkan agar aplikatif? Alternatif pertama terhalang kondisi ekonomi seperti yang dijelaskan di awal diskusi tadi; solusinya memang harus intervensi pemerintah, antara lain dengan mendanai riset dan 'memaksa' penerapannya oleh perusahaan-perusahaan khususnya BUMN, karena pemerintah-lah yang memiliki anggaran paling besar di Indonesia. Alternatif kedua terhalang oleh... well, menurut Profesor, iklim universitas.

Jadi, menurut Profesor, tren universitas-universitas saat ini di dunia (bukan hanya di Indonesia) adalah kompetisi untuk mendapatkan predikat "world class" atau untuk memudahkan biasa saya singkat WC. Biasanya yang dilihat adalah jumlah jurnal atau penelitian yang dihasilkan. Semakin rumit dan baru dan semakin sering dijadikan referensi, semakin baik "impact factor"-nya. Dan, judul-judul sederhana yang sebenarnya aplikatif dan dapat menyelesaikan masalah di industri, seringkali dianggap kurang menarik untuk dikembangkan sebagai judul penelitian. Wah... entah ya untuk universitas lain, tapi demi kepentingan bangsa sendiri dulu (egois memang), menurut saya, apalah gunanya ITB jadi universitas WC, tapi tidak sanggup menyejahterakan rakyat Indonesia yang sudah banyak dihutanginya.

Topik tentang "WC University" itu menjadi penutup diskusi selama 1,5 jam dengan Profesor. Setelah itu, beliau harus buru-buru menghadiri rapat (yang membuat saya makin merasa berterimakasih beliau telah mau meluangkan waktunya hanya untuk diskusi dengan saya). Meskipun singkat, namun mencengangkan sekaligus mencerahkan. Intinya sebenarnya sama dengan kebanyakan diskusi yang telah dijalankan: potensi bangsa kita segudang, SDA maupun SDM, tinggal bagaimana kita giat-giat bersinergi untuk mengolahnya. Semangat!

Memang, ada salah satu pertanyaan saya yaitu "bagaimana saya dapat memulai mengembangkan industri bioproses di Indonesia" belum sempat terjawab secara eksplisit. Namun sudah cukup bagi saya untuk menjawab sendiri pertanyaan itu: saya akan menjalani karir dengan berorientasi pada pengembangan ilmu dan skill untuk menjadi integrator antara elemen-elemen ABG; mempersatukan dan menjembatani pihak akademisi, bisnis, dan pemerintah untuk bersinergi. Caranya? Perusahaan tempat saya bekerja sekarang ini nampak telah menjadi pilihan yang tepat, sebagai refleksi dari jalan kehidupan saya yang nampak tak pernah salah pilih. Terimakasih Tuhan atas bimbinganMu.

Ya, kira-kira beginilah cita-citanya.
Bagi yang masih mahasiswa khususnya di Teknik Kimia ITB, jangan lupa bahwa dosen-dosen kalian adalah orang-orang terbaik pada bidangnya masing-masing di Indonesia. Banyak lembaga dan perusahaan yang berani bayar mahal untuk menggunakan jasa mereka, bahkan hanya untuk sekedar datang dan memberi ceramah. Bersyukurlah bahwa kalian tidak dikenakan biaya tambahan selain uang kuliah (yang besarnya silakan dibandingkan dengan bayaran dosen-dosen kalian jika beraktivitas di luar kampus) untuk mendengarkan mereka membawakan ilmu-ilmu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Galilah sebanyak-banyaknya sebelum kalian lulus dan menjadi seperti saya yang harus buang uang 200 ribu rupiah untuk ongkos bolak-balik, hanya untuk mendengar selama 1,5 jam jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa saya tanyakan sewaktu masa kuliah dulu secara cuma-cuma. Bagi rekan-rekan sesama lulusan Teknik Kimia ITB maupun kawan-kawan se-Indonesia yang sama-sama menyandang gelar sarjana, tetap semangat di bidangnya masing-masing, sungguh saya menanti saat di mana kita bisa berkolaborasi bersama-sama demi negeri kita tercinta ini.

Dengan mengidentifikasi kembali masalah dan memperjelasnya, belajar pun menjadi lebih semangat dan terarah. Kebetulan pula, datang undangan untuk konferensi regional bioteknologi dengan tema "Biotechnoloy for Biorefinery" di Bandung 3 minggu kemudian, di mana sang Profesor menjadi salah satu pembicara, dan di mana saya ditugaskan mewakili perusahaan untuk menghadirinya.... Catatan tentang konferensi tersebut dapat ditunggu kehadirannya dalam Part 2 dari Biorefinery Series ini.



Jabodetabek, awal Februari 2013
selamat bagi rekan-rekan yang telah bersedia membaca
catatan sepanjang belasan halaman MS Word
yang baru sempat ditulis sebulan setelah kejadian


PS: terima kasih ditujukan kepada Joseph Christian Utomo dan Eliezer Justinus Kurnia atas sumbangan kertas untuk menulis catatan diskusi.




3 komentar:

Khyrdyn mengatakan...

Mantap mas. Kebetulan punya pemikiran yang serupa nih mas tentang biorefinery. Jadi tambah wawasan nih plus makin semangat di jalan biorefinery ini.

Khyrdyn mengatakan...

Mantap mas. Kebetulan punya pemikiran yang sama dengan mas tentang biorefinery bahwa akademisi harus action di dunia nyata. Akademisi harus 'menghasilkan sesuatu'. Makin semangat nih di bidang ini.

salam silaturahim mas.

Alfonso Rodriguez mengatakan...

sama2 mas, salam kenal juga. semoga bisa berkontribusi buat orang banyak ke depannya dalam karir kelak.