Senin, 06 Oktober 2008

Bukan Hidup untuk Keadilan, tetapi Keadilan untuk Hidup

"Jangan hidup untuk keadilan, melainkan pakailah keadilan untuk hidup! Karena sesungguhnya ada yang lebih penting dari keadilan, yaitu hidup itu sendiri."

Sepotong kalimat yang gw tulis dulu buat pidato pas pelajaran PPKn Pak Dicky G.A. Monintja, SH. MH. Dengan tema "Kebenaran dan Keadilan". Dibuat pada awal tahun 2006. Seperti biasa, bon appetit!

...
Kebenaran dan keadilan belakangan ini seperti latah disebut-sebut oleh masyarakat kita. Di mana-mana terdengar seruan “TEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!”


Tidak hanya di Indonesia zaman sekarang saja, bahkan kapan pun dan di mana pun manusia berusaha keras menciptakan kebenaran dan keadilan.

Pendeknya, apapun yang terjadi keadilan harus tetap ada.

Apa sebenarnya keadilan itu? Mengapa keadilan itu dianggap begitu penting oleh manusia?

Keadilan bagi sebagian orang sering digeneralisasi sehingga sama artinya dengan sama rata. Jika satu orang mendapat satu buah, maka setiap orang lainnya masing-masng juga mendapat satu buah.


Benarkah definisi keadilan seperti itu?

Ada benarnya juga, namun tidak tepat seperti itu. Contohnya saja pajak.

Apakah pajak untuk setiap warga negara sama besarnya?
Tentu tidak!
Besar pajak ditentukan oleh besar kekayaan yang dimiliki.

Jadi, apa itu keadilan? Dalam masyarakat sekarang, ada satu definisi keadilan yang rata-rata lebih bisa diterima, yaitu ‘menempatkan setiap sesuatu pada proporsinya’.

Definisi keadilan yang sangat relatif ini membuat manusia terpaksa menerapkan apa yang disebut hukum, suatu sistem keadilan yang kaku dan tidak fleksibel. Keadilan dipersempit menjadi rangkaian kata-kata yang kaku.

Maksud saya begini: semua orang tahu kalau memperdagangkan anak-anak itu salah. Tetapi saat belum ada undang-undang yang mengatur hal itu, perdagangan anak itu tidak melanggar hukum.

Sesuai hukum? Ya! Adil? Tidak!

Setelah ada hukum yang mengatur pun, si pelaku bisa memakai jasa pengacara untuk menemukan kelemahan-kelemahan dalam proses keadilan yang bernama hukum itu, sehingga dengan kepintaran seorang pengacara, perbuatan yang secara akal sehat sudah jelas-jelas salah, hanya mendapat hukuman minimal.

Belum lagi masalah administrasi, segala macam birokrasi, formalitas dan tetek bengek lainnya.

Contoh: kalau belum ada surat perintah, belum bisa dilakukan penggeledahan. Padahal buronan berbahaya yang dicari sudah pasti berada di tempat itu dan bisa segera kabur.

...............................................

Orang Romawi kuno bersabda “FIAT JUSTITIA, RUAT CAELUM!” Tegakkan keadilan, sekalipun langit runtuh!

Apakah prinsip itu selalu benar?

Mari saya beri contoh: demi menuntut apa yang ia sebut keadilan, seorang gadis korban perkosaan mau menempuh proses peradilan, banding, kasasi hingga PK untuk memastikan pemerkosanya dihukum berat sesuai kejahatannya.

Adil? Ya!

Berguna? ...

Apakah dengan memenjarakan si pelaku, ia meraa telah mendapat ganti rugi? Sebaliknya, ia telah membuang harta, waktu dan tenaganya dalam proses peradilan yang panjang itu. Saudara-saudara, jangan salah!

Jangan hidup untuk keadilan, melainkan pakailah keadilan untuk hidup! Karena sesungguhnya ada yang lebih penting dari keadilan, yaitu hidup itu sendiri.

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Kita dapat memulai untuk menerapkan keadilan yang tidak kaku. Misalnya, dalam peraturan sekolah disebutkan untuk tidak bermain kartu di sekolah.

Jika kita ketahuan membawa kartu, kita akan berdalih bahwa kita tidak melanggar peraturan. Kita hanya membawa, tidak bermain.

Padahal kita tahu benar, yang dimaksud oleh pihak sekolah juga termasuk tidak usah membawa kartu.

Apalah susahnya menaati peraturan secara total, apa adanya, tidak usah secara kaku dan formal saja?
...


1 komentar:

Anonim mengatakan...

adri..
postingan lo berat abiz..
btw gw ngelink blog lo y..