Kamis, 03 April 2014

Turun Tangan, Sebuah Unjuk Rasa

Ada sebuah teori yang dulu pernah saya dengar di zaman purbakala, saat saya masih jadi mahasiswa di sebuah kampus di mana para penghuninya amat hobi melontarkan berjuta teori luar biasa (alias, di luar kebiasaan, atau terkadang gila). Teori ini terkait demonstrasi atau unjuk rasa.

Jadi menurut yang empunya teori (maaf lupa siapa, atau mungkin bahkan saya sendiri yang mengeluarkannya? maklumlah sudah lama sekali), ada tiga manfaat dari orang berdemonstrasi atau berunjuk rasa:
1. Mengupayakan tercapainya tuntutan.
2. Membuat pernyataan sikap ke khalayak ramai.
3. Memperkuat sikap dan keyakinan sendiri.

Contohnya dengan ilustrasi yang sangat sederhana, saat ada demonstrasi anti koruptor di depan KPK, sang demonstran harusnya mengharapkan (1) koruptor yang didemo menerima hukuman seberat-beratnya sesuai kejahatannya, (2) mereka terlihat oleh masyarakat sebagai pihak yang anti korupsi, dan (3) diri mereka sendiri tambah sadar dan teguh keyakinannya bahwa korupsi itu adalah sungguh perbuatan yang buruk sehingga pantas didemo, sehingga ke depannya kelakuan mereka pun akan mencerminkan keyakinan itu, seperti tidak akan korupsi atau akan berusaha memberantas korupsi sesuai lingkupnya masing-masing.

-----------------------------

Pemilu 2014 sudah makin dekat. Dan bagi saya pribadi, saya berharap bahwa jika saya memilih dalam pilpres nanti, bukan hanya sekadar kegiatan mencoblos suatu nama atau wajah di atas kertas dalam bilik tertutup, tapi juga sebuah unjuk rasa. Sebuah demonstrasi politik.

Dimulai dari pikiran inilah, saya mulai tertarik kepada salah satu (bakal) calon presiden. Oh iya, terkait Pemilu Legislatif (yang akan dilaksanakan lebih dahulu), itu bahasan terpisah, tetapi jujur saya memilih membahas Pemilu Presiden terlebih dahulu, just for the sake of which is the more interesting for myself between those two. Sorry, personal standpoint.

Kembali ke sang (bakal) calon presiden yang gagasannya telah berhasil memancing perhatian saya. Beliau adalah Anies Baswedan, salah satu peserta konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Tidak, saya rasa tidak perlu saya uraikan tentang beliau, betul?

Karena tanpa perlu saya ulangi eksposisi panjang lebar tentang gagasan beliau, tentang bagaimana elaborasi dari konsep Turun Tangan yang menjadi jargon beliau... ada banyak relawan beliau, relawan-relawan Turun Tangan (yang saya sangat salut, karena mereka merupakan salah satu kelompok paling militan yang saya lihat di kancah perpolitikan nasional saat ini, dalam mengusung calon presiden yang didukung sekaligus juga mampu memahami dan siap mengeksekusi gagasan yang dibawa oleh calonnya) ... yang lebih jago menjelaskan tentang semuanya itu. Misalnya saja artikel yang ditulis oleh rekan Pandji Pragiwaksono yang menurut saya sudah sangat cukup menggambarkan. Kalau belum kenyang juga, silakan berkeliling ke link-link (oh shit, I think I just made an unintended pun) di bagian akhir tulisan ini.

Saya hanya ingin menyampaikan, jika seandainya beliau memenangkan konvensi calon presiden Partai Demokrat dan saya (pasti akan) memilih beliau di Pilpres, maka itu adalah sebuah demonstrasi politik dari diri saya. Sebuah unjuk rasa.

Tentunya dengan memilih beliau saya berharap beliau menang dan terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (sudah jelas!).

Namun, dengan pilihan saya tersebut, saya juga ingin menyampaikan kepada semua orang tentang apa yang saya lihat, apa yang saya harapkan, dan apa yang ingin saya lakukan untuk negara ini. Dan juga tentang konsep Turun Tangan, yang sendirinya adalah merupakan konsep sebuah unjuk rasa. Bahwa setiap tindakan merupakan pengingat akan kapabilitas diri, sekaligus ajakan bagi orang-orang lain untuk ikut bertindak.

Dengan mendukung konsep Turun Tangan, saya ingin mewartakan bahwa rakyat bukan hanya berhak berharap, namun juga diberi arahan dan semangat untuk mampu mewujudkan harapan itu, bersama-sama, serempak serentak, masif dan sinergis.

Bahwa negara ini tidak akan besar jika suara rakyatnya bisa dibeli dengan harga semurah sehelai kaos oblong bersablon dan selembar limapuluhribuan yang terselip dalam bingkisan sembako serangan fajar. Bahwa rakyat yang ingin bangsanya maju, bisa mengawali langkahnya dengan keseriusan dalam memilih pemimpinnya.

Bahwa semua orang boleh berharap KKN akan hapus dari bumi Indonesia, dan bahwa semua orang harusnya sadar masing-masing dari kita bisa membantu mewujudkan hal itu... atau juga bisa membantu memperparahnya, baik dengan aktif maupun dengan diam.

Bahwa semua orang yang percaya bahwa akar masalah bangsa ini ada pada pendidikan, yang percaya bahwa pemerintahan harus bersih dari politisi-politisi busuk, yang percaya bahwa Indonesia harus berdaulat penuh atas pengelolaan dan pengusahaan seluruh sumber daya dari alamnya yang kaya raya, yang percaya bahwa kesenjangan sosial harus diberantas, yang percaya bahwa pemerataan pembangunan dari Sabang sampai Merauke harus ditegakkan, atau bahkan yang sekedar ingin agar dirinya dan keluarganya bisa bebas dari jurang kemiskinan; sesungguhnya dapat berperan besar dalam mewujudkan semua hal tersebut.

Bahwa anggapan akan rusaknya kondisi bangsa ini bukan alasan bagi rakyat kecil untuk berhenti berharap, bahwa kita semua, ya, semua dari kita masih bisa melakukan sesuatu agar bangsa ini bisa merangkak keluar, lepas landas, dan terbang tinggi... dengan keyakinan bahwa di sekeliling kita, jutaan orang sedang bergerak ke arah hal yang sama, tanpa saling menjatuhkan seperti kepiting dalam periuk.

Bahwa baik buruknya negara ini ada di tangan rakyatnya, sebagaimana esensi demokrasi. Bahwa sebagaimanapun keadaan, jika kita telah berusaha untuk turun tangan memperbaikinya, maka kita akan menganggap wajah negeri kita saat itu sebagai hasil karya tangan kita sendiri, dan kita akan tersenyum karenanya... dan bahwa kita pantas berharap bahwa senyum itu akan menjadi senyum universal ketika kita tahu, segenap negeri ini dipenuhi oleh orang-orang yang telah berusaha, dan telah tersenyum.

Bahwa jikalau seandainya memang Ratu Adil itu benar-benar ada, saya menganggap pastilah ia bukan superman atau penyihir yang bisa sendirian memusnahkan segenap kejahatan di negeri ini; tetapi adalah pemimpin yang, sesuai dengan sebutannya, mampu menempatkan rakyatnya berpartisipasi aktif dalam memajukan negerinya sesuai dengan posisi dan potensinya masing-masing.

Bahwa selagi menunggu datangnya pagi, dalam kegelapan kita bisa menyalakan lilin, senter, petromak, obor, lampu hape, lampu halogen, lampu sorot, atau penerangan apapun yang ada di tangan kita.

Dan, sebagai manfaat ketiga dari unjuk rasa politik saya itu, dengan mendukung konsep Turun Tangan sesungguhnya saya sedang berteriak pada diri saya sendiri: "kamu bisa, akan, dan harus melakukan sesuatu yang besar bagi negaramu; kamu bisa, akan, dan harus memajukan negaramu tidak dengan hanya menungggu karya tangan orang lain, tetapi juga dengan Turun Tangan, karena kamu tahu dengan pasti apa yang tanganmu bisa berikan bagi negara ini...!"

Bahwa dengan kapabilitas kita, dengan kapabilitas bangsa Indonesia, sudah seharusnya setiap dari kita mulai Turun Tangan, bukan hanya urun angan.

Itulah yang akan menjadi unjuk rasa saya kelak, ketika seorang Anies Baswedan kelak maju menjadi peserta Pilpres 2014. Dan jika seandainya memang beliau gagal untuk lulus konvensi... maka curahan pikiran dalam lamunan tengah malam inilah yang menjadi demonstrasi, menjadi unjuk rasa politik saya, tentang harapan akan Indonesia yang lebih baik sebagai hasil dari segenap rakyatnya yang turun tangan.




“Schweigen im Angesicht des Bösen ist selbst böse: Gott wird uns nicht als schuldlos betrachten. Nicht zu sprechen ist sprechen. Nicht zu handeln ist handeln” (Silence in the face of evil is itself evil: God will not hold us guiltless. Not to speak is to speak. Not to act is to act.)
- sepenggal dari surat Dietrich Bonhoeffer, teolog Jerman yang turun tangan menentang NAZI, saat menunggu hukuman matinya di dalam penjara -



Silakan lihat situs resmi Anies Baswedan
dan facebook Anies Baswedan
dan channel Youtube Anies Baswedan.



.

Tidak ada komentar: