Sabtu, 08 Maret 2014

Masterpiece

Sebulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan bertemu dengan Ir. Triharyo Soesilo, alumni ITB angkatan 77, dalam rangka untuk mengundang beliau dan beberapa rekannya untuk mengisi sesi berbagi ilmu dan pengalaman kepada alumni-alumni Teknik Kimia ITB yang masih berasa muda (more on this later).

Ada sepotong percakapan dengan beliau yang sangat mengena bagi saya, karena entah kebetulan atau memang begitulah seharusnya, yang beliau katakan sangat menjawab isu yang seringkali saya debatkan dengan rekan-rekan saya: apa artinya menjadi seorang alumni ITB.

Berikut kira-kira kata-kata yang beliau sampaikan kepada kami waktu itu:

"Saya kasih tahu ya, kalau keinginan kamu itu sekadar: punya rumah, punya mobil, dan menyekolahkan anak di sekolah yang baik; kalau cuma itu aja, percayalah, untuk lulusan ITB, minimal semuanya itu pasti bisa terpenuhi, kecuali memang dia (maaf) melakukan kesalahan sangat bodoh dalam hidupnya. Jadi tidak perlu khawatir.

Sisanya, kita harus mengejar pencapaian masterpiece kita masing-masing: hal a
pa yang membedakan kita dengan orang lain, pencapaian terbesar yang kita bisa banggakan. Jadi direktur, jadi orang kaya, belum tentu bisa disebut masterpiece; warna apa yang bisa kamu berikan?

Jadi sekali lagi, saya ulangi; kalau kamu cuma ingin rumah, mobil, bisa nyekolahin anak; nggak usah dikejar, untuk lulusan ITB, itu semua pasti dapat. Maka dari itu, jangan takut untuk mengejar cita-cita, masterpiece kamu.
"

Kalau orang luar saat membaca ini mungkin menangkapnya anak ITB kok sombong sekali, ya nggak? (silakan untuk referensi baca artikel-artikel bernada sejenis yang banyak sekali tersebar di internet)

Sementara beberapa anak ITB mungkin malah berpikir bahwa kata-kata ini membuat terlena dan menjadikan orang malas dalam bekerja, ya nggak?

Tapi kalau buat saya, sama seperti menyikapi jargon "putra-putri terbaik bangsa", kata-kata Pak Hengki ini justru mengingatkan saya bahwa semuanya itu berimbang: ada privilege, ada demand; ada advantage, ada challenge; ada benefit, ada responsibility.

Ketika (katanya) nikmat hidup itu lebih mudah didapat, berarti kekuatan kita, modal kita, masih berlebih, masih 'bersisa'; syukurilah advantage yang kita dapat, dengan cara bagaimana?

Dengan berani mengejar hal yang lebih, tidak hanya mengejar kecukupan materi (yang katanya mudah terpenuhi itu), mimpi yang bermanfaat buat orang banyak, yang memberi warna pada dunia; kontribusi yang menjadi landmark kita; menjadi MASTERPIECE.
 

Apakah lebih sombong punya mimpi untuk menjadi bermanfaat bagi banyak orang dengan keunikan potensi dan kelebihan dari masing-masing diri kita sendiri; dibandingkan punya mimpi 'hanya' jadi orang kaya, punya karir sukses, dan hidup kecukupan, seperti manusia pada umumnya? (kalau menurut saya itu mah bukan mimpi, tapi memang keinginan setiap manusia, untuk hidup enak, yang biasanya ya selalu dikejar, baik mimpi atau bukan)
 
Ya, kalau karena berani mengejar mimpi besar itu, anak ITB dibilang sombong; saya bangga jadi lulusan ITB yang sombong.

Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater.







Minggu, 02 Maret 2014

Empty, Half, and Full

Tiga orang yang sedang bertarung di pemilihan untuk memperebutkan suatu jabatan publik, mendapatkan sebuah pertanyaan di suatu acara debat.

"Jika anda terpilih, apakah anda akan mengadakan syukuran atau perayaan, dan apa alasannya?"

Calon pertama menjawab: "Tentu saja, karena kemenangan itu sesuatu yang patut dirayakan."

Calon kedua menjawab: "Tidak, karena menurut saya, mendapatkan jabatan ini berarti mendapat tanggung jawab dan beban yang besar, sebagai pelayan masyarakat; ini adalah kewajiban dan bukan kemenangan, bukan sesuatu yang harus disambut dengan perayaan."

Calon ketiga: "Ya, karena menurut saya, mendapatkan jabatan ini berarti mendapat tanggung jawab dan beban yang besar, sebagai pelayan masyarakat; saya akan sangat berterima kasih jika mendapat kesempatan lebih untuk bermanfaat bagi banyak orang, sesuai cita-cita saya. Sungguh, menerima kesempatan besar untuk bermanfaat bagi masyarakat luas ini adalah kebanggaan dan anugerah bagi saya, maka tentu saja saya akan merayakannya."

================================

Dulu, ketika saya kuliah, di semester 4 ada sebuah mata kuliah bernama Neraca Massa dan Energi. Berikut ini adalah peristiwa yang benar-benar terjadi di saat ujian tengah semester. Pada ujian itu, ada sebuah soal yang sangat panjang, dengan penjelasannya memakan tempat setengah lembar soal, dan porsi nilainya adalah sekitar 30-40% dari nilai total ujian tersebut; di mana kita ditugaskan untuk menghitung neraca massa di serangkaian unit operasi yang terdiri dari (kalau tidak salah) lebih dari 3 unit operasi dan 10 aliran. In short, rumit dan berbahaya.

Berikut ini adalah ilustrasi bagaimana beberapa rekan saya menjawabnya.

Rekan pertama, karena pusing, menjawab bahwa soal tidak bisa dikerjakan.

Rekan kedua menghabiskan waktu hampir sepanjang ujian untuk menyelesaikan soal itu, namun sampai waktu habis, dia belum sampai ke jawabannya.

Rekan ketiga, setelah melakukan perhitungan tahap pertama, menemukan bahwa analisis derajat kebebasan (ADK) sistem tidak sama dengan nol, sehingga soal tidak dapat dikerjakan (dalam ilmu neraca massa dan energi, syarat soal dapat diselesaikan adalah ADK = 0, tidak kurang dan tidak lebih). Rekan ini mendapat nilai penuh untuk nomor tersebut.

================================

Dalam suatu episode Detektif Conan, ditemukan mayat seorang korban pembunuhan di WC umum. Di lokasi kejadian, juga nampak noda darah berbentuk huruf S. Para tersangka terdiri dari empat orang rekan korban dari klub menembak.

Kogoro Mouri berpendapat bahwa pelaku adalah salah satu rekan korban, yang bernama Sano. Alasannya tidak perlu dipikirkan lagi, huruf S ditulis korban dengan darahnya sendiri sebagai pesan kematian yang menandakan Sano adalah pembunuhnya.

Inspektur Megure, setelah memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan di lokasi, membantah pendapat tersebut. Menurutnya, tanda S yang ditinggalkan adalah trik dari pelaku sebenarnya untuk menuduh Sano sebagai kambing hitam.

Singkat cerita, pada akhirnya, Conan memecahkan kasus ini. Pelakunya adalah benar Sano yang ternyata, dalam kesimpulan yang dijelaskan, dengan sengaja menuliskan inisialnya sendiri di tempat kejadian agar terhindar dari tuduhan (dengan trik reverse psychology).

================================

Ada sebuah cerita humor yang, entah benar atau tidak, sering dikaitkan dengan tokoh Nasruddin Hoja. Dalam kisah ini, Nasruddin Hoja muda sedang duduk-duduk santai di depan rumahnya ketika tetangganya, seorang saudagar yang kaya raya, lewat dan menyapanya.

"Wahai Nasruddin, apakah gerangan yang sedang kau kerjakan di depan rumahmu itu?" tanya sang saudagar.

"Wahai tetanggaku yang baik, sesungguhnya aku sekarang sedang bersantai, menikmati hidup." jawab Nasruddin.

Sang saudagar menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban pemuda Nasruddin dan kemudian berkata "Wahai Nasruddin tetanggaku, tidakkah pernah terpikir bagimu untuk mengerjakan sesuatu, yang tidak hanya bermalas-malasan seperti yang engkau lakukan sekarang ini? Tidakkah engkau pernah berpikir, misalnya, untuk melakukan hal yang bermanfaat, seperti memelihara beberapa ekor ayam?"

"Apa untungnya itu bagiku?" tanya Nasruddin sambil tersenyum polos.

Sang saudagar menjawab "Kau bisa menjual telur yang dihasilkan ayam-ayam itu, dan mendapatkan uang. Atau, kau bisa menetaskan beberapa telur dan memelihara lebih banyak ayam, lalu menjual sebagian ayam-ayam itu, dan mendapatkan uang lebih banyak lagi!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" tanya Nasruddin kembali, masih tersenyum.

Sang saudagar menjelaskan "Dengan uangmu itu mungkin kau bisa membeli ternak yang lebih besar, seperti kambing atau sapi; kau bisa menjual susunya dan mendapatkan lebih banyak uang, lalu dengan uang itu kau bisa membeli lebih banyak ternak lagi, dan kau akan mendapatkan uang jauh lebih banyak lagi!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" kembali Nasruddin mengulangi pertanyaannya.

Sang saudagar menatap Nasruddin keheranan, lalu menjawab lagi "Kau bisa memiliki beribu-ribu ternak, dan bahkan kau bisa menggaji orang untuk mengurusi ternak-ternakmu itu, dan pada akhirnya kau bisa menjadi peternak dan saudagar yang kaya raya!"

"Lantas apa untungnya bagiku?" tanya Nasruddin lagi.

Akhirnya sang saudagar meledak dan berteriak "Apa yang kukatakan masih kurang jelas? Kau bisa jadi orang kaya, punya uang banyak, dan tidak usah bekerja keras lagi seumur hidupmu! Setelah kau jadi orang yang kaya raya, kau bisa bersantai sepanjang yang kau mau, menikmati hidup dengan duduk-duduk seenakmu di depan rumahmu sambil menikmati pemandangan sampai puas!"

Nasruddin manggut-manggut. "Jadi, aku harus mulai bekerja keras sepanjang hidupku, supaya nanti setelah aku bekerja keras, aku jadi bisa duduk-duduk di depan rumahku, bersantai menikmati hidup?" tanyanya.

"Ya!" teriak sang saudagar, puas.

Nasruddin Hoja tersenyum, dan berkata "Menurutmu, apa yang sekarang sedang kulakukan?"

================================


Sekian renungan abstrak saya di Minggu sore, yang berisi tiga cerita pendek nggak jelas dan satu cerita lawak. Izinkan saya menutup renungan ini dengan kutipan yang ditenarkan di generasi saya oleh biksu Tong Sam Cong, "hampa adalah isi, isi adalah hampa", dan dengan kutipan yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman saya sendiri:


Sometimes, what separates little and great minds are the reason only, with the mediocre minds often are in the opposite corner.


 




.