Senin, 12 Agustus 2013

Mendengar Nama Bung Hatta

12 Agustus 1902, di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), lahir seorang bayi laki-laki dari keluarga HM Djamil, seorang ulama, dan istrinya Siti Saleha. Anak itu diberi nama Muhammad Athar. "Athar" dalam bahasa Arab berarti harum, wangi; dan menurutku, terkabullah doa kedua orangtuanya itu, yang mereka panjatkan melalui nama, karena di kemudian hari anak ini akan dikenal oleh beratus juta rakyat bangsanya dengan sebuah nama yang harum: Bung Hatta.


--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang pemuda unggul; salah satu siswa terbaik negerinya, yang dikirim ke luar negeri untuk belajar; sesuatu yang pada saat itu adalah kesempatan amat sangat langka yang hanya dapat diraih segelintir orang yang sangat menonjol. Di saat negerinya berada dalam keadaan carut-marut, terjajah, menderita; terbuka jalan keluar untuknya, untuk hidup enak di peradaban yang lebih maju, sebuah jalan yang tidak dibukakan bagi sembarang orang; kesempatan itu tidak diambilnya.

Hingga aku juga mengingatnya sebagai seorang patriot, yang menunjukkan apa artinya berjuang jiwa raga demi bangsanya. Bagaimana ilmunya dia pelajari baik dan dia pergunakan bagi kemakmuran bangsanya. Bagaimana waktunya pun ia berikan bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya: di saat ia bisa hidup makmur tenang di pusat peradaban dunia, ia bergabung dalam Liga Anti-Imperialisme. Mewakili bangsanya. Mempertaruhkan studi dan hidupnya. Bagaimana dengan lebih gila lagi, setelah lulus sarjana ia tinggalkan studi doktornya. Kembali pulang ke bangsanya. Membaktikan ilmu dan hidupnya bagi perjuangan bangsanya. Hanya untuk diasingkan pemerintah kolonial hingga belasan tahun lamanya. Bagaimana meskipun begitu ia tetap berjuang, hingga bangsanya merdeka; bagaimana ia tetap berjuang, setelah bangsanya merdeka; bagaimana ia tetap berjuang bagi bangsanya, sampai akhir hayatnya.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini studi di luar negeri oleh sebagian besar pemuda yang beruntung dapat menikmatinya dipandang sebagai jalan keluar, sebagai pintu gerbang menuju dunia yang lebih nyaman, aman dan mapan ketimbang tanah airnya yang kacau balau dan membutuhkan tenaganya sebagai kaum intelektual yang beruntung.

"Betul, banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, istimewa dalam tanah jajahan di mana semangat selalu tertindas, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang cendekiawan, akademisi, dan pendidik; sebelas tahun di bangku kuliah, hidupnya dikelilingi oleh buku hingga bahkan mas kawin dan harta warisannya pun berupa buku, di pengasingan waktunya dihabiskan untuk menulis buku filsafat, dan perhatiannya tercurah betul pada upaya pendidikan karakter bagi generasi penerus.

Itulah yang membuat aku juga mengingatnya sebagai seorang Bapak Bangsa; karena ia tahu benar bahwa kunci keberlangsungan suatu bangsa ada pada regenerasi, dengan cara mendidik generasi yang akan memegang arah bangsanya di masa depan. Bagaimana ia merumuskan tiga tujuan perguruan tinggi, yang menjadi pembeda antara pergerakan pemuda bangsanya dengan bangsa lainnya, dan yang hingga kini menanamkan kesadaran bahwa pemuda-lah aktor pergerakan bangsa ini di masa lalu, masa kini, dan seharusnya masa depan. Bagaimana hal itu telah dipegangnya sejak awal ia memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dengan membentuk partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dan menitikberatkan kaderisasi serta pendidikan, yang disebutnya untuk membuat rakyatnya merdeka seutuhnya.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini pendidikan berantakan sedari dini, di mana anak-anak terlalu cepat diekspos pada semua informasi tanpa bimbingan dan pengawasan, remaja dikekang kebebasan berpikirnya lewat penjara bernama gengsi orangtua dan prestasi akademis, dan kampus-kampus hanya semata menjadi pabrik-pabrik tenaga kerja yang hanya hidup untuk mengenyangkan perut sendiri dan anak istri; di mana banyak generasi muda tak gemar membaca buku, dan pendidikan karakter dikerdilkan sebatas "soft skills" untuk menambah daya jual para calon kuli.

"Dan, memang, manusia susila dan demokratis ini (...) dapat menginsyafi tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Dan mereka pulalah yang akan diharapkan akan menjadi pemimpin-pemimpin yang bertanggung-jawab dalam negara dan masyarakat."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang diplomat yang visioner; yang telah mempersiapkan langkah bangsanya menghadapi Perang Dingin sejak hari-hari awalnya di tahun 1948. Dari prediksinya itulah lahir ungkapan "mendayung di antara dua karang" dan "politik bebas aktif" yang diharapkannya menjadi acuan bagi pergerakan politik luar negeri bangsanya.

Justru karena itulah aku juga mengingatnya sebagai seorang nasionalis tulen, yang teramat bangga dan percaya pada potensi dan kekuatan bangsanya, serta mau memperjuangkan agar bangsanya bukan sekadar jadi bangsa sembarangan saja, melainkan jadi pemimpin dunia. Bahwa pada hakikatnya "bebas" berarti bangsanya tidak bisa seenaknya dijadikan objek permainan semata bagi bangsa-bangsa lain yang lebih besar, bukan hanya mengekor saja, tapi menentukan jalannya sendiri untuk kebaikannya sendiri. Bahwa pada hakikatnya "aktif" berarti bangsanya bukan sekadar diam, tetapi juga memegang peranan, tampil sebagai pelopor dan penggiat, sebagai bangsa yang menentukan arah gerak dunia ini menjadi lebih baik untuk semua bangsa, bukan untuk sekelompok bangsa tertentu saja.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini baik pemerintah negaraku maupun rakyatnya seperti kehilangan derajat ketika bersinggungan dengan bangsa asing, di mana pemerintah tunduk tak berdaya menuruti kepentingan asing yang menghambat laju pembangunan negeri ini, dan di alam bawah maupun atas sadar rakyat masih tertanam indoktrinasi superioritas produk asing dalam segala sisi.

"Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun sedangkan aktif artinya menjuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah Bapak Koperasi; ya, dialah yang memperkenalkan dan mempromosikan bentuk badan usaha ini di negerinya, yang dianggapnya sebagai satu bentuk badan usaha yang paling mewakili falsafah hidup bangsanya, Pancasila. Badan usaha koperasi, di mana semua anggotanya memiliki, semua anggotanya bekerja, dan semua anggotanya menikmati hasilnya.

Lebih dari itu, aku juga mengingatnya sebagai cendekiawan yang mengabdikan ilmunya pada bangsanya; ilmu ekonomi, yang khusus dipelajarinya di belahan dunia yang jauh, bertahun-tahun lamanya. Bagaimana ia berkontemplasi akan ilmunya dan akan kondisi bangsanya, kemudian mencetuskan ekonomi Pancasila. Bagaimana ia tidak menelan mentah-mentah seluruh teori yang dijejalkan padanya di bangku kuliah, tidak kapitalis sepenuhnya maupun sosialis sepenuhnya, namun menggabungkannya dengan falsafah bangsanya sehingga tercetuslah gagasan ekonomi yang menitikberatkan keadilan sosial, bukan hanya material. Bagaimana ia menggagas agar kekuatan ekonomi di tangan rakyat, namun dilindungi oleh negara; di mana ia menekankan bagian penting yang membutuhkan perlindungan negara adalah pada jalur distribusi. Bagaimana ia melampaui zaman dengan menentang penitikberatan terhadap ekspor dan menjunjung harga diri bangsa dengan penguatan pasar lokal. Bagaimana koperasi yang dibawanya sebenarnya adalah salah satu bentuk dari pendukung skema ekonomi yang digagasnya, yaitu untuk keadilan sosial, di mana kemajuan ekonomi tidak dinikmati segelintir penguasa perusahaan saja.

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini kesenjangan ekonomi merajalela; di mana segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan negeri, kelas menengah banting tulang untuk korporasi-korporasi demi sesuap nasi, dan rakyat miskin tetap miskin sampai mati; di mana teori-teori ekonomi asing dipakai mentah-mentah tanpa pertimbangan bijak, dan indikator-indikator makroekonomi dibangga-banggakan sebagai bukti kemajuan ekonomi tanpa melihat kesejahteraan masyarakat secara nyata; serta di mana banyaknya ekonom tidak sebanding dengan kemajuan pemberantasan kesenjangan ekonomi, banyaknya insinyur dan ilmuwan tidak sebanding dengan kemajuan pengembangan teknologi, dan secara umum banyaknya sarjana tidak sebanding dengan kemajuan negara ini.

"Dasar kekeluargaan itulah dasar hubungan istimewa pada kooperasi. Di sini tak ada majikan dan buruh, melainkan usaha bersama antara mereka yang sama kepentingannya dan tujuannya."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah Sang Dwitunggal; nama yang ia sandang bersama-sama Bung Karno, sahabat karibnya, rekan seperjuangannya dalam memerdekakan dan mengemudikan bangsanya. Dia seorang sahabat yang baik, tulus, dan perhatian; yang menegur keras sahabat karibnya yang ia anggap telah menyimpang, dengan kritik terbuka jujur terang-terangan.

Namun aku juga mengingatnya sebagai seorang sahabat sejati, yang dapat berseberangan dan bersikap keras soal berbagai pandangan, dengan tidak menumbuhkan dendam pribadi. Bagaimana setelah mundur sebagai Wakil Presiden, ia tetap berhubungan baik dengan Bung Karno. Bagaimana di tengah kritik-kritik kerasnya, ia dan Bung Karno masih tetap saling bersilaturahmi ke rumah masing-masing, masih tetap saling besuk ketika ada yang sakit. Bagaimana meskipun berbeda pendapat secara tajam, ketika Bung Karno diturunkan dan diperlakukan tak adil hingga sakit keras, ia tampil sebagai pembela terdepan dan pelindung keluarganya, bahkan menjadi wali nikah anak Bung Karno. Bagaimana setelah Bung Karno meninggal pun, ia tetap membela sahabatnya itu...

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini emosi kerap mendepak akal sehat tanpa terkendali, di mana masalah kecil dapat menyulut api yang nyalanya berkobar-kobar tiada henti, dan kita menjadi lebih suka berkelahi antar sesama bangsa sendiri demi membela sesuatu yang tidak berarti, dibanding bersatu padu menyelesaikan masalah yang jelas-jelas lebih perlu dihadapi.

"Aa, No... Apa kabar?"

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang pemimpin bangsa yang sederhana; yang tak pernah mementingkan harta ataupun menyalahgunakan kekuasaannya, meskipun saat ia menjadi orang nomor dua di negerinya. Ia hidup bersahaja, dari gaji pokok semata ditambah dari menulis buku, tanpa mau menikmati fasilitas tambahan apapun dari negara atau pihak lain, yang sebenarnya mudah saja ia dapat jika ia kehendaki.

Niat di balik semua itulah yang membuat aku juga mengingatnya sebagai teladan yang memiliki integritas dan harga diri. Bagaimana ia mengembalikan semua dana tunjangan dan sisa belanja Wakil Presiden ke negara, karena meyakini bahwa sesungguhnya pejabat adalah pelayan rakyat. Bagaimana ia naik haji dengan honor penerbitan buku-bukunya yang ia tabung bertahun-tahun dan menolak sama sekali difasilitasi negara, karena ia ingin berhaji sebagai seorang muslim yang mampu, bukan sebagai petinggi negara yang dimampukan rakyatnya. Bagaimana bahkan setelah tak menjadi Wakil Presiden, ia menolak tawaran menjadi komisaris berbagai perusahaan besar, untuk menjaga image netral seorang (mantan!) Wakil Presiden, juga untuk menghindari makan gaji buta. Bagaimana karena semuanya itu, sampai akhir hayatnya keluarganya sampai kesusahan membayar rekening listrik, dan ia, salah satu orang paling terpandang di negerinya, hanya mampu menyimpan guntingan iklan sepatu Bally yang diidam-idamkannya tanpa mampu membelinya hingga detik ia meninggal dunia... demi menunjukkan arti integritas, totalitas sebagai seorang abdi negara yang sebenar-benarnya, setinggi-tingginya, seluhur-luhurnya!

Betapa aku merindukan sosok seperti Bung Hatta, ketika di masa kini penyelewengan dan korupsi merajalela di segala lapisan mulai dari penguasa hingga aparat terbawah, di mana tanpa malu orang beramai-ramai merampas hak orang lain sesukanya baik diam-diam maupun terang-terangan, dikarenakan tatanan masyarakat yang mendewakan uang dan materi sebagai berhala pengganti Tuhan mereka.

"Kita sudah cukup begini, kita hanya punya nama baik, itu saja yang harus kita jaga terus."

--------------------

Mendengar nama Bung Hatta, yang terpikirkan olehku adalah seorang negarawan yang komplit; politisi, cendekiawan, diplomat, ekonom, filsuf, pejuang, pembangun, pemimpin, guru, teladan, abdi negara seutuhnya. Bung Hatta adalah apa yang ada dalam pikiranku sebagai definisi suatu manusia unggul: yaitu satu insan yang diberi kelebihan, bakat, dan kesempatan sebesar-besarnya, mumpuni dalam berbagai bidang yang dikuasainya secara menyeluruh, dan mendayagunakan segenap keunggulan yang dimilikinya itu dengan memprioritaskan kepentingan orang banyak sebanyak-banyaknya, untuk masyarakat luas, bangsa, negara dan dunia.

Bung Hatta adalah sosok yang amat perlu dikenal oleh segenap rakyat negerinya, negeri Indonesia kita yang telah 68 tahun merdeka, yang selama separuh pertama umurnya beruntung memiliki seorang abdi setia bernama Mohammad Hatta, dan yang selama sisa umurnya membutuhkan Bung Hatta-Bung Hatta baru, yaitu kita semua yang diberi kesempatan bukan untuk disia-siakan, namun untuk memberi dampak besar bagi negeri di mana kita telah ditempatkan oleh Sang Pemilik Takdir.

"Hanya ada satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku."




Mengenang Drs. Mohammad Hatta
atau lebih dikenal dengan nama 'Bung Hatta':
Proklamator Kemerdekaan
dan Wakil Presiden Pertama
Republik Indonesia,
lahir pada hari ini,
111 tahun yang lalu.





"Jujur, lugu dan bijaksana;
mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
rakyat Indonesia."
- Iwan Fals, dalam lagunya "Bung Hatta" -