Minggu, 25 April 2010

Mereka Mendidik Kita Dengan Berbagai Cara

Waktu Bung Karno memerdekakan Indonesia,

beliau tak hanya memerdekakan Indonesia agar generasi muda Indonesia tak bekerja keras dengan dalih tidak ada lagi penjajah yang memaksa kita untuk bekerja keras.


Waktu Kartini memperjuangkan agar kaumnya dapat bersekolah sederajat dengan lelaki,

beliau pasti tidak memperjuangkan kaumnya agar dapat bersekolah hanya untuk mengharap berkenalan dengan calon suami yang mapan dan bermasa depan cerah di kampus.


Waktu Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa agar semua anak bangsa bisa belajar baca tulis,

tentu beliau tidak mengharap bahwa putra-putri terbaik bangsanya kelak akan malas membaca panjang-panjang dan tak becus merangkai kata dalam karya tulis.


Waktu Soe Hok Gie berdiskusi dengan alam yang lirih, dan mengkritisi pemerintah dengan tak pandang bulu siapa presidennya,

beliau mengajarkan bahwa kata maha di depan siswa jauh terlalu besar untuk disandang pemuda yang hanya peduli tentang apa yang ia dapat di bangku kuliah tanpa peduli apa hubungan ilmu-ilmu yang ia dapatkan itu dengan kondisi negaranya dan alam semesta ciptaan Tuhan.



Waktu Kartini menulis "Habis Gelap Terbitlah Terang",

beliau tidak mengharapkan kita menjalankan pendidikan sambil mengeluh, namun supaya kita menjalaninya dengan semangat dan harapan bahwa pendidikan akan membawa kita ke masa depan yang lebih cerah.


Waktu Bung Karno berkata: "Gantungkan cita-citamu setinggi langit",

cita-cita setinggi langit yang beliau maksudkan tentu bukan sekadar agar adik-adik kelasnya puas dengan pekerjaan yang sampai pensiun pun manfaatnya hanya terasa oleh anak, istri, dan orang tuanya saja.


Waktu Ki Hajar Dewantara berfilsafat: "Ing ngarso sing tulodo",

beliau berpesan agar kita menjadi contoh bagi orang-orang yang tingkatannya berada di bawah kita, bukan malah membuat mereka mengutuki kenapa orang-orang seperti kita yang ditempatkan Tuhan berada di atas mereka.

Waktu beliau bertutur: "Ing madyo mangun karso",

beliau berpesan agar kita menjadi rekan yang membangun suasana kondusif untuk pengembangan diri teman-teman kita, bukan malah merusaknya dengan menjatuhkan mental tiap kali ada rekan kita yang sedang berusaha menggapai cita-cita.

Dan waktu beliau berkata: "Tut wuri handayani",

beliau berpesan agar kita meskipun tidak menjadi tokoh utama dalam suatu hal, hendaknya kita berbuat semaksimal mungkin untuk mendukung keterlaksanaan hal tersebut, bukan hanya berdiam diri dan tidak berkontribusi apa-apa.


Waktu Soe Hok Gie berkata: "Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan",

beliau tidak mencontohkan bahwa kita, mahasiswa, hanya berbicara dan bertindak sesuai apa yang diinginkan orang, melainkan seharusnya berbicara sesuai apa yang kita pikirkan, dan bertindak sesuai apa yang kita bicarakan.




Memperingati
131 tahun Raden Ajeng Kartini
111 tahun Ki Hajar Dewantara
dan 41 tahun perayaan Hari Bumi





.

Rabu, 21 April 2010

Kisah Bayu dan Pertiwi

Melayang bebas ke pelosok dunia,
menebar pandang ke alam hidup manusia.
Inilah tutur kisah sang Bayu,
yang ingin bercerita tentang Pertiwi.

-------------------------------------

Sang Bayu berkelana ke puncak-puncak Himalaya,
menghembus hingga kedalaman Lautan Teduh.
Lebat rimba Amazon dan terik Gurun Sahara,
padang rumput Serengeti dan padang es Siberia.
Salju di Puncak Carstenz dan ombak laut Pantai Sanur,
oh, begitu ragamnya alam bumi ini.

Kota-kota besar pusat aktivitas manusia;
New York, London, Paris, Jakarta.
Pusat kecanggihan industri dan teknologi;
Tokyo, Shanghai, Dubai.
Kota-kota suci nan agung dan megah;
Vatikan, Makkah, Borobudur.

Perjalanan sang Bayu terus berlanjut...

Berjumpa terik mentari Antartika,
di mana freon menaklukkan ozon.
Menyapa hitamnya lepas pantai Alaska,
hasil muntahan tanker Exxon Valdez.

Mengamati Danau Aral yang kini menjadi daratan,
mengering karena polusi dan pembangunan.
Melihat anak-anak dan orang-orang cacat,
akibat thalidomide dan kasus Minamata.

Menatap lubang-lubang suram
bekas galian timah di Pulau Bangka.
Mengaduh sakit ketika bertemu timbal
dan berjuta gas racun di udara Jakarta.
Melirik miris kepada rakyat
dan tumpukan lumpur di Porong.

Mengelilingi hutan gundul Pulau Jawa,
yang seratus tahun lalu masih hijau
bak Zamrud Khatulistiwa.

Menyusur pekatnya Sungai Citarum,
yang dimuntahi berton-ton BOD dan COD
buangan industri kecil dan besar.

...............

Dan Bayu pun menatap Pertiwi,
yang telah renta dan letih
bagaikan seorang ibu di kala senja hidupnya,
yang telah cukup direpotkan anak-anaknya yang manja.

Dan telah bersiap untuk mati saja,
agar tak tertekan pahit getirnya hidup
serta beban untuk terus menerima
tahi dan air kencing anak-anaknya, umat manusia.

Dan Pertiwi pun menjawab Bayu,
ia tak bisa berbuat apa-apa
selain meratapi dekat ajalnya,
dan menyesali begitu banyak hal:

Menyesali industri plastik yang berproduksi ratusan juta ton per tahun.
Menyumpahi milyaran ton karbon dioksida yang dihempas ke atmosfir.
Menyerapahi para ilmuwan dan ahli riset
yang menemukan CFC, TEL, dan DDT.

Memandang sedih ke perancang pabrik
yang melegalkan suap demi lulus AMDAL.
Menatap malu ke insinyur operasional
yang melakukan midnight discharge.

Mengutuk insinyur kimia yang tak becus merancang alat,
mengutuk insinyur kimia yang tak becus merancang proses.
Sehingga industri kimia menjadi boros energi,
sehingga industri kimia menjadi boros bahan baku,
sehingga industri kimia menghasilkan banyak limbah,
sehingga Pertiwi pun semakin renta.

Mengutuk calon-calon insinyur
yang kerap bolos ataupun tidur saat kuliah
sehingga tak becus merancang alat dan merancang proses.

Menghela napas bagi mahasiswa,
yang katanya generasi muda penerus bangsa,
namun masih mempertanyakan signifikansi
dari cinta lingkungan dan hemat energi.

Menghela napas bagi kaum cendekia
yang dengan dalih kerasnya realita hidup
menggerogoti Pertiwi yang renta ini
dengan alasan demi mencari sesuap nasi
yang bahkan mereka sendiri lupa
bahwa nasi pun berasal dari Ibu Pertiwi.

......................................
(ayo, menghela napas!)





PS: dibuat dalam rangka menghindar sejenak dari beban tugas-tugas besar, penelitian, dan rancang pabrik; serta untuk meramaikan event KINTARI HIMATEK - kategori: bumi. Maaf jika tidak inspiratif... semoga bisa memacu yang lain untuk membuat yang lebih berkualitas dan inspiratif.

Çiçekşehir, 21-24 April 2010
Alfonso
cita-citanya sih Green Engineer



.

Selasa, 06 April 2010

Kacamata Hitam

Aku terjebak, kawan. Di dunia ini.

Di sini dunia yang tak mengenal aturan. Di sini dunia tanpa tatanan. Di sini tatanannya hanyalah ketidakpastian dan praduga.

Di sini.

Di mana bernyanyi menyakitkan telinga, namun diam menyakitkan mata.

Di mana yang peduli dianggap sok ikut campur, dan yang tak suka ikut campur dianggap tak peduli.

Di mana kemalasan dianggap sebagai kekurangan, namun kerajinan menjadi aib.

Di mana kebanggaan dicap sebagai kesombongan, namun rendah hati sama dengan rendah diri.

Di mana yang berani berbicara dicap tak berpikir panjang, namun kehati-hatian dianggap sebagai tanda apatisme.

Di mana upaya memancing tawa bisa berarti sok gaul, sementara yang tak berkomentar dianggap tak gaul.

Di mana yang berani deklarasi dianggap hanya mengumbar janji, sementara yang tak mau asal janji dianggap tak punya target.

Di mana orang yang tak berkawan dicap anti sosial, sementara orang yang berkawan dianggap eksklusif.

Di mana orang yang tak mau mengaku salah dicap tak tahu diri, sementara orang yang mau mengaku salah dianggap pecundang.

Di mana yang terus berusaha dianggap tak tahu batas, dan yang cepat merasa puas dicap tak tahu diuntung.

Di mana yang beragama dituntut menjadi santo, namun yang berdosa langsung dilempar ke neraka jahanam.

Di mana berdiri di kiri diserang yang kanan, berdiri di kanan diserang yang kiri, dan berdiri di tengah diserang kiri kanan.

Di mana yang di dalam tak mau keluar, sementara yang di luar malas melihat ke dalam, dan lagi-lagi yang di tengah mondar-mandir ke luar dan ke dalam.

Di mana lawan kata idealis adalah realis, lawan kata abstrak adalah konkrit, lawan kata konsep adalah teknis, lawan kata pemikir adalah pekerja, lawan kata tampilan adalah esensi.... dan lawan kata aku adalah dunia.

Di mana integritas didewakan dalam segala situasi, sehingga sang pemenang adalah dia yang tak pernah berpikir, berbicara, dan bertindak... karena nol sama dengan nol.



Lutetia Iavanicus, 6-4-2010 AD
Poëta





.